Gara-gara ayahnya mantan preman nomor satu, Mentari ditakuti semua orang. Untungnya, sang kekasih mau memperjuangkannya. Tapi, siapa sangka kisah cintanya harus kandas karena Mentari dipaksa menikah dengan Rakhan, CEO Arogan yang menganggap Mentari hanya sebagai mesin pembuat bayi! Gilanya, sebuah kesepakatan justru terjalin di antara keduanya. Pernikahan mereka akan berkakhir kala Mentari melahirkan anak Rakhan. Lalu, pria itu juga harus membantu Mentari kembali pada kekasihnya yang menghilang. Lantas, akankah keduanya mampu menyelesaikan kesepakatan aneh itu? Terlebih kala ada hati yang berkhianat dan keinginan yang tak lagi sama dalam prosesnya?
Lihat lebih banyak"Untuk yang terakhir kalinya aku bertanya, apakah kau siap menjalani sisa hidupmu denganku?" Arya menyelipkan rambut cokelat yang terurai di samping wajah Mentari ke belakang telinga gadis itu.
"Kita sudah sejauh ini, Arya. Aku tidak akan pernah mau kembali ke si penguasa gila itu," tandas Mentari. Tatapan secokelat kopinya mengunci tatapan gelap Arya.
Kecupan lembut mendarat di pipi Mentari. Dengan perasaan bangga, Arya memeluk erat Mentari. Gadis berusia 23 tahun itu telah memberinya kekuatan lebih untuk melakukan hal paling gila dalam hidupnya yang tidak hanya sekadar menunjukkan cinta, tapi juga nyali yang cukup besar. Atmosfer kamar penginapan murahan yang pengap dan sedikit berbau apek tak mengurangi keromantisan pasangan muda yang sedang di mabuk cinta itu. Perjalanan asmara mereka yang panjang dan tidak mudah membuat mereka saling menguatkan satu dengan yang lainnya.
Arya mengenakan tas ranselnya yang berisi dua setel pakaian dan beberapa barang pribadinya, begitupun dengan Mentari. Gadis itu hanya membawa pakaian secukupnya. Rencana mereka hari itu mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bandar Lampung. Mentari mengikat rambutnya membentuk ekor kuda, lalu menggulungnya membentuk gelungan, dan menutupinya dengan topi. Rambut cokelat dan kulit seputih pualamnya terlalu mencolok dan akan membuat orang-orang mengenalinya dengan mudah sebagai putri salah satu preman terkuat dan paling berbahaya di Jakarta, Lucian Sagara.
"Sudah siap, Cantik?" Arya mencolek ujung hidung mancung Mentari.
"Iya. Ayo kita pergi!" Mentari menarik kedua ujung bibirnya ke atas membentuk senyuman manis.
Arya meraih tangan Mentari, mengaitkan jemarinya ke jemari gadis itu. "Aku mencintaimu, Mentari."
"Aku juga."
Dengan langkah percaya diri, Mentari dan Arya berjalan ke luar dari penginapan. Di gang sempit, di antara rumah-rumah sederhana, mereka menyusuri jalanan kampung nelayan di sebelah timur pelabuhan Tanjung Priok menuju jalan utama yang tinggal beberapa meter lagi. Sengatan matahari di musim panas tak menyurutkan semangat sejoli itu untuk mencari kebebasan saling mencintai.
"Mentari, maafkan aku sudah membuatmu kepanasan seperti ini," sesal Arya sambil mengeratkan genggamannya di tangan Mentari.
"Kau tahu aku tidak semanja itu, Arya. Aku yang menginginkan semua ini."
"Beberapa hari ini aku sudah menyengsarakanmu. Kita hanya makan nasi dengan lauk seadanya dan tidur di tempat yang jauh dari kata nyaman. Jika kau berniat untuk pulang ke rumah ayahmu—"
"Apakah kau sudah menyerah?" potong Mentari dengan nada kesal.
