"Cinta itu masalah waktu. Jalani, rasakan, dan pahami. Sesungguhnya yang tadinya mustahil akan terasa mungkin dan benar."
***"Menikah dengan saya, bagaimana?""APA?"Ava tahu Biru sedang tidak bercanda. Permintaannya nyata, maka dari itu Ava sangat kaget. Gadis itu masih menutup mulutnya, seolah tak percaya bahwa ajakan menikah akan ia dapatkan dari pria lain. Bukan Djati yang notabenenya adalah kekasih Ava.Biru mendekati Ava. Pria yang tadinya hanya berdiri, kini mulai duduk di tepian tempat tidur Ava. Biru masih menatap gadis di hadapannya dengan serius."Ava, dengarkan saya baik-baik," ucap Biru secara perlahan. Pria itu ingin Ava menganggap apapun yang diucapkannya adalah sebuah kebenaran. "Saya tahu ucapan kamu tadi hanya candaan, tapi setelah saya pikirkan, candaan itu ada benarnya."Biru menunggu respon Ava sebentar, lalu melanjutkan, "bila kamu menikah dengan saya, prioritas yang saya dapatkan, akan kamu dapatkan juga. Bila memang Praba ada di balik kecelakaan ini, maka sudah dipastikan hidup kamu dalam bahaya. Cara satu-satunya agar kamu tetap aman adalah menikah dengan saya."Ava memainkan ujung selimutnya, dan mulai berpikir. Ava tahu apa yang dikatakan Biru benar semua. Gadis itu akan tetap aman, karena Biru akan menjamin keselamatannya. Sayangnya mereka tak saling kenal satu sama lain."Pak Biru, maaf maksud saya Biru." Ava menelan salivanya sebentar, mengatur kalimat yang akan dilontarkan. "Kita dua orang asing yang baru saling kenal. Saya tahu kamu benar, tapi pernikahan adalah sebuah hal yang sakral, dan di dalam agama dianggap sebagai ibadah. Saya tidak bisa mempermainkannya.""Saya pun juga tidak ingin. Lagipula siapa yang mau main-main?" tanya Biru dengan nada yang sangat lugas."Kamu enggak main-main?""Tidak, saya serius akan menikahi kamu secara benar. Saya tahu kita dua orang yang benar-benar belum saling kenal. Saya juga tahu bahwa saya bukan Djati, orang yang sangat kamu cintai."Ava hanya diam, tak merespon. Biru pun kembali berbicara, "Saya hanya bisa berjanji akan melindungi kamu. Saya janji kamu akan baik-baik saja bersama saya. Saya janji akan mengusut tuntas tentang kecelakaan yang menimpa kamu."Ava menggaruk kepalanya. Rasanya semua yang terjadi beberapa hari ini terasa berat di pikirannya. Permasalahan ini begitu rumit. Ava ingin selesai, namun ada masalah baru, dan terus bertambah tiap detiknya."Jangan!" larang Biru tiba-tiba. "Jangan buat diri kamu stress. Pikirkan pelan-pelan, dan jangan buru-buru memutuskan. Saya hanya menawarkan, jangan biarkan hal ini membenanimu."Ava mengangguk. "Tapi permintaanmu akan benar-benar saya pikirkan," ucap Ava sungguh-sungguh. Ia tahu bahwa kecelakaan yang terjadi adalah awal dari bahaya yang bisa saja menimpanya kapan saja."Baiklah, terima kasih karena sudah mau memikirkannya."Biru lalu berdiri dari tepian kasur. Pria itu berjalan ke sofa dan mengambil jaket serta ponsel yang ditaruhnya di sana. Biru tampaknya akan segera pergi."Kamu akan pergi?""Ya," jawab Biru pelan sambil tersenyum. "Istirahatlah, malam ini saya harus bertugas. Ada penggeledahan di salah satu rumah artis. Kamu akan dijaga anak buah saya, Althaf namanya."Ava lagi-lagi mengangguk. Biru kemudian pamit meninggalkan Ava di kamar itu sendirian. Dalam keheningannya, Ava tahu bahwa Biru menginginkan sebuah jawaban. Walau tak ada cinta dalam permintaannya, ego laki-laki Biru pasti berteriak untuk tidak disakiti.***Malam itu, Ava meminta semua lampu untuk dimatikan. Malam sebelumnya, Ava lupa meminta tolong suster mematikan lampu, dan berakhir dengan mata yang sulit tertidur. Beruntung Althaf memeriksanya dan membantunya mematikan lampu.Hari ini Biru tak bisa berkunjung. Menurut Althaf, pria itu harus memproses hasil penggeledahannya kemarin malam. Ternyata terdapat banyak narkoba di dalam rumah artis tersebut. Meski begitu Biru mengirimkannya ponsel dan beberapa buku lewat ojek online."Nona, apa anda sudah tidur?" tanya Althaf yang mengintip ke dalam ruang rawat Ava.Ava tak menjawab, karena gadis itu memang berniat untuk tidur. Althaf pun menutup kembali pintu setelah mendapati Ava tak menjawab pertanyaannya. Pria itu lalu berbicara dengan suster, meminta tolong untuk memeriksa Ava sesekali karena dia harus makan malam.Ava membiarkannya. Althaf pasti lapar, jadi dia mencoba mengabaikan, dan berusaha untuk tidur. Berselang lima menit, ada suara pintu terbuka. Ava yang belum sepenuhnya larut dalam mimpi, langsung curiga."Siapa itu?" tanya Ava saat melihat dua orang dalam kegelapan mengendap masuk ke ruangannya. Ava menyalakan lampu nakas, dan mendapati dua orang tersebut memakai masker."Siapa kalian?" tanya Ava lagi, namun keduanya tak menjawab. "Tolong!" Ava pun langsung berteriak, hingga membuat salah satu dari dua orang itu spontan menutup wajah Ava dengan bantal.Ava sulit bernapas, tenggorokannya tercekat dan panas. Gadis itu juga tak dapat leluasa bergerak, karena kakinya sakit. Ava tak kuat. Di sisa-sisa pertahanannya untuk tetap sadar, Ava mendengar suara teriakan seseorang.Ava berharap orang itu menyelamatkannya. Ia tidak tahu setelah ini ia masih bertahan atau tidak. Namun yang pasti, Ava berjanji dalam hatinya bahwa ia akan menikahi Biru bila memang Tuhan memberinya satu kesempatan lagi.***Firasat Biru sangat buruk malam itu, dan terbukti benar saat seorang suster berteriak dari dalam kamar Ava. Biru langsung bergegas, namun larinya terhenti saat dua pria bermasker keluar dari kamar rawat Ava. Pria itu dengan sigap menangkap salah satunya, dan membiarkan yang lainnya kabur."Siapa kamu?" tanya Biru memiting leher pria itu. Salah satu anggota Paspampers yang berjaga, langsung sigap berlari membantu Biru. Dhani, nama Paspampers yang menjaganya, sigap memborgol kedua tangan pelaku."Mas, anda tidak apa-apa?" tanya Dhani saat selesai memborgol tangan si pelaku dan gantian memeganginya.Biru hanya menjawab dengan anggukan. Pria itu lalu membuka masker si pelaku. Sayangnya Biru tak mengenalnya. Biru hendak bertanya, namun dokter jaga yang tengah masuk ke kamar rawat Ava membuat fokusnya teralihkan."SIAL! Apa yang kamu lakukan pada Ava?" tanya Biru sambil menarik kerah kaos yang dipakai si pelaku. Si pelaku hanya terkekeh, mengejek Biru yang terlihat kesal. Biru pun tak bisa menahan emosi hingga menyarangkan satu pukulan pada pipi si pelaku."Pak Biru, berhenti!" Althaf yang baru kembali dari kantin, langsung memegangi Biru. Menahannya agar tak membuat keributan. "Ingat pak, ini di rumah sakit!"Biru pun melepas tangan Althaf. Pria itu menatap tajam bawahannya. Ekspresi marah begitu kentara, membuat Althaf menunduk segan. Meskipun tidak dijelaskan oleh Biru, Althaf tahu bahwa ia sedang melakukan keteledoran."Kalian berdua bawa orang ini ke kantor polisi, dan jangan sampai lepas." Biru lalu menengok pada Dhani dan menyuruhnya untuk memanggil rekannya, Syarif. "Althaf, ingat jangan sampai lepas!""Baik, Pak Biru."Biru pun mendekati si pelaku, tangannya menangkup pipi si pelaku. "Siapa pun yang memberi instruksi padamu, dia tidak akan bisa membuatmu keluar dari penjara. Camkan kata-kata saya!"Biru melepas tangannya, lalu memberi kode untuk Althaf dan Dhani pergi melaksanakan tugas mereka. Biru tidak ingin melihat siapa pun lagi malam ini. Dia benar-benar kesal karena lagi-lagi kecolongan dan membuat Ava dalam bahaya. Dalam hatinya, Biru berharap Ava akan baik-baik saja.***"Lepasin tangan gue! Lo tuh, sudah punya istri. Mau apa lagi sih?"Padma memaksa Travis untuk melepas tangannya. Tapi, pria itu seperti menolak permintaannya. Padahal Travis sudah menjadi suami Ayunda, tapi mengapa masih saja mengemis untuk menjelaskan hal yang sudah berlalu. Padma tak segila itu untuk mendengarkan, dan membuang waktunya hanya untuk pria itu.Travis masih kencang memeganginya, padahal tangan Padma sudah merah karena terus dipaksa. Padma ingin berteriak, tapi di tangga darurat itu tak ada siapa pun. Pria itu sengaja menariknya ke sini untuk menyudutkannya, dan melakukan apa pun yang pria itu ingin lakukan. Namun Padma jelas tak akan membiarkannya."Dia minta dilepasin, lo enggak dengar memangnya? Apa karena lo bule, makanya harus pakai bahasa Inggris? Cepat lepasin, sebelum gue terpaksa mematahkan tangan itu."Padma, dan Travis kaget. Ternyata ada orang lain di koridor tersebut. Ia sedang duduk tak jauh dari kami, dan sepertinya sudah memperhatikan kami sejak tadi. Tra
"Maaf, anda siapa ya?"Istri dari Radjarta bertanya, saat Bernardio berdiri di depan rumahnya. Ia sengaja langsung bertemu sang pemilik untuk memberikan aset yang sedianya dititipkan Praba padanya kepada keluarga Radjarta. Karena amanat, Bernardio pun langsung melakukannya, dan menjalankan tugasnya secepat ia bisa."Maaf, kalau saya mengganggu." Bernardio pun menyodorkan tangannya, dan istri Radjarta langsung menjabatnya. "Saya Bernardio. Saya tangan kanannya Pak Djati, anaknya Pak Praba. Saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Praba untuk anda.""Oh, ya, silahkan masuk."Bernardio pun masuk, dan diminta duduk di salah satu kursi di ruang tamu tersebut. "Mohon maaf sebelumnya, Ibu. Karena saya tidak tahu nomor rekening Ibu, atau pun Pak Radja. Jadi, saya memberikannya dalam bentuk cek. Jadi, nanti anda bisa datang ke bank terdekat, dan meminta untuk mentransfernya ke rekening yang Ibu miliki.""Aduh, maaf Mas Bernard, tapi ini tuh, maksudnya apa ya? Bisa bicaranya pelan-pelan. Saya ini
"Anda tahu kan, kesempatan anda sempit untuk tidak mendapat hukuman seumur hidup. Meskipun kita ajukan banding sekali pun, pastinya akan sulit untuk menang. Kesalahan anda terlalu banyak, dan itu tidak bisa ditukar hanya dengan kerja sama dengan pihak kepolisian sekali pun."Praba mengangguk, ia mengerti segala konsekuensi yang ia harus hadapi kedepannya. Semenjak Djati dinyatakan meninggal, dan Ava sudah mau menemuinya, segala keputusan yang diberikan padanya akan diterimanya dengan ikhlas. Praba tak akan pernah menuntut apa-apa. Apa pun yang diterimanya adalah ganjaran dari seluruh perbuatannya di masa lalu."Saya sudah bilang tidak apa-apa kan, Jeremy? Jadi, jangan tanya lagi. Apa pun yang diputuskan oleh hakim, saya akan menerimanya.""Tidak ada akan menyesal?"Praba menggeleng. "Jika saya takut menyesal, maka saya tidak akan melakukan semua kejahatan di masa lalu, Jeremy. Apa pun yang terjadi ke depannya, saya akan terima. Kamu tidak perlu takut. Kamu juga patutnya berubah. Pilih
"Ada permulaan, dan ada akhir. Ada pertemuan, dan juga perpisahan. Jadi, jangan pernah sesali apapun."***"Mama bahagia deh! Ava mau melahirkan, dan Asla dinyatakan hamil. Nah sat set begini dong. Dalam waktu yang enggak lama keluarga kita akan ramai dengan tangisan bayi. Ya Tuhan, terima kasih!"Ava tertawa sambil merangkul bahu mertuanya yang terlihat sangat bahagia. Kini, meskipun tantangan di hadapannya akan lebih berat, namun Tarissa lebih bahagia. Tidak hanya sebagai nenek, Tarissa akan menyandang status baru, yakni menjadi ibu negara. Perhitungan cepat dilakukan, dan untuk sementara hasil akhir menentukan kalau ayah mertuanya, Berdaya Adinegara unggul dengan enam puluh satu persen. Jauh mengungguli pesaingnya.Walaupun demikian, Tarissa tak peduli. Kebahagiaan anak-anaknya sekarang adalah hal utama. Ia sangatlah senang melihat kalau kedua putranya tak lama lagi akan menjadi ayah. Menjalani pernikahan yang bahagia bersama istri-istri mereka. Masalah negara, itu urusan nanti."K
"Tak ada yang pasti dalam hidup ini. Termasuk manusia yang tiap hari, jam, menit, dan detik bisa berubah pikiran, serta sikap."***"Wah, sudah berapa bulan, Mbak kehamilannya?"Seorang ibu yang mengantar putrinya cek kandungan bertanya, dan Ava hanya menjawab sekadarnya sambil tersenyum. Ia lalu menceritakan kalau putrinya juga hamil tak jauh dari usia kandungan Ava. Sayangnya tak sebahagia Ava yang bisa diantar kemana-mana oleh sang suami. Ava sebenarnya enggan mendengarkan masalah rumah tangga orang lain, tapi karena Biru tak juga kembali dari toilet membuat Ava akhirnya terpekur mendengar kisah cinta orang lain.Baru setengah jalan Ibu itu bercerita, terdapat keributan di ujung lorong lantai rumah sakit tempat Ava duduk menunggu untuk diperiksa dokter kandungan. Ava, dan sang ibu menoleh. Mereka mendapati seorang perempuan tengah berteriak, dan membentak si laki-laki dengan caci maki yang begitu keras. Awalnya Ava tak peduli, ia melengos, dan kembali melemparkan pandangan ke korid
“Setiap hal di muka bumi ini akan ada timbal balik. Setiap kejahatan yang manusia tanam, akan mendapat imbas yang serupa. Setiap kebaikan yang manusia berikan, maka akan mendapat hadiah yang besar, bahkan berlipat ganda nikmatnya.” *** “Apa anda yakin akan membongkar semuanya?” Praba mengangguk dengan yakin. Tak pernah ada sedikit pun kegundahan di hatinya yang membuat Praba tidak yakin dengan pernyataannya. Ia ingin mengungkapkan segalanya, seperti permintaan Biru, dan juga Ava. Bila mereka ingin Praba menghabiskan waktu untuk selamanya di penjara, maka akan ia lakukan semua itu dengan sukarela, dan juga ikhlas. Ia tahu kesalahannya sangatlah banyak, dan juga tak terbendung. Ia bahkan rela menanggung kesalahan Djati untuk ia tanggung, karena memang semua yang terjadi pada Djati adalah salahnya. Ia yang menjerumuskan Djati ke dunia ini. Ia pula yang memaksa, dan mengancam Djati untuk tetap menjual narkoba, meskipun anak itu tak menginginkannya sama sekali. “Tolong catat semua ora