Tujuh hari setelah kematian Maya, suasana kembali seperti semula. Orang-orang sudah melupakan kematian tragis yang dialami wanita muda itu. Namun, keberanian Dea masih menjadi buah bibir.
Cerita itu tersebar dari mulut ke mulut, dari rumah ke rumah, dari pos kamling ke pos kamling, dan kampung ke kampung. Tentunya, beberapa orang menambah-nambahi kabar itu.Ada yang mengatakan kalau Dea mewarisi ilmu itu dari orang tuanya yang merupakan guru ngaji di kampung sebelah. Ada juga yang mengatakan kalau Dea memang sejak dahulu ada yang menjaganya. Sosoknya berwarna putih dan bercahaya, orang menyebutnya sebagai orang kebenaran. Katanya mereka melihat orang kebenaran itu selalu mengikuti ke mana Dea pergi. Ada juga yang mengatakan kalau kematian Maya itu karena santet.Seperti biasa, kalau sebuah cerita sudah menyebar dari mulut ke mulut pasti ada banyak tambahan dan bumbu-bumbu. Mungkin hanya 1% saja yang benar dan itu pun sisanya berupa gosip tak berdasar.Dea dan zuhal tidak terganggu akan hal itu, sejak dulu mereka memang cuek dengan omongan orang-orang. Dea sendiri sudah hafal bagaimana menghadapi orang-orang semacam ini, dia tetap ramah kepada semua orang dan pura-pura tidak mendengar pembicaraan orang lain yang bergosip mengenai dirinya. Lagi pula mereka akan pulang ke kota tak lama lagi."Ndak bisakah kalian tinggal sampai 40 hari, Nak?" kata Marini kepada anak sulungnya. Mereka sedang ngeteh di ruang tamu pagi itu. "Sekarang kamulah anak ibuk satu-satunya. Adikmu sudah tiada, ndak terpikirkah kalian menemani kami di sini?" lanjut Marini.Zuhal menghela napas. "Zuhal mau, mungkin Dea juga mau. Tapi pekerjaan Zuhal, rumah, dan sekolah anak di kota ndak bisa ditinggalkan begitu saja, Buk," kata pria itu. "Bagaimana kalau Ibuk dan Bapak aja yang ikut ke rumah Zuhal?""Ndak, ibuk ndak mau tinggal di rumah kamu. Kalau kamu tinggal di rumah ibuk boleh," balas Marini."Kenapa begitu, Buk? Sama aja kan, saya ke rumah Ibuk atau Ibuk ke rumah saya. Lagi pula ada Dea yang akan menemani Ibuk, dia kan di rumah aja sebagai ibu rumah tangga. Jadi, Ibuk ada teman nantinya," kata Zuhal."Nggak ada yang bisa menggantikan Maya, Hal. Meskipun Dea berusaha juga ndak akan bisa.""Ya sudahlah kalau gitu, kami akan selalu ke sini, jenguk Ibuk Bapak, ndak perlu tinggal bareng. Bisa begitu," tandas Zuhal.Zuhal menghela napas. Sebenarnya, Zuhallah yang paling tidak mau menyatukan Dea dan ibunya karena masih terngiang-ngiang konflik masa lalu bersama Dea karena ibunya sendiri.Dia tahu watak ibunya seperti apa, bisa jadi rumah tangga mereka yang saat ini aman dan damai menjadi kacau balau karena keberadaan sang ibu. Dia tak ingin jadi anak durhaka tapi dia ingin melindungi Dea. Melindungi wanita itu adalah hal yang dia gagal lakukan di masa lalu dan Zuhal tidak ingin mengulanginya lagi untuk sekarang."Kalau memang Ibuk dan Bapak mau tinggal bersama kami di kota, tapi tidak mau tinggal serumah, Zuhal bisa sewakan rumah untuk Bapak sama Ibuk," kata Zuhal."Bapak udah terbiasa dengan kampung ini, Nak. Kalau bapak sendiri lebih baik tinggal di sini sajalah lagi pula di sini rumah sendiri kalau sewa lagi nanti uangnya banyak. Kasian pengeluaran kalian terlalu banyak," kata Roslan sembari memegang lengan Marini. Memberi isyarat agar setuju padanya.Marini membuang muka. Zuhal menggeleng-gelengkan kepalanya. Ibuk memang orang yang keras kepala. Namun Zuhal yakin nanti sang bapak akan mengurus Ibuk dengan baik. Roslan tidak ingin merepotkan anak lelakinya lagi pula dia tahu kalau istrinya tidak mungkin bisa akur dengan Dea."Assalamualaikum." Terdengar suara dari luar, ternyata itu Dea yang baru pulang dari pasar."Waalaikumsalam," ucap Zuhal sembari tersenyum kepada sang istri."Dea sudah belikan sayur-mayur sama bumbu sop nih, buat masakin Ibuk sama Bapak. Katanya kemarin Ibu mau makan sop," ujar Dea sembari menunjukkan keranjang belanjaan yang dibawanya.Marini hanya diam, Roslanlah yang berbicara."Iya, Nak. Makasih ya, Nak," kata pria tua itu.Zuhal menyuruh Dea segera ke dapur, wanita itu pun pergi. Tak lama kemudian, kedua putri mereka menyusul masuk."Ayah, coba lihat apa yang Sita beli di pasar tadi bareng Bunda," kata Sita si anak tertua yang berumur 8 tahun.Dia menunjukkan sebuah topi berwarna merah dan kaos kaki berwarna senada."Wah cantik sekali, buat adek bayinya ya?" tanya Zuhal.Sita mengangguk. "Iya ini buat adik Sita yang baru, kasihan nanti dia kedinginan. Ini Bunda yang belikan, Bunda juga belikan baju sama bedak buat adek," kata Sita.Sekonyong-konyong datanglah Ayu, adik Sita yang berusia 5 tahun. "Ayu juga belikan adik permen, Ayah. Lihat." Ayu menunjukkan dua buah permen lolipop yang dipegangnya.Zuhal tertawa." Adik mana boleh makan permen, adik masih kecil, adik minumnya susu," kata Zuhal. "Sudah sana, main dulu, jangan berisik ya, nanti adiknya bangun," kata Zuhal.Sita dan Ayu pergi bermain di ruang tamu meninggalkan kakek nenek dan ayahnya."Nanti ajalah Pak Buk, kita bahas kembali setelah tenang-tenang. Untuk saat ini kami belum pulang dulu, nanti Zuhal pertimbangkan kapan," kata Zuhal.Dea memasak di dapur. Bahan-bahan yang sudah dibeli tadi sudah siap, tinggal menghaluskan dan menumis, serta menggoreng ayam.Saat menjerang air kuah sop dan menunggu sayurnya matang, dia mendengar suara bayi menangis. Dea buru-buru ke atas untuk melihat apa yang terjadi. Sebelumnya Dea mengetuk pintu kamar terlebih dahulu kemudian memanggil Tarman.Tidak ada sahutan dari dalam, bayi itu juga masih menangis keras. Akhirnya karena tidak tahan mendengar suara bayi yang menangis, Dea gedor-gedor pintu tersebut. "Man ... Man!" panggil Dea.Tak lama kemudian Tarman membuka pintu. Dengan dengan penampilan yang masih seperti orang bangun tidur, lelaki itu mengucek-ngucek matanya. Dea langsung melongok ke dalam dan melihat bayi iparnya itu menangis."Ya Allah!" kata Dea.Wanita itu buru-buru masuk dan mengabaikan Tarman yang mematung di ambang pintu. Dea mengangkat bayi bayi itu dan perlahan-lahan."Sudah kau beri dia susu, Man?" tanya Dea.Tarman menggelengkan kepala sembari menguap. Dea menutup hidungnya karena tak tahan bau mulut lelaki itu. Tanpa berkata apa-apa, Dea membawa keluar bayi si Tarman dan menggendongnya menggunakan kain jarik. Dia membawa sang bayi ke bawah dan berniat membuatkan susu formula.Dalam hati dia membatin betapa tidak becusnya sang ipar mengurus anaknya sendiri. Dea sempat kesal, tapi dia mengenyahkan semua perasaan itu. Beberapa malam belakangan pun, Dea yang bolak-balik keluar masuk kamar untuk mengecek kondisi bayi. Akhirnya bayi itu tidur bersama Dea dan anak-anaknya di kamar yang lain. Tadi dia menitipkan bayi tersebut kepada ayahnya, tapi melihat Tarman yang model begini, Dea menjadi tidak percaya lagi."Bagaimana dia mau mengasuhnya ya Allah. Kasihan kamu, Nak" kata Dea dalam hati.Sekarang bayi itu sudah tertidur kembali setelah diberi minum susu formula dan digendong oleh Dea."Lagi apa, Dek?" tanya Zuhal saat melihat istrinya menggendong bayi sembari memasak."Ya Allah, mana bapaknya Dek?" tanya Zuhal.Zuhal sudah tahu Tarman ada di mana, dia hanya kesal saja pada iparnya yang labil itu. Dea yang melihat raut marah di wajah suaminya langsung menggeleng dan memberikan isyarat pada Zuhal agar bersabar. Zuhal menghela napas."Sudah punya anak masih saja kayak orang bujang," gerutu pria beranak dua itu."Sudahlah Bang," kata Dea. "Jangan buat keributan pagi-pagi begini."Zuhal menghela napas. "Sudahlah. Sini bayinya, kamu masak dulu setelah itu baru urus yang lain oke?" kata Zuhal.Dea menyerahkan bayi tersebut kepada Zuhal dan meneruskan acara memasaknya. Zuhal adalah seorang ayah yang telaten dan seorang suam
Dea menatap suaminya sebentar kemudian kepada ibu dan bapak mertua nya. Zuhal mengangguk dan memberi isyarat kepada Dea untuk membantu Makcik."Baik Makcik, Dea akan mengecek terlebih dahulu, tapi dia nggak janji bisa bantu. Dea hanya orang biasa, bukan dukun beranak atau bidan," kata Dea."Iya ... Tolong sekali ini saja, Dea." Makcik memohon."Bang titip anak-anak, kompor sudah Dea matikan," ujar Dia kemudian bergegas memakai sandal.Zuhal yang merasa tidak enak membiarkan istrinya pergi sendiri, kemudian memberikan bayi kepada orang tuanya."Zuhal mau menemani Dea, tolong jaga anak-anak ya Pak Buk?" Tak lama setelah itu, zuhal pun menyusul Dea dan Makcik yang telah terlebih dahulu pergi. Kabut tebal mengiringi perjalanan mereka. "Duh kenapa tiba-tiba ada kabut pagi-pagi gini. Tadi pas pulang dari pasar cerah terang benderang kok," kata Dea kepada Makcik."Sudahlah Dea, ayo kita cepat. Kabut gini biasa terjad
Setelah selesai, wanita itu meminumkan airnya kepada Suci. Sisanya dia percikkan. Setelah itu, semuanya hening. Tidak terjadi apa pun. Suci yang lemah, kian bertambah lemah. Orang-orang yang menungguinya pun semakin resah."Insya Allah dengan pertolongan Allah, anak ini akan lahir. Tiada Tuhan yang dapat disembah dan tiada sebaik-baiknya menolong kecuali Allah." Dea menutup rangkaian doanya sambil memegang perut Suci.Tiba-tiba saja entah bagaimana, suci yang sudah terkulai kembali menegakkan kepalanya. Dia berkata, "Tolong, Suci mau ngeden, Buk."Dea langsung pergi ke ke ujung ranjang, dia menunggu di bawah. Bidan yang tadi keluar, tiba-tiba masuk kembali. Mereka ikut membantu Dea.Lalu, dengan tiga kali, dorongan bayi tersebut terlahir ke dunia.Semua orang yang ada di sana serempak mengucapkan alhamdulillah tatkala mendengar suara tangisan bayi. Mereka terharu, wajah-wajah yang tadinya gusar kini telah lega. Sang bayi diambil
Setelah ketegangan di pagi itu, Dea akhirnya bisa menikmati istirahat di malam hari bersama anak dan suaminya. Setelah melaksanakan salat isya, dia berbaring di kasur bersama suaminya. Tadi sore mereka pun telah resmi menamai anak si Tarman. Abdurrahman Farizi nama bayi laki-laki itu. Tepat di hari ke-7 kematian Maya, bayi itupun akhirnya punya nama.Sita dan Ayu sangat senang, mereka yang sejak dulu menginginkan adik kecil laki-laki memperlakukan Farizi dengan penuh kasih sayang.Setelah drama Suci melahirkan tadi pagi, warga berbondong-bondong datang ke rumah Pak Roslan, mereka semua ingin bertemu Dea. Beberapa juga mengantarkan hasil kebun, ternyata mereka semua adalah keluarga Suci."Terima kasih sudah menyelamatkan Suci, Nak. Kalau ndak ada kamu, mungkin dia sudah lewat," kata ibu Suci.Wanita berusia setengah abad yang sering dipanggil Mbah itu, menyalami Dea dan hampir mencium tangannya. Namun, Dea mencegah beliau melakukan itu."S
Dea terperanjat lalu menjauh dari dinding. Suara itu ... suara itu benar-benar menakutkan. Bulu romanya merinding. Suara teriakan itu sangat jelas di telinganya, seakan-akan sumber suara tersebut berada begitu dekat. Dea memucat, tubuhnya dingin. Wanita itu mencoba membangunkan suaminya."Bang ... Bang!" Wanita itu mencoba membangunkan Zuhal."Bang, Bang!" katanya sembari menggoyangkan tubuh sang suami.Dea duduk di dekat suaminya dan Zuhal pun terbangun. Lelaki itu duduk. "Apa, Dek?" tanya Zuhal."Abang dengar suara gak, Bang?" tanya Dea."Gak dek," jawab Zuhal sambil menguap."Ya Allah, ada suara dari kamar Tarman. Dea dengar jelas tadi," kata Dea.Zuhal mengucek matanya dan berdiri. Pria itu membuka pintu dan menengok keluar sebentar, tak lama dia pun masuk kembali. "Gak ada apa-apa di luar? Suara apa? Adek yakin?" tanya Zuhal."Suara teriakan perempuan, Bang," kata Dea.Saat Dea mengatakan itu, tiba-tiba saja terdengar tawa cekikikan dari luar. Sejenak, keduanya membeku. Suara ce
Pak RT dan Pak Roslan naik ke mobil, saat Zuhal mau ikut, bapaknya melarang. "Jaga Ibuk dan keluargamu di rumah, biar bapak yang pergi," katanya."Iya, Pak," ujar Zuhal, lalu dia pun turun dari kendaraan roda empat itu.Tak lama, kendaraan itu pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Zuhal dan para pemuda duduk di depan rumahnya, berjaga-jaga."Bang, kami bisa jaga di rumah Abang, kalau Abang mau," kata pemuda lainnya yang tertinggal."Pulanglah, istirahat di rumah kalian. Ada abang di sini Abang bisa," kata Zuhal menimpali.Pemuda-pemuda itu pun bubar, begitu juga dengan warga lainnya. Beberapa masih berjaga di luar. "Tadi kalian ngeliat sesuatu, ya?" tanya Zuhal pada pemuda tanggung yang masih ada di teras rumahnya."Iya, Bang. Kayak orang pakai baju merah gitu, melayang-layang," sahut pemuda itu.Zuhal yang sudah tahu arah pembicaraan mereka, hanya diam. Tak lama kemudian para pemuda itu pun pulang ke rumah ma
Zuhal bertandang ke rumah pak RT setelah berdiskusi dengan Dea. Sebagai kamuflase agar kepergian mereka tidak dicurigai kedua orang tuanya, Dea dan Zuhal beralasan mengirim kue kepada seluruh warga kampung dari hasil kebun pemberian mereka kemarin.Mertua Dea paham dan tidak curiga sama sekali. Kebetulan, rumah Pak RT sangat dekat. Sekitar 2 menit saja menggunakan motor. Jika mereka pergi lama pun, Marini dan Pak Roslan akan menganggap keduanya masih mengantar kue.Dea dan Zuhal mengetuk pintu begitu mereka sampai. "Assalamualaikum ... Assalamualaikum."Tak lama kemudian, terdengar sahutan dari dalam. "Waalaikumsalam."Ternyata istrinya Pak RT yang membuka pintu, beliau dikenal dengan sebutan Bu Reni."Oh, Nak Zuhal, Nak Dea. Masuk masuk." Bu Reni mempersilakan keduanya masuk.Dea dan Zuhal pun mengikuti wanita itu, tak lupa Dea menyerahkan kue yang sudah dia bawa. "Silakan duduk," kata wanita itu sembari tersenyum.
"Yang jelas, mungkin saja ... Ini hanya mungkin ya, Dea ini memiliki kemampuan untuk menghalangi pemuja setan ini dari menumbalkan ibu-ibu yang akan melahirkan. Seperti yang kakek buyutnya lakukan dahulu."Dea kaku, lidahnya kelu. Dia tidak tahu akan mengatakan atau melakukan apa. Jika benar, maka kekuatan ini datang dengan tanggung jawab yang besar. "Saya hanya wanita lemah dan ibu rumah tangga biasa Pak RT, bagaimana mungkin saya bisa melakukan hal sebesar itu?""Mungkin kalian tidak akan percaya, tetapi jangan sampai ketidakpercayaan kalian bisa membuat pemuja setan itu itu semakin merajalela. Kejahatan harus dihancurkan. Bukankah lazimnya seperti itu?"Dea dan Zuhal mengangguk. Mereka hanya saling memandang satu sama lain. Keduanya butuh waktu untuk memikirkan dan menerjemahkan apa yang sedang terjadi dan apa yang baru saja Pak RT katakan. Apalagi beliau berkata tidak ada yang bisa ditanyai soal ini karena pemeran utama yang terlibat langsung dengan mitos ini telah tiada, yaitu k