Leon tertidur dalam pangkuan Agnia. AC mobil yang dingin membuat anak laki-lakinya tertidur pulas setelah beberapa kali bertanya tentang ayahnya. Namun, Agnia mencoba menjelaskan pada anak berusia lima tahun itu.
Agnia menatap jalanan ibu kota yang basah dengan guyuran hujan yang tiba-tiba saja membasahi tanah. Hatinya terasa pedih mengingat ucapan Agra yang begitu menyayat hati. Pria lembut yang menemaninya selama lima tahun itu kini sudah berbeda. Dia sudah tak lagi bersikap baik, ada saja yang mereka ributkan setiap hari.
Kedatangan Ibu mertuanya yang tinggal bersama mereka membuat rumah tangganya kini di ujung tanduk. Ada saja hal yang diadukan Bu Sukma pada Agra—anaknya. Mulai dari hal kecil, sampai hal yang besar.
“Mbak, kita sudah sampai di jalan kenangan,” ucap sopir taxi.
“Eh, i—iya. Maaf, Pak. Berapa?” tanya Agnia.
“Sudah dibayarkan lewat aplikasi.” Lagi, sopir itu menjawab.
Agnia mengangguk mengerti jika Agra sudah membayar lewat Online. Gegas ia menggendong Leon dan meminta Pak sopir membawakan koper miliknya.
“Terima kasih, Pak.” Agnia memberikan uang tambahan karena membantunya membawakan koper.
“Terima kasih kembali, Mbak.”
Sopir itu berlari kecil karena menghindari hujan yang masih rintik. Agnia belum juga mengetuk pintu, ia masih bergeming di depan pintu. Ia hanya membayangkan jika ibunya melihat dirinya dengan keadaan yang menyedihkan.
Dengan berat hati Agnia pun mengetuk pintu rumah. Tidak lama ke luar wanita tua dengan daster bunga-bunga dengan wajah bingung melihat anak dan cucunya datang tengah malam.
“Masuk, kasihan Leon jika terlalu lama di luar.” Bu Anggun—ibu Agni langsung membantu sang anak membawa dua kopernya.
Netranya memindahi dua koper itu, lalu beralih pandang ke sang anak. Bu Anggun menarik napas lalu mengambil alih Leon dari gendongan Agnia dan langsung membawanya ke kamar agar lebih nyaman tidurnya.
Setelah di selimuti Leon semakin nyaman tidurnya. Bu Anggun melangkah ke dapur untuk membuat teh hangat untuk sang anak. Di pikirannya masih penuh tanda tanya bagaimana bisa Agnia datang tengah malam ke rumahnya.
“Ada apa?” Bu Anggun bertanya sembari menyodorkan teh hangat untuk Agnia.
Agnia mengambil teh hangat yang diberikan Bu Anggun. Sedetik ia menyesap dan merasakan hangat di perutnya. Perlahan ia menarik napas panjang dan mencoba untuk tidak menumpahkan tumpukan bulir bening yang semakin terdesak hingga jatuh membasahi pipi.
“Mas Agra menceraikan aku,” ucap Agnia.
“Di—ceraikan?” Ibu Anggun mengulangi ucapannya.
“Ia, aku juga nggak mengerti. Sepulang kerja ... ya, begitu saja terjadi dengan cepat.” Agnia menahan napas.
Bu Anggun memeluk Agnia sembari mengelus lembut pundaknya sang anak. Ia bisa merasakan kepedihan yang amat teramat dalam. Ia pun menyuruh Agnia untuk istirahat karena besok harus bekerja.
Agnia bangkit dan melangkah ke kamar mengikuti apa yang dikatakan sang ibu.
“Kamu dulu seperti malaikatku, Mas. Namun, ada apa hingga kau membuat aku seperti sampah?” Agnia masih bergumam sendiri memikirkan penyebab perubahan Agra.
Agnia terdiam kembali membayangkan masa lalu. Saat Agra datang menjadi pahlawan untuknya.
“Aku tidak pantas untuk kamu, Ga.” Agnia menolak saat Agra akan melamarnya.
“Ni, kamu tahu aku selalu ada untuk kamu,” ujar Agra.
“Tapi, bukan dalam hal ini. Pilihan Ibumu lebih baik, lagi pula kamu dan Jesi sudah saling mengenal.”
“Tapi aku nggak cinta sama dia, tapi aku cinta sama kamu. Selama ini kita berteman, aku selalu berusaha menepis semua rasa, tapi itu sulit,” ucap Agra.
Agnia meremas ujung baju, sesekali ia merasa nyeri di bagian perut bawah. Kembeng yang ia gunakan sudah begitu sesak. Namun, ia harus menutupi itu demi masa depannya.
“Nggak, Ga. Aku nggak pantas, wanita kotor seperti aku nggak pantas menikah dengan kamu. Tolong jauhi aku,” pinta Agnia.
Agra memeluk Agnia yang semakin memberontak. Semua yang dilakukan Agra adalah tulus kala itu. Walau Agnia sedang mengandung benih yang ia juga tidak tahu siapa yang melakukan itu.
Lamunan Agnia terhenti saat Leon memanggil namanya. Anak itu hanya mengingat dan kembali tertidur. Paras tampan sang anak sering sekali menjadi perbincangan beberapa teman. Apalagi ia pun terkadang merasa tidak enak dengan Agra yang hanya berkulit hitam, tapi pria itu pun tak kalah tampan.
“Nak, kelak kamu juga pasti akan mempertanyakan mengapa kamu dan Padamu berbeda. Namun, mama hanya berharap kamu mengerti semua kehidupan yang sudah ditakdirkan untuk kita. Juga apa yang sedang terjadi dengan mama kali ini.”
Agnia mengusap lembut wajah sang anak yang bagai pangeran. Kulit putih hidung mancung pun ia sadari semua itu mirip dengan siapa. Namun, ia ingin menutup semua masa kelam itu. Semua kenangan buruk yang tidak mau ia ingat kembali, jika ingin mengulang waktu, ia pun tak mau berada di kondisi seperti kala itu.
***Sementara itu, Agra masih emosi saat melihat kedatangan Gio ke rumahnya. Tangan pria itu mengepal keras. Kemudian, masih dengan amarah ia menarik kerah baju Gio dan memukul perut sang adik.
“Bangsat kamu! Apa yang ada di pikiran kamu, hah?” Agra berteriak seperti kesetanan.
Tidak menyangka jika sang istri bisa melakukan hal keji dengan berselingkuh dengan sang adik.
“Sudah Agra.” Bu Sukma merelai kedua anaknya.
“Ka, istrimu yang merayuku. Asal Kakak tahu, dia yang mengajak makan malam karena Kakak tak pernah ada waktu untuknya,” ujar Gio.
“Halah!” Agra kembali menarik tubuh Gio dan melemparnya ke sudut tembok.
Lagi, Gio menjadi bulan-bulanan kemarahan Agra. Bu Sukma kembali meredamkan emosi anak pertamanya, tapi sayangnya Agra sangat emosi dan kembali membuat Gio babak belur.
“Agra, dengarkan adikmu. Agnia memang merayu Gio, tapi dia tidak meladeni, benar itu kan Gio?” Bu Sukma terus membela anak bontotnya.
“Nggak mungkin Agnia seperti itu.” Agra berteriak semakin kencang.
“Ibu pernah memergoki dia merayu Gio. Apa kamu tidak percaya dengan ibumu ini?” Fitnah kejam kembali terlontar dari mulut ibu mertua Agnia.
Agra memukul tembok kencang. Ia merasa tidak percaya jika istrinya bersifat seperti itu. Agnia yang lemah lembut dan penurut tidak mungkin melakukan hal konyol. Pria itu semakin kecewa saat melihat foto yang diberikan sang ibu.
Dengan langkah gontai, Agra meninggalkan ibu dan adiknya. Pintu terbuka dan tertutup dengan keras.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Bu Sukma sambil berbisik.
“Bagaimana nggak sakit, Bu. Perutku di hajar Ka Agra. Tapi, Agnia sudah ke luar bukan dari rumah ini?”
Bu Sukma tersenyum tipis. Butuh waktu lama untuk menyingkirkan menantunya itu. Sejak awal mereka menikah, dirinya orang yang pertama menentangnya mereka berdua menikah.
“Kamu pikir saja sendiri. Ibu akan menjalankan semua dengan rapi.” Senyum tipis Bu Sukma membuat Gio pun melebarkan senyumnya.
"Apa Ibu puas?" tanya Gio.
"Sangat puas, kamu memang berbakat menjadi aktor hebat."
"Tapi, tetap Ibulah yang menjadi pemenang best aktris ibu terjahat, bukan?"
"Maksud kamu apa Gio?"
Bu Sukma mengernyitkan kening saat Gio seolah-olah ingin melakukan hal yang di luar apa yang ia pikirkan.
