Share

Bab 6 : Mayang Tersulut Emosi

Mendengar dentuman yang begitu keras, Mayang langsung berbalik dan melihat ke arah jalan. Dan, betapa terkejutnya Mayang, saat melihat putranya sudah tersungkur ke tanah dengan tubuh bersimbah darah.

"Fikryyyyyyyyyy!!!"

Mayang berlari seperti orang kesetanan memanggil nama anak lelakinya itu. Dan, segera merangkul tubuh kecil yang sudah tak berdaya itu. Mayang meminta tolong kepada orang-orang yang ada di sekitar tempat kejadian, untuk menolong putranya.

Dengan cepat mereka membawa Fikry ke rumah sakit, dengan menggunakan sepeda motor yang di bonceng oleh tetangga. Dan, Mayang menggendong tubuh mungil Fikry, yang sudah bersimbah darah, yang sudah tidak sadarkan diri.

Sesampainya di rumah sakit, Mayang langsung menuju UGD untuk memeriksa keadaan anaknya. Setelah memasuki ruangan tersebut, perawat mempersilahkan Mayang untuk menunggu di luar. Sedangkan dokter dan perawat tersebut sibuk memeriksa tubuh Fikry.

Saat ini, penampilan Mayang sunggung sangat memprihatinkan. Mata yang sembab dan pakaian yang sudah penuh dengan darah. Tapi, Mayang tidak memperdulikan semua itu. Baginya, yang terpenting sekarang adalah keselamatan bagi buah hatinya itu.

Dan, Mayang, selalu berdoa untuk keselamatan putranya. Tetapi, dia juga merutuki dirinya sendiri. Karena, sudah lalai menjaga putranya itu.

Setelah setengah jam lamanya, dokter yang berada di ruangan UGD itu, baru menemui Mayang beserta Dinda dan juga suaminya, Arman.

Ya, setelah Fikry dibawa ke dalam ruangan UGD, Mayang langsung menelpon, Dinda. Mayang meminta tolong kepada resepsionis rumah sakit untuk menghubungi adiknya itu.

Dan dokter mengatakan, kalau kaki Fikry yang sebelah kiri, harus diamputasi. Karena, mengalami keretakan yang fatal dan juga patah tulang. Dan, dilihat dari keretakan pada tulang kaki, Fikry. Kemungkinan besar, pada saat kecelakaan itu terjadi, kaki Fikry terlindas ban mobil.

Mendengar ucapan dokter tersebut, Mayangpun meraung sejadi-jadinya.

"Apa tidak ada jalan lain, Dokter? Selain dari amputasi? Aku tidak mau, kalau anakku menjadi cacat. Dia masih kecil, Dok. Kasihan dia," tutur Mayang, dengan berurai air mata.

Tetapi, dokter muda itu mengatakan, kalau itu adalah jalan satu-satunya, untuk masa depan Fikry sendiri. Karena, kalau tidak secepatnya dioperasi. Takutnya, nanti akan mengalami pembusukan pada tulang. Dan itu, lebih sangat berbahaya untuk diri si pasien sendiri. Ucap dokter muda itu.

Setelah kepergian dokter tersebut. Mayang, yang masih terisak, dengan pipi yang sudah basah dengan air mata. Berkata kepada Dinda.

"Bagaimana ini, Dinda? Kakak tidak ada uang untuk membayar operasi, Fikry. Uang operasi untuk Fikry, pasti sangat banyak. Kamu tahu sendiri, untuk makan kami sehari-hari saja, serta membayar kontrakan. Kakak harus bekerja di toko tetangga. Dan, beruntung sekali, kalau buk Maya, memperbolehkan kakak membawa Fikry, saat bekerja. Tapi sekarang, kakak harus bagimana? Kemana kakak meminjam uang?" Tanya Mayang, kepada Dinda, dengan suara tangis terisak.

Tetapi, Dinda sendiri, malah tidak memberikan respon apa-apa, terhadap keluhan dari Mayang. Sehingga, membuat hati kakaknya itu, terasa makin mengecil saja.

Mayang hanya bisa terdiam, menatap lurus ke depan, dengan air mata, yang tetap mengalir di pipi putihnya. Hingga terdengar seseorang berbicara dengan sangat lantang.

"Biar kita yang bayarkan!" ucap tegas seseorang.

Mendengar itu, mereka berdua menoleh. Dan, ternyata orang tersebut adalah, Arman. Suami, dari Dinda.

"Apa maksud kamu, bang?!" Tanya Dinda dengan ketus.

"Biar, kita, yang melunasi semua biaya operasi, Fikry!" Sentak Arman dingin.

"Kita?! Uang dari mana abang dapatkan untuk membayarnya, bang?! Emang, abang pikir, biaya operasi itu sedikit?!" Tanya Dinda yang mulai meradang.

"Kita pakai uang tabungan itu dulu," ucap Arman sedikit melunak.

"Uang itu? Bukankah uang itu, untuk membangun ruko bulan besok?!" Tanya Dinda, dengan membentak suaminya, Arman.

"Aku tidak mau, ya. Kalau pembangunannya, harus diundur lagi! Bukankah, kita sudah sepakat, untuk itu, bang! Apalagi, aku sudah capek-capek buat menabungnya. Tapi sekarang, seenaknya saja, abang mengatakan untuk membayarkan operasi Fikry, dengan uang tabungan itu!" Gerutu Dinda, dengan sewot.

Melihat Dinda yang tidak terima, atas keputusan yang dibuatnya, membuat Arman harus bersikap lebih lembut lagi, untuk mengambil hati, istrinya itu.

"Dengar dulu, penjelasan aku, sayang. Bukannya, sayang sendiri juga dengar, apa yang diucapkan oleh dokter itu, tadi. Kalau Fikry, secepatnya harus dioperasi. Sementara, untuk menunggu kakak ipar, mengumpulkan uang, mana bisa. Untuk makan mereka saja, kakak ipar sudah sangat kesusahan," ejek Arman kepada Mayang.

"Dan, kalau kelamaan, bisa-bisa Fikry akan menyusul bapaknya, lho, sayang. Kalau dia tidak secepatnya dioperasi. Apalagi, sampai orang-orang tahu, kan kita juga yang malu," Ucap Arman lagi.

"Malu bagaimana, maksud abang?" Tanya Dinda yang tak mengerti ucapan dari suaminya itu.

"Begini lho sayang, maksud aku. DINDA MAHARANI, yang merupakan istri dari seorang pengusaha muda yang sukses. Yang, juga seorang PNS, yang mempunyai banyak uang. Dan, merupakan orang kaya, tidak mau membantu biaya operasi keponakannya sendiri. Sehingga, menyebabkan sang keponakan meninggal dunia."

"Kalau sampai orang-orang tahu, dan membuat berita seperti itu, kepada kita, bagaimana? Dan, juga, malah kamu yang disalahkan oleh mereka semua, atas apa yang terjadi pada, Fikry. Apalagi, kalau ketahuan sama Netizen, beuhhff bakalan kelarrr hidup kita." Ucap Arman yang sengaja, mempengaruhi serta menakut-nakuti istrinya itu, untuk mau membayarkan biaya operasi keponakannya sendiri.

Mayang, yang mendengar pembicaraan mereka, hanya bisa diam dan beristigfar dalam hati. Serta, hanya bisa, mengurut dadanya dengan rasa sabar. Dipikirannya sekarang, bagaimana sang anak bisa sembuh dengan operasi, meskipun harga diri dipertaruhkan.

Mendengar ucapan dari suaminya itu, yang menakut-nakuti mereka. Membuat Dinda, mau tak mau, harus mengikuti ucapan suaminya itu, agar mau memakai uang untuk pembuatan ruko barunya itu.

"Tapi, aku tidak mau tahu ya, sayang. Bulan besok kita tetap membangun ruko itu. Terserah, abang. Mau membayarkan atau tidak operasi Fikry. Yang jelas, bagi aku. Abang, tetap mengganti uang tersebut. Terserah, mau pinjam dari mana!" Gerutu Dinda ketus.