Arya menghentikan langkahnya. Ia memosisikan tubuhnya menghadap Mentari. Tatapan cemasnya menjelajahi wajah Mentari. "Aku hanya anak seorang petani, Mentari. Kemungkinan besar aku tidak mampu memberimu kebahagiaan."
"Jika yang kau maksud kebahagiaan adalah tempat tinggal mewah dan harta berlimpah, aku tahu kau tidak akan bisa memberikannya padaku." Mentari mengunci iris cokelatnya pada Arya. "Kau masih meragukan keputusanku?"
Arya menarik pelan tangan Mentari. Pria berambut gelap dan bertubuh tinggi itu merengkuh Mentari ke dalam pelukannya. "Aku tidak pernah meragukanmu, Mentari."
"Jangan tanyakan hal itu lagi, Arya. Aku ingin bersamamu selamanya."
Decit suara rem Land Rover hitam yang diikuti oleh mobil lainnya mengejutkan Mentari dan Arya. Mereka terpaksa mengurai pelukan, kemudian menatap mobil yang hanya terlihat bagian depannya itu dengan perasaan was-was. Sebuah van hitam tampak menghalangi ujung gang yang sedang mereka lalui. Hanya dalam hitungan detik, tiga pria bersetelan kaus hitam dan kacamata hitam keluar dari mobil tersebut. Mereka mendekat dan berdiri di hadapan Mentari dan Arya dengan gaya arogan, gaya khas orang-orang kepercayaan ayah Mentari.
"Nona, ayah Anda meminta Anda untuk pulang," tutur pria berkepala botak.
Mentari terperangah dan membeku selama beberapa saat, tetapi ia masih memegang erat tangan Arya. Aliran darah ke wajahnya seakan berhenti hingga wajah cantiknya memutih seperti kapas. Ke mana pun ia pergi, ayahnya selalu bisa menemukannya, pikirnya.
"Aku tidak akan pulang, Bang Anton." tegas Mentari.
"Kalau begitu, kami akan memaksa." Anton mencoba meraih tangan Mentari, namun Arya dengan cepat menghalau usahanya.
"Kalau kau berani menyentuh Mentari, kupatahkan tanganmu!" sergah Arya.
Anton tersenyum merendahkan. Ia mengambil posisi untuk meninju wajah Arya, tapi Arya berhasil menghindar. Justru, Arya berhasil mendaratkan tinjunya ke wajah pria botak itu. Tidak terima dengan pukulan Arya, Anton memerintahkan teman-temannya untuk menyerang Arya. Sementara itu, ia memegang tangan Mentari untuk menjauhkan gadis itu dari kekasihnya.
"Lepaskan aku, Bang!" teriak Mentari sambil berusaha menepis cekalan Anton. "Lepaskan!!!"
"Anda harus ikut, Non." Anton menarik paksa Mentari masuk ke dalam Land Rover.
"Mentari!!!" Arya berusaha mengejar Mentari, namun pukulan dan hantaman dari kedua teman Anton masih menyerbunya.
"Arya!" Mentari meronta. Ia memukuli lengan Anton berusaha melepaskan cekalan tangan pria botak itu. Namun, tenaganya kalah besar dibanding tenaga Anton.
Anton berhasil membawa Mentari masuk ke dalam mobil. Ia mengunci Mentari di sana. Dari balik kaca jendela mobil, Mentari menyaksikan Arya tengah berjuang melawan kedua teman Anton. Arya tampak tak berdaya. Wajah Arya dipenuhi darah dan tubuhnya terkulai, tergeletak di beton pinggir jalan. Mentari menjerit sambil memukul kaca jendela. "Arya!!! Bukakan pintunya! Buka!!!"
Selama beberapa menit Mentari menjerit dan menangis di dalam mobil sampai Anton dan seorang pria lain kembali ke mobil. Ia menghalangi Mentari yang mencoba keluar dari mobil.
"Jika Nona tidak bisa diam, aku akan mengikat tangan Nona," ancam Antonio.
"Ikat saja! Brengsek kalian!" teriak Mentari.
Anton mengeraskan rahangnya. Pria berkepala plontos itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya lalu menghubungi seseorang. "Apa yang harus aku lakukan pada bocah ingusan itu, Bos?"
Mentari fokus pada telepon Anton. Si botak pasti menghubungi ayahnya, pikirnya.
"Baik, Bos." Anton menutup panggilan telepon, lalu menghubungi temannya yang masih menunggu perintahnya di tempat Arya tergeletak, dan saat telepon mereka terhubung ia menyampaikan perintah bosnya. "Bereskan dia. Jangan ada jejak!"
Mentari membelalak. Seketika darah menanjak cepat ke kepalanya. Ia tahu pasti arti kata "bereskan".
"Jahat kau, Bang! Berikan ponselmu!" Mentari berusaha merebut ponsel Anton, namun Anton tidak membiarkannya.
"Percuma Nona. Tuan sudah memerintahkan," tandas Anton.
"Arya!!!" jerit Mentari diiringi isakannya. Tangisnya semakin menjadi-jadi ketika kedua teman Anton melempar Arya ke sungai di samping gang sempit tersebut. "Keluarkan aku dari sini! Keluarkan aku! Arya!!!"
Setelah kejadian siang tadi, Rakhan merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Namun, sebagian dari dirinya tetap merasa gelisah. Setibanya di rumah, ia mendapati Mentari yang sedang duduk di ruang tamu sedang menidurkan Arga di pangkuannya. Kehangatan yang terpancar dari pandangan Mentari selalu menjadi penghiburan bagi Rakhan, meskipun malam itu ia tahu bahwa berita yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang ringan.Rakhan melepas jasnya dan berjalan mendekati Mentari. Ia mengecup bibir Mentari, lalu dahi Arga. Semampunya Rakhan mencoba tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi. Namun, Mentari tahu ekspresi Rakhan tidak seperti biasa. Wanita itu bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal dari cara Rakhan menatapnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Mentari penuh kuriositas sambil menepuk-nepuk paha Arga yang mulai tertidur pulas. Tatapannya penuh dengan kekhawatiran meski ia berusaha terlihat tenang.Rakhan mengambil napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelahnya. “Ada sesuatu
Rakhan mengecup pipi Mentari, lalu berkata pelan di telinganya, “Sampai bertemu sore nanti.”“Hubungi aku kalau kau ada meeting dadakan, ya,” ucap Mentari sambil menurunkan Arga dari gendongannya.“Tentu saja.” Sekali lagi Rakhan mengecup pipi Mentari. “Aku pergi. I love you.”“Aku juga. Hati-hati di jalan.”Usai makan siang bersama Mentari, Rakhan kembali ke kantornya. Siang itu, Jakarta tampak begitu terik, tetapi Rakhan hampir tidak merasakannya. Pikirannya kembali dijejali berbagai urusan pekerjaan, terutama proyek yang melibatkan Annika. Namun, tak dapat dipungkiri, sosok Evander pun kerap muncul di benaknya sejak pertemuan mereka. Ia masih meragukan pria itu meskipun kredibilitasnya sebagai pengacara profesional tidak diragukan lagi. Tanpa ia sadari, mobil yang dikemudikan sopirnya sudah hampir setengah perjalanan. Mereka baru saja berhenti di perempatan ketika tiba-tiba dua orang pria berhelm yag mengendarai sepeda motor sport mendekat ke jendela mobilnya. Rakhan yang tengah a
Rakhan duduk di belakang meja kerjanya. Pandangannya menembus jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Sementara itu, pikirannya dipenuhi dengan informasi yang baru saja diterima. Drew datang ke kantornya pagi itu dengan sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang keluarga Annika.“Evander adalah saudara sepupu Annika,” kata Drew sambil meletakkan map di meja Rakhan. “Anak dari adik tiri ayahnya yang tidak pernah dipublikasikan. Keluarga mereka merahasiakan hubungan itu, karena ibu Evander dan kakak ayahnya Annika tidak pernah menikah.”Rakhan menggenggam tepi meja, mencerna kata-kata Drew dengan hati-hati. “Pantas aku tidak menemukan informasi apa pun tentang hubungan mereka di media sosial dan situs pencarian. ”“Benar,” sahut Drew. “Mereka punya ikatan keluarga yang cukup rumit. Itu sebabnya hubungan mereka disembunyikan. Oh, iya. Kau juga harus tahu bahwa Evander itu seorang duda. Mantan istrinya orang Jerman. Mereka bercerai tiga tahun
