Share

Bab 4

Acara kirim doa hari ketujuh sudah selesai digelar. Selama tujuh hari itu Hadi hanya datang sebagai tamu. Bukan tuan rumah yang sedang berkabung, dia juga tak menginap di rumah itu. Hadi lebih memilih pulang bersama istri mudanya. Kesedihan tak nampak di wajahnya. Apalagi dengan kehadiran Alina yang selalu bergelayut manja di lengannya, membuat siapapun yang hadir menatap mengelus dada. Tapi namanya orang sedang jatuh cinta, mereka tak ambil pusing.

"Kenapa harus ngundang dia sih, Mas? Bikin kesel aja!" protes Lilik pada Irwan, kakak pertamanya. Saat melihat mobil Hadi masuk ke pekarangan rumah Marini. Lilik tentu tidak lupa bagaimana sikap kakak iparnya itu, selama tahlilan digelar.

sekarang seluruh keluarga besar Almarhumah Marini berkumpul untuk membahas masa depan Ramon dan segala peninggalan Marini.

"Bagaimanapun juga dia itu suami Marini, ayahnya Ramon. Dia juga harus diajak berembug tentang masa depan Ramon selanjutnya," jelas Irwan.

"Memang dia peduli? Kepala laki-laki itu isinya hanya selangk*ng*n perempuan gatel itu," gerutu Lilik, yang langsung mendapat hadiah cubitan dari suaminya. "Sst .... Nggak sopan!" bisik Heru pelan.

"Emang nyatanya gitu, kok!" sahut Lilik tak terima.

"Mumpung aku di sini, aku ingin semua permasalahan selesai. Tidak ada gugat menggugat dibelakang hari. Hidup Marini sudah cukup menderita, aku tidak mau setelah meninggal pun, dia tak bisa tenang. Hanya karena meninggalkan banyak persoalan," ucap Irwan bijak.

"Assalamu'alaikum ...." Semua orang kompak menoleh ke sumber suara, di mana Hadi dan Alina yang selalu bergelayut manja di lengan Hadi itu, berdiri.

"Waalaikum salam ...." Hanya Irwan dan Heru yang menjawab, Lilik dan Ramon memilih bungkam.

"Duduk, Di!" perintah Irwan yang dibalas anggukan oleh Hadi.

"Maaf, Mas. Kita membahas apa ini?" tanya Hadi setelah mengambil duduk di seberang Irwan.

"Ini mengenai masa depan Ramon, bagaimanapun juga perjalanannya masih panjang. Aku rasa kita perlu membahasnya, sebelum aku kembali ke Kalimantan," Jelas Irwan lugas.

"Lho! Bukannya membahas tentang harta peninggalan Mbak Marini?" celetuk Alina, yang langsung mendapat hadiah pelototan dari Lilik. Dari awal Lilik memang sudah menduga, kalau madu kakaknya itu wanita matrealistis. Kalau tidak, mana mau dia menikahi laki-laki yang umurnya jauh lebih tua. "Iya, kan? Biasanya kalau ada yang meninggal, kan yang dibahas warisannya," kekeh Alina tak mau di salahkan.

"Sayang, tahan dulu. Nggak enak sama mereka," bisik Hadi di telinga sang Istri. "Apaan, sih!" ketus Alina.

"Hal itu juga akan kita bahas nanti," jelas Irwan menengahi. "Begini. Karena Ramon masih anak-anak dia butuh pengawasan dan pendampingan dari orang tua. Sebagai ayahnya, saya harap kamu bersedia mengasuh Ramon. Mendidiknya dengan baik, menyekolahkan dia sampai lulus kuliah. Meskipun kamu sudah punya keluarga sendiri, saya harap kamu tetap menyayangi Ramon."

"Saya tidak masalah, saya akan merawat Ramon dengan baik seperti yang Marini lakukan," jawab Hadi yakin. Padahal dia punya maksud lain.

"Saya nggak mau, Pak De! Lebih baik saya tinggal di rumah ini sendiri." Ramon yang dari tadi membisu dan melamun, tiba-tiba angkat bicara.

"Kamu masih anak-anak Ramon. Siapa yang memenuhi kebutuhanmu, siapa yang mengurus keperluanmu?" tanya Irwan, sedikit bingung dengan jalan pikiran keponakannya itu.

"Saya bisa sendiri, kok." Irwan menggeleng pelan, kenapa Ramon seperti anti pati terhadap ayahnya sendiri?

Irwan belum datang, waktu terjadi kegaduhan di hari pertama Marini meninggal. Dia juga tidak tahu kalau Ramon beranggapan Hadi-lah, penyebab kematian Marini.

"Kamu butuh orang dewasa, Ram." Ramon menggeleng. Baginya lebih baik jadi gembel daripada hidup bersama Hadi. "Atau kamu mau ikut Pak De ke Kalimantan?" Lagi-lagi Ramon menggeleng lagi.

