“Pa-pak Kaivan.”
Eve sangat panik saat melihat Kaivan di sana, menolong dirinya.
“Kamu mau pulang?” tanya Kaivan dengan nada suara datar.
Eve mengangguk-angguk.
Tiba-tiba Kaivan memegang pergelangan tangan Eve, membuat Eve sangat terkejut.
“Ada apa, Pak? Kenapa Anda menarik saya?” tanya Eve benar-benar panik. Tiada hari tanpa kepanikan saat bertemu apalagi berinteraksi dengan Kaivan.
Kaivan tak banyak bicara, dia mengajak Eve menuju mobilnya untuk mengantar pulang sesuai permintaan Maria.
Eve sendiri sampai menelan ludah susah payah, bingung dan panik kenapa Kaivan mengajaknya tanpa kata.
“Masuk!” perintah Kaivan lalu berjalan memutar menuju pintu kemudi.
Eve membeku di tempatnya, panik dan bingung yang dirasakan.
Kaivan melihat Eve yang masih diam, lalu kembali memberi perintah, “Masuk, aku antar pulang!”
Eve mengangguk tapi dengan ekspresi terkejut. Dia bergeser ke pintu belakang mobil, berniat duduk di belakang saja selagi Kaivan menyetir.
Namun, dia juga merasa jika tak sopan, bagaimana kalau Kaivan tersinggung karena dirinya seperti menjadikan Kaivan sopirnya.
Di saat Eve bingung harus masuk ke bagian mana. Kaivan mendekat lagi karena menunggu Eve tak kunjung masuk mobil.
Saat Eve akan membuka pintu mobil bagian belakang, Kaivan langsung menahan pintu itu hingga membuat Eve terkejut.
“Duduk depan!” perintah Kaivan lalu membuka pintu depan untuk Eve.
Eve hanya bisa mengikuti perintah Kaivan, meski canggung tapi akhirnya dia masuk juga.
Setelah memastikan Eve masuk, Kaivan lantas masuk ke belakang kemudi dan mulai melajukan mobil menuju asrama.
Sepanjang perjalanan menuju asrama. Baik Kaivan atau Eve sama-sama diam.
Eve meremas jemarinya kuat-kuat karena takut, bahkan keringat dingin terasa di telapak tangannya meski mobil itu ber-AC.
Saat Eve masih mencoba melawan kecemasannya. Dia mencium aroma parfum Kaivan yang begitu kuat menusuk hidung.
“Kenapa tiba-tiba Anda mengantar saya? Saya bisa pulang sendiri,” ucap Eve mencoba mencairkan suasana yang terasa tegang.
Kaivan diam dan fokus menyetir, membuat Eve hanya bisa melipat bibir. Eve akhirnya memilih diam karena sepertinya Kaivan tidak akan membalas apa pun yang Eve ucapkan.
Mobil Kaivan sampai di asrama. Eve bergegas membawa keluar dari mobil.
“Terima kasih sudah diantar,” ucap Eve lalu keluar dari mobil. Eve berjalan terburu-buru meninggalkan mobil kaivan.
Kaivan tak langsung pergi dari sana. Dia memandang Eve yang berjalan sampai setengah berlari masuk asrama, lalu Kaivan mengeluarkan bros yang ada di saku celana.
Kaivan memandang bros itu, lalu membaliknya dan melihat ukiran huruf di sana.
**
Eve mulai bekerja di hari berikutnya meski kondisinya belum terlalu baik. Dia tak enak jika teman-temannya beranggapan dia lari dari tanggung jawab dan menjadikan alasan sakit agar tidak bekerja.
Namun, Eve juga berusaha mengurangi interaksi dengan Kaivan. Dia benar-benar belum bisa melupakan kejadian malam itu, sehingga terkadang Eve masih terbayang-bayang saat melihat Kaivan.
Ini sangat tidak bagus untuk Eve!
Eve bekerja dengan baik hari itu, bersyukur bisa melewati hari dan menyelesaikan pekerjaannya dengan tenang. Dia pulang agak terlambat karena harus menyelesaikan beberapa dokumen yang menjadi tanggung jawabnya.
“Akhirnya,” gumam Eve lega karena bisa menyelesaikan pekerjaannya.
Eve sangat lega sebab hari ini tidak ada dokumen yang harus diserahkan pada Kaivan, sehingga dia tidak perlu berinteraksi dengan pria itu.
Eve pergi dari perusahaan kembali ke asrama yang tak jauh dari area perusahaan. Saat sedang berjalan menuju pintu masuk asrama, tiba-tiba ada air mengguyur tubuh Eve.
Eve sangat terkejut karena dari kepala hingga ujung kakinya basah. Dia mendongak dan melihat salah satu staff di perusahaan di divisi lain yang ada di balkon kamar asrama juga terkejut karena membuang air bekas cucian dan terkena Eve.
“Maaf, aku tidak sengaja!” teriak staff itu.
Eve tak bisa marah akhirnya mengangguk sebagai tanda tak masalah.
Eve memandang bajunya yang basah, bahkan kemeja bagian dalam tampak sedikit menerawang dan akan memperlihatkan pakaian dalamnya jika tidak tertutup blazer.
Eve akhirnya buru-buru masuk asrama agar bisa segera membersihkan diri. Namun, langkahnya terhenti saat melihat siapa yang sekarang berdiri di depan kamar asramanya.
Waktu berjalan dengan begitu cepat. Perjuangan yang biasa dilakukan sendiri, sekarang banyak yang menemani.Selama kehamilannya, Eve benar-benar merasakan banyak perhatian banyak orang di sekitarnya, membuatnya bisa menikmati kehamilan dengan perasaan tenang dan bahagia.Pagi itu. Eve berjalan ke ruang ganti untuk menghampiri Kaivan. Usia kandungannya sudah sembilan bulan. Perutnya sudah besar dan Eve mulai kesusahan melakukan aktivitasnya.“Biar aku bantu pakaikan dasi,” ucap Eve saat menghampiri Kaivan.Kaivan menoleh. Dia melihat istrinya itu berjalan mendekat.“Kalau lelah duduklah saja, Eve.”Eve hanya tersenyum. Dia meraih dasi Kaivan dan kukuh ingin mengikat dasi.“Duduk terus juga capek,” balas Eve.Dia mengikat dasi dengan seksama.Kaivan memperhatikan Eve yang sedang mengikat. Semakin besar kandungan Eve, istrinya itu terlihat semakin cantik.“Sudah,” ucap Eve.“Terima kasih,” balas Kaivan diakhiri sebuah kecupan di kening.Perhatian Kaivan ke perut Eve. Dia mengusap lembut p
“Apa Dokter tidak salah memeriksa?”“Sudah dipastikan lagi?”Eve merasa kepalanya sangat berat. Samar-samar dia mendengar suara Kaivan dan Maria. Dia pun berusaha untuk membuka mata sampai akhirnya melihat dua orang itu berdiri di dekatnya dengan ekspresi wajah panik.“Sayang.” Eve memanggil dengan suara lirih.Kaivan menoleh ketika mendengar suara Eve. Dia segera menghampiri istrinya itu.“Bagaimana perasaanmu? Mana yang sakit?” tanya Kaivan sambil menggenggam telapak tangan Eve.Maria juga ikut mendekat ke ranjang karena sangat mencemaskan Eve.“Aku di mana?” tanya Eve dengan suara berat.“Di rumah sakit, tadi aku dihubungi kalau kamu pingsan, jadi aku membawamu ke sini,” jawab Kaivan.Eve mengangguk pelan. Dia memang masih merasa sakit kepala.Kaivan dan Maria menunggu dengan sabar sampai Eve sepenuhnya sadar. “Aku tidak tahu kenapa bisa pingsan, maaf sudah membuat kalian cemas,” ucap Eve lirih.“Untuk apa minta maaf. Kami malah cemas kalau terjadi sesuatu padamu, tapi untungnya ti
Setelah berjuang sendiri, sekarang ada tangan yang bisa Eve genggam erat. Dia bagai Cinderella yang akhirnya menemukan sang pangeran, diratukan dan dicintai begitu dalam oleh pria yang bahkan sekalipun tak pernah ada di dalam mimpinya.Pernikahan Eve dan Kaivan sudah satu tahun berjalan. Pagi itu Eve membantu pelayan di dapur menyiapkan sarapan, sudah menjadi kebiasaan meski para pelayan dulu sering melarang.“Ini sudah semuanya, ditata di meja, ya.” Eve memberi instruksi setelah selesai memasak.“Baik, Bu.”Eve meninggalkan dapur. Dia pergi memanggil Maria sebelum membangunkan Kai dan Kaivan.“Ibu sudah bangun?” Eve masuk kamar untuk mengecek Maria.“Sudah, Eve.” Suara Maria terdengar dari kamar mandi.“Sarapannya sudah siap, aku mau bangunin Kai dan Kaivan dulu,” ucap Eve.Setelah mendengar balasan Maria dari dalam kamar mandi. Eve segera keluar dari kamar sang mertua, lantas pergi ke lantai atas. Semalam Kai merengek ingin tidur bersama mereka, sehingga pagi ini putra mereka yang s
Kaivan baru saja keluar dari kamar mandi. Dia melihat Eve yang berbaring memunggunginya. Apa Eve sudah tidur?Kaivan naik ke ranjang. Dia bergeser mendekat ke arah Eve berbaring, lantas menyentuh lengan wanita itu.“Eve, kamu sudah tidur?” tanya Kaivan. Dia bahkan sengaja meletakkan dagu di lengan Eve.Eve sebenarnya sangat panik dan gugup. Dia berpikir untuk tidur lebih dulu sebelum Kaivan selesai mandi, tapi kenyataannya dia hanya bisa memejamkan mata dan tidak bisa jatuh ke alam mimpi, membuatnya sekarang malah semakin cemas.Ini memang bukan malam pertama baginya, tapi lamanya waktu tidak pernah berhubungan seperti itu, tentu membuat Eve merasa ini seperti yang pertama baginya..“Kamu lelah, hm?” tanya Kaivan. Dia tahu Eve belum tidur karena kelopak mata Eve tampak bergerak.Kaivan terus meletakkan dagu di lengan Eve, dia menatap gemas pada Eve yang berpura-pura tidur. Sampai akhirnya dia melihat Eve membuka mata.“Apa kamu lapar?” tanya Eve seraya menatap pada Kaivan.Kaivan meng
“Kai mau pulang cama Mami dan Papi.”Kai bersidekap dada. Dia tidak mau beranjak dari kursinya saat Maria mengajak pulang.Maria, Bram, dan Alana saling tatap, bagaimana caranya membujuk Kai agar Kaivan dan Eve bisa menikmati malam pengantin.“Atau Kai mau tidur di rumah Paman?” tanya Bram membujuk.“Ih … Kai maunya cama Mami dan Papi.” Kai turun dari kursi. Dia berlari menghampiri Kaivan dan Eve yang sedang bicara dengan Dania.“Mami, Papi. Kai mau ikut kalian, tapi Nenek cama Paman malah mau ngajak pulang!” teriak Kai begitu keras.Kaivan dan Eve menoleh bersamaan, mereka terkejut melihat Kai berteriak-teriak seperti itu.“Kenapa, hm?” tanya Eve sedikit membungkuk agar bisa menatap sang putra.“Itu, macak Kai curuh pulang cama Nenek, Kai ‘kan maunya cama Mami dan Papi.” Kai mengadu sambil menunjuk ke Maria dan Bram yang sedang berjalan menghampiri.Kaivan menoleh ke Maria, tentu dia paham dengan niatan Maria mengajak Kai pulang.“Kai, nanti Mami dan Papi akan pulang, tapi setelah me
Pernikahan Kaivan dan Eve berjalan dengan sangat lancar. Mereka sudah sah menjadi suami istri, kini tradisi melempar bunga pun akan dilakukan.Beberapa karyawan lajang yang diundang ke pesta itu sudah bersiap di depan altar, begitu juga dengan Dania yang ikut bergabung untuk mendapatkan buket bunga milik Eve. Siapa tahu selanjutnya dia yang akan menikah.Eve tersenyum penuh kebahagiaan melihat orang-orang antusias ingin merebut buket bunganya. Dia melihat Dania yang memberi kode agar dilempar ke arah Dania, membuat Eve semakin menahan senyum.Eve memunggungi para wanita yang siap menerima buket miliknya. Master Ceremony mulai berhitung, lalu di hitungan ketiga, Eve melempar buket bunga miliknya.Buket itu terlempar cukup kuat. Dania begitu antusias ingin menangkap, tapi banyaknya wanita di sana, membuat buket itu terpental beberapa kali hingga akhirnya jatuh ke tangan seseorang.Semua wanita kini menatap pada orang yang memegang buket itu.“Brian.” Eve terkejut tapi juga merasa lucu ka