Share

Janin Tersangkut di Jalan Lahir Ibunya
Janin Tersangkut di Jalan Lahir Ibunya
Penulis: Sandra Kizanaya

BAB 1

Malam itu, langit gelap melingkupi Desa Kunti. Hujan tampaknya akan turun tak lama lagi. Seorang wanita terseok-seok menyusuri jalanan setapak. Napasnya terengah-engah, keringat bercucuran di kening wanita itu.

"Duhai, janganlah hujan. Biar saya cepat sampai," gumamnya.

Wanita bernama Nyai Sri itu bergegas, mencoba sampai sebelum hujan turun. Kali Brani akan meluap jika hujan, dan dia harus menyeberang sebentar lagi.

Nyai Sri telah sampai di Kali Brani, dengan hati-hati dia menyusuri jembatan dengan lebar setengah meter itu. Jembatan rapuh yang sudah tua itu masih digunakan warga untuk menyeberang dari pemukiman satu ke lainnya. Hanya itu jalan tersingkat yang ada, jika dibandingkan dengan jembatan beton yang jauhnya lima kilometer dari situ.

Nyai Sri, bidan kampung itu harus lekas-lekas, sebab seorang perempuan memerlukan bantuannya.

Saat Sri ingin menyeberang, tiba-tiba saja air bah datang dari kanan sungai. Perempuan itu berteriak kemudian terlempar. Jembatan kayu itu mendadak putus dan air menenggelamkan semuanya.

Sri terapung-apung. Kepalanya timbul tenggelam karena diterjang air. Napasnya tersengal. Perempuan itu mencoba berenang, tetapi air menerjangnya entah ke mana. Dia juga tidak tahu apakah berada di tengah atau di tepian. Gelapnya malam berselimut mendung itu membuat segalanya makin mencekam, meskipun magrib baru saja usai.

Sri akhirnya pasrah pada alam.

Malam itu adalah akhir hidup dari bidan kampung bernama Nyai Sri tersebut.

***

Sementara itu di rumah lain.

"Ke mana Nyai Sri ini?" Tarman keluar masuk kamar dan sesekali menengok ke luar melalui jendela.

"Hujan bentar lagi turun, ini gimana dengan Maya?" Seorang wanita paruh baya juga turut khawatir.

"Tenang, berdoa aja," sambung seorang pria paruh baya.

"Ibu dan Ayah tenang, Nyai Sri mungkin sedang di perjalanan," ucap Tarman mencoba menenangkan ayah dan ibu mertuanya.

Sementara itu, Maya yang sedang berjuang melahirkan anaknya di kamar hanya mampu berteriak saat gelombang itu datang.

"May, sabar May!" ucap Dea sembari mengelus pinggang Maya.

"Aaaarggh!" Maya mengerang lagi. Kali ini makin keras. "Uda gak kuat aku, Dea. Tolooong!" pekik Maya sembari menangis.

Dea hanya bisa menangis. Dia tidak tahu harus berbuat apa pada iparnya itu. Dia juga pernah melahirkan, dua anak malahan, tetapi belum pernah mengalami seperti si Maya.

"May, tenang May, tarik napas, embuskan," kata Dea.

Maya menarik napas dan mengembuskan. Dia mengejan lagi, tetapi saat Dea cek, tidak ada apa pun yang keluar dari diri Maya. Hanya darah dan air ketuban yang banyak.

Dea gusar, dia keluar. "Gimana ini Bang, Maya kesusahan!" pekik Dea pada Zuhal, suaminya sekaligus abang kandung Maya.

"Kita bawa ke rumah sakit ajalah, Buk," tandas Zuhal.

"Ya Allah gimana mau ke rumah sakit, Hal, rumah sakit aja jauhnya buka main!"

"Terkejar ndak ya, Bang? Kasian Maya!" cecar Tarman.

"Ndak, tapi kita usahakan ajalah, Man!"

"Kalau gitu Abang tolong hubungi Pak Lurah, sediakan mobil. Nanti aku gendong Maya ke rumah dia," kata Tarman.

Zuhal sudah bersiap-siap akan pergi, tetapi teriakan Maya di dalam menghentikan geraknya.

"Aaarrgh!" Lagi-lagi Maya mengerang.

Dea segera melihat ke kamar itu. "Tolong, Bang! May ... May kejang-kejang!" pekik dea.

Semua orang panik dan buru-buru ke kamar Maya. Marini, Dea, sudah ada di dalam. Meraka hanya bisa menangis saat melihat Maya mengejang.

"Ya Allah, Maay, Maaaaay!" Pekik Marini, ibunya.

Dea menangis, sementara itu Tarman memeluk istrinya dan tergugu.

"Dek! Dek! Sadar Dek, lailaahailallah! Ngucap, Dek," ucap Tarman sedih sembari memeluk kepala Maya.

Namun, tangisan-tangisan mereka takkan membantu wanita itu. Maya mengejang, matanya melotot, tubuh wanita itu kaku dan sedetik kemudian ia terdiam.

"Dek! Deeek!" Tarman menepuk-nepuk wajah istrinya.

"Deeek! Bangun Dek! Deeek!" Tarman kian menjadi-jadi.

Kacau, darah ada di mana-mana. Tarman berteriak histeris, sementara Marini dan Dea hanya menangis.

"Ya Allah, ya Allah anakku!" Pekik Roslan melihat Maya tak bergerak.

"Gimana ini? Gimana?" teriak Roslan. "Pak Lurah udah sediakan mobilnya, kita bawa aja cepaat!"

Roslan ingin mengangkat tubuh Maya, tetapi Tarman menghentikannya. "Jangan Pak, Maya udah meninggal!" ucapnya.

Ya Allah!

Roslan terduduk di lantai yang dingin mendengar fakta anaknya meninggal. Sementara itu Zuhal turut menangis mendengar adik satu-satunya tiada. Semua orang yang ada di sana larut dalam duka.

Malam itu hujan turun dengan lebat, seolah-olah ikut berduka akan kehilangan keluarga tersebut. Malang tak dapat dihindari, itulah yang bernama kematian.

***

Warga Desa Kunti berkumpul di rumah Pak Roslan saat mendengar kabar Maya meninggal saat akan melahirkan anaknya. Waktu itu baru pukul 8 malam, setengah jam setelah Maya mengembuskan napas terakhirnya. Para warga berniat akan melakukan kepengurusan jenazah malam itu juga. Hujan lebat yang hanya terjadi di selama 15 menit tadi tidak menghalangi para warga melakukan kebiasaan mereka.

Warga Desa Kunti yang meninggal karena melahirkan harus dikubur malam itu juga sebab desas-desusnya kuntilanak merah akan mengacau jenazah sepanjang malam jika tidak segera dikuburkan. Terlebih ibu yang meninggal dengan anak masih di dalam perutnya.

"Sudah kubilang, bawaklah ke rumah sakit, kalian semua tak mendengar. Percayanya ke dukun, dukun, dukun, dan dukun terus. Cobalah diubah kepercayaan itu. Cobalah dibawa ke rumah sakit. Maya mungkin masih hidup sekarang!" ucap zuhal berapi-api di hadapan kedua orang tuanya.

"Bukan begitu, Nak. Nyai Sri kan udah jadi dukun kampung selama 30 tahun. Dia juga yang menyambut kalian berdua waktu ibuk melahirkan kalian dulu," balas Marini.

"Iya, Buk. Zuhal tau, tapi zaman sekarang sudah modern apalagi kita ini berada di desa terpencil yang jauh dari fasilitas rumah sakit. Ada baiknya Maya kemarin dibawa ke rumah kami dulu. Rumah kami kan, dekat dengan rumah sakit, Buk. Kalau ada apa-apa, langsung saja pergi rumah sakit tanpa harus menunggu ini itu, ini itu. Ujung-ujungnya kan jadi begini," cecar Zuhal kesal.

"Sudahlah, semua sudah terjadi mau bagaimana lagi," potong Roslan mencoba menenangkan mereka.

