Seorang wanita yang telah satu tahun menjanda menerima suntingan seorang Dokter tampan bereputasi baik bernama Dokter Reinhard. Dokter yang bersedia membantu untuk merebut kembali hak perwalian anak sang janda yang bernama Arika dari tangan mantan suaminya seorang Detektif handal di kotanya tinggal. Dari sebuah rahasia yang diungkap sang Dokter di awal, siapa yang menyangka bila Dokter bereputasi baik di masyarakat itu memiliki rahasia-rahasia lain yang sangat kelam yang akan membuat Arika seperti di penjara setelah menikah dengannya. Dengan tekanan dan ancaman mampukah Arika keluar dari tawanan sang Dokter? Apakah mantan suami Arika, Sang Detektif bisa mengetahui hal tersebut dan membantunya? Temukan kisah berdarah Arika dalam cerita ini.
View MoreSuatu sore di musim panas. Seperti kesepakatan beberapa hari yang lalu, Bibi Delvi, seorang wanita bertubuh gempal yang terkenal sebagai mak comblang di kota ini, membawa seorang wanita muda dengan anak balitanya ke sebuah restoran.
Wanita muda itu bernama Arika Maily atau biasa dipanggil Arika. Dia baru berumur tigapuluh dua tahun. Dan dia adalah seorang janda yang telah satu tahun bercerai dari suaminya.Bibi Delvi membawanya ke restoran tersebut untuk diperkenalkan kepada seorang pria yang menggunakan jasanya untuk mencari jodoh."Halo, gadis kecil!" sapa pria itu tersenyum lebar, berhadapan dengan balita cantik berkulit putih yang dipangku sang janda."Hua...!" serta merta balita itu menangis karena takut dengan orang yang baru dia temui."Maafkan aku! Anakku selalu takut orang baru," ungkap Arika sambil mencoba menenangka anaknya yang bernama Armelia yang kini berusia tiga tahun."Sini Arika, biar aku gendong Armelia agar kalian bebas mengobrol....Sini anak cantik ikut bibi!" ajak Bibi Delvi mengambil alih menggendong Armelia. Karena mengenal Bibi Delvi, tangis Armelia segera berhenti."Aku akan mengajaknya main. Nanti kamu jemput di rumahku ya." kata Bibi Delvi."Iya, terimakasih Bi Delvi." ucap Arika."Mari Pak Dokter!" pamit Bibi Delvi seraya tersenyum lalu pergi keluar restoran bersama putri Arika."Jadi kamu seorang dokter?" tanya wanita berkulit putih itu. Suaranya halus dan lembut."Iya. Apa Bibi Delvi nggak mengatakannya?" tanya pria itu."Belum," jawabnya seraya menunduk dan menyelipkan rambutnya di telinga."Baiklah, mari berkenalan!" Pria itu mengulurkan tangannya.Arika menjabat tangan pria itu. Tangannya terlihat gemetar karena gugup. Arika bisa merasakan kekar dan halusnya tangan ramping pria itu. Hangat, itu yang dia rasakan kemudian berbeda dengan tangannya yang pucat dan terasa dingin bagaikan es."Namaku Reinhard," ucap pria itu."Aku Arika," sahut mereka bergantian.Dokter Reinhard Wilson. Dia merupakan seorang Dokter gigi terkenal di kota ini. Selain karena ahli dalam profesinya, Dokter dengan senyum manis ini juga terkenal karena ketampanan dan juga kedermawanannya. Di klinik yang dia dirikan sendiri banyak pasien yang datang untuk berobat kepadanya."Maaf, tanganku basah. Aku berkeringat," ucap Arika yang baru menyadarinya setelah berpegangan dengan tangan Pria tampan itu."Nggak masalah. Aku mengerti kamu gugup," jawab Dokter Reinhard seraya tersenyum hangat.Semburat warna merah memenuhi wajah Arika. Dia terpesona, bukan hanya karena senyum di wajah tampannya tetapi juga karena sikap pengertian pria yang baru saja dikenalnya ini."Makanlah dulu," kata Dokter Reinhard menunjuk makanan yang telah tersaji di meja."Terimakasih," jawab Arika lalu mulai menyantap makanannya."Kamu tahukan