Share

Bab 2

#Jejak Luka 2

Sebenarnya ada praktek bidan di ujung gank dekat rumahnya, tapi Marini lebih memilih melahirkan di rumah sakit. Di sana peralatannya lebih canggih, kalau terjadi sesuatu bisa langsung ditangani. Sedangkan di bidan peralatannya seadanya. Dia tak mau ambil resiko.

Marini memacu mobilnya dengan kecepatan sedang, sambil terus meringis menahan sakit. Bayangan-bayangan kejadian yang membuat kondisi kesehatannya makin memburuk, melintas di mata wanita berparas cantik itu.

"Kenapa harus sekarang, Mas? Kenapa tidak menunggu aku beres lahiran?" lirih Marini di kamar mereka berdua, sementara Alina masih menunggu di ruang tamu.

"Aku mencintainya. Aku nggak sanggup menunggu lebih lama. Aku ingin menikahi Alina secepatnya, dengan atau tanpa ijinmu." Rupanya cinta sudah membutakan hati Hadi. Laki-laki 40 tahun itu sudah seperti ABG labil yang tak bisa dinasehati. Bahkan tak peduli, bagaimana hancurnya perasaan sang istri mendengar pengakuannya. Bagi Hadi, menikahi Alina adalah mutlak, tak bisa dinego lagi.

Jangan tanya bagaimana perasaan Marini, sakit luar biasa. Laki-laki yang dia temani dari nol, kini berpaling pada wanita lain. Hadi lupa, bahwa karir moncernnya adalah berkat jasa almarhum ayah mertua, yang ingin anak cucunya hidup bahagia. Begitu dia berada di puncak karier, dia memilih daun muda. Hadi lupa bahwa karma itu ada.

"Aku tidak akan menuntut macam-macam, Mas. Apalagi sampai melabrak dan mengamuk pacarmu itu. Aku hanya ingin kamu menunggu bayi ini lahir, kemudian kita bercerai baik-baik. Bukannya PNS nggak boleh menikah lagi?" Tentu Marini tidak lupa dengan aturan itu, kan.

"Siapa bilang? Asal persyaratan terpenuhi dan kamu bersedia tanda tangan, semuanya akan beres." Marini terdiam. Hadi adalah sosok keras kepala yang tak suka dibantah, baginya ucapannya adalah titah.

"Apa yang kamu takutkan? Nafkah untukmu berkurang? Jangan takut, kamu akan tetap mendapatkan uang belanja dariku. Aku akan bersikap adil pada kalian berdua." Begitu ucap Hadi kala itu. Tapi nyatanya?

Keadilan itu hanya retorika semata. Setelah menikahi Alina, nyatanya dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah istri muda. Bahkan saat genting seperti ini, Hadi tak mau peduli.

Pernikahan menginjak usia 15 tahun, mungkin Hadi sedang jenuh. Tapi mengapa harus menikah lagi? Bagaimana dengan nasib anak-anaknya nanti? Ah, laki-laki memang hanya mencari kesenangannya sendiri.

Marini tak ingin mengutuk atau menyumpahi Hadi, biar Tuhan saja yang menunjukkan kuasanya. Dia hanya ingin semuanya baik-baik saja, anak-anak sehat dan bisa hidup normal.

Marini mengusap air matanya yang dari tadi terus mengalir. Dalam hatinya dia terus berdoa, semoga kehidupannya akan membaik setelah jabang bayinya lahir. Dia ingin menata hidup baru bersama anak-anaknya saja tanpa suami. Tak peduli suaminya main gila.

Karena asik melamun, Marini tak menyadari mobil di depannya berhenti. Tak ingin terjadi benturan, Marini membanting setir ke kiri. Saking paniknya, bukan rem yang dia injak, melainkan gas. Hingga mobil lepas kendali dan menabrak pembatas jalan. Mobil terus melaju sampai akhirnya terperosok ke dalam sungai.

Bagian depan mobil ringsek parah. Marini hanya bisa merintih kesakitan.

"To---long," meski sakit luar biasa Marini berusaha menyelamatkan diri dan meminta pertolongan.

"Pengemudinya masih hidup," teriak salah satu orang yang mendekat.

"Segera keluarkan, dia hamil besar!" sahut yang lain.

Suara-suara di sekitarnya makin melemah, di pendengaran Marini.

"Ya Allah, selamatkan bayiku," doa Marini sebelum semua menjadi gelap.

* * * * * * * * *

"Maaf Bu. Kami sudah melakukan upaya yang terbaik, semampu dan sebisa kami." Laki-laki berjas putih itu menatap Lilik dalam-dalam. Dari sorot matanya, Lilik tahu bukan kabar baik yang dibawa sosok itu. "Tapi Tuhan berhendak lain, Bu. Maaf dengan berat hati saya menyampaikan kabar duka ini. Pasien dan bayinya tidak bisa kami selamatkan."

Lilik terduduk di kursi tunggu depan kamar operasi, tubuhnya lemas seketika bagai tak bertulang. Dia menatap Ramon yang tengah menggendong sang sepupu. Rasanya tak sanggup Lilik menyampaikan kabar itu pada sang keponakan. Ayahnya menikah lagi, kini ibunya meninggal. Akan bagaimana nanti bocah itu menjalani hidupnya?

"Yang sabar ya, Bu." Lilik mengangguk pasrah. Dia benar-benar tak mengira kakaknya akan secepat ini berpulang.

"Jenazah akan segera diurus oleh pihak rumah sakit, Bu. Mengenai jadwal pemulangannya anda bisa menghubungi bagian administrasi, nanti akan dijelaskan mengenai prosedurnya," lanjut dokter itu. Lagi-lagi Lilik hanya bisa mengangguk, dia kehilangan kata. Akalnya tak bisa lagi berfikir.

"Saya permisi." Pungkas sang dokter sebelum meninggalkan Lilik.

Lilik menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, menuntaskan tangis yang terus mendesak keluar.

"Bulek kenapa?" Entah sejak kapan Ramon sudah berdiri di samping Lilik. Tanpa berkata dia memeluk erat tubuh Ramon, dan menangis sejadi-jadinya.

"Bulek, ada apa? Kenapa nangis begini?" Ramon berusaha melepas dekapan Lilik, dan meminta penjelasan, tapi wanita itu justru mengeratkan pelukannya.

"Kenapa kamu nggak nelfon Bulek waktu ibumu kesakitan? Kenapa kamu biarkan dia berangkat sendiri?" Ramon yang tak mengerti apa-apa hanya bisa menatap bingung buleknya.

"Mbak Rini, kamu anggap apa aku ini? Kenapa nggak minta tolong aku?" raung Lilik di dada keponakannya.

"Bulek, Ibu kenapa? Adikku sudah lahir, kan?" Ramon memegang kedua bahu Lilik, menatap adik kandung ibunya.

Lilik menggeleng, air matanya makin deras mengalir, meski dia berusaha sekuat tenaga agar tangisnya tak meledak. Dia merasa tak sanggup menyampaikan berita ini pada Ramon.

"Ibu dan adikmu meninggal, Nang." Tak di sangka Ramon berlari menuju ruang operasi dan menggedor pintu yang terkunci dari dalam itu, begitu Lilik usai berucap. Rupanya dia terguncang dengan kabar duka dari buleknya.

Remaja tanggung itu meraung, sambil memukuli pintu hingga seorang satpam berlari untuk menghentikan aksinya.

"Sudah, Pak. Biar saya saja," ucap Lilik sambil menggandeng Ramon, mengajaknya duduk disalah satu kursi yang tersedia.

"Nangis aja, Nang. Nangis sepuasmu," lirih Lilik sambil mengelus kepala Ramon dengan lembut. Ramon yang menenggelamkan kepalanya di pangkuan Lilik itu hanya bisa meraung. Satu-satunya orang tua yang dia miliki kini telah pergi, membawa separuh jiwa bocah yang belum dewasa itu. Dia memang punya ayah, tapi baginya laki-laki itu sudah mati.

"Tapi cukup hari ini nangisnya, setelah itu jangan pernah menangis lagi. Kamu laki-laki, harus kuat seberatpun cobaan yang kamu hadapi," bisik Lilik lirih.

Dan kata ini terpatri kuat di hati Ramon, hingga dia dewasa nanti.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status