Warning! Adult content. Hati-hati dalam memilih bacaan. Apa yang akan kamu lakukan saat mendapati suamimu berselingkuh dengan adik tirimu sendiri? Di hari ulang tahun pernikahan, yang harusnya kalian rayakan bersama? Luciana merasakan itu. Terluka. Marah dan sakit hati. Janji pernikahan mereka dirusak oleh nafsu sesaat suaminya. Namun ternyata dia tidak sendiri. Iparnya, Matthias, ikut melihatnya dan pria itu malah menanggapinya dengan sesuatu yang tak terduga. "Apa kau akan diam saja direndahkan seperti ini?" "Apa maksudmu?" "Balas mereka. Jika mereka bisa melakukannya, kenapa kita tidak?"
view moreSepasang sepatu hak tinggi terhenti di depan pintu kamar hotel. Jemari Luciana bergetar saat meraih kartu akses dalam tas yang nyaris lepas dari genggamannya. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh firasat buruk yang sudah sejak tadi menusuk-nusuk pikirannya, tapi berulang kali juga ditepisnya.
Hari ulang tahun pernikahan. Dia pikir, dia harus menyiapkan kejutan untuk Felix sebelum pria itu pulang. Bunyi klik terdengar. Pintu terbuka perlahan. Satu langkah masuk, dunia Luciana berhenti. Gaun tipis berwarna merah muda berserakan di lantai marmer, bersama dengan pakaian dalam dan kemeja yang sangat dia kenal. Di balik sekat kaca yang terbuka separuh, dua tubuh telanjang terjerat dalam selimut putih. Suara tawa kecil terdengar. Suara yang sangat Luciana kenal. Victoria. Adik tirinya. Luciana tak bisa bergerak. Jantungnya seolah diremas, darahnya mengalir dingin hingga ujung kaki saat matanya menangkap siluet dua orang tersebut. Pria yang bersama dengan Victoria. Tidak mungkin dia tidak mengenalnya. “Kakak iparku ternyata sedang bersama istriku.” Luciana menoleh cepat. Sosok itu adalah suami Victoria. Pria yang selama ini dikenal angkuh, pendiam, dan nyaris tidak pernah menatapnya lebih dari satu detik. Namun, belum sempat Luciana mencerna situasi yang semakin membuatnya gila. Matthias lebih dulu menarik tangan Luciana dari sana. Lalu Matthias menoleh ke arah Luciana. “Kita keluar dari sini.” Di lorong hotel, keheningan menyelimuti keduanya. Matthias tak bicara. Luciana pun tak bisa berkata apa-apa. Tangisnya sudah habis. Dia hanya bisa melangkah mengekori Matthias. Setelah beberapa langkah, pria itu berhenti. “Kau akan bercerai?” Luciana mendongak, menatapnya dengan mata merah. Dia terdiam sesaat, sebelum menelan ludah dan mengumpulkan suaranya yang hampir tercekik karena tangis yang tertahan. “Aku harus bagaimana? Dia tidur dengan adik tiriku di ranjang hotel yang dia sewa pakai kartu kredit kami.” Harusnya malam ini Luciana menghabiskan waktunya dengan Felix. Suaminya sudah berjanji untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ketiga tahun, tapi entah apa yang terjadi. Apakah suaminya melupakan janjinya hingga memilih berakhir di ranjang bersama adik tirinya sendiri? “Hm.” Matthias menarik napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. Ia membuka aplikasi catatan, lalu menulis sesuatu dan menunjukkannya ke Luciana. ‘Bagaimana kalau kita balas mereka? Dengan cara mereka.’ Luciana membeku. Alisnya berkerut penuh kebingungan. “Apa maksudmu?” “Kau istri Felix. Aku suami Victoria. Mereka tidur bersama. Jadi, kenapa kita tidak tidur bersama juga?” Luciana menatapnya, tak percaya dengan apa yang baru ia dengar, tapi di balik keterkejutan itu, ada api yang membakar di dadanya. Luka, amarah, dan kehancuran. Itu gila. Matthias pasti sudah gila. Pria ini mengajaknya bermain api. Apakah Matthias pikir, dia sama seperti Felix? Dia tertawa kecil. Sinis. Pahit. “Dan kamu pikir itu solusi?” “Itu awal,” jawab Matthias, suaranya tenang. Tak terpengaruh sedikit pun dengan reaksi Luciana