aku mencari pasangan untuk menikah?" tanya Dokter Reinhard di sela makannya."Iya. Bibi Delvi sudah mengatakan soal itu," jawab Arika"Bagus. Jadi aku bukan mencari wanita untuk bersenang-senang saja. Tetapi yang mau menjalani hidup bersamaku selamanya," ungkap Dokter itu terdengar serius.Arika hanya mengangguk."Bagaimana kalau selesai makan kita membicarakan detail pernikahan di rumahku? Apa kamu bersedia?" Dokter Reinhard menanyakan pendapat Arika untuk rencanya tersebut."Iya, saya bersedia," jawab Arika dengan yakin.Hari mulai malam. Sesuai kesepakatan mereka, selesai makan Dokter Reinhard membawa Arika ke rumahnya.Sebuah rumah besar dan mewah di kawasan elite di kota ini. Mobil Dokter Rein berhenti di depan rumahnya.Dengan elegant Dokter Rein keluar dari mobil dan berlari kecil mengitari depan mobilnya untuk kemudian membukakan pintu mobil untuk Arika. Sebuah sikap sederhana namun begitu menyentuh untuk Arika.Arika memasuki rumah besar itu. Dia menatap sekeliling ruangan besar dimana dia duduk saat ini. Ruangan bergaya klasik dengan interior serba kayu berwarna coklat muda."Aku terlalu sibuk mengejar karirku sampai aku sadar umurku sudah nggak muda lagi," terang Dokter Rein seraya menaruh cangkir teh di meja tamu. Kemudian dia pun duduk di sofa single bersebrangan dengan Arika."Tetapi melihat wajah anda, anda nggak keliatan tua," sahut Arika begitu jujur."Benarkah?" Dokter Rein setengah tersenyum. "Kalau kamu, berapa umurmu?" tanya Dokter yang biasa dipanggil Dokter Rein itu."Aku tigapuluh dua tahun," jawab Arika malu-malu dalam wajah tertunduknya."Aku jadi malu, aku lebih tua sembilan tahun darimu. Ternyata aku setua ini," sahut Dokter Reinhard"Itu nggak benar, anda masih muda dengan raga anda."Sergah Arika."Benarkah?" sahut Dokter Rein tersipu.Arika menganggukkan kepalanya."Itu bukan sanjungan di depan ku saja, kan?" gurau Dokter Rein."Nggak Dokter. Itu memang kenyataannya. Anda masih sangat muda dan tampan di usia anda ini. Saya yang malu, karena saya mungkin terlihat tua. Karena saya sudah ibu-ibu,""Kamu juga terlihat muda dan cantik," Dokter Rein mengatakan dengan penekanan penuh makna ketika mengucapkan kata cantiknya."Wajah dan tubuhmu mempesona diriku," batin Dokter Rein sambil matanya memandang Arika dari atas sampai bawah."Nggak akan ada yang menyangka kalau ternyata kamu sudah memiliki anak. Kamu terlihat seperti gadis," sambung Dokter Rein."Terimakasih Dokter Rein, untuk pujiannya.""Aku tidak melebihkan Arika, ini sungguhan." Mereka berdua tersenyum."Dokter Reinhard,""Panggil saja Dokter Rein." sela Dokter Rein."Dokter Rein, tentang rencana pernikahan, anda tahu kalau saya ini janda dan memiliki anak. Apakah anda tidak keberatan dengan itu?" tanya Arika."Dari awal Bibi Delvi menawarkan dirimu, dia sudah menceritakan tentang statusmu. Dan aku tidak keberatan untuk hal itu hingga sekarang kita bisa sampai di sini." jawab Dokter Rein. Arika mengangguk."Dokter ini kelihatannya serius dengan pernikahan nya." inner Arika.Percakapan itu terhenti di sana. Hening, itu yang mereka rasakan untuk sesaat ditengah kecanggungan itu.Dalam diam, mata Arika menjelajah setiap sudut ruangan,"Jadi anda seorang dokter gigi?" tanya Arika memecah keheningan diantara mereka, setelah melihat beberapa pajangan dari susunan gigi yang berada di dalam bingkai.Hasil karya seni berupa susunan gigi yang berbentuk bunga, kuda dan ikan yang tersusun rapih di dalam pigura-nya masing-masing."Iya," jawab Dokter singkat menoleh ke belakang, ke arah hasil karya