Beranda / Romansa / Jadi Budak Kakak Ipar / DI TENGAH KEGALAUAN

Share

DI TENGAH KEGALAUAN

Penulis: Ummu Amay
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-14 23:12:47

Felisha terdiam cukup lama setelah kalimat terakhir itu melintas di kepalanya.

Ia memandangi langit-langit kamar kos yang mulai menguning dimakan usia. Ada retakan kecil di sudut plafon, seperti garis halus yang mengingatkannya pada hidupnya sendiri—tidak runtuh, tapi juga tidak lagi utuh.

“Aku belum tahu, Gin,” ucapnya akhirnya, pelan. “Aku belum berani memikirkan sejauh itu.”

Gina tidak langsung menjawab. Ia merapikan kantong belanja terakhir, lalu duduk di sisi ranjang, menatap Felisha dengan mata yang tidak menghakimi. “Kamu tidak harus punya semua jawabannya sekarang.”

Felisha tersenyum tipis. “Masalahnya, semua orang seolah menunggu aku segera tahu.”

Alan. Erik. Bahkan dirinya sendiri.

Ia menarik selimut lebih tinggi, meski udara malam sebenarnya tidak dingin. Ada rasa kosong yang menggerogoti pelan —bukan karena sendirian, tapi karena terlalu banyak pilihan yang masing-masing menuntut keberanian.

Ponselnya bergetar pelan di atas meja kecil. Bukan pesan, tapi panggilan. Dan nama
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Jadi Budak Kakak Ipar   TEKAD DAN SEMANGAT

    Gina menuntun Felisha keluar dari ruang periksa setelah semuanya selesai. Langkah Felisha terasa ringan sekaligus berat —ringan karena kabar baik itu nyata, berat karena tanggung jawab yang kini tak lagi bisa ia abaikan atau tunda.Mereka duduk sebentar di bangku tunggu klinik. Felisha mengusap pipinya yang masih basah, lalu menghela napas panjang.“Sehat,” gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia sehat.”Gina tersenyum hangat. “Kamu hebat, Feli. Kamu datang ke sini tanpa siapa pun yang selama ini selalu mengambil alih keputusanmu.”Felisha terdiam. Kata-kata itu menancap tepat di dadanya.“Aku takut, Gin,” akunya jujur. “Tapi anehnya, kali ini takutnya berbeda. Bukan takut sendirian. Lebih ke takut salah langkah.”“Itu wajar,” jawab Gina lembut. “Karena sekarang setiap langkahmu bukan cuma untuk kamu.”Felisha mengangguk. Ia menatap keluar jendela klinik, melihat lalu lalang kendaraan, orang-orang yang tampak begitu yakin dengan arah hidup mereka. Ia tahu, ia belum sampai d

  • Jadi Budak Kakak Ipar   PERTEMUAN PERDANA

    Langit pagi mulai cerah ketika Felisha dan Gina bersiap keluar kamar kos. Udara masih menyisakan dingin semalam, bercampur bau tanah basah yang naik dari halaman sempit di depan bangunan. Felisha mengenakan jaket tipis, menutupi tubuhnya dengan gerakan refleks—bukan karena dingin, melainkan karena kebiasaan menjaga diri yang kini semakin kuat.“Kita mulai dari daerah belakang kampus dulu,” ujar Gina sambil mengunci pintu. “Biasanya banyak kos kecil yang murah dan tenang.”Felisha mengangguk. “Aku cuma butuh tempat yang… tidak terlalu ramai.”Dan tidak terlalu dekat dengan kenangan, lanjutnya dalam hati.Mereka berjalan pelan menyusuri gang. Beberapa ibu menyapa ramah, penjual sarapan memanggil pembeli dengan suara serak. Dunia tetap berjalan normal, seolah tidak ada hati yang sedang bertaruh di antara pilihan-pilihan sulit.Felisha berhenti sejenak ketika ponselnya kembali bergetar.Refleks, ia melihat layar.Bukan Alan dan juga bukan Erik.Sebuah pesan dari nomor klinik kandungan yan

  • Jadi Budak Kakak Ipar   DI TENGAH KEGALAUAN

    Felisha terdiam cukup lama setelah kalimat terakhir itu melintas di kepalanya.Ia memandangi langit-langit kamar kos yang mulai menguning dimakan usia. Ada retakan kecil di sudut plafon, seperti garis halus yang mengingatkannya pada hidupnya sendiri—tidak runtuh, tapi juga tidak lagi utuh.“Aku belum tahu, Gin,” ucapnya akhirnya, pelan. “Aku belum berani memikirkan sejauh itu.”Gina tidak langsung menjawab. Ia merapikan kantong belanja terakhir, lalu duduk di sisi ranjang, menatap Felisha dengan mata yang tidak menghakimi. “Kamu tidak harus punya semua jawabannya sekarang.”Felisha tersenyum tipis. “Masalahnya, semua orang seolah menunggu aku segera tahu.”Alan. Erik. Bahkan dirinya sendiri.Ia menarik selimut lebih tinggi, meski udara malam sebenarnya tidak dingin. Ada rasa kosong yang menggerogoti pelan —bukan karena sendirian, tapi karena terlalu banyak pilihan yang masing-masing menuntut keberanian.Ponselnya bergetar pelan di atas meja kecil. Bukan pesan, tapi panggilan. Dan nama

  • Jadi Budak Kakak Ipar   MENYUSUN RENCANA

    Sore berjalan lambat. Panas mulai mereda, digantikan udara lembap yang menempel di kulit. Felisha masih duduk di tempat yang sama, ponsel di tangannya tak juga diletakkan. Layar itu gelap, tapi namanya—nama Alan, seakan masih menyala di kepalanya.Gina keluar sebentar untuk membeli kebutuhan dapur selama beberapa hari ke depan, meninggalkan Felisha sendirian dengan pikirannya.Felisha menarik napas dalam-dalam. Ia akhirnya memutuskan untuk membuka pesan itu.Jarum jam di ponselnya menunjukkan pukul empat sore. Tangannya gemetar saat ia mengetik satu kalimat singkat."Sudah. Terima kasih."Tidak ada emotikon. Tidak ada kata tambahan. Tidak ada tanda rindu.Namun saat pesan itu terkirim, jantung Felisha berdetak keras, seolah ia baru saja melangkah ke tepi jurang yang belum ia tahu kedalamannya.Beberapa detik berlalu. Lalu balasan masuk."Syukurlah. Jangan lupa minum vitaminnya."Felisha menatap layar lama.Tidak ada pertanyaan “kamu di mana”. Tidak ada perintah “pulang”. Tidak ada des

  • Jadi Budak Kakak Ipar   CEMBURU

    Siang menjelang dengan panas yang menyengat, membuat suasana kos semakin terasa pengap. Felisha duduk di meja kecil sambil menuliskan beberapa daftar kebutuhan—mencari kos lain, konsultasi kandungan, dan rencana mencari pekerjaan kecil untuk sementara.Ia baru menaruh pulpen ketika ponselnya bergetar.Satu buah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Feli, kamu sudah makan siang?”Felisha menelan ludah. Ia tahu siapa itu. Nada kekhawatirannya terlalu khas.Felisha tidak membalas. Atau belum.Gina masuk sambil membawa dua gelas es teh. “Kamu kelihatan kayak baru lihat hantu,” candanya.Felisha tersenyum tipis. “Bukan hantu … cuma seseorang yang akhirnya sadar kalau aku tidak ada.”Gina duduk di tempat tidur. “Pak Alan?”Felisha tidak menjawab, tapi diamnya cukup sebagai jawaban.Gina meminum es tehnya. “Dia nanya kamu makan? Sweet sih, tapi telat.”Felisha menggigit bibir. “Aku nggak tahu harus jawab apa.”“Jawab aja ‘udah’. Simple.”Felisha menggeleng. “Setiap aku mau ngetik, jari aku be

  • Jadi Budak Kakak Ipar   KUNJUNGAN ERIK

    Malam merayap perlahan, menyisakan udara lembap sisa hujan. Di kamar kos sederhana itu, Felisha masih terjaga. Matanya menatap ponsel yang tergeletak di samping bantal, layar yang kadang menyala oleh notifikasi kecil, tapi tidak pernah memunculkan nama yang diam-diam ia tunggu.Ia membelai perutnya yang masih datar.“Maafin Mama, ya… Mama masih bingung,” bisiknya.Kamar itu tenang. Terlalu tenang. Namun untuk pertama kalinya, keheningan itu tidak membuatnya merasa sendirian —hanya terasa kosong.Felisha menarik selimut pelan. Besok ia harus kuat. Besok ia harus mencari tempat tinggal yang lebih permanen sebelum memutuskan langkah selanjutnya.Sementara itu, di ruang kerja Alan, lampu belum dimatikan. Malam hampir jam sebelas ketika Alvaro kembali masuk dengan ragu.“Tuan … Anda belum mau pulang?”Alan masih menatap cincin pernikahan itu, seolah benda itu memiliki jawaban. “Aku tidak bisa pulang.”Alvaro menahan napas. “Anda bisa pulang untuk istirahat. Tidak ada rapat lagi malam ini—”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status