"Iya, sayang, nanti akan aku usahakan," jawab Arman tersenyum, dengan matanya tidak lupa melirik pada, Mayang.

Tapi, baru saja Arman sedikit lega mendengar ucapan istrinya itu, tiba-tiba saja Dinda melanjutkan ucapannya. Yang membuat Arman dan juga Mayang menganga mendengarnya karena terkejut.

"Eh, tapi tunggu dulu. Enak di kak, Mayang, donk." Tiba-tiba saja, Dinda berkata ke Mayang.

"Begini, saja. Aku, ada penawaran terbaik buat kakak. Kalau kakak setuju, aku akan membantu membayar operasi, Fikry. Tapi, kalau tidak. Ya, siap-siap saja, kakak kehilangan putra kakak itu," ketus Dinda kepada Mayang dengan tersenyum miring.

"Apapun itu, Dinda. Kakak akan setuju. Yang penting sekarang, bagi kakak adalah Fikry selamat. Dan, bisa, menjalani operasi secepatnya," jawab Mayang tersenyum senang.

"Ok. Baiklah. Dengar, baik-baik ya, kakakku sayang. Aku, akan bersedia membayar semua biaya pengobatan, Fikry. Tapi, kakak harus tinggal di rumahku, dan bekerja menjadi pem-ban-tu! Karena, aku yakin. Kakak tidak akan pernah bisa, untuk mengganti uang aku yang kakak pakai. Jadi, kakak harus bersedia, jadi BABU selamanya untukku! Bagaimana?" Tanya Dinda yang memberikan pilihan yang begitu berat untuk dirinya. Dan, Dinda berkata dengan tersenyum senang. Tanpa mau memikirkan apa yang dirasakan oleh kakaknya itu.

Mendengar ucapan Dinda, membuat Arman ingin protes. Tetapi, saat Arman ingin mengucapkan sesuatu, Dinda dengan cepat memberikan isyarat 'diam' kepada suaminya itu, dengan cara meletakkan telunjuknya ke bibirnya sendiri, dan mengarahkan ke suaminya itu.

Sementara Mayang sendiri, saat mendengar ucapan, Dinda. Membuat dirinya, syok. Dia tidak menyangka, kalau sang adik, tega menjadikannya seorang Babu di rumahnya. Tapi apalah daya, Mayang tidak bisa menolak. Karena ini menyangkut tentang hidup anaknya sendiri. Meskipun, harga dirinya harus diinjak-injak oleh, adiknya sendiri.

"Jadi bagaimana, apa kakak bersedia?" Tanya Dinda lagi, yang ingin mendengar apa keputusan yang diambil oleh kakaknya itu.

"Kalau kakak menolak, juga tidak masalah bagi, aku. Aku akan pergi sekarang. Ayo, sayang!" Gertak Dinda, dengan merangkul suaminya itu. Dan, mulai berjalan meninggalkan sang kakak.

"Tunggu, Dinda! Kakak bersedia! Apapun itu, kakak bersedia melakukannya. Meskipun, kakak harus jadi, BABU! Yang penting, kamu mau membiayai anak kakak sampai sembuh," sentak Mayang tegas meskipun air mata sudah menetes di pipi.

Tanpa mereka berdua sadari, seseorang mengepalkan kedua tangannya mendengar pembicaraan tersebut.

Dan di sinilah Mayang. Yang menjadi seorang Babu untuk adiknya sendiri.

💦

"Mayang! Hei, Mayang! Kok, malah melamun?" Tanya Nurma sahabatnya, yang melambai-lambaikan tangannya beberapa kali di depan wajah Mayang.

"Astagfirullah, maaf Nurma. Tiba-tiba saja, aku jadi teringat kejadian itu. Sehingga tanpa sengaja, aku jadi termenung, hehe, maaf." Mayang berucap, sambil tersenyum malu-malu dengan mata yang juga berkaca-kaca.

