Tubuh Agnia terasa dingin saat Agra menatapnya dengan tajam. Ia memikirkan hal yang tidak beres dalam diri sang suami.
“Aku akan menceraikan kamu!”
Sontak manik mata Agnia menatap tak percaya dengan apa yang diungkapkan oleh Agra—sang suami. Baru saja ia pulang dari tempat ia bekerja, kini sudah di berikan sebuah kejutan oleh pria yang menikahinya sejak 5 tahun lalu.
“Aku hanya telat lima menit saja, bagaimana kamu bisa menceraikan aku dengan alasan seperti itu, Mas? Apa salahku?” Agnia mencoba membela diri di depan sang suami.
Agra melempar beberapa lembar foto saat dirinya makan bersama dengan Gio—adik iparnya. Di foto itu Agni tertawa lebar bersama dengan Gio, lalu ada foto mereka yang membuat Arga semakin panas.
“I—ini nggak seperti yang kamu lihat, Mas. Aku—“
“Cukup! Harusnya aku mendengarkan apa kata ibuku dulu, masih bagus aku mau menikahi kamu, kalau tidak, bagaimana nasib kamu. Sekarang, malah kamu menikam aku, berselingkuh dengan adik kandungku sendiri.” Agra terus saja mencerca tanpa memberi kesempatan Agnia berbicara.
Agnia menarik napas panjang, ia tak suka jika Agra mengungkit masa lalunya. Pria itu sudah berjanji menerima kondisi dirinya saat itu. Namun, beberapa bulan ini, pria itu mulai berubah dan sering mengungkit masa lalu.
“Mas, boleh kau hina aku, tapi ingat, yang bersikeras menikahi aku adalah kamu. Aku tidak pernah memaksakan, lagi pula kalau kamu merasa menjadi pahlawan, aku berterima kasih. Tapi, tolong jangan ungkit masalah itu lagi,” ujar Agnia.
Sejenak mereka terdiam. Agnia terus memutar otak memikirkan apa yang terjadi padanya kali ini. Ia mengingat malam kemarin tidak sengaja bertemu dengan adik iparnya di sebuah mal dan Gio pun mengajaknya makan. Namun, entah bagaimana ceritanya bisa sampai ada foto itu di tangan sang suami.
“Aku dan Gio bertemu tidak sengaja. Lagi pula, aku pun hanya makan malam dan itu wajar saja. Silakan tanya Gio kalau tidak percaya,” ujar Agnia lagi.
Terdengar derap langkah memasuki ruangan tengah di mana mereka bertengkar. Sosok wanita dengan rambut memutih dengan wajah masih terlihat muda memasuki ruangan.
“Apa kamu lebih percaya dengan istri kamu dari pada Ibu dan adikmu? Sudah jelas dia wanita tidak baik, hamil di luar nikah dan kamu yang di tuntut bertanggungjawab,” ujar Bu Sukma—ibu Agra.
Sekali lagi Agnia mencoba tenang, tapi kali ini dadanya semakin sesak mendengar kalimat demi kalimat ucapan ibu mertuanya. Wanita tua itu sejak awal memang tidak menyukai dirinya.
“Maksud Ibu apa?” tanya Agnia.
“Lihat, dia pura-pura tidak mengerti. Hebat sekali wanita ini, sudah ibu duga kalau dia itu wanita tidak baik. Dia menggoda adikmu, Gio. Masih tidak percaya?”
Lagi-lagi Agnia merasa terkesiap dengan penuturan ibu mertuanya. Apa yang sedang direncanakan mereka pikirnya. Kali ini Agra tidak membelanya, malah sejak kedatangannya sudah mengajukan cerai.
“Bu, kata siapa aku dan Gio berselingkuh?” Agnia mencari jawaban pasti.
“Gio mengatakannya pada Ibu. Lagi pula, kalian pun terlihat dekat bukan, kamu mengincar Gio karena dia artis dan kamu ingin tenar?” Ibu mertua Agnia semakin gencar membuatnya tersudut.
“Astagfirullah, aku nggak sepicik itu, Bu.” Lagi, Agnia mencoba membela diri. Akan tetapi, semua percuma karena Agra pun terlihat sangat membenci istrinya kali ini.
Debar jantung Agnia tidak menentu memikirkan nasib pernikahannya itu. Berulang kali ia mencoba menjadi istri yang sempurna, tapi tetap saja ia tak mampu menyaingi kakak iparnya yang menjadi istri dan menantu sempurna.
Agra menatap tajam Agnia yang berdiri tegap di hadapannya. Manik mata itu mulai berembun, tapi wanita dengan kemeja pink itu mencoba menahannya agar tidak tumpah saat itu.
“Mas, dengarkan aku,” pinta Agnia memohon.
“Maaf, aku sudah tekatku sudah bulat untuk menceraikan kamu. Harusnya kamu belajar dari Mbak Sinta, dia istri penurut dan begitu pintar. Tapi apa, kamu sama sekali tidak pernah belajar dari dia.”
Untuk kesekian kalinya Agnia merasa muak saat Agra mulai membandingkan dirinya dengan wanita lain. Apalagi itu adalah kakak iparnya sendiri. Sama halnya dengan sang suami, ibu mertuanya pun tak lelah membicarakan menantu kesayangannya itu.
Agnia menggigit bibir bawahnya, pikirannya sudah buntu. Bagaimana bisa ia begitu saja diceraikan tanpa penjelasan dan hanya menggunakan foto untuk membuat dirinya tidak berkutik. Ia kembali mencoba berbicara, tapi tetap saja Agra tidak peduli.
“Kopermu sudah disiapkan Bibi, juga koper milik Leon. Kalian juga sudah aku pesankan taxi Online untuk menuju rumah ibumu.”
Darah Agnia mendidih mendengar semuanya. Pria di hadapannya kini sudah berubah, bahkan ia pun sudah tak peduli dengan anak laki-laki yang selalu ia panggil dengan sebutan Leon. Dengan napas naik turun Agnia beranjak dari tempatnya dan meninggalkan ruang itu.
“Kamu sudah mengambil sikap yang benar, Ga. Selama ini, ibu juga tidak suka dengan Agnia. Kamu tahu, kan, anak dari ayahnya saja tidak jelas,” tutur Bu Sukma.
Arga tak berkomentar mendengar penuturan sang ibu. Ia hanya terduduk sembari menatap kosong tembok rumah yang bercat putih itu. Tidak akan ada lagi suara yang terus memanggilnya Papa. Ia sudah mengambil keputusan, mengusir istri dan anaknya.
***
Agnia memasuki kamar dan benar apa yang dikatakan oleh Agra. Dua koper itu sudah tersusun rapi di dekat lemari. Ia berulang kali mengerjapkan mata dan mencoba berpikir tenang. Apa yang harus ia lakukan? Ini fitnah pikirnya.
“Mama.” Leon—sang anak berlari menghampiri mamanya bersama dengan Baby siternya.
Agnia menggendong Leon dan berulang kali menciumi anak laki-lakinya. Sarah—Baby siter Leon menatap keheranan melihat ada dua koper di kamar majikannya. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya.
“Ibu mau ke mana?” tanya Sarah.
Agnia bergeming, ia bingung harus menjelaskan dari mana pada Sarah. Ia pun juga tidak bisa mengajaknya karena tidak akan mampu membayar gajinya.
“Sementara waktu, saya ada urusan di desa Ibu saya, jadi sementara saya pergi bersama Leon,” ucap Agnia berbohong.
“Kenapa saya tidak di ajak, Bu? Bukannya saya harus menemani ke mana Leon pergi?” Sarah bertanya dengan rasa penasaran.
“Itu sudah menjadi keputusan saya.”
Sarah tidak bisa mengatakan hal apa pun. Ia pun membantu Agnia membawakan koper mereka karena taxi pesanan Agra sudah datang. Sekali lagi Agnia menahan embun yang sudah tidak bisa ditahan. Mereka benar-benar pergi meninggalkan rumah milik suaminya.
“Papa nggak ikut, Ma?” tanya Leon saat memperhatikan tidak ada ayahnya di sampingnya.
“Nggak, Sayang. Nanti Papa menyusul, ya.” Lagi, Agnia harus berbohong pada sang anak.
Setelah di beri penjelasan, Leon tidak banyak bertanya lagi. Ia kembali fokus pada susu yang dibuatkan Sarah sebelum ia pergi bersama ibunya.
‘Apa salahku? Apa Setega itu sampai mengusir kami?’
Agnia berpas-pasan dengan Agra saat hendak ke luar rumah. Namun, pria itu masih sangat dingin menatapnya.
"Silahkan kamu pergi, aku sudah muak denganmu."
Lagi, hati Agnia bagai teriris pisau mendengar ucapan Agra yang begitu tajam.
***
Bersambung
Leon tertidur dalam pangkuan Agnia. AC mobil yang dingin membuat anak laki-lakinya tertidur pulas setelah beberapa kali bertanya tentang ayahnya. Namun, Agnia mencoba menjelaskan pada anak berusia lima tahun itu.Agnia menatap jalanan ibu kota yang basah dengan guyuran hujan yang tiba-tiba saja membasahi tanah. Hatinya terasa pedih mengingat ucapan Agra yang begitu menyayat hati. Pria lembut yang menemaninya selama lima tahun itu kini sudah berbeda. Dia sudah tak lagi bersikap baik, ada saja yang mereka ributkan setiap hari.Kedatangan Ibu mertuanya yang tinggal bersama mereka membuat rumah tangganya kini di ujung tanduk. Ada saja hal yang diadukan Bu Sukma pada Agra—anaknya. Mulai dari hal kecil, sampai hal yang besar.“Mbak, kita sudah sampai di jalan kenangan,” ucap sopir taxi.“Eh, i—iya. Maaf, Pak. Berapa?” tanya Agnia.“Sudah dibayarkan lewat aplikasi.” Lagi, sopir itu menjawab.Agn
Matahari sudah terlihat jelas, hawa panas kian menjalar memenuhi ruangan dengan kapasitas beberapa orang. Jefri Ardana—bos besar perusahaan Gemilang Emas melempar map pada beberapa pejabat cabang perusahaan itu.“Dana besar, tapi AC rusak tidak dibenari. Apa kerja kalian selama ini?” Teriakan Jefri membuat beberapa karyawan hanya bisa menunduk.Salah satu anak perusahaan PT Gemilang Emas itu sedang tidak baik. Beberapa karyawan tertangkap korupsi. Jefri murka saat mengetahui temuan itu.“Kalian buat iklan, cari karyawan baru dan tolong cari yang berpengalaman,” titah bos besar itu.“Baik, Pak.”Jefri langsung melangkah meninggalkan ruangan panas itu. Ia sampai membuka jas yang menutupi kemeja putihnya. Pria itu marah saat melihat keadaan perusahaan yang hampir bangkrut itu.Sekretaris Jefri kembali memberikan beberapa jadwal. Salah satunya adalah jadwal bertemu dengan brand ambasado
Agra bersalaman dengan Heru—orang suruhan Jefri yang sengaja diutus untuk menggantikan dirinya. Walau agak kecewa dengan Jefri, ia mencoba untuk mereda emosi. Setiap ada janji akan bertemu, Jefri selalu membatalkan atau mengubah jadwal. Seperti kali ini Heru yang datang menggantikan sang bos.“Pak Jefri sedang mengurus kantor cabang yang bermasalah. Mohon maaf, saya yang menghandel kali ini,” ucap Heru.“Baik, kita mulai sekarang?” tanya Agra.Mereka memulai berbincang untuk menentukan bagaimana kerja sama yang akan mereka jalankan. Sejak lama Agra memang mengincar perusahaan Gemilang Emas untuk membuat bisnisnya semakin meningkat.Keduanya berjabat tangan tanda semua sudah selesai dan Heru sudah menyetujui bekerja sama dengan pihak Agra. Perusahaan peninggalan sang ayah sudah maju lebih pesat setelah Agra memegangnya.Semua pun tidak lepas dari dukungan Agnia sebagai istri. Namun, kali ini saat ia sukses, Agnia terlem
[Leon sakit, bisa kamu jenguk dia? Leon pasti senang jika Papanya datang]Agra masih terus memandangi pesan masuk dari Agnia. Ia menahan agar tidak datang ke sana. Padahal ia sangat mencemaskan Leon yang sedang sakit. Agra sangat menyayangi anak laki-laki Agnia.Setiap pulang kerja, Leon selalu menyambutnya dengan semringah. Papa, biasanya anak itu lantang berteriak lalu memeluknya. Begitu sempurna hidup mereka kala belum ada badan yang menghantam.“Kamu sudah pulang?” tanya Bu Sukma.“Iya,” jawab Agra tanpa menoleh.“Kamu lihat apa, Ga?” Bu Sukma ingin tahu apa yang sedang di lakukan Agnia.“Agnia mengirim pesan, Leon sakit.” Agra mengambil teko dan menuangkannya di gelas. Ia meneguk air putih itu lalu menaruhnya kembali.Bu Sukma tidak suka mendengar nama Agnia dan Leon di sebut. Ia mengalihkan pembicaraan agar Agra tidak datang menemuinya.“Ibu sudah bicara sama Gio
[Leon sakit, bisa kamu jenguk dia? Leon pasti senang jika Papanya datang]Agra masih terus memandangi pesan masuk dari Agnia. Ia menahan agar tidak datang ke sana. Padahal ia sangat mencemaskan Leon yang sedang sakit. Agra sangat menyayangi anak laki-laki Agnia.Setiap pulang kerja, Leon selalu menyambutnya dengan semringah. Papa, biasanya anak itu lantang berteriak lalu memeluknya. Begitu sempurna hidup mereka kala belum ada badan yang menghantam.“Kamu sudah pulang?” tanya Bu Sukma.“Iya,” jawab Agra tanpa menoleh.“Kamu lihat apa, Ga?” Bu Sukma ingin tahu apa yang sedang di lakukan Agnia.“Agnia mengirim pesan, Leon sakit.” Agra mengambil teko dan menuangkannya di gelas. Ia meneguk air putih itu lalu menaruhnya kembali.Bu Sukma tidak suka mendengar nama Agnia dan Leon di sebut. Ia mengalihkan pembicaraan agar Agra tidak datang menemuinya.“Ibu sudah bicara sama Gio
Jefri mencari-cari Agnia, tapi ia kehilangan jejaknya. Sementara, Farha dan Chika ikut mengejarnya dengan napas tersengal-sengal. Sang kakak memukul punggung adiknya karena kesal pergi tanpa pamit dan membuat panik.“Kenapa lari begitu?” tanya Farha kesal.“Tahu Uncle, kaya lagi liat Tante Bianca selingkuh, ya?” Chika asal bicara.“Hus, eh tapi mungkin aja, Ka,” timpal sang mama.Keduanya malah tertawa, sedangkan Jefri tidak mungkin mengatakan jika ia mengejar Agnia dan anaknya. Refleks ia mengejar karena Chika dan Farha mengatakan wajah anak itu mirip dengannya.Jefri mencuil hidung mancung Chika—keponakannya. Sering kali Chika membuat Jefri terkikik karena usia anak itu masih terbilang kecil, tapi jika sudah berbicara maka tak akan pernah berhenti dengan gaya bicara orang dewasa. Seperti kali ini anak itu mengatakan Bianca—kekasihnya berselingkuh.“Kasihan Tante Bianca kamu fitnah, Ka,&
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Boleh aku menggendongnya?” tanya Jefri.“Gendong? Siapa?” Agni masih sangat gugup.Jefri tertawa mendengar jawaban Agnia. Pria itu menggeleng karena ia melihat wanita di depannya sudah berbeda.“Mengendong Leonlah, masa kamu,” ucap Jefri.Bu Anggun ikut terkikik mendengar ucapan Jefri. Ia langsung menghampiri Leon sesaat Agnia mengangguk menyetujui. Leon yang tertidur pun tidak bangun, hanya mengulat karena berpindah tangan.Jefri memejamkan mata saat ia mengayun Leon. Ia kembali berpikir apa anak itu yang ada di mimpinya? Entah karena ia sering memikirkan Agnia yang sulit ia temukan hingga ia memimpikannya.“Permisi, Pak, anaknya mau kita bawa untuk di pasang infus,” ujar Suster.“Sus, bisa nggak kalau nggak di infus, saya yang besar aja sakit, bagaimana anak kecil.” Jefri melirik ke arah Agnia, sedangkan Suster hanya tersenyum.&ldqu
Agnia terbangun sejak tadi saat Leon terus mengigau memanggil sang ayah. Ia merasa tidak tega dengan Leon. Bagaimana pun, ia harus menemui Agra di kantornya. Menelepon pun tidak ada tanggapan. Biasanya ia mencoba menghubungi Gio, tapi sejak fitnah kejam yang dituduhkan padanya, ia mulai menutup diri dari adik iparnya.“Kamu mau ke kantor Gio?” tanya sang ibu.“Sepertinya, Bu. Aku masuk kantor dulu, pulangnya nanti aku ke kantor Mas Agra. Atau pas jam makan siang, kebetulan kantor kami tidak jauh. Aku titip Leon, ya, Bu,” ujar Agnia.“Iya, tenang saja. Biar Leon ibu yang jaga, lagi pula dia sudah membaik.”“Iya, Alhamdullilah.”“Ini juga karena bos kamu yang baru. Dia baik memberikan fasilitas VIP untuk Leon, kemungkinan obat pun pasti terjamin.”Agnia hanya tersenyum, entah benar atau tidak apa yang dikatakan Jefri jika ia harus mencicil biaya kamar dengan gajinya. Akan tetapi, jika