yang dibuatnya sendiri."Apa itu gigi asli?" tanya Arika penasaran.Dokter itu tersenyum misterius sebelum menjawab."Iya, itu gigi cabutan dari beberapa pasien ku yang masih terlihat bagus." jelas Dokter Reinhard mengkaitkan jari-jarinya."Oh...," jawab Arika terkagum."Anda yang membuatnya sendiri?" tanya Arika terdengar penasaran."Iya. Disela waktu senggangku. Masih ada beberapa karya yang belum aku selesaikan. Aku masih mencari gigi-gigi yang cocok," jawab Dokter Rein kembali dengan penekanan pada kata gigi-gigi, namun kali ini terdengar misterius.Hingga Arika bisa merasakan bulu kuduknya meremang tatkala Dokter itu berbicara."Ada yang ingin aku tanyakan sebelum kamu memutuskan untuk menerima atau menolakku," Dokter itu dengan cepat berpindah duduk ke sebelah Arika.Dokter Rein, dengan wajah penuh teka teki bergeser perlahan mendekati Arika. Arika mulai merasa janggal dan takut. Atmosfer diantara mereka mulai berubah, terisi arus antisipasi yang meluap.Arika memundurkan tubuhnya untuk tetap menjaga jarak. Tubuhnya menegang dikuasi oleh ketakutannya. Dia tidak lagi berani menatap wajah Dokter Rein. Sementara jari lentik nya mengepal kain rok nya dengan kencang."A-apa yang mau Dokter katakan?"****************Rein berjalan mendekat, membawa dua cangkir teh hangat. Uapnya menari lembut di bawah cahaya lampu gantung yang kekuningan. Arika menerimanya tanpa banyak bicara, lalu duduk bersisian di sofa ruang tengah.Hangat. Hening. Nyaman.Namun di dalam hatinya, sebuah pertanyaan perlahan muncul ke permukaan.Kenapa Rein bisa berubah? Kenapa hari ini terasa berbeda?Apa yang membuatnya seperti ini—manusiawi, ramah, hampir… lembut?Tapi Arika tidak mengatakannya.Ia hanya menatap uap dari tehnya, membiarkan pertanyaan itu tenggelam perlahan dalam diam.Ia takut jika kata-kata itu keluar, semuanya akan berubah kembali.Dia ingin menikmati malam ini saja. Walau hanya sebentar. Walau hanya semalam.“Aku senang hari ini,” gumam Arika akhirnya, lebih kepada dirinya sendiri.Rein melirik ke arahnya, senyum tipis terbit di wajahnya. “Aku juga,” balasnya pelan.Mereka terdiam lagi. Tapi keheningan kali
Tiba-tiba pikiran Arika mengingat ucapan Rein barusan yang masih menggema di kepala Arika. Sebuah kalimat yang mungkin tidak terkesan ada keanehan :"Itu bukan dia. Pria itu masih hidup setidaknya sekarang. Dan entah apa dia akan melapor atau tidak."Arika seperti menangkap sebuah clue, 'setidaknya sekarang'. Kata-kata itu terlalu ambigu. Terlalu berbahaya dan mengandung makna.Arika menyingkap selimut dan bangkit dari tempat tidur. Jantungnya berdegup keras saat kakinya menyentuh lantai. Ia melangkah cepat menuju pintu, lalu menuruni tangga satu per satu, menuju ruang yang paling tak ingin ia lihat pagi ini—ruang bawah tanah.Langkah Rein terdengar tak jauh di belakang, namun alih-alih cemas, ia terdengar... ringan. Seolah sedang mengamati anak kecil yang penasaran."Masih penasaran?" suaranya lembut, seperti sedang menggodanya.Arika tak menggubris. Dia menuruni tangga ke ruang bawah tanah sementara Rein tetap menanti di atas. Tangan Arika gemetar saat membuka pintu ruang bawah tana
