Share

4. Bekerja Sama?

Mentari menatap bangunan megah berdesain modern yang berdiri kokoh di atas hamparan hijau yang luas. Dinding rumah yang di dominasi warna cokelat muda dan atap berwana cokelat tua yang berkilat karena tertimpa sinar matahari membuat Mentari bergidik ngeri. Rumah besar dan mewah itu seolah ingin memenjarakan dirinya. Embusan angin yang menerpa wajahnya seakan berbisik, "Hidupmu akan berakhir di sini."

Jantung Mentari berdenyut kencang seiring rasa sakit yang meremas hatinya. Langkahnya terpaku di halaman rumah yang berupa taman bunga. Ia bahkan tidak merasakan tarikan kasar Rakhan di tangannya. Untuk sesaat, Mentari mati rasa.

"Auw!" jerit Mentari saat kakinya tersandung undakan marmer yang menjadi pembatas antara halaman dan beranda.

"Kau ini bodoh atau kenapa? Berjalan saja tidak becus." Rakhan mengomel dengan nada pedas.

Mentari menatap tajam Rakhan. Pria itu adalah sumber semua kesengsaraannya. Gara-gara pria itu, ayahnya membunuh pria yang sangat dicintainya. Namun, Rakhan tak sedikit pun menganggap tatapan Mentari sebagai ancaman. Ia mengeraskan rahang lalu menarik tangan Mentari untuk masuk lebih jauh ke dalam rumah keluarga Mahawira.

Semerbak harum bunga menyapa indera penciuman Mentari ketika langkahnya tiba di ruangan yang cukup luas dengan dinding bertekstur batu alam berwarna jingga. Beberapa ornamen khas suku Dayak menghias dinding tersebut. Vas-vas kristal berisi bunga hidup yang cantik dan menarik di setiap sudutnya melengkapi kesempurnaan desain interior ruangan tersebut. Mentari terbius keindahan ruangan itu sesaat, sebelum ia menyadari kembali posisinya dalam keluarga Mahawira.

Mentari merasakan aliran darahnya berhenti di sekitar pergelangan tangan lantaran cekalan Rakhan yang terlalu kuat. Kekaguman Mentari akan pesona ruangan itu tiba-tiba menguap. Rakhan menyeretnya menaiki anak tangga dan mengabaikan pandangan prihatin beberapa asisten rumah tangganya yang sedang berada di ruangan tersebut.

Rakhan membuka pintu sebuah kamar. Kamar bernuansa retro yang serba putih dan cokelat menjadi saksi jeritan Mentari saat Rakhan melempar gadis itu ke atas tempat tidur.

"Auw!" Napas Mentari terengah menahan jeritan yang meronta ingin memberontak dari mulutnya. "Kurang ajar kau, Rakhan! Kau pikir aku barang belian yang bisa kau lempar seenakmu."

Rakhan menarik sebelah ujung bibirnya tersenyum mencemooh. Tatapan angkuhnya memperingati Mentari untuk tidak menghujatnya lagi. "Kau memang bukan barang belian. Kau hanya mesin pembuat bayi."

Mentari mengerutkan dahi dan membalas tatapan Rakhan dengan tatapan mengancam. Gadis itu tahu, ia tidak akan mengalami momen menyenangkan dalam pernikahannya bersama pria yang paling tidak punya hati seperti Rakhan.

"Jangan bermimpi aku mau mengandung anakmu!" sergah Mentari sambil beringsut.

"Aku tidak perlu bermimpi karena kau tidak punya pilihan untuk menolak."

Rakhan menarik kaki Mentari hingga gadis itu terlentang dan terseret ke tepi ranjang. Dalam sekejap kaki pria itu berada di antara kaki Mentari. Rakhan membuka ikat pinggangnya, kemudian menurunkan resleting celana katun hitamnya.

"Jangan macam-macam kau, Rakhan! Kau mau apa?!" Mentari menepis tangan Rakhan yang berusaha membuka pakaian dalamnya.

"Lebih cepat kau melahirkan bayiku, lebih cepat pula kita terbebas dari pernikahan konyol ini," tandas Rakhan membuat Mentari melotot.

"Aku tidak akan pernah mau tidur denganmu apalagi melahirkan anakmu. Lepaskan aku!" jerit Mentari mengiringi rontaannya.

Iris cokelat Rakhan menggelap sekelam malam tanpa bintang. Darah mulai naik ke kepala dan mengaliri wajahnya hingga bersemu merah. Seumur hidupnya tidak pernah ada seorang pun gadis yang berani menolaknya. Penolakan Mentari menjatuhkan harga diri Rakhan menjadi kepingan-kepingan rapuh yang membuat Rakhan tertegun. Apa harus dengan cara memaksa Mentari seperti itu? pikir Rakhan.

Rakhan hanya ingin mengakhiri kekonyolan yang diciptakan ayahnya lebih cepat. Ia bahkan tidak memikirkan perasaannya sendiri dan juga gadis yang baru saja resmi menjadi istrinya. Pria itu menginginkan kebebasannya lagi. Secepatnya. Rakhan menaikan resleting celananya. Sorot mata tajam yang berada di bawah alis tebalnya menembus tatapan Mentari.

"Jika kau tidak bisa diajak kerja sama, kau akan membusuk di sini selamanya. Ingat itu!" Kalimat bernada ancaman yang keluar dari mulut Rakhan mengakhiri pertemuannya dengan Mentari siang itu.

Bruuuk!

Suara bantingan daun pintu membuat Mentari tersentak. Ia menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan untuk mengurangi tensi ketegangan yang baru saja melilitnya. Ia merebahkan tubuhnya, berpasrah diri di atas kasur empuk berlapis seprai sutra putih hingga kesepian mulai menyapanya beberapa saat kemudian. Rasa panas mulai menyengat mata dan menciptakan sensasi kabut bening. Rasa sesak di hati mendesak untuk meluap. Akhirnya, air bening mengalir dari kedua ujung mata cokelatnya. Mentari terisak-isak. Sejak kecil ia terbiasa menahan tangis dan hanya memendam sendirian semua kesedihan. Bahkan, ketika ibunya meninggal, ia hanya berdiam diri dan menangis dalam hati. Ayahnya selalu mengajarkan agar ia tidak tumbuh menjadi gadis cengeng. Namun, luka yang ia rasakan kali ini sudah menembus sisi hati terdalam dan merobek-robek seluruh pertahanannya.

"Aku merindukanmu, Arya," ucapnya lirih.

Berjam-jam ia menangisi takdir yang sedang tidak berpihak padanya. Terserbit keinginan untuk pergi menjauh dan menghilang, tapi untuk apa? pikirnya. Setega dan sejahat apa pun, Lucian adalah ayahnya. Satu-satunya keluarga yang ia miliki. Keluarga Mahawira punya sejuta cara untuk membuat ayahnya berada di tiang gantung.

Derit suara pintu yang dibuka mempercepat denyut jantung Mentari. Ketegangan merayap ke pungung dan seluruh tubuhnya. Gadis itu bangkit untuk duduk dan melihat apakah suami angkuh nya kembali lagi. Ia bernapas lega ketika mendapati bukan sang suami yang memasuki kamarnya.

Senyuman manis yang terkembang di wajah Mawar menguapkan ketegangan yang Mentari rasakan. Ia buru-buru menyapu air mata dengan punggung tangannya.

"Hai, Mentari. Apa kau menangis?" Mawar mengamati wajah Mentari dari tempatnya berdiri.

"Aku hanya merindukan Papa," kilah Mentari.

Mawar masih memandangi Mentari. Sikap Mentari dan air matanya yang terus menetes memicu asumsi lain.

"Rakhan memang tidak bisa ditolak, apalagi untuk urusan yang berkaitan dengan kepentingan keluarga Mahawira. Kau harus menerima pernikahanmu dengannya, Mentari. Suka atau tidak, kau sudah menjadi istri Rakhan." Ucapan Mawar terasa seperti tekanan baru bagi Mentari. Mentari bergeming seraya menelan semua ucapan adik iparnya setenang mungkin.

"Kami tahu semua cerita tentangmu termasuk kekasihmu, Arya Ardhana." Mawar berjalan mendekat dan dengan sikap hangatnya, ia duduk di tepi ranjang. Ia meletakkan tangan di pundak Mentari seolah tahu kesedihan Mentari. "Memang berat harus menuruti keinganan orang lain. Apalagi, kekasihmu ...."

Tangis Mentari meledak dan membuat Mawar menghentikan ucapannya. Pundak Mentari bergerak naik turun diiringi denyut menyakitkan. Ia seharusnya tidak menangis di hadapan anggota keluarga Mahawira. Namun, luka kehilangan itu terus mengoyak batinnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status