"Kamu?!" Ryan mendesis, tampak kesal pada Greta. Dia masih ingat dengan jelas wajah wanita menyebalkan yang ditemuinya kemarin di bandara. Greta berusaha keras untuk terlihat normal, dia bahkan mencoba tersenyum pada Ryan yang jelas tidak akan membalas senyumnya, ia justru melengos dan memilih untuk fokus pada apa yang sedang ia lakukan.
“Oke guys, jadi hari ini kita akan memasak Beef Wellington, seperti yang kita ketahui memasak Beef Wellington membutuhkan keahlian khusus, karena kita harus memastikan steak yang ada di dalam puff pastry matang dengan baik dan kita juga harus memastikan Pastry yang kita buat dimasak dengan sempurna," ujar Chef Ryan Lewis memulai demo memasaknya.
"Jadi hari ini saya akan ditemani oleh, siapa nama kamu?" tanyanya singkat pada Greta.
"Greta, Greta Spectre," jawab Greta dengan suara yang tertahan, dia cukup terkejut dengan bagaimana Chef Ryan Lewis mampu mengintimidasinya.
Acara demo berjalan lancar, Greta sedikit membantu Ryan, tetapi dia kebanyakan berdiri dengan canggung karena Ryan terang-terangan mengabaikannya. Setelah demo selesai, Greta langsung kembali ke kursinya dengan wajah muram.
"Aku melihat sesuatu yang aneh tadi, apakah Chef Ryan sempat mengatakan 'kamu' kepadamu seolah-olah kalian pernah bertemu sebelumnya, atau itu hanya perasaanku saja?" celoteh Amy dengan kening berkerut penasaran.
Greta mengibaskan tangannya,
''Jangan membahas tentang Chef sombong itu, hanya dengan mendengar namanya bisa membuatku gila!'' kata Greta kesal. Dia mengambil tasnya dan berjalan keluar kelas dengan cepat membuat Amy menatapnya dengan wajah bingung.
Saat Greta sedang bergegas ke toilet, seorang mahasiswa yang sedang membawa bahan latihan 'baking' tidak sengaja menjatuhkan kulit pisang yang lalu diinjak olehnya. Greta langsung terpeleset dan hampir jatuh ke atas lantai, beruntung seseorang menangkap tubuhnya dengan sigap.
Greta membuka matanya dengan terkejut, ia melotot seketika saat mendapati Ryan Lewis membungkuk di atasnya dan memandanginya dari jarak yang sangat dekat. "Kau!" bentak Greta.
Dengan satu gerakan cepat, Ryan melepaskan tangannya membuat Greta terjatuh berdebam dengan keras ke atas lantai. "Ya Tuhan! Apa yang kau lakukan? Kau sengaja menjatuhkanku!" teriak Greta begitu kesal hingga rasanya ia ingin menangis.
"Aku tidak sengaja..." kata Ryan, ada sedikit rasa bersalah di nada suaranya. Namun tanpa meminta maaf ia langsung pergi meninggalkan Greta yang sedang sibuk mengatasi rasa sakit di tulang ekornya. Dengan susah payah, Greta bangkit dari lantai dan berdiri tegak. Saat ia memaksakan diri untuk berjalan, ia merasakan rasa sakit yang teramat sangat di tulang ekornya. 'Chef sialan itu! Jika sampai terjadi hal buruk kepadaku, aku tidak akan pernah memaafkannya! Benar-benar menyebalkan!' gerutunya tanpa suara.
Dengan langkah sedikit tertatih Greta berjalan keluar dari kampusnya. Biasanya, ia akan berjalan sekitar dua puluh menit untuk sampai ke apartemennya. Namun karena merasa sangat kesakitan, ia memilih berjalan ke trotoar dan menunggu taksi yang melintas. Ia tidak menyadari bahwa seseorang sedang mengawasinya dari dalam mobil.
Sesekali ia meringis saat merasakan rasa ngilu di belakang punggungnya yang menjalar hingga ke tulang ekor. Ia menoleh ke arah jalan berharap taksi segera muncul karena langit mendadak menjadi gelap dan ia yakin hujan akan segera turun.
Tapi tiba-tiba saja yang berhenti di depannya bukanlah sebuah taksi, melainkan sebuah SUV hitam metalik yang sangat mengkilap, seolah mobil itu di gosok setiap hari. "Masuklah, aku akan mengantarmu pulang," ujar sebuah suara bersamaan dengan jendela mobil yang perlahan terbuka.
Greta mendelik seketika saat mendapati Ryan Lewis yang berada di belakang kemudi, tampak tampan dan angkuh seperti yang ia lihat sebelumnya.
"Kau lagi!" Greta mendesis kesal, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Cepat naik! Kau ingin aku mengantarmu atau tidak? Kau sepertinya kesulitan berjalan?" kata Ryan Lewis tanpa melepas kacamatanya.
Greta mendengus keras,
"Haha, kau benar-benar konyol! Pergilah! Aku tidak butuh tumpanganmu! Dasar pengecut! Bagaimana bisa seorang pria menjatuhkan wanita cantik sepertiku ke atas lantai begitu saja! Menjijikkan!" Gerutu Greta masih belum mau masuk ke mobil Ryan.
"Baiklah kalau itu yang kamu mau," kata Ryan, dia menutup jendela lalu menginjak pedal gas perlahan meninggalkan Greta yang mulai panik membuka ponselnya untuk memesan taksi online. Namun nasib baik benar-benar enggan berpihak kepadanya, ponselnya mati total tiba-tiba karena tadi malam dia lupa mengisi baterainya.
Seolah itu semua belum cukup, tiba-tiba hujan mulai turun dengan derasnya, membuat tubuh Greta mulai basah kuyup. Saat ia sedang sibuk menutupi kepalanya dengan tas tangannya, tiba-tiba sebuah mobil SUV mundur dan berhenti tepat di depannya.
"Cepat! Kamu tidak punya pilihan sekarang, suhu akan turun sebentar lagi, kau bahkan tidak memakai mantel dinginmu! Kau ingin mati beku?" kata Ryan sambil memaksa Greta masuk ke mobilnya.
Tak punya pilihan lain, Greta akhirnya setuju untuk masuk ke dalam mobil. Ia duduk di sebelah Ryan dengan perasaan campur aduk. Mobil melaju melewati jalan yang kosong. Mereka hanya saling menatap beberapa saat sampai Ryan akhirnya membuka mulutnya.
"Aku minta maaf soal tadi, aku tidak bermaksud menjatuhkanmu ke atas lantai, aku hanya reflek melepaskan tangaku, apa kau ingin aku membawamu ke fisioterapi? Kelihatannya tulang ekormu terkilir," ujar Ryan dengan nada datar.
Greta ingin menolak, tapi rasa berdenyut di tulang ekornya membuatnya tidak punya pilihan.
"Oke, dengar! Aku menerima tawaranmu karena kau memang bersalah membuat tulang ekorku sakit! Jadi jangan berpikir yang tidak-tidak!" sahut Greta dengan kesal. Ryan hanya mengedikan bahunya, tidak mengatakan apapun lagi.
Dalam perjalanan, diam-diam Greta mengamati interior mobil Ryan yang terlihat sangat rapi dan harum. Hanya dengan melihat hal sepele itu, ia bisa menyimpulkan orang seperti apa Ryan Lewis. Ia pasti orang yang sangat perfeksionis dan detail, sama sekali bukan tipe Greta. 'Astaga! Mengapa aku berpikir ke arah sana!' ia menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran konyol itu dari kepalanya.
Beberapa menit kemudian mobil berhenti tepat di depan sebuah klinik fisioterapi. Dengan susah payah, Greta keluar dari mobil, ia berjalan dengan satu tangan memegang bokongnya. Setiap kali ia melangkah, denyut nyeri di tulang ekornya menjadi semakin terasa.
Ia melirik kesal ke arah Ryan yang sedang berjalan santai di sampingnya. "Jika sesuatu yang buruk terjadi padaku, kau harus bertanggung jawab!" Greta mengumpat lalu mengernyit lagi, merasakan sakit yang menjalar.
Ryan bergeming, ia melirik balik Greta dan diam-diam merasa kasihan saat melihatnya kesulitan berjalan. Alih-alih meminta kursi roda pada staf klinik, ia malah berdiri di depan Greta, menghalangi jalannya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" bentak Greta bingung melihat Ryan berdiri di depannya.
Tanpa menjawab, Ryan menurunkan tubuhnya, menawarkan punggungnya untuk dinaiki Greta. Greta memelototinya dengan heran. "Apa sih?"
"Cepat sebelum aku berubah pikiran!" bentak Ryan, sedikit pegal karena terlalu lama membungkuk. Greta menggigit bibirnya ragu. Haruskah ia melompat naik ke atas punggung tegap yang sedang membungkuk di hadapannya? Tapi bagaimana dengan harga dirinya?
*****
"Hai," sapa Amanda kaku saat melihat Summer dan Shawn. Summer tersenyum lebar, "Hai, apa kabar? Kalian datang bersama?" Archie mengangguk, "Ya," katanya sambil menoleh ke arah Amanda dan tersenyum. Summer dan Shawn saling memandang, sedikit bingung dengan keterkejutannya. Setelah itu, mereka semua duduk di kursi masing-masing, dan kebetulan, Summer mendapat tempat duduk tepat di seberang Amanda yang tetap memasang wajah cemberutnya meski Archie di sebelahnya berusaha menghiburnya. Gina dengan ringan memukul gelas anggurnya dua kali, menandakan bahwa dia ingin berbicara. Dia berdiri tepat di sebelah Shawn, terlihat cantik dan anggun dalam balutan gaun putihnya. "Selamat malam, terima kasih semua sudah datang, terutama Amanda yang datang jauh-jauh dari Melbourne dan Archie dari Adelaide. Um, untuk Tuan dan Nyonya Jefferson, saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya karena mungkin telah mempermalukan Anda dengan apa yang terjadi di antara kita baru-baru ini. Hubungan yang sudah sepert
"Oh, dasar gadis bodoh," kata Gina, memalingkan wajahnya, tapi dia tidak mengatakan kata penolakan lagi.Shawn dan Summer saling menatap, diam-diam berusaha menahan senyum."Aku akan membawa kopermu ke kamar, kau ingin menunggu di sini?" Shawn bertanya, menunjuk ke kursi yang juga diduduki ibunya."Yeah, aku akan menunggu di sini!" serunya riang. Di tempatnya berdiri, Gina tidak bereaksi dan tetap sibuk dengan bunganya."Ini bunga untukmu, kudengar kau sangat suka bunga ini," kata Summer sambil meletakkan keranjang bunga di atas meja."Singkirkan bunga itu, sangat menyebalkan!" Bentak Gina.Summer menyeringai, meletakkan keranjang bunga di atas meja kayu lain tak jauh dari mereka."Kau benar-benar membenciku? Atau kau melakukannya karena menurutmu Shawn masih punya kesempatan dengan Amanda?" tanya Summer tanpa berani duduk di sebelah Gina."Apapun itu, aku hanya tidak suka kau disini, berusahalah sekuat tenaga karena aku tidak akan berubah," kata Gina datar.Summer menarik napas dalam
Malam itu semuanya berjalan sesuai rencana. Ibu Amanda menepati janjinya, dia mengatakan yang sebenarnya kepada Shawn, bahwa ibunya tidak benar-benar sakit dan hasil labnya palsu. Dan Shawn setuju untuk melakukan apa yang direncanakan ibu Amanda untuk menghentikan rencana gila Amanda yang mulai tidak masuk akal.Summer menunggu di sofa dengan gugup sambil terus menatap ponselnya. Beberapa menit kemudian ponselnya berdering. Summer dengan gugup menekan tombol hijau. Dari sofa di seberangnya, Archie melambaikan tangannya, memberi isyarat kepada Summer untuk bersikap santai karena tidak ada yang tahu mereka berada di Brisbane kecuali ibu Amanda dan Shawn."Halo?" kata Summer, berusaha keras untuk terdengar santai."Summer! Tolong telepon Shawn sekarang juga dan suruh dia berhenti!" teriak seseorang dari seberang.Summer menelan ludah, dengan gugup, "Siapa kau?""Ini Gina Miller! Aku ibu Shawn! Tidak, tidak, kau tidak perlu meneleponnya, bicara saja di sini, berteriaklah agar dia bisa men
"Dia sudah pergi..." kata Archie canggung. Summer segera melepaskan diri dari pelukan Archie. Dia menyeka air matanya dengan cepat, lalu menggigit bibirnya, seolah-olah untuk menahan diri."Kau baik baik saja?" Archie bertanya yang mana tentu saja hanya pertanyaan klise yang tidak perlu dijawab.Summer berdehem, menyeka hidungnya dengan ujung sweter wolnya."Aku butuh bir, kau mau ikut denganku?" tanya Summer tanpa memandang Archie."Apa? Bir? Bisakah kau minta yang lain? Um, levermu..." gumam Archie sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.Summer melambaikan tangannya, "Lupakan saja, aku akan pergi sendiri," katanya sambil berbalik dan berjalan menjauh dari Archie."Tidak, tunggu! Baiklah! Aku akan ikut denganmu," teriak Archie pada akhirnya. Dia setengah berlari mengejar Summer lalu berjalan di sisinya."Ada bar beberapa blok dari sini, mau ke sana?" Archie berusaha memecahkan keheningan di antara mereka."Oke," jawab Summer singkat. Archie mengangguk, lalu terdiam lagi."Kau bis
Dua minggu kemudian."Summer! Bangun! Kamu harus melihat ini!"Dia membuka matanya dan terkejut menemukan Mrs. Jones sedang menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan wajah gembira.Dengan mata mengantuk, dia bangkit dan mengikuti Mrs. Jones, keluar dari kamarnya.Mereka berjalan melewati ruang tamu, lalu tiba-tiba Mrs. Jones berhenti di depan pintu penghubung antara ruang makan dan taman belakang."Lihat wanita itu!" teriak Mrs. Jones dengan bangga.Mata Summer tiba-tiba membelalak saat melihat nenek sedang berjalan menyirami tanaman dengan lambat.Rasa kantuknya hilang seketika, ia tersenyum lebar dan memeluk Mrs. Jones dengan hangat. "Terima kasih, Mrs Jones! Kau yang terbaik!"Sejak menjalani operasi cangkok hati, langkah Nenek selalu bergetar dan membuatnya harus selalu duduk di kursi roda. Melihat kemampuannya kembali ke aktivitas normalnya membuat Summer merasa sangat bahagia...Hari itu dia pergi ke Coffee Shop dengan lebih semangat. Dia berjanji akan melakukan apa saja untuk mendap
Summer sedang duduk di sofa, memperhatikan Archie diukur oleh staf penjahit.Kepalanya dipenuhi dengan bayangan Shawn, apakah dia bahagia tanpa dia ataukah dia menderita karena dipaksa melakukan apa yang diinginkan ibunya?Dia menarik napas dalam-dalam untuk kesekian kalinya, dadanya terasa sangat sesak seolah ada beban berat yang disandarkan disana. Sekali lagi air mata menggenang di matanya, dia buru-buru mengeluarkan tisu dari tasnya dan menyekanya sampai kering."Aku sudah selesai, apakah kau ingin mampir untuk minum? Kau terlihat sangat tertekan," gumam Archie sambil mengenakan kembali bombernya."Aku tidak minum alkohol lagi," kata Summer sambil berdiri.Archie terlihat sedikit terkejut, "Keren! Apakah kau hidup sehat atau apa?"Summer mendengus sambil tertawa, “Aku mendonorkan liverku beberapa waktu lalu, jadi aku harus merawat tubuhku lebih dari orang lain yang kondisinya normal,” ujarnya enteng."Oke, bagaimana dengan es krim? Kau harus mencoba gelato terbaik di kota!" Teriak