yang memandangnya ngeri. Seolah dia sudah tidak waras karena menyarankan untuk melakukan hal yang sama. “Atau kau lebih suka jadi istri setia yang diselingkuhi?” Luciana terdiam. Malam ini, hidupnya hancur, tapi entah kenapa, tatapan dingin Matthias justru terasa lebih menguatkan daripada semua pelukan palsu yang pernah ia terima dari Felix. Namun sesaat kemudian, Luciana menggeleng. Dia menarik tangannya dan melangkah mundur. Memberi jarak antara dirinya dengan Matthias. Matanya terpaku pada pria yang ada di depannya. Menelisik ekspresi tenang Matthias. Tidak ada tanda-tanda kemarahan atau sedih di sana setelah apa yang terjadi. Tidak seperti dirinya, Matthias sangat tenang. Seolah apa yang tadi dilihatnya tidak berarti apa-apa. Luciana menghela napas kasar seraya mengusap rambutnya. "Kamu mengejekku." "Tidak ada yang mengejekmu. Hanya menyampaikan fakta." Mata Luciana menusuk. Menyelami sorot mata tenang milik Matthias. Pria ini tidak terlihat seperti berbohong atau berusaha menghiburnya. "Tidak ada yang menginginkan itu, tapi tawaranmu sangat gila. Bagaimana bisa kamu sampai berpikir seperti itu? Kamu bahkan tidak terlihat seperti terganggu dan ... apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini?" Kedua sudut bibir pria itu sedikit terangkat. Seolah ingin membentuk sebuah senyuman, tapi yang Luciana lihat tetap sama. Dia kesulitan menebak apa yang ada di pikiran Matthias saat ini. "Ikut aku!" Lagi-lagi, tangannya ditarik Matthias sebelum Luciana sempat mendapat jawaban atas pertanyaannya. Dia dibawa ke sebuah lift yang membawanya entah ke mana. Matanya berkedip melihat Matthias yang menekan tombol lantai. Keheningan terjadi. Luciana tidak bicara, begitu juga dengan Matthias. Tepatnya, dia sedang menebak, apa yang sedang dipikirkan iparnya? Suara pintu lift berdenting. Lift pun terbuka. Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, Luciana mengikuti langkah Matthias. Punggung lebar dan lengan kekar yang menarik tangannya, menjadi hal yang bisa dilihat Luciana dari sosok ipar yang selama ini tidak begitu dekat dengannya. Ketika kemudian Matthias berhenti dan membuka pintu, Luciana terdiam saat pria itu mengajaknya masuk ke salah satu suite room. Alisnya berkerut. Langkahnya ragu-ragu saat Matthias membawanya masuk. "Kenapa kamu membawaku ke sini? Aku bahkan belum mengatakan setuju." Genggaman tangan Matthias di lengannya terlepas. Luciana melihat pria itu menoleh, lalu berjalan menuju ruangan yang ternyata adalah dapur. Langkahnya santai hingga dia bisa menyeimbanginya. "Matthias—" "Aku sedang ada urusan di sini. Sampai aku melihatmu berkeliaran dan mendapat laporan, kalau istriku pergi ke sini. Bersama iparku. Lagi." Luciana tercekat. Pupil matanya melebar. Kedua tangannya refleks mengepal saat dia melihat Matthias menoleh dengan santai. "L-lagi? Jadi kamu sudah tahu?" "Hm." Luciana mendekat. Tangannya refleks mencengkeram kedua lengan baju iparnya. Tubuhnya gemetar dan rasanya, darahnya mendidih, tapi Luciana berusaha menahan diri untuk tidak melampiaskan semuanya sekarang. "Sejak kapan? Ini bukan pertama kalinya? Katakan Matthias!" Pria itu diam, tapi kedua tangannya disingkirkan. Luciana melihat Matthias dengan tenang menyeduh secangkir teh, lalu memberikan itu padanya. Reaksi tersebut, sontak membuat Luciana mengernyit aneh dan menatap tak percaya, tapi dia akhirnya tetap mengambil cangkir teh itu dan meminumnya sedikit. Aromanya wangi dan rasanya tidak pahit. Luciana merasa bahunya sedikit rileks. Cangkir itu diletakkan kasar olehnya, setelah dia mencicipinya. Fokusnya kembali tertuju pada Matthias. Kali ini lebih tenang. "Katakan." "Dua bulan terakhir. Mereka bertemu dan berkencan. Kau tidak menyadarinya?" Luciana terhenyak. Dia refleks menahan napas dan kehilangan kata-kata. Jantungnya seolah diremas begitu kuat. "Apa?" Tidak. Luciana menggelengkan kepalanya. Dia tidak pernah tahu. Suaminya selalu bersikap seperti biasa. Pergi bekerja saat pagi dan pulang sore. Itu adalah hal yang normal, setidaknya sampai dia teringat dengan beberapa kali pertengkaran mereka ketika Felix selalu lembur. Selain itu tidak ada. Tidak ada kecurigaan sama sekali karena dia tahu, Felix bekerja di kantor ayahnya. Walau dia sempat mendengar suaminya terlibat project iklan bersama dengan Victoria yang memang akan meneruskan bisnis milik ayahnya. "Jadi suamiku sudah mengkhianatiku selama ini?" tanyanya dengan nada lirih sekaligus tak percaya. Dia mengangkat kepalanya dan menatap mata Matthias. Mencari jawaban yang jelas tidak ingin dia dengar. Pria itu mengangguk dan melangkah mendekat. Luciana yang melihat itu pun, secara alami mundur sampai tubuhnya tertahan oleh meja dapur dan terkurung dalam tubuh besar Matthias. Dia terdesak. "Matthias—" "Mereka berkhianat. Mencuri setiap momen dan menganggap kita bodoh," bisik Matthias tepat di telinganya. "Tapi aku yakin, kau bukan orang yang mau direndahkan seperti ini. Mari, beri mereka pelajaran." Luciana tersentak. Tubuhnya bergidik. Dia merasakan sentakan langsung dari telinga sampai ke bawah perutnya. Sensasi seperti aliran listrik telah menyetrumnya. Memacu adrenalinenya bekerja lebih cepat. Matanya berkedip. Menatap mata gelap yang pekat milik Matthias, yang seolah ingin menariknya masuk. Seolah jika dia menerima tawaran itu, dia akan tersesat dan tenggelam sepenuhnya, tapi entah mengapa dia merasakan perlindungan. Sebuah tempat aman yang Luciana kira ada pada suaminya. Dan untuk pertama kalinya sejak dia menikah, Luciana merasa hidupnya baru saja dimulai.Luciana terdiam. Mulutnya menganga saat matanya menatap beberapa piring berisi makanan di depannya. Makanan yang menggugah selera hingga berhasil membuat perutnya keroncongan. Namun dia tidak mengambil bagian, tatapannya justru beralih pada pria di depannya. "Kenapa? Makanlah."Luciana menghembuskan napas kasar mendengar jawaban santai Matthias. Dia refleks melirik sekeliling ruangan. Tidak ada orang, jelas saja karena itu ruang makan privat. Hanya ada mereka di sana dan sialnya, dia sendiri tidak yakin bagaimana dirinya bisa berakhir di sana bersama dengan Matthias. "Matthias, kamu tahu? Kamu tidak perlu melakukan ini. Aku hanya ingin pulang.""Pulang? Dengan suara perutmu yang terus berbunyi?"Bola mata Luciana melebar. Bibirnya terbuka, sebelum kemudian terkatup kembali dan menunduk dengan kedua pipi memerah. Dia refleks memegangi perutnya. "Perut berbunyi bukan berarti lapar.""Tapi kau kelaparan.""Kata
Luciana sedang fokus. Dia mengerjakan semua berkas yang menumpuk di meja. Entah sudah berapa lama, dia tidak menghitungnya, tapi yang pasti, suara gelas yang diletakkan di sebelahnya, berhasil mengalihkan fokusnya. "Minumlah."Mata Luciana berkedip. Dia menatap Matthias yang meletakkan gelas berisi cairan berwarna merah, lalu duduk sambil menyilangkan salah satu kaki. Memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa dia artikan. Luciana pun meletakkan berkas yang sedang dia kerjakan dan mengambil gelas itu. Namun dia tidak langsung menenggaknya. Hidungnya mengendus minuman itu, sebelum kemudian melirik iparnya lagi sembari meletakkan gelasnya di tempat semula. "Maaf, aku tidak minum alkohol.""Itu hanya wine.""Tetap saja, itu alkohol.""Baiklah, kau mau apa?"Luciana berkedip saat melihat Matthias berdiri dan mengambil gelas wine itu. "Tunggu, kamu mau mengambilkan minum untuku?""Ya, ada apa?"
"Kamu pantas mendapatkannya. Harusnya lebih dari itu.""Maksudmu apa? Kau mengajakku ribut?"Luciana menatap tajam Victoria. Rahangnya mengeras saat melihat adik tirinya yang marah dan seolah siap melawannya. Tangan wanita itu masih memegangi pipinya yang bengkak. "Aku hanya memberimu pelajaran.""Pelajaran apa? Sepertinya kau jadi gila sekarang.""Gila?" Luciana tertawa sumbang. Matanya masih tertuju pada Victoria yang kini terlihat ngeri melihatnya. Lalu tiba-tiba, dia mendorong dan menekannya ke dinding. Tangannya menarik kasar kerah baju Victoria hingga wanita itu terkejut. Tawanya berhenti dan yang terlihat hanyalah kemarahan. "Aku tidak mengerti," bisik Luciana sambil menahan amarahnya. Suaranya sedikit tercekat saat dia bicara. Dadanya sakit. Sangat. "Kamu ini punya segalanya. Kamu cantik, pintar, kaya dan kamu juga punya suami yang sempurna."Ada kesedihan dalam nada suara Luciana saat mengatakannya. Kekecewaan dan kemarahan yang membuatnya benar-benar ingin mengamuk, tapi
Langit begitu cerah hari itu. Sinar matahari menyorot langsung ke arah orang-orang yang sibuk bekerja atau sekadar berjalan-jalan. Namun lain halnya dengan Luciana. Akibat kejadian kemarin, dia sama sekali tidak merasa bergairah menjalani hari. Luciana terduduk tenang di kursi penumpang saat taksi yang dia pesan melaju di jalanan yang agak lengang. Raut wajahnya yang sedih dan muram masih menghiasi. Felix belum kembali dan dia tidak tahu ke mana. Luciana sendiri bingung dan tidak tahu harus bertindak apa. Cerai? Tidak. Itu adalah pilihan yang sulit. Bohong baginya jika Luciana mengatakan sudah tidak lagi mencintai suaminya setelah dikhianati. Kenyataannya, dia masih sangat mencintai Felix setelah semua terjadi. "Bu, apa kita akan pergi ke Sinclair Group?"Luciana yang sedang terbengong menatap jendela, seketika teralihkan oleh pertanyaan sopir taksi. "Iya, kita ke sana. Tolong lebih cepat.""Baik, Bu."Luciana menarik napas dalam-dalam dan kembali menatap jalanan lewat jendela ka
Luciana mengernyit. Matanya melirik ke arah yang ditunjuk suaminya dan seketika itu juga, dia sadar itu adalah tanda yang dibuat Matthias di tulang selangkanya. Luciana mendengkus. Dia langsung menyingkirkan tangan Felix dari bahunya. "Harusnya kamu sudah tahu. Tidak mungkin aku harus menjelaskannya kan?"Dagu Luciana terangkat. Dia mundur dan meraih lengan Matthias. Menantang Felix tanpa peduli apa pun lagi. Rasa sakit hati dan kekecewaan atas pengkhianatan suaminya telah membuatnya nekat memilih membalas rasa sakit hatinya. Jika suaminya bisa, kenapa dia tidak? "Apa maksudmu? Jangan katakan kamu tidur dengannya!"Mata Luciana memanas. Perih dan hampir saja cairan bening menetes, saat dia melihat kemarahan dan luka di mata suaminya. Namun bayangan ketika dia melihat suaminya di ranjang bersama adik tirinya, kembali berputar di kepala seakan sedang mengejeknya, dia menguatkan tekad. Mengepalkan tangannya kuat-kuat seolah sedang berusaha mengeraskan hatinya. "Ya, aku melakukannya.
Pernikahan adalah sesuatu yang suci. Komitmen dalam sebuah hubungan jangka panjang yang harusnya dijaga, bukan hanya diucap di hadapan Tuhan, lalu dilupakan ketika menemukan seseorang yang lebih baik dari pasangan. Sayangnya bagi Luciana, pernikahannya sudah hancur saat sang suami memilih mengkhianatinya. Kini ... dia juga melakukannya. Sepasang tangan meremas seprai putih yang kusut saat erangan lembut lolos dari bibirnya. Luciana terengah-terengah. Matanya menatap pria yang bergerak di atasnya. Entah siapa yang memulai, tapi saat ini, dia sudah ada di bawah tubuh besar Matthias. Tanpa busana dan bermandi peluh. "Matthias," rengek Luciana yang dibalas geraman pria itu. Bibir merahnya yang terbuka, dengan cepat dibungkam, meredam semua rintihan yang akan lolos dari bibirnya. Kedua kakinya melingkar di sekitar pinggang Matthias saat Luciana merasakan intensnya gerakan pria itu. Sebelum akhirnya tubuhnya mengejang. Tersentak beberapa kali dengan teriakan yang teredam. Perasaan lel
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments