"Sudahlah, Rakhan. Ayah punya alasan untuk menikahkanmu dengan putrinya Lucian Sagara."
Mawar menyudahi pernyataan keberatan Rakhan dengan segera menyeret kakak kesayangannya keluar dari kamar. Handoko Mahawira, ayah mereka, telah menunggu kehadiran mereka di ruang keluarga. Pria tua berambut putih dan bertubuh tambun yang mengenakan jas abu-abu itu tampak bahagia. Matanya berbinar melihat putra sulungnya akan segera mewujudkan harapannya.
Mengendarai dua mobil berbeda, mereka pergi menuju kediaman Lucian Sagara. Handoko dan Lucian menginginkan ikatan antara Rakhan dan Mentari segera diresmikan dengan tidak menyertakan pertunangan ke dalam rencana ikatan tersebut. Pernikahan adalah ikatan yang lebih kuat. Paling kuat. Dengan uang dan kuasa mereka, pernikahan Rakhan dan Mentari bisa dilakukan secara mendadak. Kedua keluarga berkuasa itu mampu memengaruhi setiap aspek kehidupan yang terkait dengan mereka.
Lucian menyambut hangat kedatangan sahabat lamanya, Handoko. Ia membawa rombongan calon besannya ke sebuah ruangan di tengah rumahnya yang luas dan bernuansa elegan. Ruangan yang didominasi warna monokrom abu-abu pada furnitur, karpet, dinding, dan tirai yang menghias jendela-jendela besar. Dari jendela-jendela itu, pandangan mereka disuguhi pemandangan taman penuh bunga mawar beraneka warna.
Tatapan Rakhan terpatri pada Mentari yang duduk bergeming di sofa single. Wajah tirus Mentari dengan hidung mancung dan mata cokelat yang bulat besar tampak tidak begitu istimewa untuk Rakhan. Ia sudah punya banyak pengalaman dengan wanita-wanita yang lebih cantik. Tetapi ada sesuatu yang membuat Rakhan tidak bisa memalingkan pandangannya ke arah lain, rambut cokelat Mentari yang terurai di samping wajah dan melewati bahunya yang terekspos. Warna rambut alami gadis itu memberi efek hipnotis yang kuat terhadap dirinya.
"Apakah kalian sudah saling mengenal?" tanya Handoko setelah semua orang duduk di kursi yang telah disediakan.
"Tidak," jawab Rakhan dan Mentari hampir bersamaan. Posisi duduk Mentari dan Rakhan yang bersebelahan membuat mereka menoleh dan saling memandang secara otomatis selama beberapa saat.
"Aku rasa aku tidak perlu mengenalnya. Kenal atau tidak, dia akan tetap tidur di ranjangku, 'kan?" tutur Rakhan dengan nada sinis.
Mentari membelalak. Pria seperti inikah yang diingikan ayahnya untuk dijadikan menantu? Mentari bertanya dalam hati.
Rakhan Mahawira memang terkenal dengan ucapan pedasnya di beberapa media, tapi Mentari tidak menduga ia harus mendengar sendiri ucapan tak berperasaan itu langsung dari mulut Rakhan.
Rakhan melirik jam tangannya lalu mendesah kesal. "Ayah, aku tidak terbiasa membuang waktu. Bisakah acara ini dipercepat?"
Mawar menyikut lengan Rakhan dan melemparkan tatapan memperingati, tapi Rakhan tidak peduli. Justru ia memberikan pertanyaan menantang untuk Lucian. "Pak Lucian, urusan saya masih banyak. Bisakah Anda meminta petugas catatan sipil itu untuk segera memulainya?"
Demi semesta yang menaungi bumi Jakarta, tidak ada seorang pun yang berani memerintah Lucian Sagara. Rakhan Mahawira adalah pengecualian. Pria itu dengan mudah meluncurkan kata-kata yang berisi titah. Lucian melengkungkan bibirnya membentuk senyuman. Senyuman yang tidak setahun sekali ia perlihatkan pada orang-orang di sekitarnya termasuk putrinya.
"Kau sudah tidak sabar, Nak?" tanyanya.
"Iya. Saya sudah tidak sabar membuatkan kalian cucu." Alih-alih mengucapkan dengan nada bercanda, justru Rakhan mengucapkan dengan sangat serius. Namun, reaksi Lucian sungguh di luar dugaan. Ia tertawa.
Dari tempat duduknya, Mentari memandang jijik tingkah ayahnya dan Rakhan. Mereka tidak memiliki selera humor yang bagus, tapi mereka punya sifat menyebalkan yang sama, pikirnya.
"Papa, sebaiknya kita tidak berlama-lama. Aku ada jam kuliah," desak Mentari sambil melirik Rakhan dengan lirikan tajam yang merendahkan.
"Kau tidak perlu melanjutkan pendidikanmu setelah menikah. Tugas wanita setelah menikah itu mengurus suami dan anak-anaknya," tutur Handoko.
"Maaf, Pak Mahawira. Saya tidak sependapat dengan Anda. Saya rasa—"
"Kau bebas melakukan apa saja setelah menjadi istriku." Rakhan memotong dengan nada geram.
"Baiklah. Kita tidak perlu mendebatkan masalah itu. Sekarang tanda tangani saja dokumen pernikahan itu." Lucian menunjuk pada lembaran dokumen di atas meja yang sudah disiapkan petugas catatan sipil.
Tanpa berpikir panjang Rakhan menandatangani dokumen pernikahan itu, begitupun dengan Mentari. Prosesi akad nikah pun berjalan dengan cepat. Beberapa saat setelah semuanya selesai, Rakhan berdiri. Pria dengan setelan jas hitam itu memandang Lucian. "Saya tidak bisa tinggal lebih lama, Pak Sagara."
"Baiklah, Rakhan." Lucian mengulurkan tangan yang disambut oleh jabatan tangan Rakhan.
"Ayo, Mentari!" perintah Rakhan.
Mentari terpangah. Ia masih tidak mengerti perintah Rakhan. Ia menyipitkan mata menatap heran Rakhan.
Rakhan berjalan mengitari meja lalu menarik pelan tangan Mentari. "Ayo, kita pulang!"
Serta merta Mentari mengibaskan cekalan Rakhan dari tangannya. "Rumahku di sini."
"Mentari, kau sudah menjadi istri kakakku. Rumahmu sekarang adalah di rumah keluarga Mahawira," jelas Mawar.
Mata Mentari membulat. Jantungnya berdenyut dua kali kencang mendengar ucapan Mawar. "Aku tidak akan pergi ke mana pun. Rumahku di sini."
Rakhan mendengkus. Ia mengalihkan tatapannya pada Lucian dan memanggil namanya dengan nada memperingati. "Pak Sagara."
Lucian menangkap nada memperingati Rakhan. Ia segera mendekati Mentari. Pria itu duduk di tangan sofa lalu meletakkan tangannya di pundak Mentari. "Kau sudah menandatangani dokumen dan perjanjian pernikahanmu dengan Rakhan, Mentari. Kau harus ikut dengannya."
Mentari menelengkan kepala, mengarahkan pandangan marahnya pada Lucian. "Papa ...."
"Pergilah, Nak. Rakhan pria yang baik." Lucian membelai lembut rambut Mentari.
Merasa dibohongi, dibuang, dan dijual kepada keluarga Mahawira dengan alasan yang tidak Mentari ketahui, Mentari merasa frustrasi. Ia bangkit berdiri. Tanpa menunggu Rakhan dan yang lainnya, Mentari mengayuh langkah cepat keluar dari rumah. Di sepanjang jalan Mentari terus menyumpahi ayahnya, Rakhan, dan seluruh keluarga Mahawira dalam hati. Masih basah luka di hatinya lantaran kehilangan Arya, kini ia harus dihadapkan pada kenyataan ayahnya menjualnya pada keluarga Mahawira.
Mentari mengabaikan rasa panas di mata dan kepalanya di sepanjang perjalanan menuju rumah keluarga Mahawira. Amarah berkecamuk dan merobek-robek dinding hatinya, menambah luka baru. Ia menyesali kenapa ia tidak menekan pelatuk pistol itu tadi malam.
Setelah kejadian siang tadi, Rakhan merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Namun, sebagian dari dirinya tetap merasa gelisah. Setibanya di rumah, ia mendapati Mentari yang sedang duduk di ruang tamu sedang menidurkan Arga di pangkuannya. Kehangatan yang terpancar dari pandangan Mentari selalu menjadi penghiburan bagi Rakhan, meskipun malam itu ia tahu bahwa berita yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang ringan.Rakhan melepas jasnya dan berjalan mendekati Mentari. Ia mengecup bibir Mentari, lalu dahi Arga. Semampunya Rakhan mencoba tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi. Namun, Mentari tahu ekspresi Rakhan tidak seperti biasa. Wanita itu bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal dari cara Rakhan menatapnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Mentari penuh kuriositas sambil menepuk-nepuk paha Arga yang mulai tertidur pulas. Tatapannya penuh dengan kekhawatiran meski ia berusaha terlihat tenang.Rakhan mengambil napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelahnya. “Ada sesuatu
Rakhan mengecup pipi Mentari, lalu berkata pelan di telinganya, “Sampai bertemu sore nanti.”“Hubungi aku kalau kau ada meeting dadakan, ya,” ucap Mentari sambil menurunkan Arga dari gendongannya.“Tentu saja.” Sekali lagi Rakhan mengecup pipi Mentari. “Aku pergi. I love you.”“Aku juga. Hati-hati di jalan.”Usai makan siang bersama Mentari, Rakhan kembali ke kantornya. Siang itu, Jakarta tampak begitu terik, tetapi Rakhan hampir tidak merasakannya. Pikirannya kembali dijejali berbagai urusan pekerjaan, terutama proyek yang melibatkan Annika. Namun, tak dapat dipungkiri, sosok Evander pun kerap muncul di benaknya sejak pertemuan mereka. Ia masih meragukan pria itu meskipun kredibilitasnya sebagai pengacara profesional tidak diragukan lagi. Tanpa ia sadari, mobil yang dikemudikan sopirnya sudah hampir setengah perjalanan. Mereka baru saja berhenti di perempatan ketika tiba-tiba dua orang pria berhelm yag mengendarai sepeda motor sport mendekat ke jendela mobilnya. Rakhan yang tengah a
Rakhan duduk di belakang meja kerjanya. Pandangannya menembus jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Sementara itu, pikirannya dipenuhi dengan informasi yang baru saja diterima. Drew datang ke kantornya pagi itu dengan sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang keluarga Annika.“Evander adalah saudara sepupu Annika,” kata Drew sambil meletakkan map di meja Rakhan. “Anak dari adik tiri ayahnya yang tidak pernah dipublikasikan. Keluarga mereka merahasiakan hubungan itu, karena ibu Evander dan kakak ayahnya Annika tidak pernah menikah.”Rakhan menggenggam tepi meja, mencerna kata-kata Drew dengan hati-hati. “Pantas aku tidak menemukan informasi apa pun tentang hubungan mereka di media sosial dan situs pencarian. ”“Benar,” sahut Drew. “Mereka punya ikatan keluarga yang cukup rumit. Itu sebabnya hubungan mereka disembunyikan. Oh, iya. Kau juga harus tahu bahwa Evander itu seorang duda. Mantan istrinya orang Jerman. Mereka bercerai tiga tahun
Rakhan pulang lebih larut dari biasanya. Pekerjaan di kantor membuatnya kelelahan, tetapi begitu membuka pintu, kehangatan yang familiar segera menyambutnya. Cahaya lampu yang terang dan cerah, aroma harum masakan yang masih tersisa di udara, dan yang paling menyenangkan, Mentari sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman manis yang selalu membuatnya merasa tenang.Mentari berjalan mendekat dan seperti kebiasaannya, ia memberikan ciuman lembut di pipi Rakhan. “Selamat datang, sayang,” bisik Mentari dengan lembut.Rakhan tersenyum, merasakan sejenak kehangatan itu. “Selalu menyenangkan pulang ke rumah,” jawabnya pelan sambil membelai lembut rambut Mentari. Seketika, rasa lelahnya menjadi berkurang.“Aku sudah memasak makanan favoritmu, sup asparagus kepiting.” Mentari mengumumkan menu makan malam yang telah disajikannya di atas meja makan.“Wah, makan besar nih!” Rakhan menanggapi dengan antusias. “Kalau begitu, aku mandi dulu. Nanti kita makan bareng.”“Jangan lama-lama, ya. Aku su
Sore itu, rumah Mentari dan Rakhan dipenuhi dengan kehangatan. Arga sedang bermain di tengah ruang keluarga, sementara Mentari dan Rakhan duduk di sofa sambil menikmati teh hangat. Angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka membawa suasana tenang. Untuk beberapa saat, mereka bisa melupakan kesibukan dan drama di luar sana.Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika suara bel pintu berbunyi. Mentari menatap Rakhan dengan sedikit heran. Mereka tidak sedang menantikan tamu sore ini.“Siapa ya kira-kira?” tanya Mentari sambil berdiri dan menuju pintu.Rakhan mengangkat bahu dan melirik Arga yang masih sibuk bermain, lalu dia berdiri mengikuti istrinya. Ketika Mentari membuka pintu, mereka mendapati Annika berdiri di sana bersama seorang pria bertubuh tinggi yang tidak lain adalah Evander."Annika? Evander?" Mentari terkejut, tapi senyumnya tetap ramah. "Apa yang membawa kalian ke sini?"Annika tersenyum dan mengangkat sebuah bingkisan di tangannya. "Kami datang untuk mengucapkan terim
Rakhan menatap Aldy dengan tajam. "Ketika kau menyakiti seseorang, itu menjadi urusan semua orang. Apalagi kalau dia orang yang aku kenal."Annika terduduk di atas paving block. Kedua tangannya bertumpuk menutupi pipinya yang bengkak sambil menangis. Mentari dengan cepat berjongkok di samping Annika, memeriksa keadaan wanita itu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran.Annika menoleh pelan ke arah Mentari. Sambil terisak-isak, wanita itu berkata dengan suara bergetar dan jelas sekali ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. “A-aku nggak apa-apa.” Aldy melangkah mendekat, masih marah, tapi Rakhan berdiri tegak di depannya, seperti dinding pelindung yang tidak mungkin ditembus. "Pergilah sebelum situasi ini menjadi lebih buruk buatmu," kata Rakhan dingin dan dengan nada mengancam yang jelas.Aldy tampak ragu sejenak. Ekspresi wajahnya terlihat mengeras. “Dia tunanganku. Aku punya hak atas dia!”Rakhan tidak bergeming, hanya menatap Aldy dengan mata yang penuh amarah. "Kau ti