Ocean menikmati makan siang dadakannya bersama Aegea dan Athena. Dia menilai bahwa 2 wanita yang bersamanya itu adalah orang yang baik. Selama makan siang, mereka membahas hal-hal ringan tentang kegiatan sehari-hari. Tidak ada yang bisa Ocean ceritakan karena dia merasa tidak ada yang menarik dari hidupnya.
Hidupnya terlalu biasa, tidak ada hal menyolok atau terlalu istimewa untuk diceritakan. Lahir dari keluarga biasa, Ocean adalah putri dari seorang pria yang bekerja sebagai penghulu di KUA. Ibunya seorang ibu rumah tangga biasa yang telah mendidiknya dengan baik. Ocean menyayangi kedua orang tuanya yang mesti sederhana, tetapi tetap utuh memperhatikan dia dan adiknya.
"Ocean ... mikirin apa dari tadi kayak ngelamun gitu?" tanya Athena.
"Nggak apa-apa, Mbak Athena," jawab Ocean. "Hanya ingat adikku yang sedang sekolah di luar kota."
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu nggak dateng ke pernikahanku?" kembali Athena bertanya, kali ini Ocean mendengar ada sedikit nada kekanakan dalam suaranya.
Ocean tersenyum geli. "Gimana mau dateng? Nggak diundang," cetus Ocean. "Lagipula kan belum kenal dan sepertinya Mas Satrio nggak bilang apa-apa soal pernikahan Mbak Athena."
"Athena saja, nggak usah pakai mbak," pinta Athena. "Mainlah ke rumahku. Aku pasti senang, nanti kita bisa masak bersama, kudengar kamu pinter masak."
"Iya, mainlah Minggu besok," timpal Aegea. "Nanti aku bawa kedua anakku, kamu bisa main bareng mereka."
Ocean benar-benar merasa senang dengan kedua wanita ini. Jadi keduanya sudah berkeluarga dan sudah pasti itu menjawab keraguannya tentang hubungan suaminya dengan mereka. Ekspresi kedua wanita itu pun juga berubah-ubah sesuai dengan apa yang sedang mereka ceritakan. Kadang terlihat gembira, lucu, dan bisa juga terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk. Bersama mereka berdua pasti menyenangkan, mengingat rumahnya yang selalu sepi setiap hari karena jam kerja Satrio yang selalu panjang.
Suasana kantin yang ramai tidak membuat ketiganya sungkan untuk tertawa atau terkikik geli hanya karena hal lucu yang kebetulan mereka bahas. Sepanjang waktu itu Ocean merasa hatinya benar-benar ringan. Tidak ada wajah-wajah sinis dari kebanyakan perawat yang biasa tertuju padanya. Siang itu mereka semua seolah menunduk segan dan mendadak ramah.
"Gea sama Athena suaminya pulang jam berapa?" tanya Ocean, "takutnya kalau aku main dan ada mereka di rumah, jadinya aku sungkan."
Senyum yang tersungging di bibir Aegea lebih mirip dengan seringaian geli. "Jika suamimu belum pulang, maka suami kami juga sudah pasti belum pulang."
"Memangnya kerja dibagian apa?"
"Halo, sayang," sapa sosok jangkung dengan cambang tipis pada Aegea sembari mengusap kepalanya.
Ocean menoleh ke kanan dan mendapati Satrio menarik satu meja dan menggabungkannya dengan meja mereka. Satu pria lagi langsung mengambil tempat duduk dekat Athena setelah mengecup kepalanya sekilas sementara Satrio langsung duduk di sebelahnya. Ocean mengenali kedua pria itu adalah orang yang menjadi saksi pernikahannya dengan Satrio.
"Nah ... Cean, ini suamiku, namanya Al." Aegea memperkenalkan. "Kerja di bagian bedah dan itu," Aegea menunjuk pada Raphael, "suami Athena, namanya Raphael, kerja di bagian jantung. Tadi mendampingi operasi bapakmu, kan?"
"Jangan sungkan-sungkan kalau ngobrol sama mereka," ujar Athena. "Sudah kenal, kan, ya. Mas Sat memang sesat, istri sendiri nggak diajak ke nikahanku. Dasar nyebelin."
"Takut ketahuan kalau dia mantan homo," celetuk Raphael dengan muka datar.
Ocean masih berusaha mencerna hubungan pertemanan suaminya dengan mereka semua, terlihat dekat dan kompak meski saling mencela. Itu hal menarik yang belum pernah dia temui selama ini. Apa kata dokter bapaknya tadi?
"Mantan homo?" tanya Ocean spontan.
"Memangnya kamu nggak tahu, Cean?" Alfredo menyahut. "Dia itu jomblo akut, gelarnya aja yang playboy padahal aslinya homo."
Ocean mencerna ucapan Alfredo yang membingungkan. Teman-teman suaminya itu benar-benar parah, mungkin sama parahnya dengan Satrio mengingat mereka yang memang berteman dekat.
"Nggak usah dengerin omongan para pria ini, Cean. Mereka itu pikirannya sama-sama setengah. Jadi gimana kalau Minggu nanti ke rumahku dan masak-masak?" Aegea sedikit memaksa.
Ocean melirik Satrio, tidak bisa memberikan jawaban langsung mengingat dia tidak tahu di mana rumah Aegea. Satu-satunya cara supaya bisa berkunjung hanya jika Satrio setuju dan mau berbaik hati mengantarnya. Dia juga bisa menolaknya dengan alasan masih merawat bapaknya yang dalam masa pemulihan.
"Sepertinya aku nggak bisa kalau Minggu besok, ngerawat bapakku," tolak Ocean halus.
Hening setelah penolakan dari Ocean. Aegea dan Alfredo saling memandang sejenak dan itu tertangkap oleh tatapan Ocean yang seketika merasa tidak enak. Mereka sudah bermaksud baik dan dia mengecewakan mereka dengan santainya.
"Pasti kamu ini yang gak bolehin dia maen, Mas Sat. Betein kamu itu," tuduh Athena. "Kalau gitu kita aja yang maen ke rumahmu, kamu mau ikut, kan Ael?"
"Heh Bayi ...mulutmu itu paling lemes kalau disuruh menghinaku. Siapa yang ngelarang-ngelarang Ocean main?" Satrio menyela. "Nggak suami, nggak istri, mulutnya cepet banget kalau disuruh maki orang. Cean nanti kita aja yang main ke rumah mereka. Jangan sampai mereka main ke rumah kita, makannya nggak ada yang sedikit."
Ocean bengong sejenak melihat kelakuan teman-teman Satrio. Sekilas yang Ocean lihat pada hari pernikahannya, kedua teman suaminya itu terlihat dingin dan tidak tersentuh. Siapa yang menyangka kalau aslinya begitu biasa dan tidak bisa menjaga perkataan sama sekali.
Untuk pertama kali sejak pernikahannya dengan Satrio, Ocean merasa diterima oleh lingkungan pergaulan suaminya. Tidak ada pandangan sinis dari teman-teman dekat Satrio yang ini, justru mereka semua menginginkan sebuah kegiatan rutin sesama istri karena suami-suami aneh mereka juga mempunyai kegiatan yang tak kalah anehnya dengan kelakuan mereka.
Jujur saja Ocean merasa senang. Dia bahkan merasa tidak sabar menunggu hari Minggu supaya bisa bertemu dengan anak-anak Aegea yang katanya lucu-lucu serta menjadi sasaran kejahilan Satrio. Dia juga penasaran dengan anak yang katanya susah untuk dipermainkan karena kepintarannya.
"Jadi ... kamu sedang melamunkan apa, Istriku?" tanya Satrio sembari mengambil satu tangan Ocean dan menggenggam jemarinya.
Ocean mengerjapkan matanya. "Nggak ngelamun, hanya sedang mikir dikit," jawabnya.
"Nggak usah mikir yang terlalu berat selama ada aku. Kamu hanya perlu berbicara dan membaginya denganku," ujar Satrio. Matanya menatap lembut pada Ocean.
Ternyata Satrio bisa sangat manis kepadanya. Ocean tidak pernah tahu itu sebelumnya, hanya saja dia tidak mau terlena dengan hal itu. Bagaimanapun masih ada masa lalu yang membuatnya belum bisa sepenuhnya memaafkan suaminya. Kebohongan suaminya adalah hal yang susah dia tolerir mengingat saat itu harusnya sudah tidak ada apa pun yang disembunyikan di antara mereka berdua.
Saat kehamilan Ocean semakin besar, Satrio benar-benar mengurangi jam praktiknya. Di sore hari dia praktik hanya satu jam, itu pun dengan perjanjian tepat waktu. Pasien lainnya dia tangani pada praktik pagi. Beberapa pasien mengatakan kalau dokter mereka sedang menjadi suami siaga. Satrio menanggapinya dengan senyum ramah dan meminta maaf jika perubahan yang dia lakukan membuat tidak nyaman, tetapi pasiennya mengerti dan tidak keberatan dengan jadwal baru Satrio.Selepas praktik sore, waktu menunjukkan pukul lima lewat sepuluh. Satrio sudah keluar dari ruang kerjanya dan sudah pasti dia akan pergi menemui istrinya. Dia disapa beberapa pasien yang memilih untuk pindah periksa ke rekannya. Satrio tetap membalas sapaan itu dengan ramah.Ketika hampir sampai di pintu masuk apoteknya, Satrio melihat Ocean yang sedang berjalan keluar. Dengan perut membuncit seperti itu, istrinya terlihat begitu seksi. Setidaknya begitulah di mata Satrio. Tidak ada sedetik pun waktu terlewat
Ocean tidak menyangka bahwa kehamilan itu akhirnya datang setelah dia memutuskan untuk menghentikan seluruh program yang ditawarkan oleh Satrio. Dia memegang janji Satrio bahwa mereka akan tetap bersama meski kehamilan itu akan terjadi lima atau bahkan sepuluh tahun lagi. Dalam gurauannya, Satrio juga mengatakan kalau tidak keberatan saat Ocean mengandung di masa menjelang menopause sekalipun. Satrio hanya ingin Ocean bahagia hidup bersamanya dan itulah yang sudah dilakukan oleh Ocean.Mengingat semua itu membuat Ocean terharu. Kadang-kadang dia bangun tengah malam dan menyalakan lampu di sampingnya hanya untuk memandangi wajah Satrio. Suaminya itu diam-diam telah memberikan perawatan untuknya. Sejak keputusannya untuk berhenti program kehamilan, sejujurnya Ocean sudah tidak peduli dengan asupan yang masuk ke tubuhnya. Cukup baginya apa yang disediakan oleh Simbok dan dia selalu memakannya tanpa mengeluh.Dalam hari-hari yang dijalani Ocean, tak sedikit pun perempuan i
Satrio tersenyum sendiri begitu keluar dari ruang kerja pribadinya di rumah sakit. Dia berjalan menyusuri lorong panjang seperti biasa sebelum mencapai area parkir. Beberapa perawat dan staf menyapanya dan dibalas dengan anggukan serta sedikit senyum. Pikirannya hanya tertuju pada Ocean yang sudah pasti sedang duduk mengamati komputer sambil mengunyah emping belinjo.“Tingkahmu sudah seperti orang gila yang perlu rawat inap.”Satrio tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang tengah berbicara padanya. Orang yang berani berbicara dengan kalimat mengejek hanyalah dua orang. Pertama adalah Alfredo yang saat ini pasti sedang sibuk di meja operasi dan yang lainnya adalah Raphael. Keduanya sama-sama mempunyai mulut dengan kadar ketajaman melebihi pisau. Meskipun begitu, dia menyukai para sahabatnya yang super royal terhadap satu sama lain.“Memang repot kalau punya teman yang nggak pernah tahu rasanya bahagia,” komentar Satrio tak kalah pedas.
Hal yang membuat Ocean bersemangat adalah mengisi rumah barunya dengan perabotan yang dia sukai. Satrio memercayakan urusan itu padanya dan Ocean menerima pekerjaan dengan senang hati. Untuk hal-hal yang sekiranya akan digunakan oleh Satrio, Ocean bertanya satu atau dua kali untuk meminta pendapat. Selebihnya dia memilih sendiri segala sesuatunya dan langsung disetujui oleh Satrio.Hanya dalam seminggu rumah itu telah rapi dengan seluruh perabot pilihan Ocean mengisi seluruh ruangannya. Ocean memilih perabot fungsional dan dengan bijaksana membuat rumah itu menjadi terkesan hangat, elegan, dan menyenangkan. Tinggal menanyakan kepada Satrio kapan mereka bisa pindah secara resmi.Sejak Ocean meminta liburan ke vila, mereka memang tidak pernah kembali lagi ke rumah lama Satrio. Entah mengapa, Ocean begitu malas melihat rumah itu. Bukannya tidak indah, justru rumah lama Satrio bisa dikatakan mewah. Semua yang ada di sana meneriakkan rupiah yang tak bisa dibayangkan oleh Oc
Satrio merasa harinya semakin menyenangkan. Ocean menjadi sangat manis dan manja serta tidak mau berpisah darinya untuk waktu yang lama. Pekerjaannya lancar dan apoteknya semakin besar. Entah apa yang sudah dilakukan Ocean hingga semuanya berkembang sepesat itu. Klinik bersalinnya juga tak luput dari campur tangan istrinya. Kebijakan baru yang diterapkan oleh Ocean terbukti mudah untuk dilakukan. Ocean juga menambahkan beberapa dokter praktik di sana dengan jadwal yang sudah dia tetapkan.Saat jam praktiknya telah selesai, Satrio masih duduk dalam ruang kerjanya untuk beristirahat sejenak sebelum menjemput Ocean dan pulang ke vila. Sudah hampir sebulan mereka tinggal di sana sementara Ocean membuat jadwal Satrio menjadi satu jam lebih awal. Satrio tersenyum sendiri menyadari kecerdasan istrinya. Ada saja caranya untuk memperoleh apa yang dia mau dan sejujurnya hal itu membuat Satrio senang.Menyelesaikan pekerjaan pada pukul delapan adalah hal yang sangat menyenangkan.
Ketika waktu pemeriksaan tiba dan Dokter Suroso berhalangan hadir karena sakit, Ocean memeriksakan dirinya pada Dokter Ayu tanpa sepengetahuan Satrio. Hanya untuk mengetahui tentang dirinya sendiri, begitu yang dia pikirkan. Dokter Ayu pun tak keberatan membantunya untuk sekadar memeriksa. Saat itulah Ocean mengetahui bahwa dia memiliki tiga sel telur matang dan mestinya dia siap untuk proses kehamilan.Setelah mengucapkan terima kasih pada Dokter Ayu, Ocean keluar dari ruang praktiknya. Dia bergegas kembali ke apotek dan menunggu suaminya selesai bekerja. Kali ini perasaannya begitu ringan. Ocean tidak lagi memikirkan tentang kehamilan dan prosesnya yang selain membutuhkan waktu ekstra serta segala sesuatu yang serba lebih. Lebih di sini adalah waktu dan tenaga. Dia berpikir untuk menikmati banyak waktu dengan Satrio saja.Memasuki ruang kerjanya, Ocean melihat Satrio sudah berada di sana. Dia heran dan melirik jam di pergelangan tangannya. Baru pukul delapan dan Ocea