Langkah Arika pelan, seakan jiwanya belum kembali ke tubuh. Ia masuk kembali ke ruangan Rein hanya untuk satu hal—mengambil tasnya. Tapi bahkan itu terasa berat. Tangannya sempat bergetar saat meraih pegangan tas, seolah benda itu pun ikut menolak disentuh.Namun sebelum sempat ia berbalik, tangan Rein menyergap pergelangannya. Kencang. Dingin. Seperti jerat.“Mau ke mana lagi kamu?” Suaranya rendah tapi tajam. Tak perlu teriak untuk terasa mengancam.Arika tak menjawab.Rein mendekat, wajahnya hanya sejengkal darinya. “Mau pergi lagi? Atau mengejar Jay?”“Bukan urusanmu,” sahut Arika, datar namun penuh api.Genggaman Rein mengencang. “Apa kamu mau dihukum lagi, huh?”“Hukum saja. Bunuh sekalian. Aku sudah tidak peduli!”Kata-kata itu meledak seperti bara dilempar ke minyak. Tatapan mereka saling mencengkram dalam keheningan yang membakar. Tidak ada yang bicara, tapi amarah, luka, dan kegilaan menari di udara.Lalu—klik.Pintu terbuka.Seorang pria berseragam putih masuk dengan wajah
Masih di pagi yang sama, matahari menyusup pelan di antara celah tirai, membasuh kamar dengan cahaya hangat. Rein bersiap ke klinik. Memakai kemeja yang telah disiapkan Arika secara susah payah ditengah luka-lukanya. Dia duduk di sisi ranjang, menatap Arika yang masih berbaring dengan tubuh lemah namun tak lagi menolak. Tangan kekar namun halus itu mengusap kaki Arika dengan lembut. “Kau yakin tidak akan kembali ke klinik hari ini?” tanyanya pelan, seolah hanya memancing. Arika membuka mata, tak menghindar. “Nggak. Aku nggak mau, kalau kamu nggak keberatan.” Rein tersenyum tipis, tak membantah. “Baiklah, bila itu maumu. Tapi aku ingin memberitahu... hari ini Armelia punya jadwal kontrol. Giginya sakit.” Nama itu seketika menyalakan sesuatu dalam diri Arika. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit perlahan, mengabaikan perih yang masih terasa di tubuhnya. “Aku akan ke klinik.” Rein han
Dalam percumbuan malam itu, tubuh Arika tak lagi terasa seperti miliknya. Tangisnya jatuh, tanpa suara, menetes bersama luka-luka merah yang baru saja tercipta di kulitnya. Sabuk itu menyisakan jejak, bukan hanya pada dagingnya—tapi jauh lebih dalam, di tempat di mana rasa percaya pernah hidup. Namun Dokter Rein tidak berhenti. Bermain nikmat dengan tubuh Arika melalui sentuhan-sentuhannya. Baginya, setiap rintihan Arika adalah Puisi penaklukan. Setiap getar dan jerit bagai pengakuan atas kekuasaan yang ia genggam sepenuhnya. Tak ada ruang untuk pembangkangan dalam dunianya. Bahkan cinta pun, bila pernah ada, telah disalibkan oleh harga dirinya. Dia memuaskan hasratnya kepada tubuh Arika yang tak berdaya dalam kungkungannya. Berkali-kali seolah tak ada ampunan untuk hukumannya. Arika mengerang, bukan lagi sekadar karena sakit, melainkan karena dirinya perlahan memudar di bawah cengkeraman laki-laki itu. Tapi tubuhnya... tu
Pagi itu, klinik diselimuti aroma antiseptik dan suara detik jam dinding yang terdengar terlalu nyaring. Arika duduk di meja resepsionis menggantikan sementara suster yang sedang ke kamar mandi. Tubuhnya tampak biasa, tapi pikirannya masih tenggelam dalam sisa-sisa kata Rein malam sebelumnya. Seorang pasien wanita paruh baya menghampirinya, menanyakan soal jadwal pembersihan karang gigi. Arika tersenyum tipis, tapi bibirnya malah melontarkan kalimat yang membuat wanita itu terdiam: “Sudahkah Ibu berpikir kalau rasa sakit kadang perlu untuk tahu di mana titik lemahnya?” Wanita itu menatapnya aneh, mundur setengah langkah. Arika buru-buru membenarkan ucapannya, mencoba menggantinya dengan penjelasan jadwal, tapi keganjilan itu terlanjur menggantung di udara. "Oh...maaf...aku sedang teringat dialog drakor yang aku tonton. Untuk jadwalnya siang ini ya bu." jelasnya
Sebuah suara berderak terdengar dari balik pintu ruang istirahat. Arika langsung berdiri. “Dokter Rein?” tanyanya, meski hatinya berharap bukan. Tapi yang muncul bukan Rein—melainkan salah satu suster senior, Bu Edna. “Oh, kau di sini, sayang,” ucapnya ramah, membawa nampan kecil berisi teh hangat. “Kau pasti lelah. Hari pertama pasti selalu begitu.” Arika memaksakan senyum. “Iya… masih menyesuaikan.” Bu Edna menaruh teh di meja, lalu duduk di hadapannya. Matanya menatap lekat, tapi bukan dengan rasa ingin tahu—lebih seperti… rasa iba yang terselubung. “Dulu, aku juga pernah melihat mata seperti matamu,” katanya pelan. “Mata… seperti apa maksudnya?” Arika nyaris berbisik. “Mata yang sedang mencari dirinya sendiri... di tempat yang tak memberi jawaban.” Seketika ruangan terasa dingin. Arika hendak bertanya lebih lanjut, tapi Dokter Rein muncul di amba