***
bersambungMatahari sudah terlihat jelas, hawa panas kian menjalar memenuhi ruangan dengan kapasitas beberapa orang. Jefri Ardana—bos besar perusahaan Gemilang Emas melempar map pada beberapa pejabat cabang perusahaan itu.“Dana besar, tapi AC rusak tidak dibenari. Apa kerja kalian selama ini?” Teriakan Jefri membuat beberapa karyawan hanya bisa menunduk.Salah satu anak perusahaan PT Gemilang Emas itu sedang tidak baik. Beberapa karyawan tertangkap korupsi. Jefri murka saat mengetahui temuan itu.“Kalian buat iklan, cari karyawan baru dan tolong cari yang berpengalaman,” titah bos besar itu.“Baik, Pak.”Jefri langsung melangkah meninggalkan ruangan panas itu. Ia sampai membuka jas yang menutupi kemeja putihnya. Pria itu marah saat melihat keadaan perusahaan yang hampir bangkrut itu.Sekretaris Jefri kembali memberikan beberapa jadwal. Salah satunya adalah jadwal bertemu dengan brand ambasado
Agra bersalaman dengan Heru—orang suruhan Jefri yang sengaja diutus untuk menggantikan dirinya. Walau agak kecewa dengan Jefri, ia mencoba untuk mereda emosi. Setiap ada janji akan bertemu, Jefri selalu membatalkan atau mengubah jadwal. Seperti kali ini Heru yang datang menggantikan sang bos.“Pak Jefri sedang mengurus kantor cabang yang bermasalah. Mohon maaf, saya yang menghandel kali ini,” ucap Heru.“Baik, kita mulai sekarang?” tanya Agra.Mereka memulai berbincang untuk menentukan bagaimana kerja sama yang akan mereka jalankan. Sejak lama Agra memang mengincar perusahaan Gemilang Emas untuk membuat bisnisnya semakin meningkat.Keduanya berjabat tangan tanda semua sudah selesai dan Heru sudah menyetujui bekerja sama dengan pihak Agra. Perusahaan peninggalan sang ayah sudah maju lebih pesat setelah Agra memegangnya.Semua pun tidak lepas dari dukungan Agnia sebagai istri. Namun, kali ini saat ia sukses, Agnia terlem
[Leon sakit, bisa kamu jenguk dia? Leon pasti senang jika Papanya datang]Agra masih terus memandangi pesan masuk dari Agnia. Ia menahan agar tidak datang ke sana. Padahal ia sangat mencemaskan Leon yang sedang sakit. Agra sangat menyayangi anak laki-laki Agnia.Setiap pulang kerja, Leon selalu menyambutnya dengan semringah. Papa, biasanya anak itu lantang berteriak lalu memeluknya. Begitu sempurna hidup mereka kala belum ada badan yang menghantam.“Kamu sudah pulang?” tanya Bu Sukma.“Iya,” jawab Agra tanpa menoleh.“Kamu lihat apa, Ga?” Bu Sukma ingin tahu apa yang sedang di lakukan Agnia.“Agnia mengirim pesan, Leon sakit.” Agra mengambil teko dan menuangkannya di gelas. Ia meneguk air putih itu lalu menaruhnya kembali.Bu Sukma tidak suka mendengar nama Agnia dan Leon di sebut. Ia mengalihkan pembicaraan agar Agra tidak datang menemuinya.“Ibu sudah bicara sama Gio
[Leon sakit, bisa kamu jenguk dia? Leon pasti senang jika Papanya datang]Agra masih terus memandangi pesan masuk dari Agnia. Ia menahan agar tidak datang ke sana. Padahal ia sangat mencemaskan Leon yang sedang sakit. Agra sangat menyayangi anak laki-laki Agnia.Setiap pulang kerja, Leon selalu menyambutnya dengan semringah. Papa, biasanya anak itu lantang berteriak lalu memeluknya. Begitu sempurna hidup mereka kala belum ada badan yang menghantam.“Kamu sudah pulang?” tanya Bu Sukma.“Iya,” jawab Agra tanpa menoleh.“Kamu lihat apa, Ga?” Bu Sukma ingin tahu apa yang sedang di lakukan Agnia.“Agnia mengirim pesan, Leon sakit.” Agra mengambil teko dan menuangkannya di gelas. Ia meneguk air putih itu lalu menaruhnya kembali.Bu Sukma tidak suka mendengar nama Agnia dan Leon di sebut. Ia mengalihkan pembicaraan agar Agra tidak datang menemuinya.“Ibu sudah bicara sama Gio
