공유

2. Rakhan Mahawira

Mentari tidak bisa menghentikan aliran air matanya. Ia berharap ada seseorang yang melihat perlakuan orang-orang suruhan ayahnya itu dan menyelamatkan Arya yang sudah tidak berdaya dari sungai dangkal. Serbuan rasa bersalah menyelimuti jiwanya. Secara tidak langsung ia sudah membahayakan nyawa Arya. Membiarkan Arya mencintainya, sama saja dengan menodongkan senjata api ke dahi pria itu. Siap meletus kapan saja.

Setelah tiga jam menempuh perjalanan dan bergelut dengan rasa sakit yang menggerogoti seluruh jiwa dan raganya, Mentari tiba di kediaman Lucian Sagara, ayah Mentari.  Mentari sudah tidak sanggup untuk berdiri. Tubuh dan jiwanya terlalu lelah untuk menghadapi dunia dan Mentari jatuh pingsan saat akan keluar dari mobil.

"Arya!" Mentari membuka matanya. Jantungnya berdegup kencang mengingat bayangan wajah sang kekasih. Perlahan, air bening mengucur dari kedua ujung matanya. Mentari bangkit lalu duduk sambil memeluk lututnya di atas ranjang. Ia sudah kembali ke rumah sang penguasa. Sakit dan perih di hatinya kembali meraja.

"Arya, maafkan aku ...," ucapnya lirih.

Perjuangan cintanya dengan Arya harus pupus dan berakhir dengan kehilangan Arya setelah perkelahian pria itu dengan orang-orang suruhan ayahnya. Mentari sangat menyesal telah memberi ide konyol pada Arya untuk kawin lari. Ia tahu ayahnya tidak akan pernah menyetujui hubungan cintanya dengan pemuda itu. Oleh sebab itu, ia dan Arya memutuskan untuk melarikan diri.

Menjadi putri Lucian Sagara adalah kutukan untuk Mentari. Meskipun sudah bertahun-tahun mantan preman nomer satu dan yang paling ditakuti di atas bumi Jakarta itu telah beralih profesi menjadi pengusaha tambang batu bara, tetapi sikapnya masih belum berubah. Ia masih selalu memaksakan kehendaknya pada orang lain, termasuk putrinya sendiri.

"Akhirnya kau bangun." Suara berat Lucian memecah keheningan.

Mentari menatap tajam ke arah pria berambut perak yang berdiri di ambang pintu. Amarah meledak-ledak memenuhi kepala dan menimbulkan semburat merah di wajahnya yang putih mulus. Ia turun dari ranjangnya lalu berjalan ke arah pria aristokrat itu.

"Papa jahat! Kenapa Papa harus membunuh Arya?! Apa salah Arya?!" teriak Mentari tak bisa menyembunyikan kemarahannya pada pria tua itu.

Lucian mendekati Mentari. Pria berusia lima puluhan yang masih tampak gagah itu menyampirkan tangannya ke pundak Mentari. "Salahnya adalah membawa kabur anakku satu-satunya dan calon istri Rakhan."

"Rakhan, Rakhan, dan Rakhan! Selalu dia yang menjadi alasan. Aku tidak mau menikah dengan Rakhan! Tidak mau!" Mentari melangkah mundur dan membiarkan tangan Lucian lepas dari pundaknya. "Apa hebatnya dia sampai Papa tega membunuh Arya dan memintaku menikah dengannya? Utang apa Papa sama si Rakhan itu?!"

"Mentari!" bentak Lucian, "sejak lahir kau sudah terikat dengan Rakhan dan selamanya kau akan tetap menjadi miliknya. Siapa pun yang menghalangi takdir itu, wajib pergi. Termasuk kekasih tidak bergunamu itu. Asal kau tahu, aku tidak membunuhnya."

"Tapi, orang-orang Papa membuangnya ke sungai. Aku melihatnya sendiri, Pa," pangkas Mentari dengan suara bergetar lantaran menahan geram dan sedih secara bersamaan. Air mata kembali meleleh membasahi wajahnya. "Papa jahat! Aku tidak mau menikah dengan Rakhan."

Lucian berdecak kesal. Ia tidak mau lagi menjelaskan panjang lebar alasan Mentari harus menikah dengan putra keluarga Mahawira. "Suka atau tidak besok kau akan menikah dengan Rakhan."

"Apa?!!!" Mentari membelalak lalu berlari menuju meja kecil di samping ranjangnya. Gadis itu menarik laci, mengeluarkan pistol berjenis Glock, dan kemudian mengarahkan pistol itu ke pelipisnya. "Aku akan menikah dengan Rakhan saat sudah menjadi mayat."

"Kau jangan bodoh, Mentari! Semua sudah diatur. Jika kau memaksa untuk membunuh dirimu sendiri, silakan. Kita akan mati bersama. Kau dengan peluru bedebah itu dan aku akan mati di tiang gantungan. Kau sungguh anak yang tahu diuntung," sindir Lucian dengan nada geram.

Tangan Mentari bergetar. Titik-titik keringat mulai muncul di dahi dan di atas bibirnya. Ia bisa saja langsung menekan pelatuk pistol yang mengarah ke pelipisnya. Namun, ucapan Lucian menahannya. Keluarga Mahawira bagai magnet yang mempunyai daya tarik luar biasa bagi ayahnya itu. Keluarga terkaya ke tujuh seAsia Tenggara itu sangat memengaruhi kehidupan Lucian dan keluarganya, bahkan sejak Mentari belum lahir. Meskipun begitu, Mentari tidak pernah mengenal mereka. Ia hanya mengetahui siapa mereka dari majalah gosip, koran, dan media sosial.

"Aku sudah tidak punya apa-apa untuk dipertahankan, Papa. Papa sangat egois. Papa hanya mementingkan kepentingan Papa sendiri! Papa sudah membunuh Arya-ku!" jerit Mentari dengan suara serak dan tertahan.

"Hidup tidak melulu tentang cinta, Mentari." Lucian berbalik dan menahan langkahnya sebelum ia berjalan keluar dari kamar Mentari. "Jika kau mau mati, mati lebih baik untuk gadis pengecut yang tidak tahu berterima kasih sepertimu."

Napas Mentari tersengal. Tubuhnya bergetar menahan dera sakit yang menusuk-nusuk hati. Wajah pucatnya basah oleh air mata. Harapannya untuk menjadi wanita yang kuat, pupus. Tekanan demi tekanan yang ia rasakan membuatnya semakin cengeng dan terpuruk. Tubuh Mentari lemas lalu melorot, terduduk di lantai. Keputusan terpahit harus ia ambil.

***

Rakhan mengencangkan dasinya. Iris cokelat terangnya menatap tajam bayangan dirinya di cermin. Bodoh sekali ia mau melakukan pernikahan konyol ini, pikirnya. Ia bahkan tidak mengenal Mentari. Hanya karena permintaan yang merujuk pada perintah ayahnya, ia harus menikah dengan bocah ingusan itu. Di usianya yang menginjak 33 tahun, ia dipaksa untuk menghadirkan penerus keluarga Mahawira. Usia yang sangat produktif untuk menciptakan penerus keturunan Mahawira.

"Bagaimana menurutmu tentang pernikahan bodoh ini, Mawar?" tanya Rakhan pada seorang wanita cantik yang mengenakan one shoulder dress merah di atas lutut—yang sedari tadi memperhatikannya dari ambang pintu.

"Jika saja aku laki-laki, Ayah tidak akan memintamu untuk melakukan pernikahan ini. Ayah hanya menginginkan penerus keluarga ini dan hanya kau yang mampu memberikannya. Meskipun aku sudah punya anak, anakku memiliki nama belakang keluarga suamiku. Ayah hanya ingin punya cucu yang mempunyai nama belakang Mahawira." Mawar melangkah masuk sambil terus memandangi Rakhan.

"Keinginan Ayah sedikit berlebihan dan aneh," gerutu Rakhan, "jika ia hanya menginginkan cucu dengan nama belakang Mahawira, aku bisa memberikannya selusin tanpa harus menikah."

Mawar mengangkat sebelah ujung bibirnya tersenyum getir. "Pikiran Ayah tidak semodern kau, Rakhan. Ia pria yang masih berpikiran kolot yang menginginkan anak-anaknya menikah dengan anak-anak orang terhormat dan memberinya banyak cucu."

Pendapat Mawar tentang ayah mereka membuat Rakhan tertawa dengan nada sinis. "Apakah bocah ingusan itu anak orang terhormat? Dia hanya anak seorang kriminal yang berlindung di balik harta kekayaan hasil premanisme."

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status