LOGINSelepas bersenggama, Jonathan menidurkan Sasi di dalam pelukannya. Mereka menghangatkan tubuh satu sama lain di dalam selimut yang sama tanpa mengenakan pakaian.
Pikiran Jonathan berkecamuk. Pria itu bahkan tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Dia tidak mengerti, padahal dirinya belum memukul gadis itu sama sekali, hanya menjambaknya. Namun, tubuhnya sedikit demam sejak tadi. Andai suatu saat dia memukul gadis itu, Jonathan akan menjadi salah satu jajaran pria. Pecundang yang hanya bisa menyakiti wanita.Saat berada di ruangan penyekapan miliknya, entah kenapa Jonathan begitu menaruh curiga pada Sasi. Bukan hanya pada gadis itu, tapi kepada semua orang.Namun, kecurigaannya lebih besar pada Sasi, karena gadis itu orang paling dekat dengannya. Bukankah musuh memang kebanyakan tercipta dari orang terdekat sendiri? Tapi, saat melihat gadis itu memeluk tubuhnya sendiri dan menangis terisak-isak, membuat sesuatu dalam diri Jonathan hancur.JikaKejadian yang telah dilewati, tidak bisa serta merta Sasi lupakan begitu saja. Terlebih nada suara yang terkesan sumbang dan penuh dengan kengerian. Sasi memang sudah lupa dengan sosok dari suara yang selalu terngiang di benaknya itu. Namun, kemana pun dia melangkah, seolah olah dirinya telah disadarkan jika—semua kemalangan ini untuk menghindar dari pemilik suara yang saat ini tengah berdiri di hadapannya dengan wajah yang cukup bringas. “Apa kau tahu, sudah berapa lama ayah mencarimu, hmm? Apa kau tahu rasa malu yang ayah tanggung selama bertahun tahun karena kau kabur!” Suaranya bahkan terkesan ingin menguliti inci demi inci daging Sasi. Tubuh wanita itu semakin bergetar. Bahkan karena rasa takutnya yang begitu besar, Sasi tidak sanggup lagi mengeluarkan air matanya. Alexander Melolo tertawa kacil. “K-kau!” pekiknya sambil menunjuk wajah sang putri. “Apa-apaan kau ini! Kenapa hanya aku yang merasa senang karena telah bertemu kembali denganmu, Naina!”Sasi bahkan telah melupakan
Aroma yang tidak asing. Besi karat, serta bau anyir darah. Suara teriakan karena kesakitan yang terlalu menggema, memekakkan gendang telinga. Perlahan, kesadaran Sasi kembali. Darah sedikit mengering rembas dari helai-helai rambutnya. Gadis itu kemudian berusaha membuka kedua matanya. Awalnya, dia ingin terpejam, karena tak terbiasa dengan silau matahari membuat pandangannya kabur. Namun, kali ini beda. Matanya yang masih tampak sayu-sayup terbuka lebar, ketika kendapati kedua tangannya terikat kuat. Gadis itu saat ini tengah berada di dalam ruangan yang begitu sempit. Dadanya bahkan begitu terasa sesak. Sasi kemudian kembali memejamkan kedua matanya. Mencoba tenang dengan mengatakan jika ini semua hanyalah bagian dari mimpi buruk. Saat membuka kedua kelopak matanya, dia yakin jika semua ini akan lenyap terbawa arus mimpi dalam tidur. Namun, dia sadar jika ada sesuatu yang nyeri di bagian kepalanya, bahkan aroma anyir dari darah yang sedikit mengering dari helai-helai rambutnya masi
Sasi merengek pada Jonathan. Pasalnya, gadis itu ingin sekali diajak jalan-jalan menikmati suasana di luar sana. Karena merasa tidak tega dengan sang budak—akhirnya Jonathan mengangguk setuju. “Tapi, aku tidak mau membawamu ke pusat keramaian. Di wilayah ini ada sebuah danau bagus. Kau Pasti menyukainya.” Jonathan mencium kening Sasi dengan hangat. “Cepat ganti pakaianmu. Sebelum aku berubah pikiran.”Sasi berhambur masuk dalam kamar. Karena merasa bingung harus berpenampilan seperti apa. Gadis itu pun mengintip Jonathan dari balik pintu kamar. “J-Joe, b-bisakah kau mencarikanku baju?”Sial! Jonathan bahkan sangat hapal, ketika gadis itu merengek seperti itu dengan kedipan mata yang terbilang binal—berarti dia sedang tidak memakai apa pun saat itu. “Jangan berulah, Sasi. Ayolah, kau tinggal ambil baju di dalam lemari. Kalau aku sampai masuk ke dalam kamar saat ini juga kau bakal habis ku makan!”“T-tapi, aku serius, Joe.”Jonathan menghirup udara banyak-banyak kemudian menghembuska
“Nathalie, kau di rumah?” Jonathan menelepon wanita itu ketika Leo sudah pergi. “Aku sedang di butik, ada apa, Jo?” tanya Nathalie dari balik telepon. Jonathan diam sesaat. “Brian ada di rumah? Aku menghubunginya beberapa kali, tapi tidak di respon. Apa dia sibuk?” Suranya datar, bahkan terkesan jauh dari kata marah. “Kau tahu siapa dia. Jam-jam seperti ini, dia masih tidur.”“Katakan padanya, besok malam aku ingin bertemu dengannya di kelab Davin’z.”“Ya, nanti kusampaikan. Bagaiaman kabar Sasi? Apa dia semakin baik? Maksudku, apa dia sudah lebih mengert dengan lingkungannya?”“Ehm. Dia lebih baik dari sebelumnya.”“Syukurlah. Jo, aku rindu denganmu—““Maaf, Nath, aku sedang sibuk.” Jonathan memutus panggilannya sepihak, sebelum sempat mendengar Nathalie melengkapi kata-katanya. “Brian.” Jonathan mengetuk-ngetukkam ujung jarinya pelan di atas meja, sebelah tangannya bertumpu di bawah dagunya. Seola
“Sam, apakah Zack sudah sadar?” Pria itu langsung bertanya ketika selesai mencuci tangannya. Ada bercak darah di sana. “Sudah Tuan, saya sudah mengintrogasinya. Katanya penyusup itu bersembunyi di ruangan urutan empat dari pintu masuk. Dekat dengan sel keenam. Saat mengetahui tidak ada pengawal Anda yang berwajah sepertinya, Zack ingin menangkapnya. Tapi penyusup itu melarikan diri. Dia juga mengatakan tidak menyadari jika ada wanita Anda di sana, Tuan. Yang Zack tahu setelah dia terjatuh, seorang wanita menangkapnya dengan ragu ragu. Dan dia langsung menjerit dan meminta tolong.” Jonathan berkeinginan akan menambah ruang penyekapan pribadinya. Jendela di ruangan utama baru saja selesai dibuat, ruangan itu ingin dijadikan tempat beristirahat para pengawal. Sebab, selama ini ruangan para pengawalnya begitu dekat dengan sel penyekapan. Aroma anyir darah memang sudah bersatu di ruangan itu. Setidaknya bau anyir tidak terlalu dekat jika mereka berada di ruangan utama. Tumbuh besar
Selepas bersenggama, Jonathan menidurkan Sasi di dalam pelukannya. Mereka menghangatkan tubuh satu sama lain di dalam selimut yang sama tanpa mengenakan pakaian. Pikiran Jonathan berkecamuk. Pria itu bahkan tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Dia tidak mengerti, padahal dirinya belum memukul gadis itu sama sekali, hanya menjambaknya. Namun, tubuhnya sedikit demam sejak tadi. Andai suatu saat dia memukul gadis itu, Jonathan akan menjadi salah satu jajaran pria. Pecundang yang hanya bisa menyakiti wanita. Saat berada di ruangan penyekapan miliknya, entah kenapa Jonathan begitu menaruh curiga pada Sasi. Bukan hanya pada gadis itu, tapi kepada semua orang. Namun, kecurigaannya lebih besar pada Sasi, karena gadis itu orang paling dekat dengannya. Bukankah musuh memang kebanyakan tercipta dari orang terdekat sendiri? Tapi, saat melihat gadis itu memeluk tubuhnya sendiri dan menangis terisak-isak, membuat sesuatu dalam diri Jonathan hancur. Jika







