Share

BAB 5

Tujuh hari setelah kematian Maya, suasana kembali seperti semula. Orang-orang sudah melupakan kematian tragis yang dialami wanita muda itu. Namun, keberanian Dea masih menjadi buah bibir.

Cerita itu tersebar dari mulut ke mulut, dari rumah ke rumah, dari pos kamling ke pos kamling, dan kampung ke kampung. Tentunya, beberapa orang menambah-nambahi kabar itu.

Ada yang mengatakan kalau Dea mewarisi ilmu itu dari orang tuanya yang merupakan guru ngaji di kampung sebelah. Ada juga yang mengatakan kalau Dea memang sejak dahulu ada yang menjaganya. Sosoknya berwarna putih dan bercahaya, orang menyebutnya sebagai orang kebenaran. Katanya mereka melihat orang kebenaran itu selalu mengikuti ke mana Dea pergi. Ada juga yang mengatakan kalau kematian Maya itu karena santet.

Seperti biasa, kalau sebuah cerita sudah menyebar dari mulut ke mulut pasti ada banyak tambahan dan bumbu-bumbu. Mungkin hanya 1% saja yang benar dan itu pun sisanya berupa gosip tak berdasar.

Dea dan zuhal tidak terganggu akan hal itu, sejak dulu mereka memang cuek dengan omongan orang-orang. Dea sendiri sudah hafal bagaimana menghadapi orang-orang semacam ini, dia tetap ramah kepada semua orang dan pura-pura tidak mendengar pembicaraan orang lain yang bergosip mengenai dirinya. Lagi pula mereka akan pulang ke kota tak lama lagi.

"Ndak bisakah kalian tinggal sampai 40 hari, Nak?" kata Marini kepada anak sulungnya. Mereka sedang ngeteh di ruang tamu pagi itu. "Sekarang kamulah anak ibuk satu-satunya. Adikmu sudah tiada, ndak terpikirkah kalian menemani kami di sini?" lanjut Marini.

Zuhal menghela napas. "Zuhal mau, mungkin Dea juga mau. Tapi pekerjaan Zuhal, rumah, dan sekolah anak di kota ndak bisa ditinggalkan begitu saja, Buk," kata pria itu. "Bagaimana kalau Ibuk dan Bapak aja yang ikut ke rumah Zuhal?"

"Ndak, ibuk ndak mau tinggal di rumah kamu. Kalau kamu tinggal di rumah ibuk boleh," balas Marini.

"Kenapa begitu, Buk? Sama aja kan, saya ke rumah Ibuk atau Ibuk ke rumah saya. Lagi pula ada Dea yang akan menemani Ibuk, dia kan di rumah aja sebagai ibu rumah tangga. Jadi, Ibuk ada teman nantinya," kata Zuhal.

"Nggak ada yang bisa menggantikan Maya, Hal. Meskipun Dea berusaha juga ndak akan bisa."

"Ya sudahlah kalau gitu, kami akan selalu ke sini, jenguk Ibuk Bapak, ndak perlu tinggal bareng. Bisa begitu," tandas Zuhal.

Zuhal menghela napas. Sebenarnya, Zuhallah yang paling tidak mau menyatukan Dea dan ibunya karena masih terngiang-ngiang konflik masa lalu bersama Dea karena ibunya sendiri.

Dia tahu watak ibunya seperti apa, bisa jadi rumah tangga mereka yang saat ini aman dan damai menjadi kacau balau karena keberadaan sang ibu. Dia tak ingin jadi anak durhaka tapi dia ingin melindungi Dea. Melindungi wanita itu adalah hal yang dia gagal lakukan di masa lalu dan Zuhal tidak ingin mengulanginya lagi untuk sekarang.

"Kalau memang Ibuk dan Bapak mau tinggal bersama kami di kota, tapi tidak mau tinggal serumah, Zuhal bisa sewakan rumah untuk Bapak sama Ibuk," kata Zuhal.

"Bapak udah terbiasa dengan kampung ini, Nak. Kalau bapak sendiri lebih baik tinggal di sini sajalah lagi pula di sini rumah sendiri kalau sewa lagi nanti uangnya banyak. Kasian pengeluaran kalian terlalu banyak," kata Roslan sembari memegang lengan Marini. Memberi isyarat agar setuju padanya.

Marini membuang muka. Zuhal menggeleng-gelengkan kepalanya. Ibuk memang orang yang keras kepala. Namun Zuhal yakin nanti sang bapak akan mengurus Ibuk dengan baik. Roslan tidak ingin merepotkan anak lelakinya lagi pula dia tahu kalau istrinya tidak mungkin bisa akur dengan Dea.

"Assalamualaikum." Terdengar suara dari luar, ternyata itu Dea yang baru pulang dari pasar.

"Waalaikumsalam," ucap Zuhal sembari tersenyum kepada sang istri.

"Dea sudah belikan sayur-mayur sama bumbu sop nih, buat masakin Ibuk sama Bapak. Katanya kemarin Ibu mau makan sop," ujar Dea sembari menunjukkan keranjang belanjaan yang dibawanya.

Marini hanya diam, Roslanlah yang berbicara."Iya, Nak. Makasih ya, Nak," kata pria tua itu.

Zuhal menyuruh Dea segera ke dapur, wanita itu pun pergi. Tak lama kemudian, kedua putri mereka menyusul masuk.

"Ayah, coba lihat apa yang Sita beli di pasar tadi bareng Bunda," kata Sita si anak tertua yang berumur 8 tahun.

Dia menunjukkan sebuah topi berwarna merah dan kaos kaki berwarna senada.

"Wah cantik sekali, buat adek bayinya ya?" tanya Zuhal.

Sita mengangguk. "Iya ini buat adik Sita yang baru, kasihan nanti dia kedinginan. Ini Bunda yang belikan, Bunda juga belikan baju sama bedak buat adek," kata Sita.

Sekonyong-konyong datanglah Ayu, adik Sita yang berusia 5 tahun. "Ayu juga belikan adik permen, Ayah. Lihat." Ayu menunjukkan dua buah permen lolipop yang dipegangnya.

Zuhal tertawa." Adik mana boleh makan permen, adik masih kecil, adik minumnya susu," kata Zuhal. "Sudah sana, main dulu, jangan berisik ya, nanti adiknya bangun," kata Zuhal.

Sita dan Ayu pergi bermain di ruang tamu meninggalkan kakek nenek dan ayahnya.

"Nanti ajalah Pak Buk, kita bahas kembali setelah tenang-tenang. Untuk saat ini kami belum pulang dulu, nanti Zuhal pertimbangkan kapan," kata Zuhal.

Dea memasak di dapur. Bahan-bahan yang sudah dibeli tadi sudah siap, tinggal menghaluskan dan menumis, serta menggoreng ayam.

Saat menjerang air kuah sop dan menunggu sayurnya matang, dia mendengar suara bayi menangis. Dea buru-buru ke atas untuk melihat apa yang terjadi. Sebelumnya Dea mengetuk pintu kamar terlebih dahulu kemudian memanggil Tarman.

Tidak ada sahutan dari dalam, bayi itu juga masih menangis keras. Akhirnya karena tidak tahan mendengar suara bayi yang menangis, Dea gedor-gedor pintu tersebut. "Man ... Man!" panggil Dea.

Tak lama kemudian Tarman membuka pintu. Dengan dengan penampilan yang masih seperti orang bangun tidur, lelaki itu mengucek-ngucek matanya. Dea langsung melongok ke dalam dan melihat bayi iparnya itu menangis.

"Ya Allah!" kata Dea.

Wanita itu buru-buru masuk dan mengabaikan Tarman yang mematung di ambang pintu. Dea mengangkat bayi bayi itu dan perlahan-lahan.

"Sudah kau beri dia susu, Man?" tanya Dea.

Tarman menggelengkan kepala sembari menguap. Dea menutup hidungnya karena tak tahan bau mulut lelaki itu. Tanpa berkata apa-apa, Dea membawa keluar bayi si Tarman dan menggendongnya menggunakan kain jarik. Dia membawa sang bayi ke bawah dan berniat membuatkan susu formula.

Dalam hati dia membatin betapa tidak becusnya sang ipar mengurus anaknya sendiri. Dea sempat kesal, tapi dia mengenyahkan semua perasaan itu. Beberapa malam belakangan pun, Dea yang bolak-balik keluar masuk kamar untuk mengecek kondisi bayi. Akhirnya bayi itu tidur bersama Dea dan anak-anaknya di kamar yang lain. Tadi dia menitipkan bayi tersebut kepada ayahnya, tapi melihat Tarman yang model begini, Dea menjadi tidak percaya lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status