Ketika sudah memeriksakan diri, aku pun kembali menghampiri Bu Yati.
“Gimana Bu?”
“Tadi dijemput mobil hitam.” Dia memperlihatkan hasil jepretannya padaku.
‘Sudah kuduga, dia menunggu Kenzo.’ Mobil civic berwarna hitam itu adalah milik atasanku. Meskipun wajah lelaki itu tak terekspos dalam foto ini, tapi kode plat mobil itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa itu lelaki jahanam.
“Kirim ke ponselku ya Bu. Aku ingin menjenguk seseorang dulu.”
Kami berjalan beriringan menuju kamar inap Tristan. Dahiku berkerut saat seorang pria baru saja keluar dari sana. Namun, wajah orang itu tak terlihat jelas karena tertutup oleh masker dan topi. Cara jalannya nampak tergesa-gesa seperti mengejar sesuatu.
“Tunggu di sini sebentar ya Bu,” pintaku. Wanita itu hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Kubuka daun pintu, terlihat Tristan yang menatap datar kehadiranku.
“Hai, masih hidup ternyata,” sapaku. Terdengar nyeleneh, tapi aku tipe orang yang kurang beramah-tamah dengan orang lain.
“Sudah memiliki masalah?” Tristan menatapku dengan dingin. Tanpa sadar bibirku mencebik.
“Tidak. Aku hanya ingin tau, apakah kamu masih hidup atau sudah dijemput malaikat maut.”
Salah satu sudut bibir Lelaki itu terangkat. Dia terlihat sangat jengah mendengar ucapanku.
“Apa kau sudah sarapan?” Kucoba untuk basa-basi. Mulut ini memang sulit untuk disaring hingga memunculkan lantunan kalimat yang absurb.
“Aku puasa.”
“Ohh... Ya sudah kalau begitu. Semoga selamat ketika melakukan operasi. Aku pamit dulu,” akhirku. Saat akan menutup daun pintu tersebut tiba-tiba Tristan menghentikan langkahku.
“Tunggu!” Kudongakkan pandangan kepadanya.
“Siapa namamu?” tanyanya tanpa menatapku.
“Maya.”
Seperkian detik tak ada respon, aku pun menutup rapat pintu kamar itu. Tingkah lelaki itu sangat aneh hingga membuatku bergidik. Namun, ketika kulihat sorot matanya, dia kelihatan sedih. Caranya menatap jendela kamar pun sangat sendu.
“Kenapa Mbak?” tanya Bu Yati yang bingung melihatku menggoyangkan pundak.
“Tidak apa-apa Bu. Orang itu benar-benar aneh.”
***
Sesampainya di rumah, aku dikejutkan dengan kehadiran Bimo dan Sinta.
“Sayangku...” Ku berlari menghampiri bocah cowok berumur 5 tahun itu. Meskipun tak ada respon, tapi kehadirannya sudah membuatku begitu bahagia. Rasa kangen menyeruak begitu saja dari dalam diriku.
Kedua pipi gembul itu tak luput dari kecupanku, dia benar-benar sangat menggemaskan. Di tambah rambutnya yang model potongan semangka terbelah membuat Bimo imut.
“Bimo kemarin bisa buat garis ya? Wah... pintar sekali anak Mama,” pujiku. Sayangnya dia hanya fokus pada lembaran uang yang ada di tangannya.
“1... 2... 3... 4....” ucapnya dengan nada yang membeo. Aku merasa takjub mendengar Bimo berhitung.
“Astaga Bimo! Kamu sudah bisa berhitung Nak? Ya ampun Bu Yati!” pekikku histeris. Sinta dan Bu Yati tersenyum melihat perkembangan Bimo.
“Sayangku! Kamu cerdas sekali!” Kupeluk tubuh Bimo, rasanya sangat bangga.
“AAaaa!!!” Dia menolak, dan meronta ingin lepas dari dekapanku.
“Maya... jangan dipaksa,” nasihat Sinta. Aku sedikit kecewa karena Bimo tak mau kupeluk. Namun apa daya, jika putraku merasa tak nyaman biasanya akan tantrum. Itu lebih merepotkan, karena sangat sulit untuk menangkannya.
“Sabar Maya, kamu bisa peluk dia sepuasnya saat tidur.” Sinta mengelus-elus pundakku, aku hanya menghela napas pasrah dan menganggukkan kepala.
“Ya sudah. Masuk yuk,” ajakku pada mereka.
Kami pun memilih ruang tengah tempat di mana Bimo menghabiskan waktunya. Sudah sejam lebih anak itu bermain dengan gepokan uang.
“Itu uang kamu Sin?” tanyaku. Aku baru kepikiran dari mana Bimo mendapatkan uang sebanyak itu.
“Iya. Dia kemarin sempat tantrum gara-gara aku meminta uang itu.”
“Ya ampun! Aduh maaf ya Sin. Pasti sangat merepotkan.”
“Santai May.” Wanita itu tersenyum manis padaku, tak lupa matanya membentuk bulan sabit yang sangat indah.
“Wait!”
Aku langsung mengambil segepok uang yang kemarin malam diberikan David.
“Ini Sin. Sekalian jatah kamu jagain Bimo.”
Sinta menerima amplop yang kuberikan.
“Ya Tuhan! Ini terlalu banyak May,” protesnya dan hendak mengembalikan sebagian uang itu padaku.
“Tidak Sin. Sudah sepantasnya sebanyak itu. Ditambah Bimo juga mengambil segepok uang milikmu.”
“Ya ampun May. Ini sangat berlebihan.” Wanita itu memaksa untuk mengembalikan lembaran berwana merah.
“Aku punya banyak uang. Kamu jangan khwatirkan dengan keadaanku, memang sebelumnya aku bokek tapi hari ini tidak.”
“Kamu dapat uang dari mana?” Ia melirikku dengan curiga.
“Emm... Sebenarnya.”
Aku pun menceritakan awal mula mendapatkan uang dari Kenzo yang habis karena membayar biaya operasi Tristan. Lalu datangnya David ke rumah sembari memberi undangan pernikahannya. Sinta mendengarkanku dengan sangat antusias tanpa menyela sepatah kata pun. Dia memang pendengar yang baik, sering kali aku mengeluh padanya soal segala hal.
“Ya begitulah. Aku belum menghitung seberapa banyak uang yang diberikan David. Tapi itu sangat banyak.”
Sinta memanggut-manggutkan dagunya.
“Terus, sekarang kamu kenapa tidak kerja? Dipecat?” tanya perempuan itu.
“Aku izin sakit, apakah Kenzo tidak memberitahumu?”
Dia menggelengkan kepalanya beberapa kali.
“Hahh...”
“Tapi May, sampai kapan kamu akan menjadi kambing hitam seperti ini? Inilah yang membuat mental health mu tak kunjung membaik.”
“Secepatnya akan kuselesaikan. Aku juga sudah lelah menjadi orang yang direndahkan seperti ini. Tapi, jika aku membongkar keburukan Kenzo di hadapan Gita, bagaimana dengan pekerjaanku? Cuma ini sumber pendapatanku sekarang,” keluhku. Sinta nampak berpikir, dan berakhir dengan helaan napas yang cukup berat.
“Benar. Sebenarnya kamu memiliki cukup uang untuk memulai bisnis. Tapi, bisnis tidak semudah itu. Ditambah biaya untuk terapi Bimo, kalau aku sih tidak masalah jika tak digaji. Tapi anak itu masih membutuhkan obat penenang. Itu juga tidak murah.”
“Hahhh...” Kami berdua sama-sama menghela napas. Meratapi nasibku yang tak kunjung membaik.
Sinta adalah seorang psikolog yang membuka tempat praktik sendiri di rumahnya. Ini lah yang membuatnya dia begitu fleksibel dan tak di tuntut jam kerja. Dia juga orang yang membantuku merawat Bimo, ketika aku memberinya uang imbalan tak jarang ia menolaknya dengan alasan hutang budi padaku. Hanya karena almarhum mama dan papa yang pernah membiayai biaya pendidikannya beberapa semester Sinta sudah menganggap itu sebagai hutang budi.
***
Setelah seharian menghabiskan waktu bersama Bimo, kini aku harus berangkat kerja. Rasanya sangat berat meninggalkannya sendiri. Meskipun ada Bu Yati yang menjaganya, tapi bonding antara aku dan Bimo kurang.
“Bimo, Mama berangkat kerja dulu ya. Jadi anak yang baik ya Sayang. Mama sayang kamu,” pamitku dengan mengecup pipi dan kening bocah itu.
“Bu, titip Bimo ya.”
“Iya Mbak.”
Ketika sampai di kantor, aku pun mengemasi beberapa barang berserakan di dalam mobil. Itu dokumen penting yang hari ini harus ku setorkan pada Kenzo. Menjadi karyawan terasa melelahkan, tak jarang aku harus lembur demi bonus. Dengan mengerjakan pekerjaan Kenzo, aku mendapatkan separuh bahkan lebih besar dari gaji pokok perusahaan. Inilah yang membuatku merasa dia adalah malaikat di neraka.
Ketika keluar dari mobil, tiba-tiba ada yang menghadangku. Orang itu nampak emosi melihat kehadiranku.
Aku terkekeh kecil melihat ekspresi cemberut Mama di layar ponsel. Sementara di sampingku, Tristan memasang wajah tak bersalah, seolah dia bukan biang kerok dari semua perjalanan panjang ini.“Kami rindu, Ma… tapi kan sekalian kerja. Lagian tiap malam video call, kan?” sahutku, mencoba menenangkan.“Iya, iya, tapi kalian harus pulang. Mama kangen. Bimo juga udah mulai rewel nyariin kalian, padahal kemarin dia bilang mau tinggal seminggu lagi. Tapi sekarang tiap malam nanya kapan Mama pulang,” suara Mama melembut, kali ini tidak menyindir lagi, hanya kerinduan tulus seorang nenek dan ibu.Tristan menoleh padaku. Matanya menyiratkan pertanyaan yang tidak ia ucapkan. Tapi aku tahu, aku pun merindukan Bimo. Dua bulan ternyata cukup untuk memulihkan luka, menata hati, dan kini… waktunya kembali.Aku mengusap perutku perlahan, refleks. Gerakan kecil itu belum tampak jelas, tapi kehadirannya sudah nyata. Aku tahu waktunya memberi kabar.“Ma…” aku menggigit bibir, sedikit gugup. “Kami akan pu
Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Tristan. Entah kenapa dadak mendadak sesak. Kurasa akan ada berita buruk sebagai kelanjutan kata 'tapi'."Keep calm, darling," bisik Tristan menangkanku. Suamiku sangat menyadari bagaimana keresahanku. Kuanggukkan kepala. "T-tapi apa, Ma?" tanyaku memberanikan diri.Helaan napas keluar dari kedua mertuaku. Bu Ayu menatapku sembari menggigit tipis bibirnya. Kedua tangannya di taruh ke atas meja. "Biarkan Bimo tinggal di sini."Tubuhku menegang. Kali ini aku tidak bisa mengontrol emosi yang akan meluap."Tenang, Maya. Aku tidak bermaksud memisahkan kamu dengan Bimo." Bu Ayu berusaha memberikan penjelasan. Namun, hatiku sangat takut."Kami tidak akan mengambil putramu. Niat kami hanya memberikan kalian ruang dan waktu sebagai pengantin baru. Tolong tenang..."Air mataku jatuh ke pelupuk begitu saja.Aku tidak bisa mengontrol diri."Tenang, darling." Suamiku berusaha menenangkanku, tetapi saat ini aku benar-benar tidak bisa dikontrol. Bu Yati dan Pa
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan bahagia. Ada hal berbeda dari rutinitasku sebelumnya. Kini, saat membuka mata, kudapati suamiku menatapku penuh cinta."Morning, Darling," sapanya dengan suara serak basah.Kuberikan senyum terbaikku. "Morning."Tangan Tristan membelai rambutku dengan lembut. Matanya tak lekat menatapku.Kami berbaring sebentar, hanya saling menatap. Aku bisa mendengar detak jantungnya, tenang, stabil—seolah memberitahuku bahwa kini aku aman. Benar-benar aman.Lalu Tristan mencium keningku, turun ke hidung, dan berhenti tepat di bibirku. Sentuhannya ringan, seperti pagi itu sendiri."Ayo kita mandi bareng," ucapnya pelan.Aku mengerutkan dahi sambil menahan senyum malu. "Kamu serius?"Ia mengangguk, lalu bangkit dan menarik tanganku lembut. “Aku pengen mulai hari ini dengan kamu. Dari hal paling sederhana.”Kamar mandi kami dipenuhi aroma lavender dari diffuser yang menyala sejak semalam. Air hangat mengalir dari pancuran seperti hujan lembut. Tristan menggulung
Hari ini.Hari yang dulu kupikir hanya akan jadi angan-angan. Hari di mana aku, seorang janda dengan anak autis, berdiri di depan cermin dengan kebaya putih gading yang dijahit rapi mengikuti lekuk tubuhku. Makeup tipis, veil menjuntai, dan senyum gugup yang tak bisa kusembunyikan.“Maya sayang... kamu cantik banget. Kayak kalau bulan purnama minum kolagen terus ikutan audisi Putri Indonesia,” Paulo berseru dari balik pintu dengan suara cemprengnya. “Aku nggak nangis kok, ini cuma... eyeliner aku meleleh karena... ya, aku terlalu flawless.”Aku tertawa pelan, menatap pantulan wajahku di cermin.“Hari ini kamu resmi jadi istri, May,” gumamku pada diri sendiri. “Dan kamu nggak sendiri lagi.”**Di pelaminan mini tempat akad digelar, suasana begitu syahdu. Dekorasi nuansa putih dan hijau pastel menghiasi seluruh ruangan. Bunga melati menjuntai, cahaya matahari masuk dari jendela besar, menciptakan nuansa sakral yang hangat.Tristan duduk di depan penghulu. Wajahnya tegang tapi penuh teka
Beberapa minggu berlalu, kami mempersiapkan pernikahan. Karena ini adalah acara pernikahan pertama untuk keluarga Kusuma, jadi Mama dan Papa mertua menyiapkannya begitu mewah. Hari ini pun, aku berada di butik bersama keluarga calon suamiku, putraku Bimo, Bu Yati, dan Paulo si cowo feminim. “Sayang, kamu harus pasrahkan tubuhmu pada karya Tuhan bernama siluet couture, oke?” Paulo berseru sambil memutar scarf warna-warni di lehernya. “Jangan ngaku pengantin kalau belum ngerasain dijahit sambil setengah pingsan karena korset!”Aku tertawa pelan. “Jangan nakut-nakutin dong, Poo.”Salah satu asisten butik membantu memakaikanku gaun pertama. Kainnya menjuntai sempurna, detail bordir kristal Swarovski menyebar dari bahu hingga ekor panjang seperti ombak.Ketika tirai fitting room dibuka, semua mata tertuju padaku.Bu Ayu memandang diam-diam, matanya berkaca-kaca tapi penuh kekaguman. Pak Kusuma tersenyum lebar. Bu Yati langsung bertepuk tangan.Tapi, tentu saja… yang paling heboh, Paulo.“
Kulepaskan pelukan Tristan, kembali menatap Bu Ayu. Menunggu jawaban yang dilontarkan Pak Kusuma."Jawab, Ma.""A-aku..." Bu Ayu tampak ragu. Namun aku tau jika beliau memang berat memberikan restu kepada kami."Bisakah kamu merestui mereka? Apa kamu mau nasib kita turun ke putra kita?"Bu Ayu menatap Pak Kusuma dengan mata yang nanar. "Aku menikahimu karena terpaksa, Ayu.""Tapi aku tulus, Mas!" Tampak air muka wanita itu tersakiti. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf sama kamu." Kini Pak Kusuma berlutut di depan Bu Ayu. "Sekarang aku menyadari kesalahanku. Waktu itu aku menerima perjodohan karena dipaksa orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak mau Tristan melalui hal sama. Bagaimana kalau pernikahan dia seperti kita?" Pak Kusuma memengang kedua tangan istrinya. "Kalau kamu memisahkan putra kita dengan wanita yang dicintainya, kisah antara aku, kamu, dan Ratna bisa terulang."Air mata Bu Ayu luruh. "Kamu jahat, bagaimana bisa kamu main belakang dengan dia, Mas. Kenapa-""Maaf. Aku sanga
