Share

Bab 4

Kuburan-kuburan itu jumlahnya ratusan. Tersebar dari ujung pemakaman ke ujung lainnya. Nisan yang ada di atasnya bertuliskan berbagai nama. Namun, yang aneh adalah, usia lahir dan wafat sang penghuni liang lahat adalah di hari yang sama!

"Apa semua ini? Ya Allah, ya Rabbi!"

Dia menatap nanar sekeliling, dibalik pintu yang dia buka adalah pemakaman. Yang lebih menyeramkan, rumah mertuanya sudah menghilang. Dia terdampar di pemakaman antah-berantah yang tidak diketahui letaknya di desa mana.

Dea mencoba berjalan, tetapi saat hendak melangkah sesuatu menahan kakinya. Saat dia melihat ke bawah, tangan-tangan kecil memegangi betisnya!

"Ya Allah!" Dia berteriak.

Wanita itu mengibas-ngibaskan kakinya dengan keras agar tangan tangan itu terlepas. Tangan-tangan kecil yang penuh dengan tanah dan berbau busuk itu tercampak ke sana kemari. Saat tangan tangan itu terlepas, tangan lain muncul dari dalam tanah dan menggantikannya.

Dea terus menghentakkan kakinya, sambil menangis ia mencoba melafalkan ayat-ayat yang dia ketahui.

"Ya Allah, ampuni hamba, lindungi hamba dari syetan yang terkutuk," kata Dea di sela-sela tangisannya yang menyayat hati.

Dia sangat takut, entah kenapa ini terjadi kepadanya. Apakah ada hubungannya dengan kematian Maya?

Dia menggeleng, itu tidak mungkin! Orang yang sudah meninggal akan kembali kepada Allah. Tidak ada ceritanya orang mati bisa bangkit dan meneror manusia, kecuali itu dirangkai oleh jin yang ingin memfitnah manusia.

Semakin keras Dea menarik kakinya, semakin kuat pula pegangan yang dia rasakan. Seolah-olah para penghuni liang lahat itu ingin menyeret tubuhnya ke dalam tanah.

"Ya Allah, aku tidak mau berada di sini ya Allah. Tolong kembalikan aku ke rumah. Hanya Engkaulah Tuhan tiada Tuhan selain Engkau. Audzubillahiminasyaitonirrojim."

"Kau harus di sini."

Sebuah suara tiba-tiba terdengar. Dea menatap sekeliling, tetapi tidak menemukan sumber suara itu.

"Kau harus di sini dan melihat semua ini." Suara itu kembali bergema.

"Siapa kau?" kata Dea.

"Ini bukan tentang siapa aku, tetapi ini tentang apa yang harus kau lakukan."

"Kau di mana? Apa yang sudah kulakukan?" Lagi-lagi Dea bertanya.

"Aku ada di dekatmu selama ini," kata suara itu lagi.

Tiba-tiba saja Dea yang yang tadi berada di pemakaman mendadak terdampar di sebuah ruangan yang seluruhnya berwarna putih. Dia tidak bisa melihat apa pun di ruangan itu selain warna putih. Mendadak sebuah cahaya menyilaukan muncul di hadapannya.

"Aku akan memberikanmu sebuah anugerah atas izin Allah. Kamu akan membantu makhluk makhluk Allah yang tidak mendapatkan keadilan di dunia bahkan sebelum mereka lahir."

"Maksudmu apa? Kamu siapa?" tanya Dea.

"Aku adalah makhluk Allah. Kamu adalah makhluk Allah dan kita adalah ciptaan Allah. Mulai sekarang bantulah bayi-bayi manusia itu dan berilah pencerahan kepada para manusia agar mereka makin mendekatkan diri pada penciptanya, Allah subhanahu wa ta'ala."

Dia tidak mengerti apa yang orang itu katakan. Dea hanya pasrah, wanita itu bahkan tidak tahu sedang berada di mana atau orang itu siapa. Hal terakhir yang dia ingat adalah tiba-tiba saja cahaya menyilaukan itu mendekat padanya dan membuatnya tak sadarkan diri

***

"Dek, sadar Dek, Dek!" Zuhal menepuk-nepuk wajah istrinya dan menciprati wajah wanita itu dengan air, tetapi Dea masih tak sadarkan diri.

"Kenapa ini bisa pingsan?" tanya Zuhal.

"Ndak tahu ini, tadi tiba-tiba aja dia pingsan pas keluar dari kamar. Tiba-tiba aja jatuh. Bapak juga kaget melihatnya," kata Roslan.

"Lebih baik kita baringkan saja di kamar sebelah. Tolong ambil minyak kayu putih," kata seorang warga.

Zuhal membawa Dea ke kamar sebelah, di dekat kamar Maya, dan membaringkannya di kasur. Setelah itu dia mengoleskan minyak kayu putih di kening dan hidung istrinya agar sang istri lekas siuman.

Tak lama setelah itu, Dea pun mulai sadarkan diri. Matanya mengerjap-ngerjap dan dia melihat Zuhal ada di depannya.

"Ada apa Dek? Adek kenapa?" tanya Zuhal.

Dea duduk dan memegangi kepalanya. "Tidak tahu, Bang. Tiba-tiba aja kepala adek berat," ujar wanita itu.

"Mungkin Adek kecapean. Ayolah kita istirahat dulu," kata Zuhal.

"Mungkin aja, Bang. Tadi itu ...." Perkataan Dea terpotong saat dia melihat berapa warga perempuan berada di dekatnya.

Dea ingin menceritakan mimpi yang baru saja dia alami kepada sang suami, tetapi dia takut warga malah mengartikan yang tidak-tidak.

"Iya mungkin adek kecapean," kata Dea akhirnya.

"Ya sudah tidur saja ayo abang antar ke kamar anak-anak," kata Zuhal.

"Iya tapi sebelum itu adek harus mandi dulu," kata Dea.

Zuhal membantu istrinya berdiri dan mereka pergi ke kamar di mana anak mereka tidur.

***

Tepat pukul jam 11 malam Dea turun mandi. Dia mau tak mau harus segera mandi karena baru selesai mengurus mayat.

Wanita itu memilih kamar mandi di lantai atas karena kamar mandi lantai bawah dipakai oleh warga. Sedangkan kamar mandi lantai atas kosong.

Dia meletakkan handuk di gantungan dan mulai membersihkan dirinya. Namun saat menyiramkan air, dia seperti mendengar bisikan-bisikan. Entahlah, seperti orang berbicara dan suara-suara itu seperti suara wanita.

Dea berhenti menyiram tubuhnya dan mendengarkan suara-suara tersebut, tetapi suara itu menghilang

Dia pikir mungkin itu suara-suara warga perempuan yang ada di dapur karena kamar mandi lantai atas ini bertepatan dengan dapur di bagian bawah. Jadi dia tidak menghiraukan hal itu dan melanjutkan mandinya.

Saat menyiramkan air kembali ke tubuhnya, Dea kembali mendengar suara-suara. Kali ini seperti orang tertawa. Pada saat itu dia baru sadar kalau suara tersebut bukanlah suara manusia.

Bulu kuduknya merinding dan dia cepat-cepat menyelesaikan mandi. Setelah itu, Dea melilitkan handuk ke tubuhnya dan membuka pintu kamar mandi. Alangkah terkejutnya dia ternyata seseorang muncul di hadapannya.

"Ya Allah ya Allah!" Dea memekik.

Ternyata itu suaminya sendiri.

"Allah Dek, ini abang Dek. Kenapa malam-malam teriak nih. Bikin jantungan." Zuhal menggeleng-gelengkan kepala. Dia meletakkan gelas di meja. Ternyata pria itu habis minum air putih.

"Ya Allah, adek pikir siapa tadi, Bang."

"Pasti Adek pikir abang hantu kan?"

"Hehehe," kata Dea sembari tersenyum.

Zuhal kemudian menggandeng sang istri masuk ke kamar. Ibu mertuanya sudah pindah ke bawah menemani Pak Roslan dan Tarman untuk menjaga jenazah Maya. Sementara itu, Zuhal dan Dea gantian menjaga anak-anak dan bayi Maya yang baru saja lahir.

"Lihatlah bayi itu, Dek. Berkali-kali abang pandang keponakan abang itu, abang sangat bersyukur kepadamu karena sudah menyelamatkan dia. Kalau tidak, mungkin malam ini bayi itu sudah dikubur hidup-hidup karena ketidaktahuan kita semua. Untung ada kamu, Dek," kata zuhal sembari menatap sang bayi yang tertidur pulas.

Bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu itu bergerak sedikit, mulutnya yang imut bergerak-gerak seperti mengemut. Mungkin dia mimpi sedang menyusu pada ibunya. Tak lama kemudian, bayi tersebut diam dan kembali tertidur.

"Kira-kira mau diberi nama siapa, Dek?" tanya Zuhal.

"Adek nggak tahulah, Bang. Itu kan anak si Tarman. Biar dia saja yang memberinya nama," kata Dea.

"Abang ada rencana mau mengadopsi anak ini, Dek," kata Zuhal tiba-tiba.

Dea sedikit terkejut. "Ya ndak bisa gitu, Bang. Kan ada bapaknya, kita mana berhak," sahut wanita itu.

"Abang kesal kepada si Tarman itu, Dek. Bagaimana dia mau mengasuh anaknya, dia sendiri sibuk dengan kesedihannya. Tak kau lihat tadi dia, Dek asik menangis aja aku lihat. Tak kan ada dia mau mencium anaknya atau memeluk anaknya. Macam hilang akal sekali dia, Dek. Macam mana dia mau mengasuh anaknya. Ckckck," kata Zuhal sembari berdecak prihatin.

"Iya, Bang. Adek tahu, tapi biarkanlah dia berduka dulu. Siapa tahu dengan lahirnya anak ini dia bisa mencintai dan mengasuhnya. Jadi dukanya tidaklah terlalu besar. Setidaknya masih ada warisan Maya untuk dia, yaitu anaknya," balas Dea.

Wanita sudah memakai baju tidur lengkap, dia nak ke ranjang dan bersiap-siap untuk tidur.

"Kita kan sudah punya Ayu dan Sita. Lagi pula bayi ini bukan anak kita. Adek tahu Abang kesal, tapi ditahan dululah kesel itu. Kasihan si Tarman. Abang bayangkan kalau Abang di posisi dia, nda mungkin Abang langsung bangkit, ndak mungkin abang langsung terima kematian istri Abang, gitu kan?" sambungnya.

"Ya Allah, jangan ngomong begitulah, Dek. Abang tak pernah kepikiran hal itu. Iya abang tahu. Cuma kesel aja Abang lihat dia. Mana dia menghilang pula tadi. Orang sibuk ngurus istrinya dia malah pergi ke mana.

"Mati itu pasti, Bang. Kita tak tahu umur, bisa jadi ndak sampai tua, bisa jadi mati muda. Mana kita tahu ya ndak, Bang?"

Zuhal hanya terdiam. Dia berpikir istrinya benar, Tarman mungkin masih sedih mengingat sang istri yang baru dinikahinya satu tahun setengah yang lalu.

"Mereka masih muda, Bang. Mereka baru saja menikah langsung dilanda ujian seperti ini siapa yang tak sedih."

Zuhal mengangguk lalu merangkul istrinya tak lupa dia berikan kecupan di pipi sang istri.

"Terima kasih, Dek. Terima kasih atas perjuanganmu. Abang takkan lupakan ini. Abang mencintaimu, Dek."

Dea tersenyum dan membalas kecupan sang suami. Tiba-tiba saja dia teringat mimpi yang tadi.

"Sebenarnya Dea tadi mendapatkan mimpi Abang ...."

Dea pun menceritakan apa yang dia alami tadi di dalam mimpi. Tentang pemakaman, tentang ruangan putih, tentang suara, dan cahaya putih yang masuk ke dalam dirinya.

"Dea juga masih ingat pesan suara itu tentang memberikan pencerahan kepada manusia untuk mengagungkan Allah dan bersaksi bahwa tiada yang sanggup memberikan pertolongan kecuali Allah. Bagaimana pendapat Abang, Bang?" tanya Dea.

"Apa:pun mimpi itu, anggap saja itu mimpi yang baik sebab Adek juga adalah orang yang baik. Adek adalah pribadi yang suka membantu orang lain, lembut hatinya dan paling mudah tersentuh orangnya. Jadi mimpi itu mungkin bukanlah sesuatu yang buruk anggap saja ia mimpi yang baik lagi pula suara itu berkata untuk mengingatkan sesama di jalan Allah. Jadi tidak akan terjadi apa pun. Abang yakin," kata Zuhal.

Dea tersenyum mendengar penuturan suaminya, dia makin yakin saat ini bahwa mimpi yang dialaminya adalah mimpi yang baik.

Mereka berdua berbaring di tempat tidur. Ayu dan Sita terlihat nyenyak sekali, kedua anak perempuan dia tidur di antara adik bayi. Mereka menjaga dan memeluk bayi itu dari sisi kiri dan kanan seolah-olah tidak ingin melepaskannya lagi.

Dea tersenyum melihat itu, juga terharu melihat sang bayi. Jika saja dia tidak mengikuti nalurinya, mungkin bayi itu sudah tidak bernyawa saat ini karena dikubur hidup-hidup oleh ketidaktahuan. Bagaimanapun juga, dia bersyukur kalau keras kepalanya ternyata adalah sebuah kebenaran.

Dea memejamkan mata, menghilangkan lelah yang tadi menderanya, berharap besok semoga semua akan baik-baik saja.

Tanpa Dea dan Zuhal ketahui, tanpa disadari warga bahwa di rumah Pak Roslan terjadi pertarungan antara kebaikan dan kejahatan.

Cahaya merah tampak bertempur dengan cahaya putih. Cahaya merah tampak berusaha memakan cahaya putih dan cahaya putih sekuat tenaga melindungi diri dan menjaga rumah Pak Roslan.

Pada akhirnya sebuah ledakan terjadi dan cahaya-cahaya itu hancur berkeping-keping. Cahaya merah berhamburan dan berubah menjadi api, lalu cahaya putih menyebar di sekitar rumah dan melingkupi kediaman tersebut seperti perisai. Cahaya merah yang kembali bersatu ini mencoba menembus perisai itu, tetapi tidak berhasil. Cahaya merah itu pecah kembali dan menghilang di kegelapan malam.

Menyusul pertempuran itu, suara teriakan dari sudut kampung memecah kesunyian malam.

"Dea!!! Kurang ajar kau!"

Seorang perempuan meremas boneka yang telah berubah menjadi abu. Perempuan berambut panjang dan berwajah buruk itu marah.

"Akan kubunuh kau!!!" Katanya sembari menghamburkan sesajen yang ada di meja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status