"Ah, tidak apa-apa, sayang. Aku mengerti kok. Ih, kamu, seperti sama siapa saja," timpal Nurma tersenyum sambil mencubit pipi, Mayang. Kebiasaan, yang selalu mereka lakukan kalau bertemu.

Karena, asik bercerita, tentang nasib mereka masing-masing. Tanpa mereka sadari, waktu terus berlanjut. Hingga, Dinda pulang dari mengajar.

"Assalamu'alaikum," salam Dinda yang baru saja, pulang.

"Waalaikum'salam," ucap mereka berdua.

"Oh, Dinda. Baru pulang mengajar, ya?" Tanya Nurma tersenyum.

"Iya, eh, ada kak Nurma. Kapan datang, kak?" Ucap Dinda, yang balik bertanya kepada sahabat kakaknya itu, yang hanya untuk basa basi.

"Dari satu jam yang lalu, Din. Kakak, kangen, sama kakak, kamu. Jadi, saat kakak melintasi daerah sini. Kakak, pengen mampir sebentar. Eh, karena, keasikan bernostalgia, malah keblablasan kayak gini, hehe," tutur Nurma, yang menjelaskan kepada adik sahabatnya itu.

"Ah, biasa itu, kak. Namanya, juga, lagi kangen-kangenan," balas Dinda lagi, yang tersenyum manis, menanggapi ucapan sahabat kakaknya itu.

Dan, tidak berapa lama kemudian, Nurma pun berpamitan untuk pulang. Saat merapikan dan membereskan piring serta gelas bekas makanan mereka tadi, tiba-tiba saja, Dinda berbicara dengan nada ketus kepada, Mayang.

"Jangan dibiasakan membawa orang ke rumah, aku tidak suka!" Cerca Dinda yang berdiri di belakang Mayang.

Mendengar Dinda berbicara, Mayang pun menjawab ucapan Dinda.

"Kakak, tidak pernah membawa orang ke rumah, Din. Apakah kamu tidak dengar, Kalau Nurma sendiri yang datang berkunjung ke sini?" Timpal Mayang, yang membalas tuduhan Dinda.

"Apapun, itu, aku tidak peduli dan tak mau tahu! Aku tidak suka, ya, kalau, kakak, sembarangan memasukkan orang ke rumah ini!" Bentak Dinda kepada Mayang.

"Kakak, tidak sembarangan membawa orang, untuk masuk ke rumah ini, Din! Lagian, Nurma, bukan orang lain bagi, kakak. Dia, adalah, sahabat kakak, yang sudah kakak anggap, sebagai saudara sendiri!" Sentak Mayang tegas kepada adiknya itu.

"Lagian apa salahnya, kalau kakak, membawa teman kakak, kerumah ini. Karena, rumah ini, adalah rumah peninggalan ibu!" Celetuk Mayang dengan emosi.

"Hei, apa kakak lupa, siapa yang merenovasi ini semua?! Ingat, ya, kak. Meskipun, rumah ini peninggalan dari, ibu. Tetapi, aku lah, yang berhak, atas rumah ini! Karena, aku lah, yang memperbaiki semuanya! Aku, yang menjadikan rumah ini, menjadi layak dan sangat indah! Aku, yang mengeluarkan semua biayanya! Sedangkan kakak, tidak ada sepersenpun!" Bentak Dinda, dengan sangat sombong kepada, Mayang.

Tanpa diduga, menitik air mata Mayang mendengar penuturan, Dinda. Dengan tersenyum sedih, Mayang berucap,

"Memang benar, tidak ada, sepersenpun uang kakak yang masuk, untuk merenovasi rumah, ibu. Memang benar, kalau, kamulah yang membiayai semua rumah, ibu. Tapi, apakah kamu lupa, kalau selama ini, kakaklah yang membiayai hidup kamu! Kakaklah, yang selama ini, banting tulang untuk melengkapi kebutuhan kamu! Dan, karena kakaklah, kamu menjadi sukses sekarang!" Sentak Mayang yang membalas telak ucapan sombong Dinda.

"Kakak! Kamu!"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status