"Iya, Pak. Tapi ini sebagai pelajaran bagi kita semua juga, bagi semua warga kampung, jangan terlalu terikat dukun dan kepercayaan-kepercayaan kuno. Kita ini sudah hidup di abad 21, Pak. Fasilitas rumah sakit itu sudah bagus, tinggal kita mau gaknya aja. Berobat udah gratis!" Zuhal kian emosi. Air mata tak henti mengalir dari netranya.

"Sudahlah, Bang," ucap Dea menenangkan suaminya sembari mengelus punggung Zuhal.

Zuhal menarik napas, dia tidak ingin berdebat dengan orang tuanya atau dengan iparnya sendiri. Banyak kata-kata yang ingin dia ucapkan tetapi Zuhal berpikir lebih baik menyimpan semua itu di dalam hati.

Tentang keleletan Tarman dalam menghadapi persalinan istrinya dan juga pasrahnya kedua orang tua mereka kepada Nyai Sri yang bahkan sampai sekarang belum juga datang.

Zuhal menyimpan itu dalam-dalam. Dia bukannya tidak mau membantu adiknya, dia sudah menyiapkan kamar khusus di rumah mereka untuk sang adik dan mereka sudah mengatakan akan mengambil Maya agar melahirkan di rumah mereka saja

Di sana ada fasilitas puskesmas, rumah sakit, bidan praktik, dan segala macam keperluan medikasi yang mungkin lebih baik daripada dukun di kampung in. Namun orang tua mereka lebih percaya kepada dukun dan menyangkal omongan Zuhal.

Yang lebih mengesalkan lagi, mereka mengabarkan kalau Maya akan melahirkan tepat di detik-detik saat Maya sudah sekarat. Jika saja mereka mengabarkan kepada Zuhal lebih lebih awal, mungkin Maya bisa tertolong.

"Sudahlah, Bang. Kematian itu sudah menjadi urusan Allah, Maya sudah berada di pelukan Allah sekarang. Abang tahan emosi, jangan sampai gara-gara ini hubungan keluarga menjadi retak, Bang," bujuk Dea sembari mengelus bahu suaminya.

Zuhal memegang tangan Dea dan meremasnya. "Abang sedih, Dek. Adik abang satu-satunya di dunia ini meninggalkan abang. Sekarang abang cuman punya kamu dan anak-anak," ujarnya sembari melap air mata.

"Kita tak boleh menyalahkan sebab, Bang. Karena itu sama dengan menyalahkan takdir Allah. Kita terima saja, Bang. Toh nyawa Maya tidak bisa lagi kita kembalikan bukan?"

Zuhal mengangguk. "Iya, Dek. Abang paham. Abang hanya berduka. Tadi abang merasa seolah-olah mendampingi kamu melahirkan Dek, jadi perasaan abang kacau balau rasanya."

Dea mengusap punggung suaminya dan menenangkan pria itu. Apa lagi yang bisa dia lakukan selain hal tersebut?

Warga sudah berdatangan dan akan melakukan kepengurusan jenazah. Beberapa orang wanita sudah siap dengan peralatan memandikan mayat dan beberapa pria sudah menyediakan berbagai bak air untuk memandikan jenazah. Penggali kubur juga sudah melakukan tugas mereka. Tenda telah digelar di luar rumah dan beberapa pria warga kampung pun telah berkumpul untuk menjaga rumah warga yang keluarganya sedang meninggal.

"Lebih baik kita segera melakukan kepengurusan jenazah sebelum malam semakin larut," ucap Mak Sari, ketua dari fardhu kifayah Desa Kunti.

Semua orang bersiap-siap termasuk Dea. Dia bantu mengemasi kekacauan yang terjadi di kamar tadi, termasuk mengganti kain Maya yang terkena darah dengan kain baru.

Saat menyingkap kain sarung yang terkena darah, terlihat kepala bayi Maya sudah keluar dari jalan lahir. Kepala dan leher janin itu sudah berada di luar, sedangkan tubuhnya masih ada di dala. Mereka berhati-hati.

Saat Dea, Mak Sari, dan beberapa wanita ingin mengangkat tubuh Maya, tiba-tiba saja janin yang tersangkut itu bergerak. Sontak beberapa wanita yang membantu Mak Sari berteriak sehingga membuat warga di luar bertanya-tanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status