Jefri mencari-cari Agnia, tapi ia kehilangan jejaknya. Sementara, Farha dan Chika ikut mengejarnya dengan napas tersengal-sengal. Sang kakak memukul punggung adiknya karena kesal pergi tanpa pamit dan membuat panik.“Kenapa lari begitu?” tanya Farha kesal.“Tahu Uncle, kaya lagi liat Tante Bianca selingkuh, ya?” Chika asal bicara.“Hus, eh tapi mungkin aja, Ka,” timpal sang mama.Keduanya malah tertawa, sedangkan Jefri tidak mungkin mengatakan jika ia mengejar Agnia dan anaknya. Refleks ia mengejar karena Chika dan Farha mengatakan wajah anak itu mirip dengannya.Jefri mencuil hidung mancung Chika—keponakannya. Sering kali Chika membuat Jefri terkikik karena usia anak itu masih terbilang kecil, tapi jika sudah berbicara maka tak akan pernah berhenti dengan gaya bicara orang dewasa. Seperti kali ini anak itu mengatakan Bianca—kekasihnya berselingkuh.“Kasihan Tante Bianca kamu fitnah, Ka,&
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Boleh aku menggendongnya?” tanya Jefri.“Gendong? Siapa?” Agni masih sangat gugup.Jefri tertawa mendengar jawaban Agnia. Pria itu menggeleng karena ia melihat wanita di depannya sudah berbeda.“Mengendong Leonlah, masa kamu,” ucap Jefri.Bu Anggun ikut terkikik mendengar ucapan Jefri. Ia langsung menghampiri Leon sesaat Agnia mengangguk menyetujui. Leon yang tertidur pun tidak bangun, hanya mengulat karena berpindah tangan.Jefri memejamkan mata saat ia mengayun Leon. Ia kembali berpikir apa anak itu yang ada di mimpinya? Entah karena ia sering memikirkan Agnia yang sulit ia temukan hingga ia memimpikannya.“Permisi, Pak, anaknya mau kita bawa untuk di pasang infus,” ujar Suster.“Sus, bisa nggak kalau nggak di infus, saya yang besar aja sakit, bagaimana anak kecil.” Jefri melirik ke arah Agnia, sedangkan Suster hanya tersenyum.&ldqu
Agnia terbangun sejak tadi saat Leon terus mengigau memanggil sang ayah. Ia merasa tidak tega dengan Leon. Bagaimana pun, ia harus menemui Agra di kantornya. Menelepon pun tidak ada tanggapan. Biasanya ia mencoba menghubungi Gio, tapi sejak fitnah kejam yang dituduhkan padanya, ia mulai menutup diri dari adik iparnya.“Kamu mau ke kantor Gio?” tanya sang ibu.“Sepertinya, Bu. Aku masuk kantor dulu, pulangnya nanti aku ke kantor Mas Agra. Atau pas jam makan siang, kebetulan kantor kami tidak jauh. Aku titip Leon, ya, Bu,” ujar Agnia.“Iya, tenang saja. Biar Leon ibu yang jaga, lagi pula dia sudah membaik.”“Iya, Alhamdullilah.”“Ini juga karena bos kamu yang baru. Dia baik memberikan fasilitas VIP untuk Leon, kemungkinan obat pun pasti terjamin.”Agnia hanya tersenyum, entah benar atau tidak apa yang dikatakan Jefri jika ia harus mencicil biaya kamar dengan gajinya. Akan tetapi, jika
Agnia datang ke ruangan Jefri karena Aina memintanya untuk menemui Jefri. Namun, pria di hadapannya itu masih berkutat dengan ponselnya.“Sial!”Agnia terkesiap saat tiba-tiba saja Jefri mengumpat. Sang bos pun lupa jika Agnia sudah berada di depannya. Jefri langsung meminta maaf dan fokus pada Agnia. Sejak tadi ia mencoba menghubungi Bianca—kekasihnya, tapi tak ada jawaban. Sejak semalam Bianca tak mau menerima telepon darinya karena marah akibat ia lupa menjemputnya.“Maaf, ada sesuatu yang membuat saya kesal. Bagaimana kondisi Leon?” tanya Jefri.“Sudah lebih baik, demam sudah turun.” Agnia menjelaskan.Agnia terdiam sesaat, Agra saja tidak peduli dengan Leon. Akan tetapi, Jefri terus saja bertanya dengan keadaan Leon. Apa itu yang di namakan ikatan batin pikir Agnia.“Syukurlah kalau begitu. Di sana siapa yang menjaga?”“Mamaku dan akan ada suster yang dulu merawat Leon.&