Arika terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi leher dan dahinya. Matanya terbuka lebar menatap langit-langit kamar yang temaram. Dunia nyata terasa jauh, seolah ia masih tersangkut di dalam mimpi—mimpi yang tidak jelas, tapi menyisakan rasa sakit dan sesak.Ada suara... samar dan terputus-putus. Tawa anak-anak. Isakan. Teriakan. Lalu sunyi.Ia duduk perlahan. Tangannya gemetar. Dan saat matanya jatuh pada telapak tangannya sendiri, ia membeku.Kotor.Tangannya seperti habis mencengkeram tanah, atau debu... atau sesuatu yang lebih pekat. Tapi ia tidak ingat apa pun. Tidak ada luka, tidak ada rasa sakit—hanya kotoran samar yang lengket di sela-sela jarinya.Dengan langkah panik, Arika menuju kamar mandi. Lampu putih menyala terang dan memantulkan wajahnya di cermin.Dunia di sekelilingnya tampak nyata, tapi rasanya seperti lapisan tipis yang bisa sobek kapan saja. Udara pun terasa terlalu sunyi, terlalu bersih—tidak seperti di dalam mimpi itu.“Apa yang terjadi padaku…
Arika masih terus menggerutu dalam hati saat kakinya melangkah keluar rumah ibunya. Langit tampak kelabu, dan udara sore terasa lebih berat dari biasanya. Ia menyalakan mesin mobil dengan tangan sedikit gemetar—entah karena emosi atau karena perasaan tidak tenang yang masih membekas.Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya terus dipenuhi satu pertanyaan yang tak bisa ia abaikan: Apakah aku benar-benar sakit? Apakah aku punya gangguan mental?Ia tak sadar mobilnya berhenti di lampu merah. Sebuah klakson dari belakang membuyarkan lamunannya. Ia langsung menginjak gas saat lampu menyala hijau.Setibanya di rumah, pintu depan tidak dikunci. Arika masuk dengan langkah pelan, berharap Rein tidak terlalu memperhatikan raut wajahnya yang masih penuh dengan kemarahan yang ditahan.Di ruang tengah, Rein tengah memeriksa berkas-berkas—seperti biasa, ia sering membawa pekerjaan rumah dari klinik.Arika tidak berkata apa-apa. Ia melewati Rein begitu saja dan duduk di dapur sambil menuang air putih
"Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal seperti itu?" tanya ibunya lagi, kali ini suaranya sedikit bergetar. Tangannya refleks merapikan cangkir teh yang sejatinya sudah rapi. Bola matanya tampak menghindari tatapan Arika. "Aku ingin tahu, Ibu. Apa pernah ada... sesuatu yang berbeda dariku waktu kecil? Sesuatu yang membuat Ibu khawatir?" "Arika," Ibu menghela napas. "Kamu itu anak yang kuat. Bahkan setelah kehilangan keluargamu dulu, kamu nggak pernah menangis histeris seperti anak-anak lain. Kamu diam. Tenang. Tapi... kadang, terlalu tenang." Arika memiringkan kepala. “Terlalu tenang?” Ibunya menggenggam tangannya sendiri, seperti tengah menyembunyikan kegugupan. “Waktu kamu kecil, kamu pernah... menyayat boneka dengan pisau kecil yang kamu ambil dari dapur. Kamu bilang kamu ingin tahu bagaimana rasanya isi perut kalau dibuka. Aku pikir itu cuma rasa penasaran anak kecil—karena kamu juga nggak pernah melukai hewan atau orang lain.” Arika menahan napasnya. Ada denyut aneh di pe
"Arika...Arika...Aku tidak suka kehidupan yang lurus-lurus saja. Begitu juga dirimu. Jadi lupakan ide konyol mu itu." Dokter tersenyum penuh makna tersembunyi.Sejak saat itu, kata-kata Dokter Rein bahwa dirinya adalah seorang psikopat terus terngiang dalam benak Arika. Beberapa kali dia menampik itu sendiri. Perang batin pun dia alami. Membuat pikirannya terasa kacau dalam kebimbangan."Kenapa aku harus termakan ucapan psikopat itu? Aku masih punya perasaan. Aku menyayangi putriku, aku pernah jatuh cinta kepada Jay. Nggak ada yang salah dalam diriku. Iya itu benar. Aku normal." batin Arika."Tetapi lama-lama seperti ini bisa membuatku gila. Aku harus melakukan sesuatu. Tetapi apa?" pikir Arika mundar mandir di dalam kamar."Bila aku mencoba kabur sudah pasti aku dan putriku tidak akan selamat. Meminta bantuan Jay? Itu akan sia-sia, dia pasti akan tahu kalau aku menemui atau menghubungi Jay. Arrrgghhhh!!!!" Arika menarik rambutnya kebelakang dengan frustasi.****************"Aaahhhhh