"Sumpah ya kalo dalam sehari ini gagal kawin kedua kalinya, enggak pake kawin-kawinan aja. Jadi perawan tua juga enggak masalah. Hidupku udah game over." °°°~°°° Bagaimana rasanya saat pernikahanmu batal di hari H? Kenyataan jika calon suami mu tiba-tiba hilang ditelan bumi tanpa jejak. Ririn Haryani, wanita yang mengaku sebagai independen women harus mengalami hal itu. Disaat darurat, datang seorang pahlawan kesiangan dengan sejuta kekonyolan yang membuat dia ragu akan kata 'nikah'. Bagaimana kisah pernikahan Ririn? Batalkah atau pahlawan kesiangannya benar-benar serius untuk menikahinya?
View More“Buk, buk...,” Ayah berusaha menyadarkan ibu dengan menepuk pelan pipi kirinya yang gembul. Jika ibu sudah sadar, Ayah pasti kena omelan maut dari ibu karena sudah menyentuh dempul mahalnya. “Bangun, buk.”
“Pak...,” suara lirih ibu dengan mata yang masih terpejam. Genggaman tangan Ayah semakin erat kala ibu terisak pilu, “piye Iki anakmu, Pak? (Bagaimana anak kamu ini, Pak?)” “Wes, Buk (Sudah, Buk),” Ayah mencoba menenangkan ibu yang masih terkulai di sofa. Beberapa orang yang rewang di rumah membuatkan teh hangat dan menggosokkan minyak kayu putih di dada ibu. Iya, ibu syok saat tahu calon suamiku tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi di hari H pernikahanku. “Piye kuadene iki (Bagaimana resepsinya ini)?” Ibu masih meratapi kegagalanku menikah. “Enggak sanggup aku mikir semuanya, Pak,” “Enggak usah dipikir. Ibu yang tenang,” ucap Ayah mencoba menenangkan kepanikan ibu. Bagaimanapun, tidak ada orangtua manapun yang tidak sedih jika anaknya gagal menikah tepat di hari bahagianya, dan orang itu adalah aku. Aku, Ririn Haryani yang harus gagal menikah karena calon pengantin pria tiba-tiba saja tidak datang dan menghilang bak ditelan bumi bulat-bulat. “Biar Rin yang bayar, Buk,” sambarku yang merasa risih mendengar ibu menggerutu biaya pernikahanku terbuang cuma-cuma. “Ora isok (Enggak bisa)!” “Eh, kamu tahu berapa juta ibu sewa kuade sama teropnya? Tabungan kamu berapa sampe mau bayarin semua?” kelakar Ibu kesal padaku, dia memijat pelipisnya kasar dan menatapku dengan tajam. “Makanya, ibu sudah bilang. Jangan pacaran sama dia. Dia itu blangsat,” cercah Ibu yang mulai mengungkit ketidaksukaannya pada Riko, mantan calon pengantinku itu. “Mana Rin tau kalo jadi gini, Bu? Rin kan mikirnya cinta,” belaku yang tak percaya aku masih membelanya sampai begini, padahal dia sedang menyakiti dan mempermalukanku. Apa sih yang aku pikirin ini? "Makanya kalo dibilangin itu, didengar, diturut toh Rin," Ibu terisak lagi dipelukan Ayah. Alhasil, para orang yang ada di dalam maupun di luar rumah berkumpul melihat kami bertiga. "Ibu nyewa semuanya itu seng apik-apik (yang bagus-bagus)." "Rin masih bisa bayar itu semua, Buk," kataku yang mencoba mempertahankan harga diriku dari amarah dan sedih bercampur aduk. Betapa teganya Riko kepadaku sampai segininya? Aku pikir, beberapa hari sebelum hari H pernikahan kami, dia baik-baik saja, tidak ada gelagat aneh yang mengarah menghilang tak bertanggungjawab begini. "Huuuu..." Aku menghela napas, mengeluarkan udara dalam rongga dadaku yang