Share

5

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-01-22 21:34:04

“Maya, kita bicara sebentar.”

“Aku sibuk, kita bicara lain kali saja.” Kakiku melangkah meninggalkan orang itu.

“Kapan? Katakan yang jelas kapan kita bisa bicara,” protesnya.

“Pulang kerja.”

Helaan napas terdengar dari orang itu. Aku sudah bertekad untuk tak terlalu dekat dengannya. Ini hanya merugikanku saja.

Warga kantor memberiku tatapan mengintimidasi, ini sangat wajar mengingat kejadian kemarin lusa. Gosip itu pasti sudah menyebar.

“Dasar tidak tau malu. Padahal sudah mencoreng nama baik perusahaan,dengan percaya dirinya masih kerja di sini.”

“Kalau aku sih sudah resign.”

“Padahal berhijab, bagaimana dia bisa setega itu merebut laki orang.”

“Oh jadi ini pelakor rumah tangga manajer marketing.”

Perlahan telingaku terasa panas mendengar makian mereka. Ku percepat langkah kaki saat pint lift akan tertutup. 

”Tunggu!” teriakku pada orang yang ada di dalam.

“Ah! Terima kasih Pak,” ucapku seraya menundukkan kepala. Berkat dirinya aku tidak ketinggalan lift. Ku tekan tombol ke lantai empat, tempat divisiku berada.

Lelaki itu melirikku sekilas. “Maya ya.”

“Iya.” Aku terkejut dia mengetahui namaku.

“Yang sabar ya.”

“Hehe... Iya Pak. Saya permisi dulu, terima kasih,” balasku ketik pintu lift terbuka. Entah apa yang dimaksud pria itu, tapi dia cukup menenangkanku karena masih ada orang berhati baik.

Gunjingan tak kunjung berhenti, rekan kerja di divisi pun tak berhenti berbisik membicarakanku.

“Maya laporan!” ucap Kenzo yang baru saja masuk.

“Baik Pak.” Ku ambil beberapa dokumen yang sudah berada di dalam map. Kuharap akan mendapatkan bonus lagi karena ada beberapa tugas Kenzo yang kukerjakan.

“Sssttt! Pasti mereka akan saling menggoda di dalam sana,” bisik Putri pada Tina. Bersikap bodoamat merupakan cara terbaik saat ini.

Ketika masuk ke dalam ruangan, kulihat Kenzo akan menekan remote untuk menutup gorden ruangannya.

“Pak, apa boleh jika gordennya kita buka saja?” pintaku padanya. Dahi lelaki itu mengerut.

“Kenapa?”

Aku hanya memberikan senyuman.

“Oh oke.” Kenzo menaruh remote itu kembali. Di luar terlihat beberapa rekan kerja yang mengintip kegiatan kita. Aku dan Kenzo hanya fokus membicarakan dokumen pekerjaan kami.

“Baik May. Kerjaanmu sudah sangat bagus, bonusnya aku kirim lewat M-Banking ya,” ucap Kenzo mengakhiri pemeriksaan.

“Baik Pak.” Aku pun keluar dari ruangan itu.

“Wih dapat bonus nih!” cibir Tina kepadaku.

“Bagi-bagi dong May! Kan kamu sudah punya banyak bonus dari Pak Kenzo, tanpa kerja lagi,” sahut Putri.

Aku hanya tersenyum mendengar cibiran mereka. Rosa melirikku dengan dingin.

“Gimana nih Rosa. Kan pekerjaan Pak Kenzo yang ngerjain kamu. Eh malah wanita gatal ini yang dapat!” protes Tina. Rosa tak menanggapi hasutan Tina, dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya. Awalnya aku mengira Rosa juga mengerjakan tugas dari Kenzo karena ia sering ke ruangannya ketika pulang kerja, meskipun tak sesering aku. Semua orang menganggap Rosa sedang lembur. Tapi siapa sangka wanita itu selama ini sedang memadu kasih dengan suami orang. Sayangnya yang kena imbasnya adalah aku.

‘Tuhan tidak tidur May. Semua akan mendapatkan balasannya!’

Kling! Sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselku. Ternyata pemberitahuan transferan dari Kenzo, dan sebuah pesan dari Tristan. Aku baru menyadari ada pesan Tristan.

