Share

Bab 8 : POV Dinda 2 ( Sebuah Rahasia )

POV Dinda 2

Saat memasuki toko kue Cempaka, mata ini disuguhi oleh beraneka ragam macam kue. Mulai dari kue tart, bolu, brownies, cake dan yang lainnya. Mulai dari yang berukuran kecil sampai ukuran yang besar, yang pasti harganya juga bervariasi.

Bagi orang berduit, mungkin mereka tinggal ambil kue yang mana mereka inginkan, tanpa harus melihat harga. Sedangkan kami, yang hanya berekonomi rendah. Ya, harus pikir-pikir dulu, kue mana yang cocok untuk di kantong.

Dan, pada saat lagi asik melihat harga brownies, yang hendak mau aku beli. Tiba-tiba saja, ada seseorang yang memanggil aku dari belakang.

"Anak Ayam, kamu sedang apa di sini?"

Mendengar panggilan seperti itu. Aku merasa, kalau yang memanggil aku adalah...

Dan, saat aku berbalik, ternyata benar kalau dia adalah Pak Dosen jutek itu, hhmm.

"Eh! Pak Dosen. Ini, aku mau beli brownies, he," ucapku sambil nyengir. "Bapak sendiri lagi apa disini?" Tanyaku balik kepada Pak Devan, yang sudah berdiri di hadapanku.

"Ya, sama dengan kamu. Beli kue juga, tuh!" Jawabnya, sambil menunjuk sekotak kue yang sedang dibungkus oleh karyawan toko.

"Kamu sendiri, katanya mau beli brownies. Tapi dari tadi, saya perhatikan, kamu hanya menatap dan memperhatikan kue-kue itu, saja." Celetuknya, yang sengaja mengejek diri ini.

Mendengar penuturan dari, Pak Devan. Aku cuma nyengir kuda menanggapi ucapannya. Karena, memang seperti itu, sih kenyataannya. Eh,

"Sebenarnya, mau lihat-lihat dulu, Pak. Yang mana tercantol di hati. Sekalian mencari harga yang sedikit murah dan ramah di kantong," ucapku yang sedikit berbisik kepada pak Devan.

"Memangnya, kamu mau brownies yang mana?" Tanya Dosen itu lagi.

"Kalau di hati sih, mau brownies yang itu. Tapi apalah daya, harganya terlalu mahal buat, aku," tuturku yang berbisik kepada Pak Devan. Dengan menunjuk salah satu brownies, yang berukuran besar.

Tetapi, tanpa disangka-sangka, Pak Devan malah memanggil karyawan toko tersebut.

Hingga aku, hanya bisa melongo mendengarnya.

"Mbak, bungkus ini juga, ya. Untuk teman saya, ini." Pak Devan yang tanpa aba-aba menyuruh karyawan toko tadi, untuk membungkus brownies yang aku tunjuk tadi.

"Baik, Pak. Tunggu sebentar, ya, Pak," ucap karyawan itu, dan membawa brownies tersebut untuk dibungkus.

💦

Setelah karyawan itu pergi untuk membungkus kue tersebut. Barulah aku bertanya kepada Pak Devan.

"Tunggu, Pak. Itu kan harganya mahal, uangku mana cukup membayarnya nanti," bisikku kepada Pak Devan.

"Aku yang bayar!" Jawab Pak Devan cepat.

"Tapi Pak, itu kan mahal," sanggahku.

"Sudahlah. Ambil saja. Kamu kok cerewet!" Gerutu Pak Devan, yang membuat nyaliku sedikit menciut.

"Tapi Pak," ucapku yang merasa tidak enak.

"Sudahlah. Nih, ambil! Aggap saja kamu lagi menang lotre," balas Pak Devan, yang memberikan paperbag yang telah berisi brownies coklat.

Dengan perasaan yang sedikit ragu, aku pun mengambil brownies itu.

"Karena bapak memaksa, saya terima pemberian bapak, ini. Hm, saya juga mau mengucapkan banyak terima kasih," tuturku dengan menundukkan kepala, ke hadapan pak Devan.

"Hhmm, iya, anak ayam." Pak Devan yang membalas ucapan terima kasih dariku.

Mendengar dosen jutek itu, yang memanggil diri ini, anak ayam. Membuat aku sedikit cemberut.

"Aiss," gerutuku.

💦

"Eh! anak ayam masih di sini? Kenapa belum pulang?" Tanya Pak Devan yang melihatku masih berdiri di depan pintu masuk toko kue tadi.

"Lagi nunggu hujan reda, Pak. Soalnya, saya mau jalan ke gang depan sana, untuk naik angkot. Saya kuatir, takutnya nanti kue ini basah dan rusak kalau tetap diterobos hujannya," Ucapku yang menjelaskan sambil senyum pepsodent.