"Biar Ramon ikut saya saja, Mas. Biar Angga ada temennya main, biar saya ada yang bantu kalau Mas Heru ke luar kota," jawab Lilik menengahi.

"Yakin? Kemarin kamu mengeluh gaji suamimu pas-pasan, gimana kalau ditambah Ramon? Apa nggak kurang? Nanti Ramon masuk SMP, SMA, kuliah. Itu butuh duit yang tak sedikit.

"Dicukup-cukupin lah, Mas. Nanti juga ada rejekinya sendiri. Asal Ramon mau diajak hidup seadanya. Kamu mau kan, Ram?" Ramon langsung mengangguk antusias mendengar tawaran dari Lilik. "Saya mau Bu Lek."

"Baiklah, masalah pengasuhan Ramon sudah beres. Aku harap kamu tidak lepas tanggung jawab, Di. Kamu punya kewajiban membiayai hidup Ramon meski dia ikut Lilik." ucap Irwan lugas.

"Akan saya usahakan, Mas," jawab Hadi lesu. Hadi sudah lama mangkir dari tanggung jawabnya, sejak tergila-gila pada Alina.

"Jangan hanya diusahakan! Tapi harus benar-benar dilakukan!" tegas Irwan. "Iya, Mas." Di depan Irwan, Hadi tak berani berkutik. Laki-laki itu galak, dan tak segan mengambil tindakan kalau Hadi melakukan kesalahan. Untung saja Marini tidak mengadu pada Irwan tentang perlakuan Hadi padanya sejak menikah lagi.

Bibir Alina langsung mencebik, mendengar suaminya dituntut membiayai Ramon. "Sial!" maki Alina dalam hati.

"Sekarang kita bahas harta peninggalan Marini." Wajah Alina langsung berbinar cerah mendengar Irwan membahas warisan.

"Karena Ramon ikut Lilik, maka perhiasan Marini aku serahkan semua pada Lilik---"

"Lho! Nggak bisa begitu dong! Mbak Marini itu punya anak, jadi saudaranya tak punya hak waris," protes Alina.

"Eh, ulat bulu! Kamu itu orang luar, nggak berhak ikut campur urusan keluarga kami!" balas Lilik kesal.

"Ya, nggak bisa, dong! Aku kan istrinya Mas Hadi. Segala sesuatu yang berhubungan dengan suamiku, aku berhak dilibatkan!" sahut Alina ketus.

"Perhiasan itu bukan untuk Lilik, tapi untuk Ramon. Dia hanya bertugas untuk menyimpannya," tegas Irwan, yang tak ingin terjadi kegaduhan.

"Lalu rumah ini gimana, Mas?" hanya Hadi tiba-tiba.

"Karena Ramon tinggal bersama Lilik, maka Rumah akan dikontrakan. Biar ada yang merawat, dan hasilnya bisa untuk kebutuhan Ramon. Atau ingin kamu tempati?"

"Enggak gitu, Mas. Maksudku, kenapa nggak dijual aja?" usul Hadi.

"Kenapa harus dijual? Rumah itu bisa ditinggali Ramon jika sudah menikah nanti," sanggah Irwan, yang belum paham arah pembicaraan Hadi.

"Kan warisan harus dibagi, Mas. Masa semua untuk Ramon. Saya ini suami Marini, masa nggak dapat apa-apa?" Irwan mengangguk mengerti. "Jadi kamu ingin warisan?"

"Ya kurang lebih begitu, Mas. Dulu saya punya andil waktu renovasi rumah ini," jawab Hadi pongah.

"Oh, kamu mau itung-itungan?" jawab Irwan dingin, membuat keangkuhan Hadi luntur seketika.

"Marini sudah meninggal, Mas. Sudah seharusnya hartanya dibagi kepada ahli warisnya." Hadi berusaha berargumentasi.

"Brak!" Tiba-tiba Irwan bangkit dan menggebrak meja. Membuat semua yang hadir di situ terlonjak kaget.

"Kamu memang nggak punya otak, ya? Kamu lupa ada Ramon, yang harus dipikirkan masa depannya? Jangan kamu pikir saya tidak tahu kelakuan kamu sebelum Marini meninggal!" Hadi dan Alina hanya bisa saling pandang, lalu menundukkan kepala. "Kamu itu kepala keluarga, harusnya kamu mikir anak istrimu, sebelum kesenanganmu sendiri. Bukan sebaliknya! Apa kamu lupa? Rumah itu dibangun di atas tanah pemberian orang tua kami, dan diserahkan kepada Marini sudah 80%. Kamu bantu renovasi aja main itung-itungan? Bagaimana kalau selama tinggal di rumah ini kamu saya hitung ngontrak?!" Hadi tak berkutik, tak berani bersuara.

"Silahkan gugat sampai ujung dunia! Kamu tidak akan dapat apa-apa. Karena sertifikat rumah ini atas nama Ramon, sejak diberikan pada Marini!"

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status