Share

6

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-02-20 14:06:07

Aku ternganga kaget melihat kedatangan mereka. Tak lupa memasukkan sesendok nasi terakhir ke mulutku. Sangat disayangkan jika aku menyisakan makanan yang lezat ini.

“Angkat tangan!” kali ini seorang pria mendekatiku sembari menodongkan pistol. Aku terjerembat melihat senjata itu.

“Uhuk uhuk!” Sisa nasi yang belum tertelan membuatku tersedak. Untungnya masih ada segelas teh di sana.

“Astaga! Apa-apaan ini,” ucapku kebingungan. Seorang wanita langsung mengambil tas plastik tempat obatnya Bimo.

“Eh Mbak! Itu punya saya.” kucoba meraih plastik itu tapi tak bisa karena seseorang membegukku hingga tersungkur. Kedua tanganku langsung terborgol.

“Ah! Lepaskan! Kalian ini ngapain sih!” teriakku.

Semua orang yang ada di warung pun ikut disandera oleh kawanan itu.

“Mari ikut saya ke kantor polisi.”

“Hah!? Kantor polisi? Apa salah saya?”

Tak menjawab orang-orang itu menyeretku begitu saja menjauh dari warung.

“Mobil saya Pak! Mobil saya gimana?” tanyaku histeris, itu adalah benda berhargaku. Hanya itu yang kupunya untuk berpergian. “Saya tidak mau pergi kalau mobil saya ditinggal di sini.”

“Jangan memberontak!” bentak seseorang yang menyeretku.

”Mobil anda aman Bu. Tim kami akan membawanya, ” jelas wanita yang merampas plastik obatku.

“Oke saya tidak akan memberontak. Tidak bisakah kalian menyeretku lebih halus!?”

Mereka tak menggubris sama sekali. Hari ini benar-benar sial.

Ketika sampai di kantor polisi, aku diminta untuk menghubungi wali. Bu Yati adalah orang pertama, sayangnya tak ada jawaban apapun. Lalu ku mencoba hubungi Sinta, hasilnya nihil. Aku berpikir keras mencari seseorang yang bisa menjadi waliku, Kenzo adalah pilihan selanjutnya. Telepon berdering cukup lama hingga panggilan pun tersambung.

“Hallo Kenzo!” girangku karena ada seseorang yang bisa menjawab. Namun, sedetik kemudian lengkungan di bibir perlahan menjadi datar.

“Hei wanita gatal! Masih saja menghubungi suami orang. Aku peringatkan sekali lagi ya, jangan pernah menghubungi Kenzo! Atau aku akan memberi pelajaran untukmu!” hardik Gita penuh emosi. Tut! Panggilan telepon pun berakhir.

“Bagaimana? Apakah sudah ada wali yang akan datang ke kantor polisi?” tanya salah satu petugas yang sedari tadi duduk di hadapanku. Aku hanya menggelengkan kepala. Lelaki itu menghela napas, “Coba cari lagi.”

Mataku terasa panas, aku sangat bingung meminta tolong pada siapa. Aku sudah tak memiliki keluarga, temanku pun hanya ada Sinta dan Kenzo.

Ah! Mas David. Segera kucari nomor telepon mantan suamiku. Satu panggilan saja sudah cukup untuk menyambungkan teleponku padanya.

“Hallo May,” sapanya ramah.

Aku sangat senang mendengar suara itu.

“Hallo Mas. Aku mau minta tolong boleh?” tanyaku langsung to the point.

“Minta tolong apa May? Katakan, aku akan membantumu.”

“A-aku...”

“Apa-apaan kamu David! Masih saja menghubungi wanita miskin ini,” teriak seseorang di dalam telepon. “Hei Maya! Aku kan sudah memberimu kompensasi yang sangat besar. Kenapa masih saja mengganggu keluargaku? Apa kompensasi itu masih kurang? Bukankah kemarin David juga memberimu uang yang banyak untuk biaya hidup anak idiot itu?”  Mulutku terkatup rapat mendengarnya.

“Dasar wanita matre! Diberi sebanyak apa pun masih saja terasa kurang! Sekali lagi kamu menghubungi David, kan ku pastikan hidupmu hancur!” hardik mantan ibu mertua. Sambungan telepon pun terputus. Secercah harapan yang kunantikan kini menghilang. Bibirku terasa kelu mendengar omelan mantan ibu mertua, kata-katanya tak pernah berubah. Dia selalu memaki tanpa henti. Sesak sekali rasanya. Nasibku hari ini benar-benar malang. Kepala terasa pening memikirkan masalah yang terjadi. Tidak ada yang membantu, selama beberapa menit hanya menyecroll kontak di dalam ponsel, dan jariku langsung berhenti pada sebuah nama, yakni Tristan.

“Apa dia bisa membantuku?”

“Hubungi saja Bu,” jawab polwan yang baru masuk ke ruangan interograsi.

Tutt... tutt... tutt... cukup lama menunggu jawaban dari lelaki itu. Bahkan aku harus menelponnya sampai tiga kali, ini yang keempat. Jika tak kunjung diangkat maka aku pasrah apabila dimasukkan bui, setidaknya beberapa bulan telingaku tak merasakan goncangan fitnah yang bertubi-tubi.

“Hallo,” suara serak tiba-tiba terdengar di telingaku.

“Hallo arwahi, ternyata masih hidup. Ups sorry,” sesalku. Entah kenapa jika berbicara dengan Tristan mulutku loss dol tak bisa dikontrol.

“Ada apa?”

“Uh! Aku memiliki masalah. Bisakah kamu membantuku? Aku berada di kantor polisi.”

“Baiklah. Share locationmu sekarang,” perintahnya dan langsung menutup telepon.

Beberapa menit kemudian, Tristan sudah datang menemuiku dia benar-benar lelaki kilat.

“Jelaskan bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanyanya dingin. Hawa ruangan berubah menjadi suram, dan mulutku tak henti menjelaskan situasi yang tak terduga itu.

“Hm. Aku akan bernegoisasi dengan pihak kepolisian. Aku harap semua perkataanmu benar. Dan untuk anakmu, aku ingin melihatnya. Jika semuanya salah, maka kamu harus mengganti kerugiannya hingga 100 kali lipat.”

“What the hell? Gila kamu! 100 kali lipat itu sangat banyak, tega sekali kamu!” protesku. “Tapi tidak masalah, karena aku mengatakannya dengan jujur tanpa mengada-ada.”

Tak merespon protesanku, Tristan pun pergi dari ruangan tempat ku dikurung. Beberapa menit kemudian, seorang polwan datang sembari memintaku untuk memberikan sampel urine dan darah. Katanya untuk pemeriksaan apakah aku positif narkoba atau negatif. Aku menuruti semua prosedur. Cukup lama menunggu hasil pemeriksaan, tanpa sadar tertidur karena merasa bosan. Ponselku pun disita oleh pihak berwajib.

“Kita pulang sekarang,” ucap Tristan membangunkanku.

“Bagaimana hasilnya?” tanyaku dengan mata yang berat dibuka.

“Negatif, dan bebas.” Aku terlonjak mendengar jawaban Tristan, kini khayalan berada di dalam bui selama berbulan-bulan langsung sirna. Tanpa sadar aku menggenggam tangan lelaki itu dan melompat seperti anak kecil.

“Alhamdulillah ya Allah!”

“Ekhem!” dehamnya sembari mengibaskan tanganku.

“Sorry.”

Kami pun pulang, Tristan mengikuti mobilku dari belakang. Lelaki itu mengikutiku memakai sepeda supra. Dia terlihat sangat santai, sedangkan aku masih girang karena terbebas dari bui. Hari ini sangat melelahkan.

Sesampainya di rumah, aku langsung mempersilahkan Tristan masuk. Mataku terbelalak melihat pemandangan di dalam.

“Astaga!” pekikku. Terlihat Sinta dan Bu Yati yang terduduk lemas di lantai, semua barang berserakan di mana-mana.

“Kenapa bisa seperti ini?”

“Ahh... Maya. Hehe...” Sinta justru terkekeh melihat kedatanganku.

Bu Yati yang lemas memaksa dirinya berdiri. “Bimo tadi ngamuk Mbak, untungnya tidak kejang,” adunya.

“Ya ampun, pasti sangat merepotkan. Sekarang Bimo di mana?”

Bu Yati menunjuk daun pintu di belakangku. Di sana terlihat Bimo yang sedang bermain uang. Tristan hanya mematung melihat keadaan rumahku.

“Hehe... maaf ya berantakan. Silakan masuk.” Kupersilahkan lelaki penyelamat masuk. Sinta dan Bu Yati langsung membereskan ruang tamu.

“Siapa?” bisik Sinta yang kepo.

“Penyelamatku! Jangan pulang dulu, nanti aku ceritakan kejadiannya.”

Sinta memberikan kode oke dengan jarinya. Bu Yati ingin membawa Bimo masuk ke dalam rumah, tapi Tristan mencegahnya.

“Biarkan dia di sini Bu,” pinta lelaki itu.

“Ah iya.” Wanita itu melirikku sekilas, dan aku memberikan persetujuan atas permintaan Tristan.

Lelaki itu hanya mengamati Bimo dalam diam, sesekali dia membantu anakku merapikan uang yang berserakan di atas meja.

“Minum tehnya terlebih dulu,” ingatku padanya. Tristan hanya melirikku sekilas, tapi tangannya langsung menyambar segelas teh yang kurasa sudah dingin. Dia meminumnya hingga tandas.

“Aku pamit pulang dulu.”

“Sekarang?” tanyaku.

“Ya. Ini sudah larut,” ucapnya sembari melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh. Perkataannya memang benar, dan kita sampai di rumah pada jam sembilan.

“Baiklah. Hati-hati di jalan, dan terimakasih atas bantuanmu.” Aku mengantarnya hingga depan rumah.

“Kita impas,” ucapnya berlalu pergi bersama motor andalan bapak-bapak. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   94

    Aku terkekeh kecil melihat ekspresi cemberut Mama di layar ponsel. Sementara di sampingku, Tristan memasang wajah tak bersalah, seolah dia bukan biang kerok dari semua perjalanan panjang ini.“Kami rindu, Ma… tapi kan sekalian kerja. Lagian tiap malam video call, kan?” sahutku, mencoba menenangkan.“Iya, iya, tapi kalian harus pulang. Mama kangen. Bimo juga udah mulai rewel nyariin kalian, padahal kemarin dia bilang mau tinggal seminggu lagi. Tapi sekarang tiap malam nanya kapan Mama pulang,” suara Mama melembut, kali ini tidak menyindir lagi, hanya kerinduan tulus seorang nenek dan ibu.Tristan menoleh padaku. Matanya menyiratkan pertanyaan yang tidak ia ucapkan. Tapi aku tahu, aku pun merindukan Bimo. Dua bulan ternyata cukup untuk memulihkan luka, menata hati, dan kini… waktunya kembali.Aku mengusap perutku perlahan, refleks. Gerakan kecil itu belum tampak jelas, tapi kehadirannya sudah nyata. Aku tahu waktunya memberi kabar.“Ma…” aku menggigit bibir, sedikit gugup. “Kami akan pu

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   93

    Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Tristan. Entah kenapa dadak mendadak sesak. Kurasa akan ada berita buruk sebagai kelanjutan kata 'tapi'."Keep calm, darling," bisik Tristan menangkanku. Suamiku sangat menyadari bagaimana keresahanku. Kuanggukkan kepala. "T-tapi apa, Ma?" tanyaku memberanikan diri.Helaan napas keluar dari kedua mertuaku. Bu Ayu menatapku sembari menggigit tipis bibirnya. Kedua tangannya di taruh ke atas meja. "Biarkan Bimo tinggal di sini."Tubuhku menegang. Kali ini aku tidak bisa mengontrol emosi yang akan meluap."Tenang, Maya. Aku tidak bermaksud memisahkan kamu dengan Bimo." Bu Ayu berusaha memberikan penjelasan. Namun, hatiku sangat takut."Kami tidak akan mengambil putramu. Niat kami hanya memberikan kalian ruang dan waktu sebagai pengantin baru. Tolong tenang..."Air mataku jatuh ke pelupuk begitu saja.Aku tidak bisa mengontrol diri."Tenang, darling." Suamiku berusaha menenangkanku, tetapi saat ini aku benar-benar tidak bisa dikontrol. Bu Yati dan Pa

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   92

    Pagi ini aku terbangun dengan perasaan bahagia. Ada hal berbeda dari rutinitasku sebelumnya. Kini, saat membuka mata, kudapati suamiku menatapku penuh cinta."Morning, Darling," sapanya dengan suara serak basah.Kuberikan senyum terbaikku. "Morning."Tangan Tristan membelai rambutku dengan lembut. Matanya tak lekat menatapku.Kami berbaring sebentar, hanya saling menatap. Aku bisa mendengar detak jantungnya, tenang, stabil—seolah memberitahuku bahwa kini aku aman. Benar-benar aman.Lalu Tristan mencium keningku, turun ke hidung, dan berhenti tepat di bibirku. Sentuhannya ringan, seperti pagi itu sendiri."Ayo kita mandi bareng," ucapnya pelan.Aku mengerutkan dahi sambil menahan senyum malu. "Kamu serius?"Ia mengangguk, lalu bangkit dan menarik tanganku lembut. “Aku pengen mulai hari ini dengan kamu. Dari hal paling sederhana.”Kamar mandi kami dipenuhi aroma lavender dari diffuser yang menyala sejak semalam. Air hangat mengalir dari pancuran seperti hujan lembut. Tristan menggulung

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   91

    Hari ini.Hari yang dulu kupikir hanya akan jadi angan-angan. Hari di mana aku, seorang janda dengan anak autis, berdiri di depan cermin dengan kebaya putih gading yang dijahit rapi mengikuti lekuk tubuhku. Makeup tipis, veil menjuntai, dan senyum gugup yang tak bisa kusembunyikan.“Maya sayang... kamu cantik banget. Kayak kalau bulan purnama minum kolagen terus ikutan audisi Putri Indonesia,” Paulo berseru dari balik pintu dengan suara cemprengnya. “Aku nggak nangis kok, ini cuma... eyeliner aku meleleh karena... ya, aku terlalu flawless.”Aku tertawa pelan, menatap pantulan wajahku di cermin.“Hari ini kamu resmi jadi istri, May,” gumamku pada diri sendiri. “Dan kamu nggak sendiri lagi.”**Di pelaminan mini tempat akad digelar, suasana begitu syahdu. Dekorasi nuansa putih dan hijau pastel menghiasi seluruh ruangan. Bunga melati menjuntai, cahaya matahari masuk dari jendela besar, menciptakan nuansa sakral yang hangat.Tristan duduk di depan penghulu. Wajahnya tegang tapi penuh teka

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   90

    Beberapa minggu berlalu, kami mempersiapkan pernikahan. Karena ini adalah acara pernikahan pertama untuk keluarga Kusuma, jadi Mama dan Papa mertua menyiapkannya begitu mewah. Hari ini pun, aku berada di butik bersama keluarga calon suamiku, putraku Bimo, Bu Yati, dan Paulo si cowo feminim. “Sayang, kamu harus pasrahkan tubuhmu pada karya Tuhan bernama siluet couture, oke?” Paulo berseru sambil memutar scarf warna-warni di lehernya. “Jangan ngaku pengantin kalau belum ngerasain dijahit sambil setengah pingsan karena korset!”Aku tertawa pelan. “Jangan nakut-nakutin dong, Poo.”Salah satu asisten butik membantu memakaikanku gaun pertama. Kainnya menjuntai sempurna, detail bordir kristal Swarovski menyebar dari bahu hingga ekor panjang seperti ombak.Ketika tirai fitting room dibuka, semua mata tertuju padaku.Bu Ayu memandang diam-diam, matanya berkaca-kaca tapi penuh kekaguman. Pak Kusuma tersenyum lebar. Bu Yati langsung bertepuk tangan.Tapi, tentu saja… yang paling heboh, Paulo.“

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   89

    Kulepaskan pelukan Tristan, kembali menatap Bu Ayu. Menunggu jawaban yang dilontarkan Pak Kusuma."Jawab, Ma.""A-aku..." Bu Ayu tampak ragu. Namun aku tau jika beliau memang berat memberikan restu kepada kami."Bisakah kamu merestui mereka? Apa kamu mau nasib kita turun ke putra kita?"Bu Ayu menatap Pak Kusuma dengan mata yang nanar. "Aku menikahimu karena terpaksa, Ayu.""Tapi aku tulus, Mas!" Tampak air muka wanita itu tersakiti. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf sama kamu." Kini Pak Kusuma berlutut di depan Bu Ayu. "Sekarang aku menyadari kesalahanku. Waktu itu aku menerima perjodohan karena dipaksa orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak mau Tristan melalui hal sama. Bagaimana kalau pernikahan dia seperti kita?" Pak Kusuma memengang kedua tangan istrinya. "Kalau kamu memisahkan putra kita dengan wanita yang dicintainya, kisah antara aku, kamu, dan Ratna bisa terulang."Air mata Bu Ayu luruh. "Kamu jahat, bagaimana bisa kamu main belakang dengan dia, Mas. Kenapa-""Maaf. Aku sanga

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   88

    "Ma, kami di sini untuk memberitahu kalau akan menikah. Tidak peduli mama merestui hubungan kami atau tidak, aku tetap menikahi Maya." Tristan menjadi garda terdepat sebelum Bu Ayu menyerangku.Napas wanita paruh baya itu tampak memburu. "Lebih baik kamu menikah dengan Rosa, Tristan. Dia lebih baik dari wanita itu!" seru Bu Ayu sembari menunjuk ke arahku."Tidak, Ma. Tidak ada yang lebih baik dari Maya.""Jangan cela pilihan Mama, Tristan. Mama mencegah penyesalanmu di kemudian hari." Bu Ayu menoleh ke arah mantan rekan kerjaku. "Benarkan, Rosa?""Benar, Ma." Rosa menjawabnya penuh percaya diri.Tristan menghela napas. "Ternyata kamu munafik banget, Ros." Kulontarkan sarkasme untuk menembak kemunafikan wanita itu.Mata Rosa melotot ke arahku. "Justru kamu yang munafik, May!" Napasnya memburu bak banteng. "Benar! Kamu menggoda anakku, kan?! Menjijikkan!" Bu Ayu meludah ke lantai. "Maya tidak menggodaku, justru aku yang mengejar-ngejar Maya, Ma!" Tristan meledak."Mama tidak percaya.

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   87

    Rentangan tangan pria itu perlahan mengendur. Sorot matanya seakan kehilangan cahayanya. Bibirnya yang semula melengkung ke atas, kini berangsung datar. Aku tak tahan melihat ekspresinya yang seperti itu. Apa yang dipikirkannya saat ini?Kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya. Aku semakin sedih karena membuat Tristan sedih."Pulanglah. Besok malam jemput aku," ujarku merengkuh tubuh kekasihku yang sangat kucintai. Tristan membeku dalam pelukanku. Napasnya tertahan sejenak, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa semua ini nyata, bukan hanya imajinasinya yang kesepian.Perlahan-lahan, aku merasakan kedua lengannya melingkari tubuhku. Ragu-ragu di awal, tapi kemudian semakin erat, seolah takut aku akan menghilang lagi."May..." bisiknya parau di dekat telingaku. "Kamu serius?"Aku mengangguk di dadanya, membiarkannya merasakan jawaban itu lewat detak jantungku yang berdebar cepat. "Pulanglah dengan Papamu, besok jemput aku. Kita meminta restu ke mamamu."Pak Kusuma terlihat mendekat k

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   86

    Sebelum pria itu benar-benar bersimpuh, aku segera menghadangnya. Ekspresinya yang tak berdaya membuatku iba. "Silakan masuk, Pak." Putusku sebelum mempertimbangkan lebih jauh. Aku tak bisa membiarkan Pak Kusuma bersimpuh di hadapanku. Pria paruh baya itu mengikutiku dengan langkah lunglai. Dia seperti mayat berjalan, entah apa yang terjadi. Aku tak tahan melihat pemandangan yang menyedihkan ini.Bu Yati yang masih berdiri di depan kamarnya, sontak mematung saat aku mempersilakan Pak Kusuma bertamu."Tolong, teh," kodeku padanya. Aku kemudian berbalik dan menatap tamuku seramah mungkin. "Silakan duduk, Pak."Dia segera duduk dan menunduk. Aku menunggu untuknya bicara, tetapi keadaannya terlihat belum siap untuk mengobrol. Sampai-sampai Bu Yati menyeduhkan minuman dan snack, pria itu masih saja tertunduk dengan tangan mengepal. Bu Yati melihatku seakan bertanya, 'Kenapa?'Aku hanya mengendikkan bahu, karena tak tau apa yang membuat Pak Kusuma seperti itu. Bu Yati segera undur diri d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status