Segera kubuka pesan itu.

[Operasiku berjalan lancar. Jika ada masalah jangan lupa menghubungiku.]

Tanpa sadar bibirku tersenyum membaca kalimat itu.

“Dia seperti mengharapkanku mendapat masalah. Naudzubillah min dzalik.”

***

Hari-hari berlalu dengan cepat, aku pun menjalaninya dengan tenang. Seseorang yang memintaku meluangkan waktu pun, tak datang menemuiku sepulang dari kantor. Entah apa yang dilakukannya, tapi kuyakin orang itu sudah tak membutuhkanku lagi.

“Mbak Maya. Obat Bimo sudah habis,” ucap Bu Yati sembari memperlihatkan kotak yang kosong melompong.

“Hahh... kali ini dia terlalu banyak mengonsumsi obat ya Bu. Ini masih 2 bulan loh.”

“Nak Bimo sering tantrum sampai kejang Mbak. Di tambah Mbak Sinta kan semakin jarang ke rumah. Jadi Ibuk bingung buat nenanginnya,” keluh Bu Yati. Aku jadi merasa tak enak hati karena berkomentar seperti itu.

“Maafin Maya ya Bu. Omongan Maya tak bermaksud menyudutkan Bu Yati,” sesalku.

“Tidak perlu minta maaf Mbak. Ibuk juga pasti mengeluh jika berada di posisi Mbak Maya. Ditambah harga obatnya Nak Bimo kan sangat mahal. Tapi, sekarang Bimo makin lancar berhitungnya Mbak. Kemarin tau sendirikan bagaimana dia mengerjakan soal penambahan dan pengurangan.” Kalimat itu sangat menenangkanku. Dan ya, Bimo sekarang sudah bisa mengerjakan soal matematik dasar. Dia bahkan betah mengerjakan soal-soal yang ada di dalam buku hingga tuntas. Menata lembaran uang yang kuberikan padanya dengan teliti. Satu hal lagi, Bimo bahkan menyadari jika dia kehilangan uang, ini lah yang sering membuatnya tantrum.

“Nanti sore aku belikan ya. Hari ini kalau Bimo tantrum langsung telpon Sinta aja ya Bu.”

Hari ini di kantor terdapat evaluasi untuk kinerja para karyawan. Hampir semua rekan kerjaku merasa gelisah dengan hasil pemeriksaan itu. Aku cukup tenang karena selama kerja aku melakukan tugas sesui dengan SOP. Selama mengumpulkan laporan pun aku jarang diminta revisi.

Posisiku sekarang aman, tapi Putri, Tina, dan Rosa memiliki beberapa pelanggaran yang cukup fatal. Itulah yang membuat mereka bertiga menggerutu sepanjang waktu. Rosa yang biasanya terlihat tenang ikut keteteran mengerjakan tugas yang sempat dia lupakan.

Ketika jam pulang sudah tiba, aku pun langsung melajukan mobil menuju tempat COD obat Bimo. Untuk mendapatkan obat itu sangat sulit, sehingga aku memilih untuk mencarinya dengan cara jasa titip orang yang suka traveling ke Amerika.

Kali ini orang itu memintaku untuk datang ke sebuah rumah makan pinggir kota.

“Kenapa bertemu disini Pak? Tempatnya sangat mencurigakan,” protesku. Warung kecil dengan lampu temaram membuat siapa pun akan berpikiran aneh-aneh melihat kami di sini.

“Sekalian jalan ke Jawa Barat Mbak,” jawab lelaki itu. Namun, raut wajahnya terlihat gelisah. “Mana uangnya Mbak? Saya harus segera pergi. Konsumen lainnya sudah menunggu.”

Aku menghela nafas, tak biasanya dia terburu-buru begini. Lelaki yang kukenal dengan nama Nadlan itu biasanya akan menawari berbagai macam obat lainnya. Hari ini dia terlihat begitu gugup, bahkan ketika menyodorkan sebungkus obat tangannya tremor hebat.

“Saya pamit dulu ya Mbak. Hati-hati di jalan,” ucapnya berlalu pergi meninggalkanku.

Krrttt... suara perut memberontak ini membuatku meringis. Tanpa sadar aku lupa makan sedari siang.

“Bu... rawon sama es teh ya,” pesanku sembari memberikan selembar uang lima puluh ribu. Ibu itu segera memberikan kembalian.

Terpaksa aku menunda waktu untuk pulang, karena lambungku yang kosong memaksa untuk diisi.

Tak lupa juga tak lupa menelpon Bu Yati untuk memberitahunya jika pulang telat.

“Hallo Bu, hari ini aku pulang telat. Aku lagi beli obat tapi tempat COD nya jauh banget. Titip Bimo ya.”

Penjaga warung menyajikan sepiring rawon lengkap dengan es teh, aromanya begitu menggugah selera siapa pun. Harumnya kuah berwarna coklat keruh itu membuat salivaku mengumpul di rongga mulut.

“Iya Bu. Maya tutup teleponnya ya. Assalamualaikum,” tukasku yang tak sanggup menahan gejolak nafsu menyantap makanan di atas meja kayu itu.

“Hmm... rasanya lezat sekali,” pujiku sambil menikmati campuran rempah-rempah yang membalut lidah. Penjaga warung tersenyum, ia bahkan memberiku kerupuk urang tambahan.

“Ini Mbak, saya kasih bonus.”

“Makasih Bu.”

Ketika akan menyendokkan nasi terakhir. Tiba-tiba segerombol orang berlari ke arah warung.

“Angkat tangan!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   94

    Aku terkekeh kecil melihat ekspresi cemberut Mama di layar ponsel. Sementara di sampingku, Tristan memasang wajah tak bersalah, seolah dia bukan biang kerok dari semua perjalanan panjang ini.“Kami rindu, Ma… tapi kan sekalian kerja. Lagian tiap malam video call, kan?” sahutku, mencoba menenangkan.“Iya, iya, tapi kalian harus pulang. Mama kangen. Bimo juga udah mulai rewel nyariin kalian, padahal kemarin dia bilang mau tinggal seminggu lagi. Tapi sekarang tiap malam nanya kapan Mama pulang,” suara Mama melembut, kali ini tidak menyindir lagi, hanya kerinduan tulus seorang nenek dan ibu.Tristan menoleh padaku. Matanya menyiratkan pertanyaan yang tidak ia ucapkan. Tapi aku tahu, aku pun merindukan Bimo. Dua bulan ternyata cukup untuk memulihkan luka, menata hati, dan kini… waktunya kembali.Aku mengusap perutku perlahan, refleks. Gerakan kecil itu belum tampak jelas, tapi kehadirannya sudah nyata. Aku tahu waktunya memberi kabar.“Ma…” aku menggigit bibir, sedikit gugup. “Kami akan pu

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   93

    Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Tristan. Entah kenapa dadak mendadak sesak. Kurasa akan ada berita buruk sebagai kelanjutan kata 'tapi'."Keep calm, darling," bisik Tristan menangkanku. Suamiku sangat menyadari bagaimana keresahanku. Kuanggukkan kepala. "T-tapi apa, Ma?" tanyaku memberanikan diri.Helaan napas keluar dari kedua mertuaku. Bu Ayu menatapku sembari menggigit tipis bibirnya. Kedua tangannya di taruh ke atas meja. "Biarkan Bimo tinggal di sini."Tubuhku menegang. Kali ini aku tidak bisa mengontrol emosi yang akan meluap."Tenang, Maya. Aku tidak bermaksud memisahkan kamu dengan Bimo." Bu Ayu berusaha memberikan penjelasan. Namun, hatiku sangat takut."Kami tidak akan mengambil putramu. Niat kami hanya memberikan kalian ruang dan waktu sebagai pengantin baru. Tolong tenang..."Air mataku jatuh ke pelupuk begitu saja.Aku tidak bisa mengontrol diri."Tenang, darling." Suamiku berusaha menenangkanku, tetapi saat ini aku benar-benar tidak bisa dikontrol. Bu Yati dan Pa

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   92

    Pagi ini aku terbangun dengan perasaan bahagia. Ada hal berbeda dari rutinitasku sebelumnya. Kini, saat membuka mata, kudapati suamiku menatapku penuh cinta."Morning, Darling," sapanya dengan suara serak basah.Kuberikan senyum terbaikku. "Morning."Tangan Tristan membelai rambutku dengan lembut. Matanya tak lekat menatapku.Kami berbaring sebentar, hanya saling menatap. Aku bisa mendengar detak jantungnya, tenang, stabil—seolah memberitahuku bahwa kini aku aman. Benar-benar aman.Lalu Tristan mencium keningku, turun ke hidung, dan berhenti tepat di bibirku. Sentuhannya ringan, seperti pagi itu sendiri."Ayo kita mandi bareng," ucapnya pelan.Aku mengerutkan dahi sambil menahan senyum malu. "Kamu serius?"Ia mengangguk, lalu bangkit dan menarik tanganku lembut. “Aku pengen mulai hari ini dengan kamu. Dari hal paling sederhana.”Kamar mandi kami dipenuhi aroma lavender dari diffuser yang menyala sejak semalam. Air hangat mengalir dari pancuran seperti hujan lembut. Tristan menggulung

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   91

    Hari ini.Hari yang dulu kupikir hanya akan jadi angan-angan. Hari di mana aku, seorang janda dengan anak autis, berdiri di depan cermin dengan kebaya putih gading yang dijahit rapi mengikuti lekuk tubuhku. Makeup tipis, veil menjuntai, dan senyum gugup yang tak bisa kusembunyikan.“Maya sayang... kamu cantik banget. Kayak kalau bulan purnama minum kolagen terus ikutan audisi Putri Indonesia,” Paulo berseru dari balik pintu dengan suara cemprengnya. “Aku nggak nangis kok, ini cuma... eyeliner aku meleleh karena... ya, aku terlalu flawless.”Aku tertawa pelan, menatap pantulan wajahku di cermin.“Hari ini kamu resmi jadi istri, May,” gumamku pada diri sendiri. “Dan kamu nggak sendiri lagi.”**Di pelaminan mini tempat akad digelar, suasana begitu syahdu. Dekorasi nuansa putih dan hijau pastel menghiasi seluruh ruangan. Bunga melati menjuntai, cahaya matahari masuk dari jendela besar, menciptakan nuansa sakral yang hangat.Tristan duduk di depan penghulu. Wajahnya tegang tapi penuh teka

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   90

    Beberapa minggu berlalu, kami mempersiapkan pernikahan. Karena ini adalah acara pernikahan pertama untuk keluarga Kusuma, jadi Mama dan Papa mertua menyiapkannya begitu mewah. Hari ini pun, aku berada di butik bersama keluarga calon suamiku, putraku Bimo, Bu Yati, dan Paulo si cowo feminim. “Sayang, kamu harus pasrahkan tubuhmu pada karya Tuhan bernama siluet couture, oke?” Paulo berseru sambil memutar scarf warna-warni di lehernya. “Jangan ngaku pengantin kalau belum ngerasain dijahit sambil setengah pingsan karena korset!”Aku tertawa pelan. “Jangan nakut-nakutin dong, Poo.”Salah satu asisten butik membantu memakaikanku gaun pertama. Kainnya menjuntai sempurna, detail bordir kristal Swarovski menyebar dari bahu hingga ekor panjang seperti ombak.Ketika tirai fitting room dibuka, semua mata tertuju padaku.Bu Ayu memandang diam-diam, matanya berkaca-kaca tapi penuh kekaguman. Pak Kusuma tersenyum lebar. Bu Yati langsung bertepuk tangan.Tapi, tentu saja… yang paling heboh, Paulo.“

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   89

    Kulepaskan pelukan Tristan, kembali menatap Bu Ayu. Menunggu jawaban yang dilontarkan Pak Kusuma."Jawab, Ma.""A-aku..." Bu Ayu tampak ragu. Namun aku tau jika beliau memang berat memberikan restu kepada kami."Bisakah kamu merestui mereka? Apa kamu mau nasib kita turun ke putra kita?"Bu Ayu menatap Pak Kusuma dengan mata yang nanar. "Aku menikahimu karena terpaksa, Ayu.""Tapi aku tulus, Mas!" Tampak air muka wanita itu tersakiti. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf sama kamu." Kini Pak Kusuma berlutut di depan Bu Ayu. "Sekarang aku menyadari kesalahanku. Waktu itu aku menerima perjodohan karena dipaksa orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak mau Tristan melalui hal sama. Bagaimana kalau pernikahan dia seperti kita?" Pak Kusuma memengang kedua tangan istrinya. "Kalau kamu memisahkan putra kita dengan wanita yang dicintainya, kisah antara aku, kamu, dan Ratna bisa terulang."Air mata Bu Ayu luruh. "Kamu jahat, bagaimana bisa kamu main belakang dengan dia, Mas. Kenapa-""Maaf. Aku sanga

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   88

    "Ma, kami di sini untuk memberitahu kalau akan menikah. Tidak peduli mama merestui hubungan kami atau tidak, aku tetap menikahi Maya." Tristan menjadi garda terdepat sebelum Bu Ayu menyerangku.Napas wanita paruh baya itu tampak memburu. "Lebih baik kamu menikah dengan Rosa, Tristan. Dia lebih baik dari wanita itu!" seru Bu Ayu sembari menunjuk ke arahku."Tidak, Ma. Tidak ada yang lebih baik dari Maya.""Jangan cela pilihan Mama, Tristan. Mama mencegah penyesalanmu di kemudian hari." Bu Ayu menoleh ke arah mantan rekan kerjaku. "Benarkan, Rosa?""Benar, Ma." Rosa menjawabnya penuh percaya diri.Tristan menghela napas. "Ternyata kamu munafik banget, Ros." Kulontarkan sarkasme untuk menembak kemunafikan wanita itu.Mata Rosa melotot ke arahku. "Justru kamu yang munafik, May!" Napasnya memburu bak banteng. "Benar! Kamu menggoda anakku, kan?! Menjijikkan!" Bu Ayu meludah ke lantai. "Maya tidak menggodaku, justru aku yang mengejar-ngejar Maya, Ma!" Tristan meledak."Mama tidak percaya.

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   87

    Rentangan tangan pria itu perlahan mengendur. Sorot matanya seakan kehilangan cahayanya. Bibirnya yang semula melengkung ke atas, kini berangsung datar. Aku tak tahan melihat ekspresinya yang seperti itu. Apa yang dipikirkannya saat ini?Kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya. Aku semakin sedih karena membuat Tristan sedih."Pulanglah. Besok malam jemput aku," ujarku merengkuh tubuh kekasihku yang sangat kucintai. Tristan membeku dalam pelukanku. Napasnya tertahan sejenak, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa semua ini nyata, bukan hanya imajinasinya yang kesepian.Perlahan-lahan, aku merasakan kedua lengannya melingkari tubuhku. Ragu-ragu di awal, tapi kemudian semakin erat, seolah takut aku akan menghilang lagi."May..." bisiknya parau di dekat telingaku. "Kamu serius?"Aku mengangguk di dadanya, membiarkannya merasakan jawaban itu lewat detak jantungku yang berdebar cepat. "Pulanglah dengan Papamu, besok jemput aku. Kita meminta restu ke mamamu."Pak Kusuma terlihat mendekat k

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   86

    Sebelum pria itu benar-benar bersimpuh, aku segera menghadangnya. Ekspresinya yang tak berdaya membuatku iba. "Silakan masuk, Pak." Putusku sebelum mempertimbangkan lebih jauh. Aku tak bisa membiarkan Pak Kusuma bersimpuh di hadapanku. Pria paruh baya itu mengikutiku dengan langkah lunglai. Dia seperti mayat berjalan, entah apa yang terjadi. Aku tak tahan melihat pemandangan yang menyedihkan ini.Bu Yati yang masih berdiri di depan kamarnya, sontak mematung saat aku mempersilakan Pak Kusuma bertamu."Tolong, teh," kodeku padanya. Aku kemudian berbalik dan menatap tamuku seramah mungkin. "Silakan duduk, Pak."Dia segera duduk dan menunduk. Aku menunggu untuknya bicara, tetapi keadaannya terlihat belum siap untuk mengobrol. Sampai-sampai Bu Yati menyeduhkan minuman dan snack, pria itu masih saja tertunduk dengan tangan mengepal. Bu Yati melihatku seakan bertanya, 'Kenapa?'Aku hanya mengendikkan bahu, karena tak tau apa yang membuat Pak Kusuma seperti itu. Bu Yati segera undur diri d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status