Share

Bab 7 : POV Dinda ( perasaan hati Dinda )

POV Dinda

Hati dan perasaanku saat ini benar-benar hancur. Bagaimana tidak, laki-laki yang namanya, selama ini aku sebut dalam setiap doaku, sudah resmi menjadi milik orang lain. Yang lebih menyakitkan lagi adalah, dia menjadi kakak iparku sendiri.

Kalian, mungkin, tidak akan tahu rasa sakitnya seperti apa? Kami sangat dekat, tetapi, tak bisa aku sentuh. Tak bisa aku raih. Apa lagi, memilikinya.

Kenapa?! Kenapa kamu lebih memilih dirinya?! Kenapa kamu lebih memilih, menjadi kakak iparku?! Kenapa kamu tak memilih aku?!

Kenapa?!

Harusnya, aku yang ada di sampingmu! Harusnya, aku yang tersenyum bersamamu!

Harusnya, aku yang bersanding bersamamu!

Harusnya, aku yang menggenggam jemarimu!

Harusnya, aku yang jadi istrimu! Aku!!

Bukan, Dia!

Tapi, kenapa kamu malah memilih kakakku?!

Kenapa? Kenapa, DEVANDI NARENDRA?!

Bukankah, aku yang pertama kali mengenalmu,

Bukankah, aku yang pertama kali, yang berbicara kepadamu,

Bukankah, aku yang pertama kali, yang menikmati senyum hangatmu,

Dan,

Aku lah, yang pertama kali, mencintaimu dalam diamku!

Aku lah, yang pertama kali, mencintaimu dalam sujud panjangku!

Dan,

Aku lah, yang menyebut namamu, di atas sajadahku!

Aku hancur,

Aku sakit,

Aku benci,

Dan, itu adalah awal, untuk aku membencimu, kakak!

Untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta. Dan, untuk pertama kalinya pula, aku patah hati.

Kalah sebelum perang.

💦

Namanya, Devandi Narendra. Salah seorang dosen yang mengajar di tempat aku menimba ilmu. Seorang dosen, yang mempunyai karisma yang sangat tinggi. Itu sih,menurutku. Entah, menurut yang lain.

Devandi, adalah seorang Dosen muda yang memiliki postur tubuh tinggi, berkulit sawo matang, mempunyai mata yang tajam dan berwibawa. Tapi, sebagian mahasiswa di sini, mengatakan kalau beliau adalah sosok dosen yang sangat dingin. Seorang dosen muda, yang jarang tersenyum dan bercanda dengan mahasiswanya.

Banyak yang takut, atau pun merasa ngeri kalau bertemu dan bermasalah dengan pak dosen ini. Karena, julukan Dosen Killer sudah tersemat dikalangan kami, para mahasiswa.

Awalnya, aku juga merasa takut, kalau bertemu atau pun berpapasan dengan Pak Devan. Ya, kami memanggilnya dengan sebutan Pak Devan saja, karena itu lebih simple, menurut kami.

Tetapi, semua terbantahkan setelah kejadian waktu itu. Di mana, tanpa sengaja kami bertemu dan berintegrasi.

Waktu itu, aku sedikit terlambat datang ke kampus. Karena ada urusan yang sangat mendadak. Apa lagi mengingat, saat itu yang akan, aku ikuti mata pelajarannya adalah Si Bapak Killer, Pak Devandi.

Dan, karena saking tergesa-gesanya, saat menaiki tangga. Tiba-tiba saja, kaki ini terpeleset ke belakang. Karena begitu terkejutnya, sampai tidak sempat diri ini, berpegangan pada dinding dekat tangga yang ada di sebelahnya. Dan, akhirnya, ya begitu lah. Aku terjatuh.

Rasa sakit, jangan ditanya. Tapi, yang lebih menyakitkan lagi, adalah rasa M A L U! Memang, saat itu, tidak ada satupun mahasiswa yang lewat. Tetapi, masalahnya adalah, saat itu yang berada di sana adalah Si Dosen Killer, Pak Devan sendiri.

Saat aku terjatuh, dengan posisi yang masih terduduk di lantai. Dan, aku masih meringkih kesakitan. Tiba-tiba saja, ada seseorang yang mengulurkan tangannya ke arahku, untuk menolong diri ini agar bisa berdiri. Dan, saat kedua mata ini beradu pandang dengan mata orang itu, membuat darah ini berdesir dan mataku melebar seketika.

Karena, yang berdiri di depanku, serta yang telah menolongku, adalah Pak Devandi 'Sang Dosen Killer'.

Dan, saat keadaanku yang masih belum sadar sepenuhnya, tiba-tiba saja, beliau berbicara dengan bersikap dingin. Meski, aku lihat, masih ada sisa-sisa tawa yang masih bertengger di bibirnya.

"Kalau jalan itu hati-hati! Pakai mata! Seperti anak kecil saja kamu, sampai terjatuh seperti itu! Untung, sepi. Kalau ramai, apa kamu tidak malu?" Tanya Pak Devandi dingin. Meski masih terlihat, dia menahan tawa, di bibirnya. Fiuh,

"Iya, Pak. Maaf. Lain kali, saya akan lebih berhati-hati, lagi. Terima kasih atas bantuan bapak barusan, yang telah menolong saya untuk berdiri," jawabku dengan menunduk, dengan menahan rasa malu, aduhh.

"Kenapa kamu tergesa-gesa seperti tadi? Apa ada yang mengejarmu?" Tanya Pak Devan lagi. Seperti diintrogasi oleh KPK saja, eh.

"Tidak ada, Pak. Cuma takut terlambat saja dalam pelajaran dari bapak," Balasku dengan menunduk.

"Seperti, anak ayam saja, kamu. Yang berlari-lari saat kehilangan induknya. Sampai jatuh segala." Ucapnya yang menyindir diriku.

"Kok, anak ayam sih, Pak?!" Protesku tak terima. Tapi, saat diri ini menyadari siapa orang yang berbicara di depanku, membuat nyali ini menciut. Dan, cepat-cepat menunduk sambil meminta maaf.

"Maaf, Pak!" Tuturku cepat.

Sementara, Pak Devan sendiri, saat mendengar protesku tadi. Beliau langsung melotot dengan sinis ke arah ku.

"Kenapa? Apa kamu marah, karena saya memanggil kamu, anak ayam?" Tanya Pak Devan tanpa dosa.

Sebelum mulut ini, menjawab. Pak Devan malah melanjutkan kata-katanya lagi, yang membuat diri ini jadi serba salah.

"Suka-suka saya, mau panggil kamu anak ayam atau tidak. Atau, mau saya panggil kamu, anak kodok?" Tanya dosen itu lagi, yang membuat kepala ini reflek menggeleng dengan cepat.

"Makanya, jangan protes," Timpal Devandi dengan tersenyum jahil.

"Eh, iya, Pak. Hehe," ucapku dengan menunduk menahan rasa kesal dan juga rasa malu.

Sementara itu, Devandi yang melihat respon mahasiswinya itu, membuat dia tersenyum senang, karena bisa menjahili, mahasiswi yang selalu di banggakan dan di elu-elu'kan banyak dosen itu.

💦

"Kenapa kamu selalu menunduk, saat berbicara dengan saya? Apa wajah saya menakutkan?" Tanya Pak Devan sambil menaikkan salah satu alisnya.

"Tidak, Pak. Malah kelihatan tampan kok, Pak! Oops," Ucapku yang refleks menutup mulut ini.

"Aduhhh," ucapku meringgis sesal.

Mendengar ucapan muridnya itu, Devandi malah semakin menjadi-jadi menjahili Dinda.

"Oh, ya? Emang banyak sih, yang bilang begitu." Ucapnya sedikit angkuh. Aiss.

"Kalau memang tampan, terus kenapa kamu menunduk begitu?" Tanyanya lagi.

"Hm hm itu karena sa--"

"Sudahlah kelamaan. Apa kamu tidak jadi mengikuti mata pelajaran, saya? Bukannya, tadi kamu jatuh, gara-gara mengejar mata pelajaran, saya?" Tanya Pak Devan lagi, sehingga pipi ini memanas jadinya.

"I--iya Pak. Permisi," Ucapku yang langsung berlari secepatnya dari sana.

Kalau mengingat kejadian itu, aku akan benar-benar merasa malu saat berpapasan ataupun bertemu dengan Pak Devan. Tapi, kalau diingat-ingat lagi, ada senangnya juga kala itu. Karena, tanpa orang lain tahu, kalau sebenarnya, Pak Devan itu tak sedingin atau segalak itu. Buktinya waktu itu, Pak Devan mau berbicara denganku. Meskipun harus menahan rasa malu juga, sih.

Dan, Pak Devan, juga sempat tersenyum melihat diriku. Meskipun tersenyum gara-gara melihat diri ini terjatuh. Dan, melihat senyumannya itu, sangatlah menawan buatku. Apalagi saat tersenyum, tampaklah lesung pipit yang ada di pipinya.

Entah mengapa, semenjak kejadian itu, aku selalu terbayang-bayang wajah Pak Devan. Apalagi mengingat senyumannya yang sangat manis.

Disaat Pak Devan lagi mengajarpun, aku yang jadi salah tingkah, kala mata ini tak sengaja beradu pandang dengannya. Dan, saat mengikuti mata pelajaran dari Pak Devan, membuat hari-hariku jadi berbunga-bunga dan makin bersemangat. Hingga, beberapa teman dekatku menatap heran, serta bertanya-tanya, akan sikapku beberapa hari ini. Tapi, aku cuma bisa senyum sendiri, tanpa harus menjawab pertanyaan dari mereka.

Pernah sekali, aku membuat kekonyolan di dalam ruangan. Disaat Pak Devan sedang menjelaskan pelajaran. Bukannya, mendengar pelajaran, aku malah senyum-senyum sendiri dengan mata yang selalu menatap ke arah wajahnya. Dengan telapak tangan yang juga mendekap pipi ini.

Mungkin terlampu fokus membayangkan wajah Pak Devan. Tanpa sadar, dia sudah berdiri di depanku sambil bertanya,

"Dinda Maharani! Kamu memandang, apa?"

Tanya Pak Devan.

"Memandang bapak!" Jawabku dengan bersemangat.

"Kenapa kamu memandang saya seperti itu? Sampai senyum-senyum sendiri?" Tanya Pak Devan lagi.

"Karena bapak tampan," celetukku reflek.

Mendengar ucapanku, semua teman-teman yang ada di ruangan itu, tertawa mendengar jawabanku. Aku yang belum menyadari situasi, masih cengar cengir kayak orang gila dihadapan Pak Devan. Untung ada teman di sampingku, yang segera menyadarkan aku. Dengan cara memukul bahu ini. Sehingga aku tersadar dan menyadari semua situasi. Dan aku pun, cepat-cepat menutup mulut ini.

Karena kekonyolan itu lah. Aku, dihukum untuk menjelaskan kembali tentang pelajaran hari ini. Menjelaskan kembali pelajaran, yang sudah dijelaskan oleh Pak Devan sendiri. Untungnya, aku termasuk orang yang tidak bodoh-bodoh amat. Jadi bisa menyelesaikan hukuman tersebut. Meski, aku harus menutup mata dan telinga, karena olok-olokan dari teman-teman yang menertawakan diriku.

Apakah ini, yang dinamakan KASMARAN oleh orang-orang? Apa ini, yang dinamakan Jatuh Cinta? Entahlah. Tapi, perasaan ini baru kali ini aku rasakan. Apalagi, Pak Devan, sekarang memberiku sebuah julukan. Yang menurutku, itu sangatlah aneh, Anak Ayam.

☘️☘️☘️

Hari ini, aku disuruh kakak untuk mampir sebentar ke toko kue Cempaka. Yang berada di ujung gang dekat kampusku.

Katanya, lagi pengen makan brownies yang ada di sana. Menurut teman kerjanya, kue-kue di sana, sangatlah enak. Dan lebih penting lagi, nyaman di kantong.

Aku sih, tidak keberatan untuk membelinya ke sana, karena dekat kampus juga. Hanya berjalan sepuluh menit sudah sampai. Makanya, sekarang aku membelinya disaat akan pulang kuliah nanti.

Dan, saat lagi asik melihat dan memperhatikan, brownies mana yang hendak aku beli, tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggilku dari belakang.

"Anak Ayam, Kamu sedang apa?"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status