Share

V : JANJI SANG POLISI TAMPAN

"Cinta itu masalah waktu. Jalani, rasakan, dan pahami. Sesungguhnya yang tadinya mustahil akan terasa mungkin dan benar."

***

"Menikah dengan saya, bagaimana?"

"APA?"

Ava tahu Biru sedang tidak bercanda. Permintaannya nyata, maka dari itu Ava sangat kaget. Gadis itu masih menutup mulutnya, seolah tak percaya bahwa ajakan menikah akan ia dapatkan dari pria lain. Bukan Djati yang notabenenya adalah kekasih Ava.

Biru mendekati Ava. Pria yang tadinya hanya berdiri, kini mulai duduk di tepian tempat tidur Ava. Biru masih menatap gadis di hadapannya dengan serius.

"Ava, dengarkan saya baik-baik," ucap Biru secara perlahan. Pria itu ingin Ava menganggap apapun yang diucapkannya adalah sebuah kebenaran. "Saya tahu ucapan kamu tadi hanya candaan, tapi setelah saya pikirkan, candaan itu ada benarnya."

Biru menunggu respon Ava sebentar, lalu melanjutkan, "bila kamu menikah dengan saya, prioritas yang saya dapatkan, akan kamu dapatkan juga. Bila memang Praba ada di balik kecelakaan ini, maka sudah dipastikan hidup kamu dalam bahaya. Cara satu-satunya agar kamu tetap aman adalah menikah dengan saya."

Ava memainkan ujung selimutnya, dan mulai berpikir. Ava tahu apa yang dikatakan Biru benar semua. Gadis itu akan tetap aman, karena Biru akan menjamin keselamatannya. Sayangnya mereka tak saling kenal satu sama lain.

"Pak Biru, maaf maksud saya Biru." Ava menelan salivanya sebentar, mengatur kalimat yang akan dilontarkan. "Kita dua orang asing yang baru saling kenal. Saya tahu kamu benar, tapi pernikahan adalah sebuah hal yang sakral, dan di dalam agama dianggap sebagai ibadah. Saya tidak bisa mempermainkannya."

"Saya pun juga tidak ingin. Lagipula siapa yang mau main-main?" tanya Biru dengan nada yang sangat lugas.

"Kamu enggak main-main?"

"Tidak, saya serius akan menikahi kamu secara benar. Saya tahu kita dua orang yang benar-benar belum saling kenal. Saya juga tahu bahwa saya bukan Djati, orang yang sangat kamu cintai."

Ava hanya diam, tak merespon. Biru pun kembali berbicara, "Saya hanya bisa berjanji akan melindungi kamu. Saya janji kamu akan baik-baik saja bersama saya. Saya janji akan mengusut tuntas tentang kecelakaan yang menimpa kamu."

Ava menggaruk kepalanya. Rasanya semua yang terjadi beberapa hari ini terasa berat di pikirannya. Permasalahan ini begitu rumit. Ava ingin selesai, namun ada masalah baru, dan terus bertambah tiap detiknya.

"Jangan!" larang Biru tiba-tiba. "Jangan buat diri kamu stress. Pikirkan pelan-pelan, dan jangan buru-buru memutuskan. Saya hanya menawarkan, jangan biarkan hal ini membenanimu."

Ava mengangguk. "Tapi permintaanmu akan benar-benar saya pikirkan," ucap Ava sungguh-sungguh. Ia tahu bahwa kecelakaan yang terjadi adalah awal dari bahaya yang bisa saja menimpanya kapan saja.

"Baiklah, terima kasih karena sudah mau memikirkannya."

Biru lalu berdiri dari tepian kasur. Pria itu berjalan ke sofa dan mengambil jaket serta ponsel yang ditaruhnya di sana. Biru tampaknya akan segera pergi.

"Kamu akan pergi?"

"Ya," jawab Biru pelan sambil tersenyum. "Istirahatlah, malam ini saya harus bertugas. Ada penggeledahan di salah satu rumah artis. Kamu akan dijaga anak buah saya, Althaf namanya."

Ava lagi-lagi mengangguk. Biru kemudian pamit meninggalkan Ava di kamar itu sendirian. Dalam keheningannya, Ava tahu bahwa Biru menginginkan sebuah jawaban. Walau tak ada cinta dalam permintaannya, ego laki-laki Biru pasti berteriak untuk tidak disakiti.

***

Malam itu, Ava meminta semua lampu untuk dimatikan. Malam sebelumnya, Ava lupa meminta tolong suster mematikan lampu, dan berakhir dengan mata yang sulit tertidur. Beruntung Althaf memeriksanya dan membantunya mematikan lampu.

Hari ini Biru tak bisa berkunjung. Menurut Althaf, pria itu harus memproses hasil penggeledahannya kemarin malam. Ternyata terdapat banyak narkoba di dalam rumah artis tersebut. Meski begitu Biru mengirimkannya ponsel dan beberapa buku lewat ojek online.

"Nona, apa anda sudah tidur?" tanya Althaf yang mengintip ke dalam ruang rawat Ava.

Ava tak menjawab, karena gadis itu memang berniat untuk tidur. Althaf pun menutup kembali pintu setelah mendapati Ava tak menjawab pertanyaannya. Pria itu lalu berbicara dengan suster, meminta tolong untuk memeriksa Ava sesekali karena dia harus makan malam.

Ava membiarkannya. Althaf pasti lapar, jadi dia mencoba mengabaikan, dan berusaha untuk tidur. Berselang lima menit, ada suara pintu terbuka. Ava yang belum sepenuhnya larut dalam mimpi, langsung curiga.

"Siapa itu?" tanya Ava saat melihat dua orang dalam kegelapan mengendap masuk ke ruangannya. Ava menyalakan lampu nakas, dan mendapati dua orang tersebut memakai masker.

"Siapa kalian?" tanya Ava lagi, namun keduanya tak menjawab. "Tolong!" Ava pun langsung berteriak, hingga membuat salah satu dari dua orang itu spontan menutup wajah Ava dengan bantal.

Ava sulit bernapas, tenggorokannya tercekat dan panas. Gadis itu juga tak dapat leluasa bergerak, karena kakinya sakit. Ava tak kuat. Di sisa-sisa pertahanannya untuk tetap sadar, Ava mendengar suara teriakan seseorang.

Ava berharap orang itu menyelamatkannya. Ia tidak tahu setelah ini ia masih bertahan atau tidak. Namun yang pasti, Ava berjanji dalam hatinya bahwa ia akan menikahi Biru bila memang Tuhan memberinya satu kesempatan lagi.

***

Firasat Biru sangat buruk malam itu, dan terbukti benar saat seorang suster berteriak dari dalam kamar Ava. Biru langsung bergegas, namun larinya terhenti saat dua pria bermasker keluar dari kamar rawat Ava. Pria itu dengan sigap menangkap salah satunya, dan membiarkan yang lainnya kabur.

"Siapa kamu?" tanya Biru memiting leher pria itu. Salah satu anggota Paspampers yang berjaga, langsung sigap berlari membantu Biru. Dhani, nama Paspampers yang menjaganya, sigap memborgol kedua tangan pelaku.

"Mas, anda tidak apa-apa?" tanya Dhani saat selesai memborgol tangan si pelaku dan gantian memeganginya.

Biru hanya menjawab dengan anggukan. Pria itu lalu membuka masker si pelaku. Sayangnya Biru tak mengenalnya. Biru hendak bertanya, namun dokter jaga yang tengah masuk ke kamar rawat Ava membuat fokusnya teralihkan.

"SIAL! Apa yang kamu lakukan pada Ava?" tanya Biru sambil menarik kerah kaos yang dipakai si pelaku. Si pelaku hanya terkekeh, mengejek Biru yang terlihat kesal. Biru pun tak bisa menahan emosi hingga menyarangkan satu pukulan pada pipi si pelaku.

"Pak Biru, berhenti!" Althaf yang baru kembali dari kantin, langsung memegangi Biru. Menahannya agar tak membuat keributan. "Ingat pak, ini di rumah sakit!"

Biru pun melepas tangan Althaf. Pria itu menatap tajam bawahannya. Ekspresi marah begitu kentara, membuat Althaf menunduk segan. Meskipun tidak dijelaskan oleh Biru, Althaf tahu bahwa ia sedang melakukan keteledoran.

"Kalian berdua bawa orang ini ke kantor polisi, dan jangan sampai lepas." Biru lalu menengok pada Dhani dan menyuruhnya untuk memanggil rekannya, Syarif. "Althaf, ingat jangan sampai lepas!"

"Baik, Pak Biru."

Biru pun mendekati si pelaku, tangannya menangkup pipi si pelaku. "Siapa pun yang memberi instruksi padamu, dia tidak akan bisa membuatmu keluar dari penjara. Camkan kata-kata saya!"

Biru melepas tangannya, lalu memberi kode untuk Althaf dan Dhani pergi melaksanakan tugas mereka. Biru tidak ingin melihat siapa pun lagi malam ini. Dia benar-benar kesal karena lagi-lagi kecolongan dan membuat Ava dalam bahaya. Dalam hatinya, Biru berharap Ava akan baik-baik saja.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status