LOGINWarning! Adult content. Hati-hati dalam memilih bacaan. Luciana mencintai suaminya. Sangat. Begitu pun sebaliknya, tapi siapa sangka? Rasa cinta itu menimbulkan luka. Tiga tahun bersama, rupanya tak membuat kesetiaan suaminya dapat dipertahankan. Dunianya hancur ketika dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, sang suami asyik bercumbu rayu dengan adik tirinya, dan yang lebih mengejutkan lagi, aksi itu tidak hanya dilihat olehnya, melainkan iparnya. Suami dari adik tirinya. Matthias Sinclair. Pria dingin dan nyaris tak tersentuh. Pria yang juga membuat Luciana gugup karena Matthias bukanlah pria biasa, tapi justru tak disangka, pria itu malah menawarkan sesuatu tak terduga. "Apa kamu akan diam saja direndahkan seperti ini?" "Apa maksudmu?" "Balas mereka. Jika mereka bisa melakukannya, kenapa kita tidak?"
View MoreSepasang sepatu hak tinggi terhenti di depan pintu kamar hotel. Jemari Luciana bergetar saat meraih kartu akses dalam tas yang nyaris lepas dari genggamannya. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh firasat buruk yang sudah sejak tadi menusuk-nusuk pikirannya, tapi berulang kali juga ditepisnya.
Hari ulang tahun pernikahan. Dia pikir, dia harus menyiapkan kejutan untuk Felix sebelum pria itu pulang. Bunyi klik terdengar. Pintu terbuka perlahan. Satu langkah masuk, dunia Luciana berhenti. Gaun tipis berwarna merah muda berserakan di lantai marmer, bersama dengan pakaian dalam dan kemeja yang sangat dia kenal. Di balik sekat kaca yang terbuka separuh, dua tubuh telanjang terjerat dalam selimut putih. Suara tawa kecil terdengar. Suara yang sangat Luciana kenal. Victoria. Adik tirinya. Luciana tak bisa bergerak. Jantungnya seolah diremas, darahnya mengalir dingin hingga ujung kaki saat matanya menangkap siluet dua orang tersebut. Pria yang bersama dengan Victoria. Tidak mungkin dia tidak mengenalnya. “Kakak iparku ternyata sedang bersama istriku.” Luciana menoleh cepat. Sosok itu adalah suami Victoria. Pria yang selama ini dikenal angkuh, pendiam, dan nyaris tidak pernah menatapnya lebih dari satu detik. Namun, belum sempat Luciana mencerna situasi yang semakin membuatnya gila. Matthias lebih dulu menarik tangan Luciana dari sana. Lalu Matthias menoleh ke arah Luciana. “Kita keluar dari sini.” Di lorong hotel, keheningan menyelimuti keduanya. Matthias tak bicara. Luciana pun tak bisa berkata apa-apa. Tangisnya sudah habis. Dia hanya bisa melangkah mengekori Matthias. Setelah beberapa langkah, pria itu berhenti. “Kau akan bercerai?” Luciana mendongak, menatapnya dengan mata merah. Dia terdiam sesaat, sebelum menelan ludah dan mengumpulkan suaranya yang hampir tercekik karena tangis yang tertahan. “Aku harus bagaimana? Dia tidur dengan adik tiriku di ranjang hotel yang dia sewa pakai kartu kredit kami.” Harusnya malam ini Luciana menghabiskan waktunya dengan Felix. Suaminya sudah berjanji untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ketiga tahun, tapi entah apa yang terjadi. Apakah suaminya melupakan janjinya hingga memilih berakhir di ranjang bersama adik tirinya sendiri? “Hm.” Matthias menarik napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. Ia membuka aplikasi catatan, lalu menulis sesuatu dan menunjukkannya ke Luciana. ‘Bagaimana kalau kita balas mereka? Dengan cara mereka.’ Luciana membeku. Alisnya berkerut penuh kebingungan. “Apa maksudmu?” “Kau istri Felix. Aku suami Victoria. Mereka tidur bersama. Jadi, kenapa kita tidak tidur bersama juga?” Luciana menatapnya, tak percaya dengan apa yang baru ia dengar, tapi di balik keterkejutan itu, ada api yang membakar di dadanya. Luka, amarah, dan kehancuran. Itu gila. Matthias pasti sudah gila. Pria ini mengajaknya bermain api. Apakah Matthias pikir, dia sama seperti Felix? Dia tertawa kecil. Sinis. Pahit. “Dan kamu pikir itu solusi?” “Itu awal,” jawab Matthias, suaranya tenang. Tak terpengaruh sedikit pun dengan reaksi Luciana yang memandangnya ngeri. Seolah dia sudah tidak waras karena menyarankan untuk melakukan hal yang sama. “Atau kau lebih suka jadi istri setia yang diselingkuhi?” Luciana terdiam. Malam ini, hidupnya hancur, tapi entah kenapa, tatapan dingin Matthias justru terasa lebih menguatkan daripada semua pelukan palsu yang pernah ia terima dari Felix. Namun sesaat kemudian, Luciana menggeleng. Dia menarik tangannya dan melangkah mundur. Memberi jarak antara dirinya dengan Matthias. Matanya terpaku pada pria yang ada di depannya. Menelisik ekspresi tenang Matthias. Tidak ada tanda-tanda kemarahan atau sedih di sana setelah apa yang terjadi. Tidak seperti dirinya, Matthias sangat tenang. Seolah apa yang tadi dilihatnya tidak berarti apa-apa. Luciana menghela napas kasar seraya mengusap rambutnya. "Kamu mengejekku." "Tidak ada yang mengejekmu. Hanya menyampaikan fakta." Mata Luciana menusuk. Menyelami sorot mata tenang milik Matthias. Pria ini tidak terlihat seperti berbohong atau berusaha menghiburnya. "Tidak ada yang menginginkan itu, tapi tawaranmu sangat gila. Bagaimana bisa kamu sampai berpikir seperti itu? Kamu bahkan tidak terlihat seperti terganggu dan ... apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini?" Kedua sudut bibir pria itu sedikit terangkat. Seolah ingin membentuk sebuah senyuman, tapi yang Luciana lihat tetap sama. Dia kesulitan menebak apa yang ada di pikiran Matthias saat ini. "Ikut aku!" Lagi-lagi, tangannya ditarik Matthias sebelum Luciana sempat mendapat jawaban atas pertanyaannya. Dia dibawa ke sebuah lift yang membawanya entah ke mana. Matanya berkedip melihat Matthias yang menekan tombol lantai. Keheningan terjadi. Luciana tidak bicara, begitu juga dengan Matthias. Tepatnya, dia sedang menebak, apa yang sedang dipikirkan iparnya? Suara pintu lift berdenting. Lift pun terbuka. Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, Luciana mengikuti langkah Matthias. Punggung lebar dan lengan kekar yang menarik tangannya, menjadi hal yang bisa dilihat Luciana dari sosok ipar yang selama ini tidak begitu dekat dengannya. Ketika kemudian Matthias berhenti dan membuka pintu, Luciana terdiam saat pria itu mengajaknya masuk ke salah satu suite room. Alisnya berkerut. Langkahnya ragu-ragu saat Matthias membawanya masuk. "Kenapa kamu membawaku ke sini? Aku bahkan belum mengatakan setuju." Genggaman tangan Matthias di lengannya terlepas. Luciana melihat pria itu menoleh, lalu berjalan menuju ruangan yang ternyata adalah dapur. Langkahnya santai hingga dia bisa menyeimbanginya. "Matthias—" "Aku sedang ada urusan di sini. Sampai aku melihatmu berkeliaran dan mendapat laporan, kalau istriku pergi ke sini. Bersama iparku. Lagi." Luciana tercekat. Pupil matanya melebar. Kedua tangannya refleks mengepal saat dia melihat Matthias menoleh dengan santai. "L-lagi? Jadi kamu sudah tahu?" "Hm." Luciana mendekat. Tangannya refleks mencengkeram kedua lengan baju iparnya. Tubuhnya gemetar dan rasanya, darahnya mendidih, tapi Luciana berusaha menahan diri untuk tidak melampiaskan semuanya sekarang. "Sejak kapan? Ini bukan pertama kalinya? Katakan Matthias!" Pria itu diam, tapi kedua tangannya disingkirkan. Luciana melihat Matthias dengan tenang menyeduh secangkir teh, lalu memberikan itu padanya. Reaksi tersebut, sontak membuat Luciana mengernyit aneh dan menatap tak percaya, tapi dia akhirnya tetap mengambil cangkir teh itu dan meminumnya sedikit. Aromanya wangi dan rasanya tidak pahit. Luciana merasa bahunya sedikit rileks. Cangkir itu diletakkan kasar olehnya, setelah dia mencicipinya. Fokusnya kembali tertuju pada Matthias. Kali ini lebih tenang. "Katakan." "Dua bulan terakhir. Mereka bertemu dan berkencan. Kau tidak menyadarinya?" Luciana terhenyak. Dia refleks menahan napas dan kehilangan kata-kata. Jantungnya seolah diremas begitu kuat. "Apa?" Tidak. Luciana menggelengkan kepalanya. Dia tidak pernah tahu. Suaminya selalu bersikap seperti biasa. Pergi bekerja saat pagi dan pulang sore. Itu adalah hal yang normal, setidaknya sampai dia teringat dengan beberapa kali pertengkaran mereka ketika Felix selalu lembur. Selain itu tidak ada. Tidak ada kecurigaan sama sekali karena dia tahu, Felix bekerja di kantor ayahnya. Walau dia sempat mendengar suaminya terlibat project iklan bersama dengan Victoria yang memang akan meneruskan bisnis milik ayahnya. "Jadi suamiku sudah mengkhianatiku selama ini?" tanyanya dengan nada lirih sekaligus tak percaya. Dia mengangkat kepalanya dan menatap mata Matthias. Mencari jawaban yang jelas tidak ingin dia dengar. Pria itu mengangguk dan melangkah mendekat. Luciana yang melihat itu pun, secara alami mundur sampai tubuhnya tertahan oleh meja dapur dan terkurung dalam tubuh besar Matthias. Dia terdesak. "Matthias—" "Mereka berkhianat. Mencuri setiap momen dan menganggap kita bodoh," bisik Matthias tepat di telinganya. "Tapi aku yakin, kau bukan orang yang mau direndahkan seperti ini. Mari, beri mereka pelajaran." Luciana tersentak. Tubuhnya bergidik. Dia merasakan sentakan langsung dari telinga sampai ke bawah perutnya. Sensasi seperti aliran listrik telah menyetrumnya. Memacu adrenalinenya bekerja lebih cepat. Matanya berkedip. Menatap mata gelap yang pekat milik Matthias, yang seolah ingin menariknya masuk. Seolah jika dia menerima tawaran itu, dia akan tersesat dan tenggelam sepenuhnya, tapi entah mengapa dia merasakan perlindungan. Sebuah tempat aman yang Luciana kira ada pada suaminya. Dan untuk pertama kalinya sejak dia menikah, Luciana merasa hidupnya baru saja dimulai.Lima tahun kemudian. Di sebuah rumah besar nan mewah, tempat yang dulu dingin dan tidak ada tawa sama sekali, kini berubah menjadi lebih hangat. Celotehan kecil dan tawa renyah sebuah keluarga, mengisi rumah sejak lima tahun lalu. Kebahagian mereka menyebar di setiap sudut. Bahkan membuat para asisten rumah tangga ikut merasakan kebahagiaan. Hal-hal kecil terasa begitu bermakna dan hidup. Semua orang dihargai dan mendapat rasa hormat yang sama. Semua itu karena kehadiran nyonya baru mereka. Wanita yang memberi warna baru dan menciptakan kebahagiaan dalam hati setiap penghuni rumah. "Bi, bisa tolong potong sayurnya?" Suara lembut menyadarkan lamunan seorang wanita paruh baya, yang merupakan salah satu pembantu di sana. Kepalanya menoleh cepat. "Ah, baik, Nyonya!" jawabnya refleks, tapi sesaat kemudian dia bingung dan kembali melirik majikannya. "Eh, tadi Anda suruh apa, ya?" Sang majikan menoleh. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Kepalanya menggeleng pelan saat pembantu
Hari yang dinanti akhirnya tiba, pagi itu adalah hari yang menegangkan bagi Luciana dan Matthias. Ini jelas pernikahan kedua bagi mereka, tapi tetap berhasil membuat gugup."Ada apa?" tanya Isabelle saat menjadi tangan putrinya yang sedang digenggam gemetar. Sekilas, Luciana tampak tegang."Aku gugup."Luciana menoleh sebentar. Dia melihat ibunya yang tersenyum sambil memegang tangannya. Ayahnya sudah tiada, jadi ibunya yang akan menggiring dia menemui Matthias."Jangan khawatir, Ibu akan bersamamu," ucap Isabelle lembut. Sentuhan ringan mendarat di lengan Luciana dan perlahan wanita itu menjadi lebih rileks. "Ayo ...!"Dengan satu gerakan ringan, Luciana memeluk lengan ibunya dan mengangguk. Dia mulai melangkah masuk ke dalam ruangan.Sesaat, ballroom hotel menjadi senyap. Semua mata kini tertuju pada Luciana maupun Isabelle, yang melangkah di atas karpet merah panjang yang membentang dari pintu masuk, sampai ujung panggung, tempat Matthias berdiri.Musik instrumental modern—piano le
"Sepertinya tidak banyak perubahan terjadi pada tubuh Anda. Apa Anda merasa nyaman memakainya?"Luciana menatap cermin di depannya. Melihat pantulan dirinya yang berdiri dengan gaun pengantin putih tanpa lengan yang mengembang di bagian perut ke bawah. Ada bordiran halus dan detail kecil di ujung gaun. Sementara di sisi lain tampak polos. Gaun itu menutupi perutnya yang mulai membengkak. Luciana menyukainya. Tidak terasa sesak di bagian perut. "Ya, ini nyaman. Sedikit longgar, tapi jangan diperkecil lagi." Luciana mengelus perutnya sambil melirik desainer. Desainer yang berada di belakangnya tersenyum kecil, sembari mencatat sesuatu di buku catatannya. "Baik, saya tidak akan ubah. Justru bagus kalau sedikit longgar," ucapnya sambil menunduk dan merapikan lipatan gaun di lantai. "Anda akan jauh lebih nyaman saat bergerak."Luciana menatap pantulan dirinya sekali lagi. Cahaya dari lampu kristal di langit-langit jatuh lembut di atas kain satin putih itu, memantulkan kilaunya yang hal
Satu minggu kemudian.Semua orang menjadi sibuk sekarang. Matthias hampir tidak punya waktu di rumah. Pria itu nyaris tidak pernah pulang, tidak pula sempat menghubunginya. Tak hanya itu, Alexander juga ikut sibuk. Termasuk ibunya yang beberapa kali dipanggil sebagai saksi atas kematian istri pertama Richard. Mungkin satu-satunya yang menemani adalah Genevieve, karena Arabella sendiri kembali sibuk kuliah. Sayangnya hari ini, Genevieve harus keluar karena katanya ada pembukaan cabang salon baru. Wanita paruh baya itu akan pulang terlambat dan sepertinya, termasuk melewatkan jam makan malam. Jadi Luciana hanya bersama dengan pembantu di rumah. Menunggu ibunya atau Genevieve pulang. "Nyonya, ini susu untuk Anda."Luciana tersadar dan segera menoleh ke arah pembantu yang meletakkan segelas susu di meja. Dia tahu itu adalah susu ibu hamil. "Terima kasih, Bi.""Apa ada sesuatu yang Anda butuhkan lagi?""Tidak, Bi. Aku akan mengambilnya sendiri kalau ada sesuatu.""Baiklah, saya pamit ka












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore