Share

Bab 4

last update Last Updated: 2022-12-20 12:52:15

Acara kirim doa hari ketujuh sudah selesai digelar. Selama tujuh hari itu Hadi hanya datang sebagai tamu. Bukan tuan rumah yang sedang berkabung, dia juga tak menginap di rumah itu. Hadi lebih memilih pulang bersama istri mudanya. Kesedihan tak nampak di wajahnya. Apalagi dengan kehadiran Alina yang selalu bergelayut manja di lengannya, membuat siapapun yang hadir menatap mengelus dada. Tapi namanya orang sedang jatuh cinta, mereka tak ambil pusing.

"Kenapa harus ngundang dia sih, Mas? Bikin kesel aja!" protes Lilik pada Irwan, kakak pertamanya. Saat melihat mobil Hadi masuk ke pekarangan rumah Marini. Lilik tentu tidak lupa bagaimana sikap kakak iparnya itu, selama tahlilan digelar.

sekarang seluruh keluarga besar Almarhumah Marini berkumpul untuk membahas masa depan Ramon dan segala peninggalan Marini.

"Bagaimanapun juga dia itu suami Marini, ayahnya Ramon. Dia juga harus diajak berembug tentang masa depan Ramon selanjutnya," jelas Irwan.

"Memang dia peduli? Kepala laki-laki itu isinya hanya selangk*ng*n perempuan gatel itu," gerutu Lilik, yang langsung mendapat hadiah cubitan dari suaminya. "Sst .... Nggak sopan!" bisik Heru pelan.

"Emang nyatanya gitu, kok!" sahut Lilik tak terima.

"Mumpung aku di sini, aku ingin semua permasalahan selesai. Tidak ada gugat menggugat dibelakang hari. Hidup Marini sudah cukup menderita, aku tidak mau setelah meninggal pun, dia tak bisa tenang. Hanya karena meninggalkan banyak persoalan," ucap Irwan bijak.

"Assalamu'alaikum ...." Semua orang kompak menoleh ke sumber suara, di mana Hadi dan Alina yang selalu bergelayut manja di lengan Hadi itu, berdiri.

"Waalaikum salam ...." Hanya Irwan dan Heru yang menjawab, Lilik dan Ramon memilih bungkam.

"Duduk, Di!" perintah Irwan yang dibalas anggukan oleh Hadi.

"Maaf, Mas. Kita membahas apa ini?" tanya Hadi setelah mengambil duduk di seberang Irwan.

"Ini mengenai masa depan Ramon, bagaimanapun juga perjalanannya masih panjang. Aku rasa kita perlu membahasnya, sebelum aku kembali ke Kalimantan," Jelas Irwan lugas.

"Lho! Bukannya membahas tentang harta peninggalan Mbak Marini?" celetuk Alina, yang langsung mendapat hadiah pelototan dari Lilik. Dari awal Lilik memang sudah menduga, kalau madu kakaknya itu wanita matrealistis. Kalau tidak, mana mau dia menikahi laki-laki yang umurnya jauh lebih tua. "Iya, kan? Biasanya kalau ada yang meninggal, kan yang dibahas warisannya," kekeh Alina tak mau di salahkan.

"Sayang, tahan dulu. Nggak enak sama mereka," bisik Hadi di telinga sang Istri. "Apaan, sih!" ketus Alina.

"Hal itu juga akan kita bahas nanti," jelas Irwan menengahi. "Begini. Karena Ramon masih anak-anak dia butuh pengawasan dan pendampingan dari orang tua. Sebagai ayahnya, saya harap kamu bersedia mengasuh Ramon. Mendidiknya dengan baik, menyekolahkan dia sampai lulus kuliah. Meskipun kamu sudah punya keluarga sendiri, saya harap kamu tetap menyayangi Ramon."

"Saya tidak masalah, saya akan merawat Ramon dengan baik seperti yang Marini lakukan," jawab Hadi yakin. Padahal dia punya maksud lain.

"Saya nggak mau, Pak De! Lebih baik saya tinggal di rumah ini sendiri." Ramon yang dari tadi membisu dan melamun, tiba-tiba angkat bicara.

"Kamu masih anak-anak Ramon. Siapa yang memenuhi kebutuhanmu, siapa yang mengurus keperluanmu?" tanya Irwan, sedikit bingung dengan jalan pikiran keponakannya itu.

"Saya bisa sendiri, kok." Irwan menggeleng pelan, kenapa Ramon seperti anti pati terhadap ayahnya sendiri?

Irwan belum datang, waktu terjadi kegaduhan di hari pertama Marini meninggal. Dia juga tidak tahu kalau Ramon beranggapan Hadi-lah, penyebab kematian Marini.

"Kamu butuh orang dewasa, Ram." Ramon menggeleng. Baginya lebih baik jadi gembel daripada hidup bersama Hadi. "Atau kamu mau ikut Pak De ke Kalimantan?" Lagi-lagi Ramon menggeleng lagi.

"Biar Ramon ikut saya saja, Mas. Biar Angga ada temennya main, biar saya ada yang bantu kalau Mas Heru ke luar kota," jawab Lilik menengahi.

"Yakin? Kemarin kamu mengeluh gaji suamimu pas-pasan, gimana kalau ditambah Ramon? Apa nggak kurang? Nanti Ramon masuk SMP, SMA, kuliah. Itu butuh duit yang tak sedikit.

"Dicukup-cukupin lah, Mas. Nanti juga ada rejekinya sendiri. Asal Ramon mau diajak hidup seadanya. Kamu mau kan, Ram?" Ramon langsung mengangguk antusias mendengar tawaran dari Lilik. "Saya mau Bu Lek."

"Baiklah, masalah pengasuhan Ramon sudah beres. Aku harap kamu tidak lepas tanggung jawab, Di. Kamu punya kewajiban membiayai hidup Ramon meski dia ikut Lilik." ucap Irwan lugas.

"Akan saya usahakan, Mas," jawab Hadi lesu. Hadi sudah lama mangkir dari tanggung jawabnya, sejak tergila-gila pada Alina.

"Jangan hanya diusahakan! Tapi harus benar-benar dilakukan!" tegas Irwan. "Iya, Mas." Di depan Irwan, Hadi tak berani berkutik. Laki-laki itu galak, dan tak segan mengambil tindakan kalau Hadi melakukan kesalahan. Untung saja Marini tidak mengadu pada Irwan tentang perlakuan Hadi padanya sejak menikah lagi.

Bibir Alina langsung mencebik, mendengar suaminya dituntut membiayai Ramon. "Sial!" maki Alina dalam hati.

"Sekarang kita bahas harta peninggalan Marini." Wajah Alina langsung berbinar cerah mendengar Irwan membahas warisan.

"Karena Ramon ikut Lilik, maka perhiasan Marini aku serahkan semua pada Lilik---"

"Lho! Nggak bisa begitu dong! Mbak Marini itu punya anak, jadi saudaranya tak punya hak waris," protes Alina.

"Eh, ulat bulu! Kamu itu orang luar, nggak berhak ikut campur urusan keluarga kami!" balas Lilik kesal.

"Ya, nggak bisa, dong! Aku kan istrinya Mas Hadi. Segala sesuatu yang berhubungan dengan suamiku, aku berhak dilibatkan!" sahut Alina ketus.

"Perhiasan itu bukan untuk Lilik, tapi untuk Ramon. Dia hanya bertugas untuk menyimpannya," tegas Irwan, yang tak ingin terjadi kegaduhan.

"Lalu rumah ini gimana, Mas?" hanya Hadi tiba-tiba.

"Karena Ramon tinggal bersama Lilik, maka Rumah akan dikontrakan. Biar ada yang merawat, dan hasilnya bisa untuk kebutuhan Ramon. Atau ingin kamu tempati?"

"Enggak gitu, Mas. Maksudku, kenapa nggak dijual aja?" usul Hadi.

"Kenapa harus dijual? Rumah itu bisa ditinggali Ramon jika sudah menikah nanti," sanggah Irwan, yang belum paham arah pembicaraan Hadi.

"Kan warisan harus dibagi, Mas. Masa semua untuk Ramon. Saya ini suami Marini, masa nggak dapat apa-apa?" Irwan mengangguk mengerti. "Jadi kamu ingin warisan?"

"Ya kurang lebih begitu, Mas. Dulu saya punya andil waktu renovasi rumah ini," jawab Hadi pongah.

"Oh, kamu mau itung-itungan?" jawab Irwan dingin, membuat keangkuhan Hadi luntur seketika.

"Marini sudah meninggal, Mas. Sudah seharusnya hartanya dibagi kepada ahli warisnya." Hadi berusaha berargumentasi.

"Brak!" Tiba-tiba Irwan bangkit dan menggebrak meja. Membuat semua yang hadir di situ terlonjak kaget.

"Kamu memang nggak punya otak, ya? Kamu lupa ada Ramon, yang harus dipikirkan masa depannya? Jangan kamu pikir saya tidak tahu kelakuan kamu sebelum Marini meninggal!" Hadi dan Alina hanya bisa saling pandang, lalu menundukkan kepala. "Kamu itu kepala keluarga, harusnya kamu mikir anak istrimu, sebelum kesenanganmu sendiri. Bukan sebaliknya! Apa kamu lupa? Rumah itu dibangun di atas tanah pemberian orang tua kami, dan diserahkan kepada Marini sudah 80%. Kamu bantu renovasi aja main itung-itungan? Bagaimana kalau selama tinggal di rumah ini kamu saya hitung ngontrak?!" Hadi tak berkutik, tak berani bersuara.

"Silahkan gugat sampai ujung dunia! Kamu tidak akan dapat apa-apa. Karena sertifikat rumah ini atas nama Ramon, sejak diberikan pada Marini!"

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Luka   Bab 57

    "Duh, kamu cantik banget. Memang ya, kecantikan pengantin nggak ada yang menandingi." Ardia mencium pipi kanan kiri pengantin wanita. "Mbak Ardia bisa, aja." Attaya tersipu malu, mendapat pujian dari kakak ipar suaminya. "Padahal Mbak Ardi juga cantik, lho. Apalagi Kamaya ini, ih gemes. Duh, jadi pengen punya sendiri," balas Attaya.Meski dulu sempat kecewa, karena Ramon lebih memilih Ardia. Sekarang Attaya bisa menerima mereka sebagai saudara. Mungkin memang Ramon bukan jodohnya, nyatanya Tuhan menggantinya dengan sosok yang tak kalah baik dan gantengnya. Meski tak semapan Ramon, tapi Angga lebih muda. Attaya siap, kok, diajak berjuang dari bawah. Kalau semua dijalani dengan cinta, akan terasa lebih indah. Tanpa pernah ada yang menyangka, Angga menjalin hubungan dengan Attaya hingga naik pelaminan. Wanita yang dulu pernah ditolak Ramon, kini jadi adik iparnya. Ramon bahkan harus memastikan beberapa kali, kalau Angga tak salah orang. Nyatanya memang Attaya yang dulu pernah dijodohk

  • Jejak Luka   Bab 56

    "Paak, Ardia, Paaak .... !" Lastri menjerit, bersamaan dengan ambruknya Ardia dan menangisnya Baby Kamaya. Dua laki-laki itu gesit menangkap tubuh Ardia, sebelum jatuh ke lantai. Hargo yang sudah berumur itu nampak ngos-ngosan, sementara Ramon terlihat bernafas lega, karena berhasil menyelamatkan Ardia. "Duh, piye, to? Kok sampai pingsan begini?" Lastri menggoyang-goyang tubuhnya sendiri, berusaha menenangkan Baby Kamaya. "Cup, cup, Sayang. Jangan nangis lagi, ya. Mama nggak pa-pa, kok." Lastri mengajak bicara Kamaya, meski bayi itu tak mengerti maksudnya. Bermaksud menenangkan, karena bayi itu masih saja menangis. "Jadi Ardia beneran belum tahu Renita meninggal, Ram?" Tanya Hargo, sambil menata nafasnya yang kepayahan, setelah mereka selesai meletakkan tubuh Ardia di atas Ranjang. Tubuh Ardia makin berisi sejak hamil dan melahirkan. Jangankan Hargo, Ramon saja yang masih muda, ngos-ngosan ngangkat istrinya. "Keadaan nggak memungkinkan, Pa. Saya nggak berani mengatakan yang sebena

  • Jejak Luka   Bab 55

    "Wah, gantengnya cucu Eyang ...," ucap Hargo, ayah sambung Ardia yang baru saja berkunjung itu. Reflek tangan Lastri, istri Hargo mencubit laki-laki paruh baya itu. "Cantik, Pa. Dia kan cewek? Masak lupa, sih? Kemarin sudah dibilangin, juga." Hargo nyengir lebar, menyadari kekeliruannya. "Lupa, Ma. Maklum sudah tua," jawab Hargo membela diri. "Biarin aja, Cayang. Yangkungmu memang sudah pikun sekarang, ikut Yangti aja, yuk!" Lastri mengangangkat tubuh mungil itu, dan membawanya dalam gendongan. "Namanya siapa, Ar?" Tanya Lastri tanpa menatap Ardia, dia justru asik mengagumi wajah imut Kamaya, yang memang plek ketiplek Ramon. Nggak ada mirip-miripnya sama sekali dengan mamanya, Ardia hanya kebagian gendernya saja. "Pantes yangkungnya bilang ganteng, wong mirip banget bapaknya gini." Lastri membatin. "Kamaya Aymar, Ma. Panggilannya Kamaya," jawab Ardia sambil meletakkan minuman di meja dekat ranjang. "Wes, to. Nggak usah repot-repot! Nanti kalau aku habis bisa ambil sendiri, kamu

  • Jejak Luka   Bab 54

    Ramon menatap getir gundukan tanah merah, yang ada di depannya. Di dalam tanah itu, tergolek wanita yang sudah memporak-porandakan kehidupan istrinya. Renita, ibu Ardia sekaligus mertua Ramon itu kini sudah terbaring di bawah sana. Tempat peristirahatan terakhir, sekaligus tempat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di dunia. Ya, Ramon mendapat kabar dari Rutan, saat hendak mengantar ASIP ke Perina tadi. Bahwa Renita menghembuskan nafas terakhir, sehari setelah alat bantu nafasnya dicabut. Kini mertuanya itu dimakamkan di pemakaman umum dekat Rutan. Ramon sudah tanda tangan, menyerahkan semua pengurusan jenazah Renita pada pihak Rutan. Bukan mau lepas tanggung jawab, Tapi kondisi Ardia secara fisik dan psikis tak memungkinkan untuk itu. Lagi pula tak ada keluarga yang bisa diajak berembug, dan dimintai pertimbangan, mau dimakamkan di mana Renita nanti. Daripada bingung, Ramon memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada pihak Rutan. Sebenarnya Ramon sudah mengabari keluarga be

  • Jejak Luka   Bab 53

    "Mas, kalau aku sudah pulih, sudah boleh pulang. Antar aku menemui Mama, ya?" "Apa, kamu menemui Mama? Buat apa?" Ramon setengah kaget mendengar ucapan Ardia. Ardia baru sehari menjalankan operasi sesar, gerak aja belum bisa. Tiba-tiba ingin bertemu Renita? Yang bener aja? Kemungkinan besar umur Renita hanya tinggal beberapa hari, memang masih ada kesempatan? Bisa jadi Renita sudah terlanjur berpulang, sebelum sempat bertemu Ardia. Menurut keterangan perawat yang menemui Ramon, alat bantu yang menopang hidup Renita akan segera dicabut, begitu mendapat persetujuan dari pihak keluarga. Sedangkan Ramon yang mewakili Ardia, sebagai satu-satunya keluarga yang dimiliki Renita. Sudah menyatakan pasrah dan menyerahkan semua keputusan pada pihak rumah sakit. Mungkinkah kesempatan itu masih ada? "Aku ingin seperti kamu, Mas. Yang bisa memaafkan Ayah, meskipun sudah menyakiti Ibu dan menelantarkan Mas Ramon. Aku ingin memaafkan, Mama. " ucap Ardia pelan. Ramon menggenggam jemari istrinya,

  • Jejak Luka   Bab 52

    Ramon menatap miris tubuh kurus pucat, dengan selang di beberapa bagian tubuhnya itu. Ya, Ramon akhirnya datang memenuhi panggilan dari pihak Rutan, agar menemui Renita di sisa hidupnya. Meski yang diinginkan wanita itu adalah anak kandungnya, bukan menantunya. Kesahatan dan kondisi mental Ardia tak memungkinkan, untuk bertemu nenek dari Kamaya ini. Meski tak pernah bertemu langsung, Ramon pernah melihat Renita dari jauh ketika sidang putusan dulu. Dia masih terlihat cantik, meski tak lagi segar saat iti. Tapi sekarang, keadaannya benar-benar memprihatinkan. Renita tak ubahnya tengkorak yang bernafas. Mungkin ini karma untuk seorang wanita yang hanya mengejar kesenangan dunia, dan tega menzolimi anaknya sendiri. Ramon membatin. "Tante, ini Ramon, suami Ardia." Pelan Ramon berkata. Meski lirih, di ruangan senyap itu suara Ramon terdengar begitu jelas. "Saya datang mewakili Ardia. Maaf, dia tidak bisa datang. Tante tahu kenapa? Dia tidak sanggup bertemu Tante. Jangankan untuk berte

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status