LOGINDari pantai, kami masih melanjutkan petualangan seharian kami. Perut sudah mulai keroncongan; sudah waktunya makan siang."Mau makan di mana?" tanya Dinda sambil menyalakan GPS di ponselnya, mencari restoran terdekat."Terserah kamu. Yang penting enak dan nggak terlalu ramai," jawabku sambil menyetir keluar dari area parkir pantai.Kami akhirnya memilih restoran seafood yang letaknya tidak jauh dari pantai. Tempatnya cukup nyaman; dekorasi kayu dengan nuansa nautical, AC yang dingin, dan yang paling penting: makanannya benar-benar enak. Kami memesan kepiting saus padang, cumi goreng tepung, ikan bakar, dan es kelapa muda.Makan siang kami berlangsung santai. Kami mengobrol ringan tentang hal-hal sepele; tentang makanan yang enak, tentang pelayan yang ramah, tentang apa saja. Tidak ada pembicaraan berat. Tidak ada diskusi tentang Pak Rendra atau open marriage atau apapun yang complicated. Hanya pasangan suami istri biasa yang sedang menikmati makan siang di akhir pekan.Setelah kenyang
Kami berdua setuju.Setelah berganti pakaian yang lebih pantas untuk keluar, kami berangkat dengan mobil.Perjalanan ke pantai memakan waktu sekitar empat puluh menit dari rumah kami. Jalanan cukup ramai untuk hari Sabtu pagi, tapi tidak macet parah. Musik mengalun dari speaker mobil; lagu-lagu pop Indonesia tahun 2000-an yang dulu sering kami dengarkan saat masih pacaran.Dinda bernyanyi pelan mengikuti lirik, tangannya sesekali menyentuh tanganku yang memegang stir. Ada kedamaian dalam momen sederhana ini; momen tanpa beban, tanpa pikiran tentang Pak Rendra atau Dewi atau open marriage. Hanya kami berdua, seperti dulu.Sampailah kami di pantai. Di pagi hari Sabtu seperti ini suasananya cukup ramai; keluarga-keluarga dengan anak-anak kecil, pasangan muda yang berfoto, pedagang yang berteriak menawarkan makanan dan es kelapa. Tapi pantai ini cukup luas, masih ada banyak ruang untuk privasi.Kami parkir di area yang agak sepi, lalu berjalan menuju garis pantai. Angin laut berhembus ken
Aku dan Dinda langsung terlelap setelah percintaan yang brutal dan gila ini selesai.Tidak ada obrolan post-coital yang romantis. Tidak ada pelukan panjang yang penuh makna. Hanya kelelahan yang luar biasa yang menarik kami ke dalam tidur; tidur yang dalam dan tanpa mimpi, seperti tubuh yang mati suri setelah pertempuran yang menguras habis energi.Tubuhku terasa remuk dan lelah.Saat kesadaran mulai muncul di pagi hari, meskipun mata masih tertutup, aku merasakan setiap otot di tubuhku protes. Punggung pegal. Paha kaku. Bahu terasa ditarik. Bahkan untuk sekadar bergerak sedikit mengubah posisi terasa seperti usaha yang berat.Dinda pun mungkin juga merasa begitu.Ia masih tertidur di sebelahku, tubuhnya meringkuk menghadapku, napasnya teratur dan dalam. Rambut yang acak-acakan menutupi sebagian wajahnya. Selimut hanya menutupi sebagian tubuhnya, memperlihatkan bahu telanjang yang penuh dengan tanda-tanda; bekas gigitan, bekas isapan, memar kecil-kecil yang akan berubah menjadi ungu k
Dinda melahap pisangku dengan rakus dan penuh semangat. Mungkin jika malam ini dia masih menginap bersama Pak Rendra, dia bisa melakukannya sampai pagi. Aku yakin, rasa penasarannya belum tuntas. Hasratnya belum bisa dipadamkan oleh lelaki tua itu.Aku mencengkeram kepalanya, membiarkannya menguasai. Sensasi ini adalah campuran antara kenikmatan gila dan rasa sakit yang dalam. Aku memejamkan mata, membayangkan wajah Pak Rendra, membayangkan bagaimana Dinda memberinya kenikmatan yang sama, atau bahkan lebih. Rasa cemburu itu bercampur dengan gairah, menciptakan ledakan emosi yang tak terkontrol.Setelah memastikan aku terangsang sepenuhnya, Dinda mengangkat kepalanya. Bibirnya basah dan sedikit bengkak. Matanya berkilat, penuh api yang sama dengan yang kulihat saat ia bercerita tentang Pak Rendra."Ayo, Mas. Kita ke kamar," bisiknya, suaranya serak. Ia bangkit, meraih tanganku.Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang. Tak masalah. Besok hari sabtu. Aku tak harus bangun pagi. D
Pipi Dinda semakin merona. Ia tampak malu, memainkan ujung gaun tidurnya di pangkuan. Ia menghela napas lagi, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, seolah ia sedang mengakui kejahatan terindahnya."Pak Rendra... dia berbeda dari yang kukira," katanya, matanya menatap ke kejauhan; seolah masih berada di sana, di suite mewah itu, bukan di ruang tengah rumah kami. "Dia nggak buru-buru. Dia... perhatian. Dia tanya apa yang aku suka, apa yang membuatku nyaman. Dia membuatku merasa... dihargai."Suaranya bergetar sedikit, campuran antara malu dan bahagia."Kami ngobrol dulu sambil minum wine. Dia cerita tentang hidupnya, tentang mantan istri-istrinya, tentang bagaimana dia merasa kesepian meski punya segalanya. Dia tidak tampil sebagai Direktur yang berkuasa, melainkan sebagai pria yang rapuh."Aku duduk terdiam, menyimak dengan baik. Jantungku berdebar kencang, berimajinasi setiap detail. Aku membayangkan Dinda duduk di sofa beludru mahal, mendengarkan curahan hati Direkturku, me
Waktu terasa berjalan lambat. Setiap menit terasa seperti lima menit. Aku melirik jam dinding. Jam 22:33. Sudah hampir tengah malam.Dari kamar mandi terdengar bunyi air mengalir; shower yang menyala, air yang menyembur keras menghantam lantai. Suara yang familiar, yang biasanya tidak kuperhatikan, kini terdengar begitu jelas. Begitu... signifikan.Aku membayangkan Dinda di bawah semburan air; sabun berbusa membasuh tubuhnya, air panas mengalir menyapu jejak-jejak tangan Pak Rendra, mencuci bau cologne asing, membersihkan sisa-sisa malam yang dia habiskan di hotel mewah.Apakah ia merasa bersalah? Apakah ia merasa puas? Apakah ia memikirkan aku, atau pikirannya masih terpaku pada Pak Rendra?Lima belas menit berlalu. Suara air berhenti. Keheningan sejenak. Lalu bunyi pintu kamar mandi terbuka.Setelah itu, Dinda telah selesai.Ia muncul di ambang pintu ruang tengah dengan penampilan yang sangat berbeda dari tadi.Rambutnya basah, disisir ke belakang, menetes sedikit di bahunya. Wajahn