"Ma, kami di sini untuk memberitahu kalau akan menikah. Tidak peduli mama merestui hubungan kami atau tidak, aku tetap menikahi Maya." Tristan menjadi garda terdepat sebelum Bu Ayu menyerangku.Napas wanita paruh baya itu tampak memburu. "Lebih baik kamu menikah dengan Rosa, Tristan. Dia lebih baik dari wanita itu!" seru Bu Ayu sembari menunjuk ke arahku."Tidak, Ma. Tidak ada yang lebih baik dari Maya.""Jangan cela pilihan Mama, Tristan. Mama mencegah penyesalanmu di kemudian hari." Bu Ayu menoleh ke arah mantan rekan kerjaku. "Benarkan, Rosa?""Benar, Ma." Rosa menjawabnya penuh percaya diri.Tristan menghela napas. "Ternyata kamu munafik banget, Ros." Kulontarkan sarkasme untuk menembak kemunafikan wanita itu.Mata Rosa melotot ke arahku. "Justru kamu yang munafik, May!" Napasnya memburu bak banteng. "Benar! Kamu menggoda anakku, kan?! Menjijikkan!" Bu Ayu meludah ke lantai. "Maya tidak menggodaku, justru aku yang mengejar-ngejar Maya, Ma!" Tristan meledak."Mama tidak percaya.
Rentangan tangan pria itu perlahan mengendur. Sorot matanya seakan kehilangan cahayanya. Bibirnya yang semula melengkung ke atas, kini berangsung datar. Aku tak tahan melihat ekspresinya yang seperti itu. Apa yang dipikirkannya saat ini?Kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya. Aku semakin sedih karena membuat Tristan sedih."Pulanglah. Besok malam jemput aku," ujarku merengkuh tubuh kekasihku yang sangat kucintai. Tristan membeku dalam pelukanku. Napasnya tertahan sejenak, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa semua ini nyata, bukan hanya imajinasinya yang kesepian.Perlahan-lahan, aku merasakan kedua lengannya melingkari tubuhku. Ragu-ragu di awal, tapi kemudian semakin erat, seolah takut aku akan menghilang lagi."May..." bisiknya parau di dekat telingaku. "Kamu serius?"Aku mengangguk di dadanya, membiarkannya merasakan jawaban itu lewat detak jantungku yang berdebar cepat. "Pulanglah dengan Papamu, besok jemput aku. Kita meminta restu ke mamamu."Pak Kusuma terlihat mendekat k
Sebelum pria itu benar-benar bersimpuh, aku segera menghadangnya. Ekspresinya yang tak berdaya membuatku iba. "Silakan masuk, Pak." Putusku sebelum mempertimbangkan lebih jauh. Aku tak bisa membiarkan Pak Kusuma bersimpuh di hadapanku. Pria paruh baya itu mengikutiku dengan langkah lunglai. Dia seperti mayat berjalan, entah apa yang terjadi. Aku tak tahan melihat pemandangan yang menyedihkan ini.Bu Yati yang masih berdiri di depan kamarnya, sontak mematung saat aku mempersilakan Pak Kusuma bertamu."Tolong, teh," kodeku padanya. Aku kemudian berbalik dan menatap tamuku seramah mungkin. "Silakan duduk, Pak."Dia segera duduk dan menunduk. Aku menunggu untuknya bicara, tetapi keadaannya terlihat belum siap untuk mengobrol. Sampai-sampai Bu Yati menyeduhkan minuman dan snack, pria itu masih saja tertunduk dengan tangan mengepal. Bu Yati melihatku seakan bertanya, 'Kenapa?'Aku hanya mengendikkan bahu, karena tak tau apa yang membuat Pak Kusuma seperti itu. Bu Yati segera undur diri d