Share

Bab 3

last update Last Updated: 2022-12-20 12:51:34

#Manusia_Durjana

#Jejak_Luka 3

Rumah itu dipenuhi tetangga, tenda sudah terpasang, meja kursi sudah tertata rapi. Sebuah mobil jenazah datang merapat, yang disambut tangis sanak saudara dan semua orang yang hadir di sana.

Kebaikan-kabaikan Marini, sikap ramah Marini kembali terngiang di benak mereka. Tak ada yang menyangka, wanita cantik itu tak berumur panjang. Apalagi mendengar tragisnya cerita, yang menyebabkan kecelakaan.

Hadi turun dari mobil, dengan kaca mata hitam dan bertengger di hidungnya. Sementara Alina memakai baju serba hitam, bergelayut manja di lengan suaminya. Seolah menunjukkan dia sedang berduka, padahal dalam hatinya bersorak gembira, karena berhasil memiliki Hadi sepenuhnya.

Semalam dia mendapat kabar dari Pak Nano, teman kerja sekaligus tetangganya. Bahwa Marini mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju rumah sakit, dan nyawanya tak terselamatkan.

Bukan sapaan hangat didapat, melainkan tatapan sinis dari mereka yang ada di sana, terutama ibu-ibu. Pihak yang paling anti pada perselingkuhan dan pelakor. Kisah perselingkuhannya sudah menyebar di kompleks ini, sudah bukan rahasia lagi. Bahwa Hadi menelantarkan anak istrinya sejak menikah lagi.

Hadi melangkah mendekati sosok yang terbaring kaku terbungkus kain putih. Dia berjongkok, hendak mencium wajah Marini untuk terakhir kalinya. Tiba-tiba sebuah bogem mentah menyapanya, hingga dia terjengkang.

Semua orang menjerit melihat keributan itu, sementara Hadi hanya bisa mengusap sudah bibirnya yang berdarah. Dia menatap nanar sosok yang menatapnya penuh kemarahan itu.

"Pergi!" Tatapan dingin itu seolah hendak membunuh Hadi.

"Ramon, kamu baik-baik saja, Nak?" Bukannya memeluk tubuh laki-laki menjadi cikal bakal kelahirannya, Ramon justru mencekik leher baju ayahnya.

"Jangan pernah menampakkan mukamu di depanku!" Sebuah tatapan sadis, bukan tatapan melas seorang anak yang dia berikan.

"Ram, lepaskan Nang!" Lilik memeluk bahu Ramon dari belakang, mengelusnya lembut berharap emosi Ramon mereda.

"Biarkan saja Bulek! Laki-laki ini perlu diberi pelajaran!" Lilik sedikit terkejut mendengar ucapan itu keluar dari bibir keponakannya, yang masih belia.

"Gara-gara dia Ibu sakit! Gara-gara dia ibu kecelakaan!" teriak Ramon dengan dada turun naik.

"Sudah, Nak. Kasihan ibumu kalau kamu sampai berkelahi dengan ayahmu." Lilik berusaha mengajak Ramon duduk, tapi remaja itu melawan.

"Dia bukan ayahku! Sampai kapanpun aku tidak akan mengakui dia sebagai ayah!" Teriak Ramon sambil menunjuk wajah Hadi. Dia memasang wajah garang, siap menantang sang ayah untuk duel.

Sebenarnya Hadi sudah terpancing emosi, ingin membalas perlakuan kurang ajar darah dagingnya. Tapi demi melihat banyak orang yang hadir di sana, dia mengurungkannya. Dia lebih suka memasang wajah melas, seolah didera penyesalan yang mendalam. Padahal dalam hatinya tak ada yang tahu.

"Mas Hadi pulang saja, daripada nanti geger-geger. Nggak elok dalam suasana duka terjadi perkelahian," ucap Lilik menengahi.

"Iya, Mas. Kasihan Mbak Rini," ucap Heru suami Lilik, menimpali.

"Aku hanya ingin memberikan penghormatan terakhir untuk istriku. Apa itu salah?" ujar Hadi dengan wajah melasnya.

"Ibuku bukan istrimu! Dia!" Ramon menunjuk wajah Alina. "Pelac*r itu istrimu!" Maki Ramon sambil berusaha melepas pegangan Lilik. Wajah Alina langsung merah padam mendapat tudingan seperti itu. Ingin rasanya meremas mulut remaja tak tahu diri itu.

"Sudah, Mas. Kita pulang aja! Wong di sini kita ndak dianggap, malah diusir dengan kata-kata kasar, padahal bermaksud baik. Memang bisa apa sih, bocah ingusan itu tanpa kamu? Paling sebentar lagi bakal merengek-rengek minta bantuanmu," cibir Alina dengan wajah juteknya.

Kalimat Alina sukses membakar suasana yang sudah panas itu. Ramon merangsek hendak menampar mulut julit ibu tirinya. Untung Heru sigap menarik Ramon dan membawanya masuk ke dalam. Hingga kekacauan bisa terelakkan.

"Lepas, Om!" Ramon berontak, mencoba melepaskan pegangan Heru yang memegang pundaknya.

"Jangan, Ram. Bagaimana pun juga dia itu ayahmu, darahnya mengalir dalam tubuhmu. Tak baik kamu berkata seperti itu," ucap Heru menasehati.

"Andai bisa memilih, aku lebih baik tidak pernah lahir ke dunia. Daripada menjadi keturunan iblis itu!" ungkap Ramon penuh emosi.

Masih teringat jelas ketika dia mendapati ibunya sering menangis sendiri, dan ternyata penyebabnya adalah laki-laki yang mengaku sebagai ayahnya itu kawin lagi. Usia Ramon memang masih muda, tapi dia tahu yang dilakukan ayahnya adalah sebuah penghianatan. Apalagi sejak menikah lagi, ayahnya tak lagi peduli pada dirinya dan ibunya. Tapi sibuk mengurus istri mudanya.

Ramon juga tidak lupa, bagaimana hari itu ibunya meringis menahan sakit. Tapi laki-laki yang harusnya bertanggung jawab justru abai, dan membiarkan Marini pergi sendiri.

"Sepertinya ibu itu menyetir sambil melamun. Saya sudah memberi sein, bukan berhenti mendadak. Tahu-tahu ibunya banting setir, hingga terperosok ke sungai." Begitu kesaksian pemilik mobil yang hampir ditabrak Marini.

Jelas Ramon tahu, Marini melamun karena kelakuan Hadi, ayahnya.

"Saya benci dia, Om! Saya benci dia!" Ramon menangis tergugu di pangkuan sang Paman

Heru mengelus lembut punggung Ramon. "Iya, Om paham. Tapi jangan meluapkan semuanya di depan jenazah ibumu. Mbak Rini pasti sedih dan menangis kalau melihat kamu seperti ini. Sudah ya, jangan membuat keributan lagi." Heru mengambil menuang air minun ke dalam gelas, dan memberikannya pada Ramon. "Minum dulu! Biar sedikit lega.'

* * * * * * * *

"Mas Hadi sebaiknya pulang sekarang, biar pemakaman bisa segera dilaksanakan tanpa keributan," ucap Lilik. Sebenarnya Lilik sudah jengkel dengan Hadi, yang tak kunjung pergi walaupun sudah diminta baik-baik. Entah apa tujuan laki-laki itu, mungkin pencitraan agar semua orang yang hadir menganggap dirinya itu gentleman.

"Aku ini suaminya, Lik. Aku ingin memberi penghormatan terakhir pada istriku."

Lilik yang sudah jengkel dengan sikap Hadi, akhirnya tak bisa menahan diri lagi. "Istri? Oh, Mas Hadi masih menganggap Mbak Marini istri? Istri yang selalu kau siksa batinnya? Istri yang kau biarkan menderita sendiri?"

"Kamu salah mengerti, keadaannya tidak seperti itu," sangkal Hadi dengan wajah meyakinkan, tapi sayangnya Lilik tidak mudah tertipu. Ramon sudah cerita kejadian malam itu, sebelum Marini mengalami kecelakaan.

"Salah mengerti?"

"Iya, sebenarnya malam itu ---"

"Sebenarnya apa? Sebenarnya kamu lebih memilih ngelonin perempuan itu, daripada mengantar Mbak Marini ke rumah sakit. Begitu, kan? Sudah lah, Mas. Nggak usah pura-pura menyesal, Mbak Marini sudah tenang, sudah nggak merasakan sakit hati lagi. Sebaiknya kamu pergi saja! Keberadaanmu tak dibutuhkan."

Rahang Hadi mengeras, giginya bergeletukan. Andai yang di depannya bukan perempuan, sudah Hadi pastikan dia bakal babak belur. Seenaknya mengata-ngatai Hadi. Alina yang menyadari suaminya tengah menahan marah, segera menarik tangan laki-laki itu.

"Kita pergi saja, Mas. Sudah cukup mereka menghina kita," ucap Alina sambil melayangkan tatapan sadis pada adik mendiang madunya itu.

"Pergi kalian! Dasar manusia durjana!"

Bersambung ....

Cerbung ini bisa dibaca di KBM App dan Joylada dengan judul yang sama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Luka   Bab 57

    "Duh, kamu cantik banget. Memang ya, kecantikan pengantin nggak ada yang menandingi." Ardia mencium pipi kanan kiri pengantin wanita. "Mbak Ardia bisa, aja." Attaya tersipu malu, mendapat pujian dari kakak ipar suaminya. "Padahal Mbak Ardi juga cantik, lho. Apalagi Kamaya ini, ih gemes. Duh, jadi pengen punya sendiri," balas Attaya.Meski dulu sempat kecewa, karena Ramon lebih memilih Ardia. Sekarang Attaya bisa menerima mereka sebagai saudara. Mungkin memang Ramon bukan jodohnya, nyatanya Tuhan menggantinya dengan sosok yang tak kalah baik dan gantengnya. Meski tak semapan Ramon, tapi Angga lebih muda. Attaya siap, kok, diajak berjuang dari bawah. Kalau semua dijalani dengan cinta, akan terasa lebih indah. Tanpa pernah ada yang menyangka, Angga menjalin hubungan dengan Attaya hingga naik pelaminan. Wanita yang dulu pernah ditolak Ramon, kini jadi adik iparnya. Ramon bahkan harus memastikan beberapa kali, kalau Angga tak salah orang. Nyatanya memang Attaya yang dulu pernah dijodohk

  • Jejak Luka   Bab 56

    "Paak, Ardia, Paaak .... !" Lastri menjerit, bersamaan dengan ambruknya Ardia dan menangisnya Baby Kamaya. Dua laki-laki itu gesit menangkap tubuh Ardia, sebelum jatuh ke lantai. Hargo yang sudah berumur itu nampak ngos-ngosan, sementara Ramon terlihat bernafas lega, karena berhasil menyelamatkan Ardia. "Duh, piye, to? Kok sampai pingsan begini?" Lastri menggoyang-goyang tubuhnya sendiri, berusaha menenangkan Baby Kamaya. "Cup, cup, Sayang. Jangan nangis lagi, ya. Mama nggak pa-pa, kok." Lastri mengajak bicara Kamaya, meski bayi itu tak mengerti maksudnya. Bermaksud menenangkan, karena bayi itu masih saja menangis. "Jadi Ardia beneran belum tahu Renita meninggal, Ram?" Tanya Hargo, sambil menata nafasnya yang kepayahan, setelah mereka selesai meletakkan tubuh Ardia di atas Ranjang. Tubuh Ardia makin berisi sejak hamil dan melahirkan. Jangankan Hargo, Ramon saja yang masih muda, ngos-ngosan ngangkat istrinya. "Keadaan nggak memungkinkan, Pa. Saya nggak berani mengatakan yang sebena

  • Jejak Luka   Bab 55

    "Wah, gantengnya cucu Eyang ...," ucap Hargo, ayah sambung Ardia yang baru saja berkunjung itu. Reflek tangan Lastri, istri Hargo mencubit laki-laki paruh baya itu. "Cantik, Pa. Dia kan cewek? Masak lupa, sih? Kemarin sudah dibilangin, juga." Hargo nyengir lebar, menyadari kekeliruannya. "Lupa, Ma. Maklum sudah tua," jawab Hargo membela diri. "Biarin aja, Cayang. Yangkungmu memang sudah pikun sekarang, ikut Yangti aja, yuk!" Lastri mengangangkat tubuh mungil itu, dan membawanya dalam gendongan. "Namanya siapa, Ar?" Tanya Lastri tanpa menatap Ardia, dia justru asik mengagumi wajah imut Kamaya, yang memang plek ketiplek Ramon. Nggak ada mirip-miripnya sama sekali dengan mamanya, Ardia hanya kebagian gendernya saja. "Pantes yangkungnya bilang ganteng, wong mirip banget bapaknya gini." Lastri membatin. "Kamaya Aymar, Ma. Panggilannya Kamaya," jawab Ardia sambil meletakkan minuman di meja dekat ranjang. "Wes, to. Nggak usah repot-repot! Nanti kalau aku habis bisa ambil sendiri, kamu

  • Jejak Luka   Bab 54

    Ramon menatap getir gundukan tanah merah, yang ada di depannya. Di dalam tanah itu, tergolek wanita yang sudah memporak-porandakan kehidupan istrinya. Renita, ibu Ardia sekaligus mertua Ramon itu kini sudah terbaring di bawah sana. Tempat peristirahatan terakhir, sekaligus tempat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia. Ya, Ramon mendapat kabar dari Rutan, saat hendak mengantar ASIP ke Perina tadi. Bahwa Renita menghembuskan nafas terakhir, sehari setelah alat bantu nafasnya dicabut. Kini mertuanya itu dimakamkan di pemakaman umum dekat Rutan. Ramon sudah tanda tangan, menyerahkan semua pengurusan jenazah Renita pada pihak Rutan. Bukan mau lepas tanggung jawab, Tapi kondisi Ardia secara fisik dan psikis tak memungkinkan untuk itu. Lagi pula tak ada keluarga yang bisa diajak berembug, dan dimintai pertimbangan, mau dimakamkan di mana Renita nanti. Daripada bingung, Ramon memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada pihak Rutan. Sebenarnya Ramon sudah mengabari keluarga be

  • Jejak Luka   Bab 53

    "Mas, kalau aku sudah pulih, sudah boleh pulang. Antar aku menemui Mama, ya?" "Apa, kamu menemui Mama? Buat apa?" Ramon setengah kaget mendengar ucapan Ardia. Ardia baru sehari menjalankan operasi sesar, gerak aja belum bisa. Tiba-tiba ingin bertemu Renita? Yang bener aja? Kemungkinan besar umur Renita hanya tinggal beberapa hari, memang masih ada kesempatan? Bisa jadi Renita sudah terlanjur berpulang, sebelum sempat bertemu Ardia. Menurut keterangan perawat yang menemui Ramon, alat bantu yang menopang hidup Renita akan segera dicabut, begitu mendapat persetujuan dari pihak keluarga. Sedangkan Ramon yang mewakili Ardia, sebagai satu-satunya keluarga yang dimiliki Renita. Sudah menyatakan pasrah dan menyerahkan semua keputusan pada pihak rumah sakit. Mungkinkah kesempatan itu masih ada? "Aku ingin seperti kamu, Mas. Yang bisa memaafkan Ayah, meskipun sudah menyakiti Ibu dan menelantarkan Mas Ramon. Aku ingin memaafkan, Mama. " ucap Ardia pelan. Ramon menggenggam jemari istrinya,

  • Jejak Luka   Bab 52

    Ramon menatap miris tubuh kurus pucat, dengan selang di beberapa bagian tubuhnya itu. Ya, Ramon akhirnya datang memenuhi panggilan dari pihak Rutan, agar menemui Renita di sisa hidupnya. Meski yang diinginkan wanita itu adalah anak kandungnya, bukan menantunya. Kesahatan dan kondisi mental Ardia tak memungkinkan, untuk bertemu nenek dari Kamaya ini. Meski tak pernah bertemu langsung, Ramon pernah melihat Renita dari jauh ketika sidang putusan dulu. Dia masih terlihat cantik, meski tak lagi segar saat iti. Tapi sekarang, keadaannya benar-benar memprihatinkan. Renita tak ubahnya tengkorak yang bernafas. Mungkin ini karma untuk seorang wanita yang hanya mengejar kesenangan dunia, dan tega menzolimi anaknya sendiri. Ramon membatin. "Tante, ini Ramon, suami Ardia." Pelan Ramon berkata. Meski lirih, di ruangan senyap itu suara Ramon terdengar begitu jelas. "Saya datang mewakili Ardia. Maaf, dia tidak bisa datang. Tante tahu kenapa? Dia tidak sanggup bertemu Tante. Jangankan untuk berte

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status