Pernikahan Dadakan dengan Sahabatku

Pernikahan Dadakan dengan Sahabatku

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-05-06
Oleh:  IamEsthe Baru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
3Bab
9Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

"Sumpah ya kalo dalam sehari ini gagal kawin kedua kalinya, enggak pake kawin-kawinan aja. Jadi perawan tua juga enggak masalah. Hidupku udah game over." °°°~°°° Bagaimana rasanya saat pernikahanmu batal di hari H? Kenyataan jika calon suami mu tiba-tiba hilang ditelan bumi tanpa jejak. Ririn Haryani, wanita yang mengaku sebagai independen women harus mengalami hal itu. Disaat darurat, datang seorang pahlawan kesiangan dengan sejuta kekonyolan yang membuat dia ragu akan kata 'nikah'. Bagaimana kisah pernikahan Ririn? Batalkah atau pahlawan kesiangannya benar-benar serius untuk menikahinya?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1

“Buk, buk...,” Ayah berusaha menyadarkan ibu dengan menepuk pelan pipi kirinya yang gembul. Jika ibu sudah sadar, Ayah pasti kena omelan maut dari ibu karena sudah menyentuh dempul mahalnya. “Bangun, buk.”

“Pak...,” suara lirih ibu dengan mata yang masih terpejam. Genggaman tangan Ayah semakin erat kala ibu terisak pilu, “piye Iki anakmu, Pak? (Bagaimana anak kamu ini, Pak?)”

“Wes, Buk (Sudah, Buk),” Ayah mencoba menenangkan ibu yang masih terkulai di sofa. Beberapa orang yang rewang di rumah membuatkan teh hangat dan menggosokkan minyak kayu putih di dada ibu.

Iya, ibu syok saat tahu calon suamiku tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi di hari H pernikahanku.

“Piye kuadene iki (Bagaimana resepsinya ini)?” Ibu masih meratapi kegagalanku menikah. “Enggak sanggup aku mikir semuanya, Pak,”

“Enggak usah dipikir. Ibu yang tenang,” ucap Ayah mencoba menenangkan kepanikan ibu. Bagaimanapun, tidak ada orangtua manapun yang tidak sedih jika anaknya gagal menikah tepat di hari bahagianya, dan orang itu adalah aku. Aku, Ririn Haryani yang harus gagal menikah karena calon pengantin pria tiba-tiba saja tidak datang dan menghilang bak ditelan bumi bulat-bulat.

“Biar Rin yang bayar, Buk,” sambarku yang merasa risih mendengar ibu menggerutu biaya pernikahanku terbuang cuma-cuma.

“Ora isok (Enggak bisa)!”

“Eh, kamu tahu berapa juta ibu sewa kuade sama teropnya? Tabungan kamu berapa sampe mau bayarin semua?” kelakar Ibu kesal padaku, dia memijat pelipisnya kasar dan menatapku dengan tajam.

“Makanya, ibu sudah bilang. Jangan pacaran sama dia. Dia itu blangsat,” cercah Ibu yang mulai mengungkit ketidaksukaannya pada Riko, mantan calon pengantinku itu.

“Mana Rin tau kalo jadi gini, Bu? Rin kan mikirnya cinta,” belaku yang  tak percaya aku masih membelanya sampai begini, padahal dia sedang menyakiti dan mempermalukanku. Apa sih yang aku pikirin ini?

"Makanya kalo dibilangin itu, didengar, diturut toh Rin," Ibu terisak lagi dipelukan Ayah. Alhasil, para orang yang ada di dalam maupun di luar rumah berkumpul melihat kami bertiga. "Ibu nyewa semuanya itu seng apik-apik (yang bagus-bagus)."

"Rin masih bisa bayar itu semua, Buk," kataku yang mencoba mempertahankan harga diriku dari amarah dan sedih bercampur aduk. Betapa teganya Riko kepadaku sampai segininya? Aku pikir, beberapa hari sebelum hari H pernikahan kami, dia baik-baik saja, tidak ada gelagat aneh yang mengarah menghilang tak bertanggungjawab begini.

"Huuuu..." Aku menghela napas, mengeluarkan udara dalam rongga dadaku yang rasanya nyesak seperti ini. Emang Riko cowok gila, bukan tapi stres dia. Aku berkorban banyak demi dia, tapi nyata seperti ini. Aku harus menahan sesak karena kebaya putih akadku ini biar kelihatan jadi wanita paling cantik berbahagia hari ini. Nyatanya apa?

Zonk.

"Pokoknya mulai besok, ibu enggak mau keluar rumah," ancam Ibu

 "Enggak bisa gitu dong, Buk, sungutku mendengar ancaman ibu yang enggak masuk akal buatku. "Terus siapa yang masak nanti?"

"Ya kamulah," jawab ibu seneweng. Ayah hanya diam saja mendengar pertengkaranku dengan Ibu, mungkin sudah lelah menghadapi dua wanita yang sama keras kepalanya seperti kami berdua ini.

"Sudah, Ibu yang tenang dulu," kata Ayah mencoba menengahi kami akhirnya. "Kita pikirkan lagi gimana ini nanti, Buk."

"Gimana ini nanti? Ya batal nikah, Pak," cicit Ibu melirikku pedas. Aku kembali menghela napas lelah dengan masalah ini, rasanya tubuhku sudah tak ada energi lagi untuk hidup.

"Sudah dong, Buk. Rin aslinya juga bingung," keluhku terus terang akhirnya, ini bukan masalah mau nangis batalnya pernikahanku tapi pusingnya menghadapi omelan ibu yang pedas banget buat didengar ini.

"Makanya, kalo cari calon suami itu yang bener, diliat pake mata itu," omel ibu sambil menunjuk matanya sendiri dengan berapi-api.

"Calon suami item (hitam) kayak arang blangsat gitu kok mau. Dikasih pelet apa sih emang kamu sama dia?" sembur ibu lagi lebih ganas.

"Apa sih, Buk?"

"Apa sih, buk. apasih, buk aja mulu," cibir Ibu padaku. "Cari calon suami itu yang bia memperbaiki keturunan hidung pesekmu itu. Cari yang putih ganteng, status jelas," lanjutnya lagi yang membuatku mencebik kesal mendengar omelan ibu yang tidak ada habisnya. Aku yakin, Ibu pasti akan mengungkit masalah ini beberapa tahun ke depan kalau lagi-lagi aku buat kesalahan yang sama kayak sekarang ini.

"Ya mana Rin tau kalo dia bakal kayak gini, Buk," sanggahku cemberut, "lagian waktu pacaran kita baik-baik saja dan dia enggak ada tanda-tanda blangsat,"

"Halah,"

"Buk, seng tenang. Ingat tensimu, Buk " Ayah mencoba menengahi lagi keributan yang dimulai ibu.

"Kamu..."

"Mbak," Ilham berdiri di depanku dengan napas ngos-ngosan, beberapa peluh menetes dari anak rambut kepalanya, meluncur halus melewati wajahnya. "Waduh, gawat."

"Gawat kenapa?"

"Calon suamimu emang minggat (pergi/kabur)," katanya setelah mengatur napasnya teratur.

"Lo udah bener ngecek rumahnya?"

"Ya elah, siapa yang ngirim alamat rumahnya tadi di WA? Dedemit? Kuntilanak?" katanya tak percaya dengan apa yang aku pertanyakan.

Apa semua orang tidak tahu jika aku mencoba denial untuk masalah ini. Bukan hanya ibu, aku juga sebenarnya tak sanggup menghadap omongan tetangga karena aku batal nikah.

"Beneran rumahnya sepi, enggak ada tanda-tanda ada acara gawean sama sekali," setiap kata yang meluncur dari mulut Ilham meluruhkan keteguhan hatiku sedari tadi. Pada akhirnya aku ikut tumbang, aku menangisi nasibku yang batal nikah.

"Aduh, jangan nangis!" Ilham langsung merengkuhku untuk duduk di kursi plastik terop, menyandarkan kepala pada perut ratanya.

Lemas dan bingung. Hanya itu yang aku rasakan.

"Sekarang tenang," kata Ayah melihatku dan Ibu yang terdiam. "Kita pikirkan pelan-pelan dengan kepala tenang," katanya lagi.

Ilham hanya diam sambil menepuk pelan kepalaku dengan lembut, menenangkan tapi tidak mengurangi rasa sedihku bercampur aduk.

Apa ini sudah berakhir?

Apa begini nasibku?

Aku jadi perawan tua sekarang?

Gimana aku?

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
3 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status