Rakhan pulang lebih larut dari biasanya. Pekerjaan di kantor membuatnya kelelahan, tetapi begitu membuka pintu, kehangatan yang familiar segera menyambutnya. Cahaya lampu yang terang dan cerah, aroma harum masakan yang masih tersisa di udara, dan yang paling menyenangkan, Mentari sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman manis yang selalu membuatnya merasa tenang.Mentari berjalan mendekat dan seperti kebiasaannya, ia memberikan ciuman lembut di pipi Rakhan. “Selamat datang, sayang,” bisik Mentari dengan lembut.Rakhan tersenyum, merasakan sejenak kehangatan itu. “Selalu menyenangkan pulang ke rumah,” jawabnya pelan sambil membelai lembut rambut Mentari. Seketika, rasa lelahnya menjadi berkurang.“Aku sudah memasak makanan favoritmu, sup asparagus kepiting.” Mentari mengumumkan menu makan malam yang telah disajikannya di atas meja makan.“Wah, makan besar nih!” Rakhan menanggapi dengan antusias. “Kalau begitu, aku mandi dulu. Nanti kita makan bareng.”“Jangan lama-lama, ya. Aku su
Sore itu, rumah Mentari dan Rakhan dipenuhi dengan kehangatan. Arga sedang bermain di tengah ruang keluarga, sementara Mentari dan Rakhan duduk di sofa sambil menikmati teh hangat. Angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka membawa suasana tenang. Untuk beberapa saat, mereka bisa melupakan kesibukan dan drama di luar sana.Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika suara bel pintu berbunyi. Mentari menatap Rakhan dengan sedikit heran. Mereka tidak sedang menantikan tamu sore ini.“Siapa ya kira-kira?” tanya Mentari sambil berdiri dan menuju pintu.Rakhan mengangkat bahu dan melirik Arga yang masih sibuk bermain, lalu dia berdiri mengikuti istrinya. Ketika Mentari membuka pintu, mereka mendapati Annika berdiri di sana bersama seorang pria bertubuh tinggi yang tidak lain adalah Evander."Annika? Evander?" Mentari terkejut, tapi senyumnya tetap ramah. "Apa yang membawa kalian ke sini?"Annika tersenyum dan mengangkat sebuah bingkisan di tangannya. "Kami datang untuk mengucapkan terim
Rakhan menatap Aldy dengan tajam. "Ketika kau menyakiti seseorang, itu menjadi urusan semua orang. Apalagi kalau dia orang yang aku kenal."Annika terduduk di atas paving block. Kedua tangannya bertumpuk menutupi pipinya yang bengkak sambil menangis. Mentari dengan cepat berjongkok di samping Annika, memeriksa keadaan wanita itu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran.Annika menoleh pelan ke arah Mentari. Sambil terisak-isak, wanita itu berkata dengan suara bergetar dan jelas sekali ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. “A-aku nggak apa-apa.” Aldy melangkah mendekat, masih marah, tapi Rakhan berdiri tegak di depannya, seperti dinding pelindung yang tidak mungkin ditembus. "Pergilah sebelum situasi ini menjadi lebih buruk buatmu," kata Rakhan dingin dan dengan nada mengancam yang jelas.Aldy tampak ragu sejenak. Ekspresi wajahnya terlihat mengeras. “Dia tunanganku. Aku punya hak atas dia!”Rakhan tidak bergeming, hanya menatap Aldy dengan mata yang penuh amarah. "Kau ti
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen