LOGINSaat aku hendak menyusul, Manda malah menahanku. Tangannya menyentuh lenganku dengan lembut tapi tegas, menghentikan langkahku.Aku menoleh, menatapnya dengan tatapan bingung.Manda memberikan kode kecil berupa gelengan kepala, senyum tipis di bibirnya. Matanya menatapku dengan tatapan yang... tahu. Seolah ia tahu persis apa yang sedang dilakukan oleh suaminya dengan istriku di dalam sana.Dewi saat itu sedang berenang sedikit menjauh, mengambil minuman yang ada di sisi lain kolam. Manda memanfaatkan momen itu untuk berbisik ke arahku, suaranya pelan tapi jelas."Mereka biarin aja."Aku terdiam, menatapnya dengan tatapan yang penuh pertanyaan.Manda melanjutkan, suaranya tetap berbisik, bibir yang hampir menyentuh telingaku."Nanti kamu bisa apa-apain aku bebas sepuasmu, Mas. Takutnya, istrimu merasa canggung kalau kamu melihat. Malah nggak jadi kan. Kalau mereka sudah jadi, maka kan istrimu nggak bisa nolak lagi kalau kamu mau sentuh aku..."Kata-katanya membuat sesuatu di dalam diri
Area belakang rumah Dika benar-benar impresif. Kolam renang yang berukuran cukup besar dengan air yang jernih kebiruan, dikelilingi oleh deck kayu yang rapi dan lounge chair yang terlihat mahal. Ada payung-payung besar berwarna krem yang memberikan teduh, beberapa pot tanaman hias yang hijau subur, dan bahkan ada area bar mini dengan counter dan kursi-kursi tinggi."Ini... wow, kalian benar-benar serious dengan kolam renang ini ya," kataku sambil memandang sekeliling dengan takjub."Iya, ini investasi paling worth it sejauh ini," kata Dika sambil tersenyum bangga. "Apalagi kalau weekend gini, enak banget buat santai."Manda berjalan menuju bar mini, membuka kulkas kecil di bawahnya."Kalian mau minum apa? Ada jus, soft drink, atau kalau mau yang lebih seru ada bir dan wine.""Jus aja dulu kayaknya," jawab Dinda sambil tersenyum. "Masih pagi soalnya.""Aku juga jus," tambah Dewi.Kami duduk di lounge chair yang empuk, menikmati suasana yang benar-benar nyaman. Matahari sudah cukup ting
Setelah sepakat untuk sarapan bersama, kami berjalan keluar dari area taman menuju tempat parkir. Dika dan Amanda berjalan di depan, menunjukkan arah. Aku, Dinda, dan Dewi mengikuti dari belakang."Warungnya nggak jauh kok, sekitar lima menit dari sini," kata Amanda sambil menoleh ke arah kami. "Kalian ikut mobil kami aja atau bawa mobil sendiri?""Kita bawa mobil sendiri aja," jawabku. "Nanti kami ikutin dari belakang.""Oke, nanti kami jalan pelan. Ikutin aja mobil kami."Kami berpisah menuju mobil masing-masing. Aku menyetir, Dinda di kursi depan sebelahku, Dewi di kursi belakang. Mobil Dika yang berwarna putih sudah keluar lebih dulu dari parkiran, dan aku membuntutinya dari belakang dengan jarak yang cukup dekat agar tidak tertinggal.Jalanan pagi ini cukup lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang lewat; kebanyakan motor dan beberapa mobil. Udara masih sejuk, matahari mulai naik tapi belum terlalu panas."Kayaknya warungnya yang di seberang jalan deh," kata Dinda sambil menatap
Dari pantai, kami masih melanjutkan petualangan seharian kami. Perut sudah mulai keroncongan; sudah waktunya makan siang."Mau makan di mana?" tanya Dinda sambil menyalakan GPS di ponselnya, mencari restoran terdekat."Terserah kamu. Yang penting enak dan nggak terlalu ramai," jawabku sambil menyetir keluar dari area parkir pantai.Kami akhirnya memilih restoran seafood yang letaknya tidak jauh dari pantai. Tempatnya cukup nyaman; dekorasi kayu dengan nuansa nautical, AC yang dingin, dan yang paling penting: makanannya benar-benar enak. Kami memesan kepiting saus padang, cumi goreng tepung, ikan bakar, dan es kelapa muda.Makan siang kami berlangsung santai. Kami mengobrol ringan tentang hal-hal sepele; tentang makanan yang enak, tentang pelayan yang ramah, tentang apa saja. Tidak ada pembicaraan berat. Tidak ada diskusi tentang Pak Rendra atau open marriage atau apapun yang complicated. Hanya pasangan suami istri biasa yang sedang menikmati makan siang di akhir pekan.Setelah kenyang
Kami berdua setuju.Setelah berganti pakaian yang lebih pantas untuk keluar, kami berangkat dengan mobil.Perjalanan ke pantai memakan waktu sekitar empat puluh menit dari rumah kami. Jalanan cukup ramai untuk hari Sabtu pagi, tapi tidak macet parah. Musik mengalun dari speaker mobil; lagu-lagu pop Indonesia tahun 2000-an yang dulu sering kami dengarkan saat masih pacaran.Dinda bernyanyi pelan mengikuti lirik, tangannya sesekali menyentuh tanganku yang memegang stir. Ada kedamaian dalam momen sederhana ini; momen tanpa beban, tanpa pikiran tentang Pak Rendra atau Dewi atau open marriage. Hanya kami berdua, seperti dulu.Sampailah kami di pantai. Di pagi hari Sabtu seperti ini suasananya cukup ramai; keluarga-keluarga dengan anak-anak kecil, pasangan muda yang berfoto, pedagang yang berteriak menawarkan makanan dan es kelapa. Tapi pantai ini cukup luas, masih ada banyak ruang untuk privasi.Kami parkir di area yang agak sepi, lalu berjalan menuju garis pantai. Angin laut berhembus ken
Aku dan Dinda langsung terlelap setelah percintaan yang brutal dan gila ini selesai.Tidak ada obrolan post-coital yang romantis. Tidak ada pelukan panjang yang penuh makna. Hanya kelelahan yang luar biasa yang menarik kami ke dalam tidur; tidur yang dalam dan tanpa mimpi, seperti tubuh yang mati suri setelah pertempuran yang menguras habis energi.Tubuhku terasa remuk dan lelah.Saat kesadaran mulai muncul di pagi hari, meskipun mata masih tertutup, aku merasakan setiap otot di tubuhku protes. Punggung pegal. Paha kaku. Bahu terasa ditarik. Bahkan untuk sekadar bergerak sedikit mengubah posisi terasa seperti usaha yang berat.Dinda pun mungkin juga merasa begitu.Ia masih tertidur di sebelahku, tubuhnya meringkuk menghadapku, napasnya teratur dan dalam. Rambut yang acak-acakan menutupi sebagian wajahnya. Selimut hanya menutupi sebagian tubuhnya, memperlihatkan bahu telanjang yang penuh dengan tanda-tanda; bekas gigitan, bekas isapan, memar kecil-kecil yang akan berubah menjadi ungu k







