Share

Dua

Leon tertidur dalam pangkuan Agnia. AC mobil yang dingin membuat anak laki-lakinya tertidur pulas setelah beberapa kali bertanya tentang ayahnya. Namun, Agnia mencoba menjelaskan pada anak berusia lima tahun itu. 

Agnia menatap jalanan ibu kota yang basah dengan guyuran hujan yang tiba-tiba saja membasahi tanah. Hatinya terasa pedih mengingat ucapan Agra yang begitu menyayat hati. Pria lembut yang menemaninya selama lima tahun itu kini sudah berbeda. Dia sudah tak lagi bersikap baik, ada saja yang mereka ributkan setiap hari.

Kedatangan Ibu mertuanya yang tinggal bersama mereka membuat rumah tangganya kini di ujung tanduk. Ada saja hal yang diadukan Bu Sukma pada Agra—anaknya. Mulai dari hal kecil, sampai hal yang besar.

“Mbak, kita sudah sampai di jalan kenangan,” ucap sopir taxi.

“Eh, i—iya. Maaf, Pak. Berapa?” tanya Agnia.

“Sudah dibayarkan lewat aplikasi.” Lagi, sopir itu menjawab.

Agnia mengangguk mengerti jika Agra sudah membayar lewat Online. Gegas ia menggendong Leon dan meminta Pak sopir membawakan koper miliknya. 

“Terima kasih, Pak.” Agnia memberikan uang tambahan karena membantunya membawakan koper. 

“Terima kasih kembali, Mbak.” 

Sopir itu berlari kecil karena menghindari hujan yang masih rintik. Agnia belum juga mengetuk pintu, ia masih bergeming di depan pintu. Ia hanya membayangkan jika ibunya melihat dirinya dengan keadaan yang menyedihkan.

Dengan berat hati Agnia pun mengetuk pintu rumah. Tidak lama ke luar wanita tua dengan daster bunga-bunga dengan wajah bingung melihat anak dan cucunya datang tengah malam. 

“Masuk, kasihan Leon jika terlalu lama di luar.” Bu Anggun—ibu Agni langsung membantu sang anak membawa dua kopernya. 

Netranya memindahi dua koper itu, lalu beralih pandang ke sang anak. Bu Anggun menarik napas lalu mengambil alih Leon dari gendongan Agnia dan langsung membawanya ke kamar agar lebih nyaman tidurnya.

Setelah di selimuti Leon semakin nyaman tidurnya. Bu Anggun melangkah ke dapur untuk membuat teh hangat untuk sang anak. Di pikirannya masih penuh tanda tanya bagaimana bisa Agnia datang tengah malam ke rumahnya.

“Ada apa?” Bu Anggun bertanya sembari menyodorkan teh hangat untuk Agnia. 

Agnia mengambil teh hangat yang diberikan Bu Anggun. Sedetik ia menyesap dan merasakan hangat di perutnya. Perlahan ia menarik napas panjang dan mencoba untuk tidak menumpahkan tumpukan bulir bening yang semakin terdesak hingga jatuh membasahi pipi.

“Mas Agra menceraikan aku,” ucap Agnia.

“Di—ceraikan?” Ibu Anggun mengulangi ucapannya.

“Ia, aku juga nggak mengerti. Sepulang kerja ... ya, begitu saja terjadi dengan cepat.” Agnia menahan napas.

Bu Anggun memeluk Agnia sembari mengelus lembut pundaknya sang anak. Ia bisa merasakan kepedihan yang amat teramat dalam. Ia pun menyuruh Agnia untuk istirahat karena besok harus bekerja.

Agnia bangkit dan melangkah ke kamar mengikuti apa yang dikatakan sang ibu.

“Kamu dulu seperti malaikatku, Mas. Namun, ada apa hingga kau membuat aku seperti sampah?” Agnia masih bergumam sendiri memikirkan penyebab perubahan Agra.

Agnia terdiam kembali membayangkan masa lalu. Saat Agra datang menjadi pahlawan untuknya. 

“Aku tidak pantas untuk kamu, Ga.” Agnia menolak saat Agra akan melamarnya. 

“Ni, kamu tahu aku selalu ada untuk kamu,” ujar Agra.

“Tapi, bukan dalam hal ini. Pilihan Ibumu lebih baik, lagi pula kamu dan Jesi sudah saling mengenal.” 

“Tapi aku nggak cinta sama dia, tapi aku cinta sama kamu. Selama ini kita berteman, aku selalu berusaha menepis semua rasa, tapi itu sulit,” ucap Agra.

Agnia meremas ujung baju, sesekali ia merasa nyeri di bagian perut bawah. Kembeng yang ia gunakan sudah begitu sesak. Namun, ia harus menutupi itu demi masa depannya.

“Nggak, Ga. Aku nggak pantas, wanita kotor seperti aku nggak pantas menikah dengan kamu. Tolong jauhi aku,” pinta Agnia.

Agra memeluk Agnia yang semakin memberontak. Semua yang dilakukan Agra adalah tulus kala itu. Walau Agnia sedang mengandung benih yang ia juga tidak tahu siapa yang melakukan itu.

Lamunan Agnia terhenti saat Leon memanggil namanya. Anak itu hanya mengingat dan kembali tertidur. Paras tampan sang anak sering sekali menjadi perbincangan beberapa teman. Apalagi ia pun terkadang merasa tidak enak dengan Agra yang hanya berkulit hitam, tapi pria itu pun tak kalah tampan.

“Nak, kelak kamu juga pasti akan mempertanyakan mengapa kamu dan Padamu berbeda. Namun, mama hanya berharap kamu mengerti semua kehidupan yang sudah ditakdirkan untuk kita. Juga apa yang sedang terjadi dengan mama kali ini.”

Agnia mengusap lembut wajah sang anak yang bagai pangeran. Kulit putih hidung mancung pun ia sadari semua itu mirip dengan siapa. Namun, ia ingin menutup semua masa kelam itu. Semua kenangan buruk yang tidak mau ia ingat kembali, jika ingin mengulang waktu, ia pun tak mau berada di kondisi seperti kala itu.

***

Sementara itu, Agra masih emosi saat melihat kedatangan Gio ke rumahnya. Tangan pria itu mengepal keras. Kemudian, masih dengan amarah ia menarik kerah baju Gio dan memukul perut sang adik.

“Bangsat kamu! Apa yang ada di pikiran kamu, hah?” Agra berteriak seperti kesetanan. 

Tidak menyangka jika sang istri bisa melakukan hal keji dengan berselingkuh dengan sang adik. 

“Sudah Agra.” Bu Sukma merelai kedua anaknya.

“Ka, istrimu yang merayuku. Asal Kakak tahu, dia yang mengajak makan malam karena Kakak tak pernah ada waktu untuknya,” ujar Gio.

“Halah!” Agra kembali menarik tubuh Gio dan melemparnya ke sudut tembok.

Lagi, Gio menjadi bulan-bulanan kemarahan Agra. Bu Sukma kembali meredamkan emosi anak pertamanya, tapi sayangnya Agra sangat emosi dan kembali membuat Gio babak belur.

“Agra, dengarkan adikmu. Agnia memang merayu Gio, tapi dia tidak meladeni, benar itu kan Gio?” Bu Sukma terus membela anak bontotnya.

“Nggak mungkin Agnia seperti itu.” Agra berteriak semakin kencang. 

“Ibu pernah memergoki dia merayu Gio. Apa kamu tidak percaya dengan ibumu ini?” Fitnah kejam kembali terlontar dari mulut ibu mertua Agnia.

Agra memukul tembok kencang. Ia merasa tidak percaya jika istrinya bersifat seperti itu. Agnia yang lemah lembut dan penurut tidak mungkin melakukan hal konyol. Pria itu semakin kecewa saat melihat foto yang diberikan sang ibu.

Dengan langkah gontai, Agra meninggalkan ibu dan adiknya. Pintu terbuka dan tertutup dengan keras.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Bu Sukma sambil berbisik.

“Bagaimana nggak sakit, Bu. Perutku di hajar Ka Agra. Tapi, Agnia sudah ke luar bukan dari rumah ini?”

Bu Sukma tersenyum tipis. Butuh waktu lama untuk menyingkirkan menantunya itu. Sejak awal mereka menikah, dirinya orang yang pertama menentangnya mereka berdua menikah.

“Kamu pikir saja sendiri. Ibu akan menjalankan semua dengan rapi.” Senyum tipis Bu Sukma membuat Gio pun melebarkan senyumnya.

"Apa Ibu puas?" tanya Gio.

"Sangat puas, kamu memang berbakat menjadi aktor hebat."

"Tapi, tetap Ibulah yang menjadi pemenang best aktris ibu terjahat, bukan?" 

"Maksud kamu apa Gio?"

Bu Sukma mengernyitkan kening saat Gio seolah-olah ingin melakukan hal yang di luar apa yang ia pikirkan. 

***

 bersambung

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
re......ytt
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
msh menyimak
goodnovel comment avatar
Wiwit Nya Bayu
trnyata ulah 2 beranak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status