Suara hujan tak berhenti. Menit-menit terus berlalu, tapi halaman laporan masih kosong. Jay menatap layar komputer yang redup. Pantulan bayangannya sendiri muncul samar. Ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri lagi. "Sejak kapan aku jadi seperti ini?" Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Bukan karena marah—tapi karena tak berdaya. Ia tahu prosedur. Ia tahu cara menyelidiki luka, membaca tanda-tanda kekerasan, mengejar kebenaran. Tapi malam ini, semua ilmunya lumpuh di hadapan satu tatapan mata. Tatapan Arika. Tatapan yang menyimpan seribu jeritan yang tak diucapkan. Tatapan yang dulu mengenalnya, kini nyaris tak bisa menatap balik. Tatapan yang terasa... minta tolong. 🎶 Jika kau merasa sepi… kembalilah ke tempat ku menanti… Lagu For Revenge-Serana mengalun. Dengan lirik yang senada dengan perasaan Jay malam ini. Jay memejamkan mata. "Apa kau bahagia, Ka?" "Apa kau aman…?" Pertanyaan-pertanyaan itu menggema, tak pernah terjawab. Dan sialnya, dia tah
Langkah Arika pelan, seakan jiwanya belum kembali ke tubuh. Ia masuk kembali ke ruangan Rein hanya untuk satu hal—mengambil tasnya. Tapi bahkan itu terasa berat. Tangannya sempat bergetar saat meraih pegangan tas, seolah benda itu pun ikut menolak disentuh.Namun sebelum sempat ia berbalik, tangan Rein menyergap pergelangannya. Kencang. Dingin. Seperti jerat.“Mau ke mana lagi kamu?” Suaranya rendah tapi tajam. Tak perlu teriak untuk terasa mengancam.Arika tak menjawab.Rein mendekat, wajahnya hanya sejengkal darinya. “Mau pergi lagi? Atau mengejar Jay?”“Bukan urusanmu,” sahut Arika, datar namun penuh api.Genggaman Rein mengencang. “Apa kamu mau dihukum lagi, huh?”“Hukum saja. Bunuh sekalian. Aku sudah tidak peduli!”Kata-kata itu meledak seperti bara dilempar ke minyak. Tatapan mereka saling mencengkram dalam keheningan yang membakar. Tidak ada yang bicara, tapi amarah, luka, dan kegilaan menari di udara.Lalu—klik.Pintu terbuka.Seorang pria berseragam putih masuk dengan wajah
Masih di pagi yang sama, matahari menyusup pelan di antara celah tirai, membasuh kamar dengan cahaya hangat. Rein bersiap ke klinik. Memakai kemeja yang telah disiapkan Arika secara susah payah ditengah luka-lukanya. Dia duduk di sisi ranjang, menatap Arika yang masih berbaring dengan tubuh lemah namun tak lagi menolak. Tangan kekar namun halus itu mengusap kaki Arika dengan lembut. “Kau yakin tidak akan kembali ke klinik hari ini?” tanyanya pelan, seolah hanya memancing. Arika membuka mata, tak menghindar. “Nggak. Aku nggak mau, kalau kamu nggak keberatan.” Rein tersenyum tipis, tak membantah. “Baiklah, bila itu maumu. Tapi aku ingin memberitahu... hari ini Armelia punya jadwal kontrol. Giginya sakit.” Nama itu seketika menyalakan sesuatu dalam diri Arika. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit perlahan, mengabaikan perih yang masih terasa di tubuhnya. “Aku akan ke klinik.” Rein han
Dalam percumbuan malam itu, tubuh Arika tak lagi terasa seperti miliknya. Tangisnya jatuh, tanpa suara, menetes bersama luka-luka merah yang baru saja tercipta di kulitnya. Sabuk itu menyisakan jejak, bukan hanya pada dagingnya—tapi jauh lebih dalam, di tempat di mana rasa percaya pernah hidup. Namun Dokter Rein tidak berhenti. Bermain nikmat dengan tubuh Arika melalui sentuhan-sentuhannya. Baginya, setiap rintihan Arika adalah Puisi penaklukan. Setiap getar dan jerit bagai pengakuan atas kekuasaan yang ia genggam sepenuhnya. Tak ada ruang untuk pembangkangan dalam dunianya. Bahkan cinta pun, bila pernah ada, telah disalibkan oleh harga dirinya. Dia memuaskan hasratnya kepada tubuh Arika yang tak berdaya dalam kungkungannya. Berkali-kali seolah tak ada ampunan untuk hukumannya. Arika mengerang, bukan lagi sekadar karena sakit, melainkan karena dirinya perlahan memudar di bawah cengkeraman laki-laki itu. Tapi tubuhnya... tu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments