Kudengar kabar dari orang yang kumintai tolong untuk menjadi kuasa hukum kami yang bernama Pak Rudi, bahwa polisi sudah mengirimkan surat pemanggilan pada Mas Imam.Menurutnya kali ini Mas Imam akan sulit melepaskan diri karena perbuatannya sudah begitu fatal. Beliau juga mengatakan paling lama jam delapan pagi Mas Imam sudah berada di kantor polisi.Baru saja kupikirkan dia tiba tiba orangnya sudah ada di belakangku.Aku terkejut bukan main, langsung menjaga jarak namun ia hanya terkekeh pelan dan menggeser kursi lalu duduk."Aku mau bicara," ucapnya dengan tegas."Apa?""Anak anak di mana?""Sekolah," jawabku waspada.Khawatir ia akan melakukan sesuatu. Melihat gelagat awas dariku, dia kembali tertawa."Jangan tuntut aku, akan kuberikan apa yang kau inginkan.""Hah?" Aku tertawa tak percaya."Bukankah kau menuntut agar mendapatkan tunjangan dan ganti rugi yang besar bukan?""Bukan, aku ingin kau dipenjara, aku ingin kau membayar atas luka yang kau torehkan padaku," jawabku."Tolo
"Apa-apaan ini!" Dia langsung menjerit dan keluar dari kamarnya, mencari Mas Imam dan istrinya, sementara aku asyik saja di kamar."Kenapa Bu?" tanya Sari nampak tak enak pada Ibunya."Kenapa mereka di kamarku?""Mereka pindah kemari selama masa tenggang hukumanku.""Apa?!" Wanita itu menjerit membuat Mas Imam terkesiap."Kenapa kaget, harusnya Anda senang, karena sekarang kita satu keluarga," ucapku sambil melipat tangan di dada."Apa? Satu keluarga, aku yakin kau punya niat jahat di sini," ucapnya menuduh."Sudahlah, aku lelah, mau tidur," kataku sambil masuk kembali ke dalam kamar."Ya ampun, wanita gila ini ...." Wanita itu geram sedang anaknya tidak bisa berbuat apa apa.**Makan malam, Mas Imam memanggil kami dan menyuruh kami untuk makan malam duluan. "Silakan makan, aku hanya membeli makanan jadi karena Sari sedang tak enak badan," ucapnya pelan dari ambang pintu kamar "Sedang tak enak badan, atau sedang ngambek karena kami bergabung dengan kalian?" ucapku tertawa datar.
Mendengar teriakan istrinya Mas Imam langsung tersentak kaget dan menyadari bahwa kami sedang berada di kamar Sari."Ah, maaf, Sayang, aku hanya ...." Masih nampak tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk menenangkan istrinya."Apa yang kamu lakukan? teganya kamu padaku, Mas!" Wanita itu menjerit lalu menangis sejadi-jadinya sehingga ibu mertua Mas Imam datang dan bergabung di kamar itu"Apa yang terjadi?""Ibu, Mas imam, Bu, Mas Imam ...." Wanita itu mengadu ke pelukan, dasar cengeng."Ada apa dengan imam?""Dia tega bermesraan di kamar kami dengan Mbak Yanti, dia enggak mikirin perasaan sari, Bu!" isaknya dengan pilu."Astaga Imam, apa apaan kamu ini?" Ibu mertua Mas Imam mulai marah dan seperti biasa, matanya selalu melotot dengan besar."Lho kenapa kalian ini, bukannya aku istrinya juga?" tanyaku melipat tangan di dada dan tertawa." Ini gak pantas, Mbak, ini rumahku, kamarku.""Lho, apa bedanya? sekarang juga aku sudah menjadi penghuni rumah ini, di manapun kamj bebas memadu as
" Sayang, tolong buka pintunya karena aku ingin menjelaskan semuanya padamu," pinta Mas Imam dengan lembut."Enggak mau, aku enggak sudi buka pintu," teriak sari."Please Sayang, aku mohon, kemarahan kamu sama sekali tidak beralasan.""Nggak peralatan kata kamu Mas? Tega-teganya kamu makan malam dan bercanda dengan anak-anakmu sementara aku dan Angel kelaparan di dalam kamar.""Aku nawarin makan loh sayang, Aku juga mau minta kepada Bunda Erwin untuk menyisakan makanan untuk kamu dan ibu.""Hah, kamu menyebut Mbak Yanti dengan sebutan Bunda Erwin, alangkah mesranya, dan kamu sengaja kan Mas membuat aku terbakar cemburu?!" jeritnya meracau tak karuan."Enggak gitu Sayang, kok aku jadi serba salah sih, Sar, kemarin aku udah susah payah buat bujuk Yanti sekarang aku harus apa yang untuk bujuk kamu," keluh Mas Imam menempel di pintu kamar istrinya."Itu beda, Mas! Kamu tahu kan, kalau aku istri muda dan harusnya kamu lebih sayang sama aku, Aku adalah wanita yang baru kamu nikahi dalam kea
Sore hari, setelah suasana mulai kondusif Mas Imam pulang dari suatu tempat dan langsung menemuiku di halaman belakang."Jadi, apa yang akan kamu lakukan, Mas?""Gak ada, gak tahu, aku blank, bingung dan pusing karena aku juga harus cari kerjaan untuk memenuhi kebutuhan Sari dan kalian juga," jawabnya mengusap wajah."Aku berterima kasih karena kamu sudah mengamankan sertifikat rumah ke tanganku, andai saja sertifikat itu ada disini mungkin istrimu akan menjualnya," balasku."Iya, itu hakmu, aku juga masih punya pikiran, mana mungkin aku serius mau mengusir kalian dari rumah itu," ucapnya tersenyum tipis."Jadi kamu gak serius?" tanyaku antusias."Hari itu aku hanya lagi emosi, ditambah aku kehilangan akal sehat, maaf ya," ucapnya menyentuh tanganku lalu menggengamnya."Lepasin tanganku, nanti istrimu melihat," ucapku "Dia di kamar, dia tidak akan menyaksikan kita."Dasar buaya! Ternyata di mana-mana laki-laki semuanya sama saja."Apa yang tidak aku saksikan? Apa Mas?" Wanita itu men
"Tolong, jangan pergi, aku minta tolong," ucap Mas Imam."Buat apa bertahan kalo sakit, Mas?" tanya wanita itu dengan dinginnya."Kita masih boleh bersama Sayang, aku akan tuntaskan semua masalah ini.""Kalau mau denganku kamu harus meninggalkan Mbak Yanti," pintanya."Jangan meminta itu, masih ada solusi lain.""Ah, percuma bicara denganmu." Wanita itu mendorong dada Mas Imam lalu berlalu pergi bersama ibu dan anaknya.Tinggallah aku dan pria itu. Dia terduduk di kursi dan menyeka air mata sedihnya. Lantas meratapi mengapa harus kehilangan istri yang dia cintai."Kalau kamu begitu terobsesi untuk bersamanya, maka pergilah ikut dia," suruhku."Anak adalah hal yang membuatku berat untuk melepaskan Sari. Di samping itu ....""Ya, aku paham, kau juga mencintainya, tergila-gila dengan kecantikan wanita itu.""Bukan begitu ....""Dengar, Mas, jangan memaksakan diri untuk bersamaku hanya karena kau takut polisi. Cara termudah adalah serahkan mobil dan rumah lalu aku tidak akan mengganggum
Tak mau bergelung dalam rangkaian kejadian yang selalu terulang, kuputuskan untuk fokus saja kepada hidup dan nafkah kedua anakku.Sore itu kami sampai di depan rumah, kami turun dan langsung membongkar bagasi tetangga yang kebetulan melihat kami langsung kaget ketika menatap Mas Imam juga turun dari mobil yang sama.Tetangga nampak kali membisiki dan berkomentar. Aku paham betul bahwa mereka sedang membicarakan ketidakkonsistenanku dalam mengambil keputusan.mYa, aku sudah dianiaya dan menuntut namun tiba-tiba membawa si pelaku pulang ke rumah, itu mengejutkan dan tidak bisa habis dipikirkan."Silakan masuk Mas,"suruh ku ketika melihatnya yang masih terpaku mencengkeram kuat tas miliknya."Kamu yakin mau ngajakin aku masuk?""Memangnya Mas mau tidur di luar?"Wajah suram Mas Imam yang masih di payungi luka-luka akibat keputusan istri mudanya, nampak jelas. Ia menjatuhkan diri duduk di teras rumah lalu tiba-tiba menangis begitu saja.Mungkin ada mendung di hatinya, gumpalan rasa kecew
Seperti biasa selalu drama yang sama terulang kembali, wanita itu meradang berusaha memasang air mata buayanya di depan Mas Imam agar suamiku turun iba dan berusaha mengambil hatinya. Iya, berhasil Mas Imam dengan penuh kegigihan dan cintanya lantas mengejar dia ke depan sana."Sayang, tunggu, aku bisa jelaskan," ucapnya.Mas Imam menarik tangan wanita itu dan berusaha mencengkeram bahunya untuk memberitahu yang sebenarnya."Jangan terburu-buru untuk memutuskan perceraian, terlebih pernikahan bukanlah hal yang mudah diputuskan. Apakah semudah itu kau ingin meninggalkanku? setelah begitu lama kita saling mencintai?""Kalau begitu ayo pulang kamu tidak pantas berada di sini setelah memutuskan untuk menceraikan Mbak Yanti!" ucap wanita itu dengan tegasnya."Apa?""Ya, kemasi barangmu," perintahnya.Aku tidak bisa mengatakan apa-apa menyaksikan kegiatan dua manusia itu, hanya diam dan memperhatikan saja."Tapi aku juga sedang tinggal bersama Yanti." Imam nampak ragu-ragu, dia sepertinya