Share

PART 7

JANGAN BANGUNKAN SINGA TIDUR

#JBST

PART 7

Bendera kuning yang berkibar di tiang teras rumahku menandakan bahwa kami telah kehilangan anggota keluarga. Pandanganku kosong, putriku saja belum bangun dari tidur panjangnya dan sekarang cucuku telah pergi meninggalkan kami semua.

Apa yang harus ku katakan pada Delisa?

Bagaimana caraku menjelaskan padanya?

Anakmu sudah meninggal.

Anakmu sudah berada di surga.

Atau anakmu sudah tidak bersama kita.

Ah... Kurasa tak ada bedanya. Yang ku fikirkan bagaimana jika Delisa tak bisa menerima kenyataan?

Semasa kehamilan dia sudah tertekan, bagaimana jika setelah gau kenyataan ini ia akan terkena Baby Blues atau lebih paraghnya Delisa akan depresi?

Bagaimana? Sebagai Ibunya apa yang harus ku lakukan agar menguatkannya? Jika aku sendiri pun sudah rapuh. Bagaimana aku akan kuat menghadapinya nanti??

"Delisaa..." teriakkh meraung-raung

Aku menangis terisak-isak di tempat dudukku. Ya Allah nakk...

"Ibu... Buu... tenang buu..."

Itu suara Saputra. Kenapa disaat seperti ini malah dia yang menenangkanku yang terus memberontak dipelukannya?

Kemana Diandra? Dimana suamiku?

Mengapa malah Saputra yang menenangkanku? Meskipun kurasa pelukannya ini tulus. Tapi dia yang membuat keadaan keluargaku seperti ini.

Ya Allah rasanya aku sudah hampir gila.

"Ibu tenang Buu... Jangan seperti inii." Lirihnya ditelingaku. Pelukannya semakin erat membungkus tubuhku

"Lihat deh! Ini karma dari perbuatan anaknya! Ibunya sampai hampir gila gitu." Ucap Bu Satik

"Bu Satik mohon hargai keluarga yang sedang berkabung." Peringat Bu RT

"Loh ini kan fakta Bu RT! Tuh liat si calon mantu juga deket banget sama si calon mertua. Itu kan berarti Mbak Rahayu tau kalau anaknya berzina didukung juga malah." Ucapnya mengompor-ngompori

"Nih! Anaknya si Delisa aja sampai mati karma selanjutnya ini kan! Bagus dah anak haramnya mati biar nggak tau kalau dia itu hadir dari hazil zina!" Sahutnya lagi

Plak!

Bibirku tersenyum disana yang menghina putriku telah diberi pelajaran. Wajahnya terpaling, tangannya terangkat mengelus pipinya yang semerah tomat.

"Bicara sekali lagi! Dasar tetangga julid! Sekali lagi ku dengar kau menghina keluargaku, aku tak akan segan-segan membuat pita suaramu berhenti berfungsi!" Desis Saputra

"Kak Putra jangan ribut, kasian anak kakak. Bu Satik sebaiknya Ibu pulang saja yaa?" Usir Diandra dengan halus

Kuhampiri kedua anakku yang berhadapan dengan Bu Satik. Aku hanya berdiri diam disamping Saputra.

Sekarang Saputra adalah anakku. Bagaimanapun keadaannya aku menganggapnya anak mulai sekarang.

Dan lihat sekarang! Tetangga si mulut lemes itu melotot mendengar usiran halus dari putriku. Masih baik di usir secara halus tak di seret paksa oleh anak lelakiku.

"Dasar keluarga tukang zina! Berani sekali---"

"Ayaahh!!!" Teriak Saputra menggelegar

Bukan hanya Pak Rahmat yang datang tetapi suamiku pun ikut masuk tergopoh-gopoh menghampiri Saputra. Apa suamiku sudah menerima Saputra sebagai calon suami Delisa?

"Ada apa Put?" Tanya mereka berbarengan

Ada yang berubah dari tatapan Mas Idris pada Saputra. Raut wajahnya menunjukkan rasa iba, kasihan dan tatapan terluka. Tapi mengapa?

"Ayah kira-kira berapa lama masa tahanan bagi orang yang mengganggu privasi orang lain? Ditambah dengan membuat keributan?" Ucap Saputra.

Jelas ku lihat bibir Saputra menyeringai dengan kejam. Ku akui dia menciutkan lawan dengan menyerang psikisnya. Memberikan tekanan pada batinnya.

Mari kita lihat wajah Bu Satik yang langsung pias. Baru digertak tentang hukum saja sudah berubah warna wajahnya. Bagaimana jika dipidanakan sekalian?

Bukankah sudah ada pepatah 'Mulutmu Harimaumu'. Sayangnha tak semua orang mengerti dengan pepatah ini. Mengurusi urusan orang lain lebih menjadi prioritas daripada mengaca pada diri sendiri.

Gajah dipelupuk mata tak nampak. Kuman disebrang lautan terlihat.

"Eh... Siapa yang mengganggumu Put?" Tanya Pak Rahmat

"Wanita ini!" Tunjuk Saputra tepat di wajah Bu Satik yang melotot

"Bukan hanya sekali Ayah! Bahkan kemarin dia juga menghina Ibu didepan rumah."

Saputra tau darimana? Batinku bertanya-tanya

"Kak Putra sudah, malu diliat orang." Bisik Diandra

"Kenapa harus malu? Kalau keluarga zina ya zina! Gak punya malu! Gak punya sopan santun kau pada orangtua iyaa? Orangtuamu tak mengajarkan agar tak mengangkat tangan pada yang lebih tua? Urakan!!!" Tunjuk Bu Satik pada Saputra

Ramai, riuh. Ayah, Pak Rahmat dan Diandra berusaha melepaskan cengkraman Saputra di leher Bu Satik. Bukan malah mengendor tapi Saputra malah menguatkan cengkramannya.

Memang tamparan saja tak akan cukup untuk membuat Bu Satik sadar. Disini siapa yang tak punya malu? Siapa yang tak punya sopan santun?

"Kak lepaskan kak." Lerai Diandra

"Tenangkan dirimu Put! Jangan lepas kendali! Ingat sekarang dirimu sedang berduka karena kepergian anakmu." Timpal Pak Rahmat

Wajah Bu Satik memerah. Baguslah mati saja orang macam dirimu. Punya mulut tak dijaga! Punya kaca tak digunakan!

"Bang lepaskan Ibu saya Bang."

Dira menyeruak kerumunan. Bersimpuh di kaki Saputra dengan derai air mata. Kasihan! Sudah tak berayah punya Ibu mulutnya sepedas merica.

"Maafkan Ibu saya Bang. Kasihanilah saya Bang, saya tak punya siapapun selain Ibu." Isaknya

"Bang saya mohon lepaskan Ibu saya Bang."

"Lepaskan nak." Ucapku lirih

"Uhuukk... Uhuukkk..."

Bu Satik menepuk-nepuk dadanya yang kurang oksigen. Kasihan, cibirku.

"Bang terimakasih Bang." Ucap syukur Dira

"Ngapain kamu bilang makasih? Dasar keluarga gila! Kamu mau membunuh saya hah?" Teriak Bu Satik

Orang ini tak punya rasa jera ternyata. Percuma dikasih hati! Ujungnya malah minta jantung!

"Bu Satik, jangan bikin keributan terus. Ini suasana berduka malah berubah gara-gara Ibu bikin ulah. Sebaiknya Ibu pulang saja." Usir Bu RT

"Iya, sebaiknya Bu Satik pulang saja. Saya mohon Bu. Kasihan cucu saya." Timpal Ayah

"Pergi!" Desis Saputra

"Pergi dari rumah ini! Sekali lagi aku melihatmu berkeliaran di sekitar rumah ibuku aku tak akan segan-segan membuat nyawamu terlepas dari tubuhmu!" Desisnya penuh penekanan

"Ibu ayo pulang!"

Dira menarik tangan Ibunya sekuat tenaga. Gadis mungil itu harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menarik Ibunya yang bertubuh tambun.

"Bang, Bu Rahayu saya minta maaf. Kami pamit."

Kepergian pengganggu itu membuat suasana kembali lengang. Aku tak lupa jika aku sedang berduka. Hanya saka sekarang akan ada yang mengeluarkan taring jika kami terluka.

"Tenangkan dirimu Put. Sini duduk disamping Ibu." Pintaku

"Bu Rahayu mohon dimaafkan tingkah Bu Satik barusan." Sesal Bu RT

"Ya."

Suasana kembali seperti semula. Diandra, Pak Rahmat dan Mas Idris membaca yasin disamping bayi Delisa.

Ah yaa... Aku melupakan sesuatu.

"Kamu akan menamai anakmu dengan nama apa Put?" Tanyaku.

Putra menoleh. Sisa-sisa kemarahan masih tergambar jelas di matanya. Perlahan sorot itu berubah sendu.

"Ibu maaf Putra bikin keributan." Sesalnya

"Tak apa."

Tanganku terulur mengusap pelan rambutnya. Putra memejamkan matanya menikmati sentuhan lembutku yang mungkin sudah lama tak dia rasakan.

"Samudra."

"Apa?"

"Nama bayiku Samudra."

"Nama yang indah."

***

Tiba saatnya bayi Samudra akan dimakamkan. Disana bayi Samudra digendong oleh Mas Idris.

"Ayah bolehkan aku yang menggendong anakku ke tempat peristirahatan terakhirnya?" Pinta Saputra

Mata ini berkaca-kaca. Mendengar permintaan tulus dari seorang Ayah yang telah kehilangan anaknya.

.

.

.

❤❤❤

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status