"Ouh. Kirain nungguin saya," balasnya percaya diri.

"Kalau boleh sih, iya." Aku yang berguman pelan sambil menggaruk kepala yang sedikit gatal.

"Apa?" Tanya Pak Devan sambil menaikkan satu alisnya.

"Hehehe, tidak ada apa-apa kok, Pak," balasku lagi.

"Ya sudah. Saya pulang dulu," Ucapnya cuek sambil berlalu.

"Dasar Dosen kulkas. Lihat mahasiswinya tidak bisa pulang, ditawarin antar kek, atau gimana gitu, aiisss," gerutuku sambil melihat Pak Devan masuk ke dalam mobilnya.

Tapi, saat Pak Devan sudah berada di atas mobil, tiba-tiba saja, ia berucap, "apa kamu sangat betah berdiri di situ? Sehingga tidak mau beranjak dari sana. Ayo aku antar kamu pulang!" Teriaknya.

Mendengar tawaran dari Pak Devan, akupun menjadi sangat senang.

"Karena bapak memaksa sih, ya sudah, aku mau," ucapku sok jual mahal, padahal dalam hati ini berbunga-bunga, eh.

Perjalanan pulang kali ini, menurutku sangatlah terasa panjang dan begitu lama. Apakah mobil ini, dari tadi jalan di tempat? Entahlah.

"Apa hari ini kamu ulang tahun?" Tanya Pak Devan dengan tiba-tiba.

"Gak kok, Pak." Jawabku cepat.

"Terus buat siapa kue, itu? Apa buat pacarmu?" Tanyanya lagi.

"Gak juga kok, Pak. Aku belum punya pacar. Ini untuk kakak aku, kak Mayang. Katanya, dia lagi pengen makan brownies. Jadi, saran temannya beli di toko Cempaka ini. Selain rasanya enak, harganya juga ramah di kantong, hehe." Aku yang tertawa sambil menjelaskan panjang lebar. Seperti, para pejabat yang membacakan anggaran negara di gedung MPR, eh.

Mendengar penjelasanku, Pak Devan mendelik ke arahku. 'lah, apa aku salah jawab, ya?' bisikku dalam hati.

"Belum punya? Berarti pengen punya pacar begitu?" Tanya Pak Devan yang terasa ambigu di telingaku.

"Hah, itu hhmm, itu..." Belum terjawab Pak Devan bicara lagi.

"Sudahlah, tidak usah dijawab. Karena, itu bukan urusan saya juga," sanggahnya.

Dan aku, hanya bisa menghembuskan nafas lega.

Seperkian menit, kami sama-sama diam.

"Dengar-dengar kamu termasuk mahasiswi berprestasi juga di kelas kamu, ya. Ada yang bilang, kalau tiap semester nilai kamu selalu bagus. Sehingga, tiap semester selalu dapat beasiswa." Terangnya yang melirikku sebentar.

"Iya, Pak. Alhamdulilah. Dengan beasiswa itu, saya bisa meringankan beban kakak saya, untuk mencari uang."

"Maksud kamu, kakak kamu yang mencari uang buat kamu kuliah?" Tanya Pak Devan itu lagi.

"Iya Pak. Kakak saya yang menjadi tulang punggung, kami. Setelah orang tua kami meninggal, kakak yang banting tulang mencari uang untuk kebutuhan kami sehari-hari. Serta kebutuhan pendidikan saya," ucapku dengan mata berkaca-kaca.

"Ouh maaf, kalau buat kamu bersedih." Pak Devan berucap dengan merasa bersalah. Dan tanpa sengaja, aku pun menceritakan bagaimana sang kakak yang berjuang mati-matian tanpa lelah bekerja, untuk kebutuhan hidup dan pendidikan diriku semenjak ditinggal orang tua.

"Hebat, ya, kakak kamu. Nama kakakmu Mayang? Apa dia cantik?" Tanyanya lagi.

"Cantik. Emang kenapa, bapak tiba-tiba tanya kakak, saya?" Tanyaku yang sedikit cemburu, saat Pak Devan bertanya tentang kakakku, Mayang.

"Kenapa? Tidak boleh? Apa kakakmu, Mayang sudah menikah?" Tanya Pak Devan lagi, tanpa merasa berdosa.

"Belum, sih, Pak. Cuma aneh saja, masa dosen seperti bapak. Tiba-tiba saja kepo begitu pada kakak, saya." Balasku yang sedikit kesal.

"Ya, siapa tahu kami jodoh." Ucapnya yang tampak cuek.

"Ih, Apaan sih Pak. Ogah, punya kakak ipar seperti Pak Devan!" Sentakku dengan kesal. Karena benar-benar merasa cemburu mendengarnya. Dan, agar tidak ketahuan oleh Pak Devan, aku pun segera menatap ke arah luar jendela untuk menstabilkan emosi kembali.

"Kok sewot? Emang kenapa, kalau saya jadi kakak ipar kamu?" Tanya Devan, dengan memicingkan sebelah matanya.

"Ya, gak enak saja, menurut aku. Masa punya kakak ipar, tapi dosen sendiri. Gak bebas jadinya. Seperti di mata-matain terus. Apalagi, melihat sifat bapak, yang galak begitu. Bisa stress nantinya." Aku yang terang-terangan menolak, kalau seandainya itu terjadi.

Padahal, bukan itu alasan sebenarnya, yang dirasakan dan ditakutkan, Dinda. Melainkan adalah, rasa cemburu.

Sementara, respon yang diberikan Devandi, saat mendengar ucapan mahasiswinya itu, cuma mendelikkan bahu tanpa bersalah. Membuat Dinda, benar-benar kesal jadinya.

💦

"Sampai di depan gang sana, berhenti, ya Pak. Saya mau turun di sana saja." Ucapku.

"Baiklah," balas Pak Devan.

Dan, setelah sampai depan gang, Dinda pun turun. Dan, tak lupa gadis itu mengucapkan terima kasih kepada Dosennya, Devandi. Karena sudah mau mengantarkan dia pulang. Setelah itu, baru lah mobil Pak Devan melaju ke jalan raya kembali.

Kenapa Dinda, minta di turunkan di depan gang? Bukannya di depan rumahnya sendiri? Karena, dia tidak mau, dosennya itu, sampai bertemu dengan kakaknya, Mayang. Dan, terlebih lagi, Dinda yang teringat dengan ucapan dari kakaknya itu, yang melarang untuk tidak membawa laki-laki ke rumah.

☘️☘️☘️

Semenjak kejadian aku yang di antar Pak Devan. Tanpa sengaja, kami menjadi dekat. Sebenarnya, aku sih yang selalu cari kesempatan untuk dapat bertemu dan berbicara dengan Pak Devan. Dan, selalu memberi perhatian tanpa dia sadari. Sehingga, tanpa aba-aba, cinta itu makin hari kian tumbuh.

Dengan melihat senyumannya saja, aku sudah sangat senang.

Sering kali, aku merasa kesal dan cemburu saat melihat, ada mahasiswi ataupun Dosen wanita yang dekat-dekat dengan Pak Devan. Yang suka cari perhatian dan tersenyum dengan kecentilan.

Aku tidak mau, kalau sampai Pak Devan menjadi milik orng lain. Dia harus menjadi milik aku. Karena dia lah, aku merasakan jatuh cinta. Ya, Pak Devan adalah cinta pertama dan terakhir bagiku.

Tetapi, tuhan malah tak berpihak kepadaku. Sehingga, kejadian itu terjadi. Di mana, orang yang sangat aku sayang dan cinta, malah memilih orang lain. Yaitu, kakakku sendiri, kak Mayang.

Awalnya, aku sangat membenci mereka. Tetapi dengan berputarnya waktu, aku mencoba untuk berteman kembali dengan keadaan. Aku, mencoba untuk mengalah dan mengiklaskan semuanya, untuk kak Mayang. Mungkin, Pak Devan, bukanlah jodoh yang dikirim Allah, untuk aku.

Setelah, pernikahan kak Mayang. Aku, lebih fokus untuk bekerja dan bekerja. Karena saat ini, aku hanya ingin sedikit menjauh dari semua. Agar mereka tidak menyadari atas perubahan dari sikap dan prilaku aku kepada mereka. Karena, bagaimanapun, Mayang adalah kakak aku sendiri.

Sedangkan sekarang, aku bekerja sebagi pengajar di sebuah yayasan yang cukup terkenal di kotaku. Aku bertekat ingin mewujudkan cita-cita orang tuaku sendiri. Termasuk keinginan dari kak Mayang, yang juga ingin melihat aku menjadi seorang PNS serta menjadi orang sukses. Bagaimanapun, tanpa pengorbanan dari kak Mayang, mungkin aku bukan siapa-siapa.

Tetapi, itu adalah pemikiranku, sebelum aku mengetahui semua tentang kebenaran itu. Kebenaran yang membuat aku, benar-benar sangat membenci keluargaku sendiri. Termasuk membenci kamu, kak Mayang! Dan aku bertekat, akan membalas dan menghancurkan kebahagiaan yang sedang kalian rasakan sekarang!

Kebenaran yang sudah ditutup rapat oleh kedua orang tua mereka, tetapi diberi tahu oleh seseorang yang tanpa sengaja bertemu kembali oleh Dinda. Dan sejak saat itu, Dinda mulai membenci Mayang. Tanpa dia sadari, seseorang tertawa bahagia melihat Dinda, yang membenci saudaranya sendiri.

Tunggu saja, pembalasan dari aku, Mayang!

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status