rasanya nyesak seperti ini. Emang Riko cowok gila, bukan tapi stres dia. Aku berkorban banyak demi dia, tapi nyata seperti ini. Aku harus menahan sesak karena kebaya putih akadku ini biar kelihatan jadi wanita paling cantik berbahagia hari ini. Nyatanya apa? Zonk. "Pokoknya mulai besok, ibu enggak mau keluar rumah," ancam Ibu "Enggak bisa gitu dong, Buk, sungutku mendengar ancaman ibu yang enggak masuk akal buatku. "Terus siapa yang masak nanti?" "Ya kamulah," jawab ibu seneweng. Ayah hanya diam saja mendengar pertengkaranku dengan Ibu, mungkin sudah lelah menghadapi dua wanita yang sama keras kepalanya seperti kami berdua ini. "Sudah, Ibu yang tenang dulu," kata Ayah mencoba menengahi kami akhirnya. "Kita pikirkan lagi gimana ini nanti, Buk." "Gimana ini nanti? Ya batal nikah, Pak," cicit Ibu melirikku pedas. Aku kembali menghela napas lelah dengan masalah ini, rasanya tubuhku sudah tak ada energi lagi untuk hidup. "Sudah dong, Buk. Rin aslinya juga bingung," keluhku terus terang akhirnya, ini bukan masalah mau nangis batalnya pernikahanku tapi pusingnya menghadapi omelan ibu yang pedas banget buat didengar ini. "Makanya, kalo cari calon suami itu yang bener, diliat pake mata itu," omel ibu sambil menunjuk matanya sendiri dengan berapi-api. "Calon suami item (hitam) kayak arang blangsat gitu kok mau. Dikasih pelet apa sih emang kamu sama dia?" sembur ibu lagi lebih ganas. "Apa sih, Buk?" "Apa sih, buk. apasih, buk aja mulu," cibir Ibu padaku. "Cari calon suami itu yang bia memperbaiki keturunan hidung pesekmu itu. Cari yang putih ganteng, status jelas," lanjutnya lagi yang membuatku mencebik kesal mendengar omelan ibu yang tidak ada habisnya. Aku yakin, Ibu pasti akan mengungkit masalah ini beberapa tahun ke depan kalau lagi-lagi aku buat kesalahan yang sama kayak sekarang ini. "Ya mana Rin tau kalo dia bakal kayak gini, Buk," sanggahku cemberut, "lagian waktu pacaran kita baik-baik saja dan dia enggak ada tanda-tanda blangsat," "Halah," "Buk, seng tenang. Ingat tensimu, Buk " Ayah mencoba menengahi lagi keributan yang dimulai ibu. "Kamu..." "Mbak," Ilham berdiri di depanku dengan napas ngos-ngosan, beberapa peluh menetes dari anak rambut kepalanya, meluncur halus melewati wajahnya. "Waduh, gawat." "Gawat kenapa?" "Calon suamimu emang minggat (pergi/kabur)," katanya setelah mengatur napasnya teratur. "Lo udah bener ngecek rumahnya?" "Ya elah, siapa yang ngirim alamat rumahnya tadi di WA? Dedemit? Kuntilanak?" katanya tak percaya dengan apa yang aku pertanyakan. Apa semua orang tidak tahu jika aku mencoba denial untuk masalah ini. Bukan hanya ibu, aku juga sebenarnya tak sanggup menghadap omongan tetangga karena aku batal nikah. "Beneran rumahnya sepi, enggak ada tanda-tanda ada acara gawean sama sekali," setiap kata yang meluncur dari mulut Ilham meluruhkan keteguhan hatiku sedari tadi. Pada akhirnya aku ikut tumbang, aku menangisi nasibku yang batal nikah. "Aduh, jangan nangis!" Ilham langsung merengkuhku untuk duduk di kursi plastik terop, menyandarkan kepala pada perut ratanya. Lemas dan bingung. Hanya itu yang aku rasakan. "Sekarang tenang," kata Ayah melihatku dan Ibu yang terdiam. "Kita pikirkan pelan-pelan dengan kepala tenang," katanya lagi. Ilham hanya diam sambil menepuk pelan kepalaku dengan lembut, menenangkan tapi tidak mengurangi rasa sedihku bercampur aduk. Apa ini sudah berakhir? Apa begini nasibku? Aku jadi perawan tua sekarang? Gimana aku?Liat hujan di pagi hari dengan kasur tidur yang asing itu agak gimana, ya? Aneh aja begitu tapi tetap syahdu sih. Apalagi harus terbiasa dengan orang lain yang tidur di sebelah kamu, tangannya aktif banget sentuh sana sini. Geli? Iya. Apalagi risih? Iya banget. Tapi mau gimana lagi, ini yang ngelakuin suami sendiri. "Udah bangun 'kan?" Tanya Ilham yang terdengar serak sekali di telinga kiriku, dan jangan lupakan tangan aktifnya yang sudah melingkar erat pada pinggangku. Eits, jangan lupa jemarinya yang aktif mengusap perutku ini. Ilham mengecup sisi kepalaku, dan menyadarkan kepalanya pada kepala ranjang besar miliknya. "Aku kemarin pengen banget jajan ke pasar," kataku yang masih menatap hujan di pagi hari, bukannya reda malah tambah deras. Behhh, syahdu banget ditambah bikin badan ini malas bergerak. Tidur cantik di atas kasur aja rasanya. "Mau pergi sekarang?" "Hujan," "Pake mobil, aku keluarin mobilnya," katanya yang menatapku lekat. Aku menggeleng pelan dan membalas t
Acara unduh mantun di rumah Ilham dilaksanakan dua Minggu setelah pernikahan mendadak kami. Tentu saja, surat-surat pernikahan kami yang diurus secara express oleh Ilham juga hampir selesai. Jadi, kita secara sah dan resmi menjadi suami istri. Cieelahhh... sold out juga sih aku. Hmmm.... Unduh mantu di rumah Ilham dilakukan secara siap, padahal pernikahan kami dilakukan secara mendadak banget. Beberapa jam sebelum ijab kabul. Tapi, tak kusangka keluarga Ilham menyiapkan acara unduh mantu untukku dengan baik. "Kamu mau jajan apa?" tanya Oma yang duduk di ambang pintu kamar yang digunakan untuk menyimpan jajanan seserahan unduh mantu dari orangtuaku dan juga beberapa kerabat keluarga Ilham yang datang. "Apa aja sih, Oma," jawabku yang duduk di sebelah Oma setelah menemani Mamah Anna, mertuaku menemui para tamu yang datang. "Oma ambilkan buat kamu makan di dalam kamar," katanya yang memasukkan beberapa jajanan me dalam kardus berwarna cokelat. "Kalo lapar, minta budhe-budhe
Apa katanya? Penyemburan jampi-jampi bermodal Al Fatihah doang bisa buat aku sadar? Sadar apaan? Dari bau jigong dia, pake dikumur-kumur dulu baru disemburin ke wajahku. Iya, langsung ke wajahku. Ehh, inget kejadian itu, pengen banget aku pijek-pijek Ilham. Alhasil, aku ngondok ke dia selama dua hari. Aku childish? Enggak, mana ada yang enggak ngondok disembur air kumuran mulut, bau banget lagi. Kalau sampe besok ada berita koran keluar judulnya 'Nikah sehari, istri memutilasi suami karena semburan jigong' itu adalah aku. Iya, itu aku sangking keselnya sama Ilham. Aku dengan senyum sendiri dikata kesurupan. Mana ada kesurupan modelan aku begini? Enggak level banget dong. Dan setelah seminggu saling ngodok. Bukan, tapi cuman aku doang yang ngondok, enggak mau ngomong sama Ilham. Dia malah enggak ngerasa banget kalo istrinya lagi ngambek, entah kurang peka atau enggak mau tau aja. "Aygong," Aku diam saja mendengar panggilannya, menatap Ilham yang duduk diam di atas kas
Badanku rasanya sakit semua setelah acara unboxing Ilham, rasa kantuk kalah telak dengan demo perutku yang berteriak minta diisi. "Aduh," keluhku akan rasa pegal pada pinggangku. "Ham," "Hmm, lima menit lagi," rancaunya yang malah makin lelap dengan posisi tengkurap, mengekspos punggung liatnya hasil dari olahraga. Kesal. Aku memukul punggungnya itu, "Enggak mau sarapan," Hening. Yang ada malah suara ngoroknya yang makin menjadi. "Ya udah. Aku keluar sendirian," aslinya pengen gitu dia bangun terus ngebujuk manja aku yang lagi merajuk. Tapi, zonk. Ilham makin nyenyak tidurnya. Mendengus kesal, aku memilih meninggalkannya dan mengisi perutku yang emang sejak kemarin pagi belum keisi dengan benar. Salahkan aja si Riko. Emang dia dalangnya yang ngebuat aku kayak orang mau sekarat aja kemarin. Saat berada di dapur, sudah ada Budhe Ja yang sedang menghangatkan rawon sisa kemarin dan nasi yang sudah matang di dalam magic com. "Pengantin baru itu bangunnya enggak sepagi i
"Kenapa Ibu percaya omongannya Ilham sih?" Aku tidak nyaman duduk di kursi riasku yang ada di dalam kamar. Ibu dan beberapa saudara perempuan ibu juga ikut di dalam kamarku, rasanya pengap asli. "Kenapa emang?" balik Ibu bertanya dengan nada ketusnya yang masih belum runtuh. Ibu terus mengawasiku setelah Ilham pulang ke rumahnya untuk bersiap menikah. "Apa masalahmu?" "Buk, Ilham itu sengklek. Ibu tau bedanya bercanda sama serius enggak sih?" tanyaku nelangsa. Pesimis aku dengan jawaban Ilham, mana mungkin Ilham sudi menikah mendadak kayak gini. Lagian, Ilham juga banyak bercandanya dari seriusnya. Enggak mungkin dia serius perkara begini juga. Ilham itu dari dulu paling seneng pacaran sama cewek bau kencur dan sekarang mau nikahi dia? kayak bukan Ilham saja ini. "Kowe iku dinikahi kok enggak ada roso syukur e?" sungut ibu kesal dengan perasaan pesimisku akan tindakan gegabah Ilham. "Bersyukur enggak jadi perawan tua," "Buk, Rin itu masih muda, enggak tua-tua banget," be
"Gimana nasib'e anakmu, Pak?" keluh Ibu yang masih meringis kesal aku gagal nikah. "Anakmu iku jan mesti ruwat (Anak kamu itu memang harus diruwat)," lanjut Ibu yang mengelus dadanya, omelannya masih berlanjut sampai sekarang. Kalo udah batal nikah, ya udah. Aku harus gimana lagi? Bawa Riko paksa juga percuma. Batang hidungnya aja enggak kelihatan. "Ibu ini ngomong opo toh? Wes seng tenang," Ayah mulai kesal dengan keluh kesah Ibu yang tiada habisnya. Harusnya ibu juga ngertiin perasaan Rin, yang paling sakit dengan kejadian ini tuh aku. Aku, si pengantin wanita. "Anak wadonmu iku dadi perawan tua, Pak (Anak perempuan kamu itu sudah jadi perawan tua, Pak)," ujar Ibu yang akhirnya diam karena satu sentakan Ayah, menasehati ibu untuk tidak mengucapkan 'perawan tua' padaku. Tapi, kayaknya emang aku ditakdirkan buat jadi perawan tua sih. Gatot Mulu kalau masalah percintaan gini. "Budeh itu yang sabar," ujar Ilham yang sok bener aja ngomongnya, "Ilham bantuin cari calon mant
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments