Share

Bab 2

Zuhal ingin masuk ke dalam dan melihat apa yang terjadi tetapi Mak Sari melarangnya.

"Kenapa, Mak?" tanya Zuhal dari luar.

"Jangan masuk kau, Zuhal. Jangan ada laki-laki yang masuk ke kamar ini. Tolong hormati jenazah, jangan sampai menimbulkan fitnah."

"Tapi saya mau tahu apa yang terjadi sama adik saya, Mak Sari!"

Karena tidak tahan dan merasa tidak pernah didengarkan, Zuhal merangsek masuk. Saat itu dia melihat Dea berdiri di samping jenazah Maya dengan wajah sendu. Dia juga melihat janin sang adik yang tersangkut di jalan lahir.

"Ya Allah, ndak bisa dikeluarkan itu?" tanya Zuhal.

"Wanita yang meninggal bersama janinnya harus dikubur jadi satu dan tidak bisa dikeluarkan."

"Tapi ... tapi bayinya gerak dan dia belum tentu meninggal juga. Lebih baik kita cek, siapa tahu bayinya masih hidup, Mak. Kita coba keluarkan," kata Dea.

"Jangan mengada-ngada deh, ya. Sejak dulu jika ada yang meninggal melahirkan baik janinnya keluar setengah atau keluar dengan keadaan meninggal tetap dikuburkan bersama dengan ibunya apalagi ini kepalanya saja yang keluar. Macam mana kita mau menarik kalau ndak ada dorongan dari dalam."

"Tapi bayinya gerak," kata Dea masih mempertahankan apa yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri. "Yang lain juga liat tadi kan bayinya gerak?" tanya Dea pada asisten Mak Sari. Para wanita itu hanya diam. Mungkin, takut pada Mak Sari.

"Iya gerak, mungkin itu gerak otomatis yang terjadi pada jenazah yang baru meninggal. Lagi pula kamu jangan banyak cakap, Dea. Kamu menantu yang gak diinginkan mertua kamu. Yang berhak atas Maya ya orang tua dia, bukan kamu," balas Mak Sari.

Dea merasa sungkan setelah Mak Sari mengatakan itu. Dia teringat lagi kisah silam yang membuatnya hampir bercerai degan Zuhal. Fitnah yang dibuat Maya dan mertuanya yang sampai kini masih membekas lukanya, kembali teriris oleh kata-kata Mak Sari. Namun, terlepas dari semua itu, dii dia ingin sekali mengecek kondisi janin tersebut. Naluri keibuan memaggil jiwanya, meskipun harus terluka.

"Bagaimana ini, Bang? Kemungkinan bayinya masih hidup," bisik Dea di telinga Zuhal.

"Adek yakin?" tanya Zuhal.

Dea mengangguk.

"Coba kamu cek aja."

"Tapi nanti Mak Sari marah, Bang," kata Dea.

Zuhal berpikir bahwa ini tidak bisa dibiarkan. Dea dan dia adalah anggota keluarga dari Maia, kenapa Dea tidak diperbolehkan mengecek adik iparnya sendiri? Lagi pula dia sudah jera mengikuti kata-kata ibunya yang dulu hampir membuatnya bercerai dengan Dea. Sejak saat itu Zuhal selalu mengikuti apa kemauan Dea dan terbukti Dea memang selalu benar. Begitu juga kali ini, dia yakin istrinya benar.

"Kamu cek saja biar abang yang tanggung jawab," ucap Zuhal.

Dengan mantap suami istri itu menghampiri jenazah Maya.

"Dea mau mengecek adik saya. Tolong Mak Sari dan yang lainnya mundur sebentar," kata Zuhal.

Mak Sariri kaget melihat Zuhal dan Dea mengatakan itu. Tentu saja dia tidak memperbolehkan kedua suami istri itu melakukan apa yang mereka mau.

"Ya ndak bisa begitu, dong. Sekarang jenazah sudah tanggung jawab saya. Ini amanah dari orang tua kalian. Kalian tidak boleh melakukan apa pun terhadap jenazah yang sudah disentuh tangan saya," kata Mak Sari.

"Izinkan Dea mengecek sebentar saja mas sebentar saja tolong, Mak," kata Dea memohon.

"Ndak bisa gitu." Mak Sari mendekat, ingin mencegah Dea yang berniat menyentuh jenazah Maya.

Zuhal menghalangi Mak Sari dan dia memberi isyarat kepada Dea untuk melanjutkan apa yang dilakukannya.

"Mak bisa saya laporkan ke polisi karena menghalangi anggota keluarga mengurus jenazah keluarganya sendiri," bisik Zuhal di dekat Mak Sari.

Mak Sari mundur, dia kesal. Namun dia tidak keluar dari kamar itu.

Dea mengangkat kaki Maya dan melihat kondisi janin yang tadi diyakininya bergerak. Janin itu tertelungkup. Dia mencoba memutar kepala janin. Dengan berhati-hati dia membalik kepala janin untuk melihat apakah janin tersebut sudah meninggal atau malah sebaliknya. Ada setitik harapan di hati Dea akan kemungkinan kalau janin tersebut masih hidup mengingat kepalanya sudah berada di luar jalan lahir.

Benar saja, setelah janin itu dibalik, Dea melihat bibir janin tersebut bergerak.

"Iya, Bang bener bergerak. Lihat bibirnya kayak ngemut," kata Dea pada Zuhal.

Mata Dea berkaca-kaca. Zuhal juga demikian. Sekarang, mereka harus mengeluarkan janin itu dengan segala cara.

"Ndak bisa ini, jenazah ndak bisa dikubur. Janinnya masih hidup, kita harus mengeluarkan bayi ini dari ibunya," papar Zuhal.

Mbak Sari maju, dia protes. "Ndak bisa gitu dong. Sudah meninggal begitu ibunya, masak janinnya idup. Kamu ini bukan bidan, bukan dokter, tapi sok tahu sekali kamu. Saya udah sering mendapat kasus seperti ini dan tidak ada yang hidup seperti apa yang kamu katakan. Tahu nggak kamu!" cecarnya.

"Ya Allah, coba Mak Sari liat sendiri. Saya liat bayinya bergerak, bibirnya kayak ngemut gitu," kata Zuhal masih mencoba meyakinkan.

Mak Sari maju ke dekat jenazah dan dia tidak dapat melihat apa pun.

"Bohong kamu! Saya tidak liat apa pun? Mana? Janin pucat kayak gini juga. Sudahlah, kalau kalian masih ngotot, saya gak mau ngurus jenazah adik kalian. Kamu ini bertindak berdasarkan keyakinan saja, bukan ilmu bagaimana kamu ini?" tandas Mak Sari sembari mengemasi barang miliknya.

Orang tua Maya yang mendengar keributan di luar buru-buru masuk ke kamar dan ingin mengecek apa yang terjadi.

"Ada apa ribut-ribut?" tanya Roslan.

Marini mengikuti dari belakang. Dia shock ketika melihat kondisi anak perempuannya.

"Ini Pak, saya tak bisa melakukan kerjaan saya kalau menantu sama anak bapak ini mau mencegah kerjaan saya terus," adu Mak Sari.

"Kenapa memangnya, mereka mau apa?" tanya Roslan.

Ma Sari menjelaskan dengan berapi-api akan kelakukan Dea dan Zuhal yang dia anggap menggangu pekerjaannya sebagai ketua fardu kifayah perempuan di Desa Kunti tersebut.

"Kalau banyak drama gini susah seleseinya, Pak. Nguburin ndak bisa di atas jam 10 malam, ini udah jam setengah sembilan loh. Bapak ndak takut anaknya dimakan Iwak Merah?"

Mak Sari menakuti Pak Roslan dan Marini tentang keberadaan kuntilanak merah yang suka memakan mayat ibu hamil yang mati melahirkan. Mereka menyebut kuntilanak itu dengan sebutan Iwak Merah untuk menyamarkan sebutan agar tida dianggap manggil.

"Iklaskan saja, Zuhal biar cepat selesai kerjaan pengurusan jenazah ini. Meskipun kamu kasihan melihat Maya dan anaknya begitu," ucap Roslan.

Zuhal yang mendengar itu otomatis naik amarahnya, lagi-lagi orang tuanya percaya pada orang daripada anaknya sendiri. Pas Maya mau lahiran juga mereka lebih percaya ke perkataan Nyai Sri, setelah kematian Maya keluarganya saja tidak boleh melihat dan mengurus jenazah Maya. Ini tidak bisa dibiarkan!

"Saya sebagai anak tertua dan yang punya hak kepada adik saya dengan ini memberikan hak itu kepada istri saya untuk mengecek Maya. Yang lainnya diam! Apa pun yang terjadi selanjutnya, itu tanggung jawab kami berdua." Zuhal menegaskan.

"Zuhal! Kamu udah berani melawan orang tua sekarang ya!" tariak Marini kepada anak lelakinya tersebut.

"Iya iya, Ibu silakan berteriak sesuka hati Ibu. Zuhal bukan Tarman yang akan manut saja kepada perkataan Bapak dan Ibu. Zuhal punya prinsip sendiri. Ibu sama bapak untuk saat ini diam saja."

"Zuhal!" Pak Roslan ikutan berteriak.

Zuhal memberi isyarat kepada Dea untuk melanjutkan. Dea mencoba mengecek kembali kondisi janin tersebut, dia agak kesulitan karena posisi kaki Maya yang tidak bisa ditekuk.

"Bang tolong bantu ditekuk kakinya dan ditahan," kata Dea

Zuhal melakukan apa yang istrinya suruh sementara itu Mak Sari keluar dari kamar. Orang tua mereka juga melihat apa yang kedua anak dan menantunya lakukan, meskipun mereka marah. Sementara Tarman, entah di mana lelaki itu.

"Bismillah," ucap Dea.

Wanita lulusan SMA itu mencoba menarik janin, tetapi janin itu tidak mau keluar. Jalan lahirnya sangat sangat sempit. Harus ada dorongan dari dalam atau sesuatu harus dilakukan untuk itu. Dengan sedikit pengetahuan yang dia dapatkan mencoba melakukan yang terbaik yang bisa dia pikirkan.

"Bang tolong ambilkan gunting," kata Dea.

Zuhal langsung mengambil gunting yang dia lihat ada di dekat kain kafan.

"Buat apa kau gunting?" Ternyata Mak Sari yang berkata tak mau mengurus jenazah malah menghampiri Dea yang sudah bersiap menggunting jalan lahir adik iparnya.

"Jalan lahirnya sempit, Mak. Janinnya nggak bisa keluar. Kita harus gunting dulu sebelum mengeluarkan janinnya."

"Astaghfirullah kalian ini! Jenazah bukan media praktek yang bisa memuaskan rasa penasaran kalian. Ini jenazah manusia bukan kodok, mau kalian gunting-gunting. Ya Allah! Manusia macam apa kalian ini?" Ma Sari berteriak sembari keluar.

"Sudahlah, lanjutkan, Dek!" ucap Zuhal.

Dea mengambil gunting dan menggunting parineum Maya. Seketika, bahu sang janin bergerak dan hampir keluar. Dea berkeringat, begitu juga dengan Zuhal.

"Butuh guntingan lebih dalam, Bang. Gimana? Gak bisa begini aja, harus digunting sampai mulut rahim kayaknya," kata Dea.

"Lanjutkan Dek." Zuhal menutup matanya, tak sanggup melihat sang istri mempreteli jenazah adiknya sendiri.

Dea menjulurkan tangannya lebih jauh hingga ke mulut rahim sembari menggunting perlahan-lahan.

Orang tua Maya histeris melihat anaknya diperlakukan sedemikian rupa. Seolah-olah Dea dengan santai memotong bagian tubuh Maya. Mereka yang melihat sangat terpukul.

Tiba-tiba saja janin itu keluar, diikuti air ketuban. Dea segera mengikat tali pusar janin dengan benang erat-erat dan memotongnya. Sementara itu, tubuh Maya yang kacau dibiarkan olehnya untuk sementara.

"Tutupi tubuh Maya, kita harus mencoba membangunkan bayinya dulu, Bang. Dia udah kelamaan terjepit di jalan lahir."

Benar saja, wajah bayi itu sudah membiru.

Zuhal menutupi tubuh Maya dan mencuci tangannya. Dia melihat sang istri berjuang menghidupkan si janin. Istrinya menekan dada janin dengan keras, mencoba membuat bayi ini bernapas dan jantungnya berdetak.

Dea juga sesekali memberi napas buatan. Dia mengusap-usap punggung janin dan mengangkat kakinya sehingga bayi itu jungkir balik. Marini dan Roslan yang melihat itu, begitu sedih. Menantu mereka seperti orang kejam. Maya ditinggalkan begitu saya di atas ranjang dengan kondis tragis setelah dibredel, sekarang dia mencoba menghidupkan bayi yang sudah mati? Memang Dea ini menantu kurang ajar, begitu pikir Marini. Kebenciannya kepada Dea yang sudah mengakar, kini makin beranak pinak setelah melihatnya semua kejadian ini.

"Kalian bukan Tuhan, kenapa ngotot hidupin orang mati?" teriak Marini.

Dea tidak mempedulikan mertuanya, fokus wanita itu sekarang adalah sang bayi. Dia bisa merasakan tubuh bayi itu menghangat.

Dea terus berusaha memberi napas buatan dan mendadak, kamar yang sepi dan dingin itu menjadi hangat saat suara tangisan bayi melengking membelah kesunyian.

Bayi itu hidup!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status