Share

Energi, Luka, Tian

Penulis: aleyshiawein
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-08 16:29:08

Sepuluh tetes kombinasi minyak esensial grapefruit, lemon, dan rosemary menjadi aroma pilihan Irene untuk menyegarkan udara kamarnya sore ini. Di luar sedang hujan, dan ia baru selesai mandi. Kombinasi yang sangat pas untuk menenangkan diri di waktu petang.

Irene duduk di meja rias, mulai merawat wajah dan tubuhnya. Ia sedikit mencelos ketika tangannya tak sengaja menyentuh guratan kusam bekas luka yang melintang di atas dada kirinya. Luka fisik akibat ujung besi tumpul itu sudah lama mengering, tapi Irene masih merasa ngilu setiap kali mengingat bagaimana ia mendapatkan bekas luka permanen itu.

“Sakit."

Irene bergumam singkat, sedikit menyuarakan isi hatinya. Namun, ia tidak ingin mengenang luka itu sekarang. Ia lebih memilih untuk memulihkan energinya yang terasa habis setelah bertemu dengan banyak orang hari ini.

Memang menyenangkan bertemu kembali dengan teman-temannya setelah seminggu penuh menyendiri, apalagi banyak teman baru yang akan ia kenal di summer class nanti. Satu-satunya yang tidak menyenangkan hari ini adalah dirinya yang harus kembali bertemu dengan pria itu, Raka Januar.

Pandangan Irene lantas teralihkan pada sebuah sapu tangan berwarna merah marun di laci. Itu adalah sapu tangan milik Januar. “Segitu nggak mampunya kuliah ke luar negeri sampai betah kuliah di kampus yang sama sampai S3?”

Tangan kanannya lantas terulur, menyentuh permukaan sapu tangan polos yang ia lipat rapi. Perlahan ia memejamkan mata, dan tak butuh lama untuknya kembali merasakan ‘energi’ si pemilik sapu tangan itu dari sana.

Tidak direka-reka, Irene memang memiliki bakat materialistik seperti itu sejak kecil, tepatnya sejak ia berumur tiga atau empat tahun. Irene dapat merasakan energi benda-benda di sekitarnya, baik itu adalah sesuatu yang hidup, atau sesuatu berada di antara hidup dan mati. Irene tak dapat melihat wujud energi itu, ia hanya bisa merasakannya. Ia bahkan tidak pernah melihat satu pun sosok astral di sekitarnya.

“Apa dia memang seorang indigo satanis? Energinya bukan energi manusia biasa,” gumam Irene usai merasakan energi Januar yang terasa asing untuk kesekian kalinya.

Tidak seperti kebanyakan orang yang merasa ngeri akan rumor yang beredar tentang Januar, sebaliknya Irene justru tertarik. Beberapa kali ia melihat Januar berjalan sendirian sembari berbisik-bisik dengan seseorang, padahal tidak ada siapa-siapa di dekatnya saat itu.

Rumor itu bahkan sudah menarik baginya sejak empat tahun lalu, saat Januar menyeretnya ke gudang logistik sekretariat BEM. Saat itu, Irene merasakan dua energi kontras menyerang tubuhnya. Satu energi panas membakar seperti api, satu lagi energi dingin membekukan seperti es. Kedua energi itu tidak dimiliki manusia biasa.

Energi manusia cenderung terasa tentram seperti air atau tanah, maka hanya ada dua kemungkinan untuk menjawab keanehan itu. Pertama, bahwa Januar adalah manusia penganut satanisme yang menerima energi supranatural, atau Januar memang bukan manusia biasa. Rumor itu pun bisa jadi benar, dan Irene sekedar mencari tahu untuk bersenang-senang.

“Kalau dia masih memiliki energi es di samping energi api, apa mungkin dia masih manusia karena peleburan dua energi itu akan membentuk air?”

TOK! TOK!

Belum sempat Irene menjawab pertanyaannya sendiri, suara ketukan pintu yang menggema membuyarkan lamunannya. Ah, itu pasti Riyanto, ayahnya. “Masuk aja, Yah!”

“Ayah dengar dari bibi katanya kamu ada summer class mulai minggu depan. Betul?” Riyanto tak berbasa-basi, ia bahkan tak berniat untuk sekedar duduk di kursi kamar sang anak. Riyanto selalu terburu-buru, entah apa kesibukannya.

“Iya, Yah.”

Summer class itu ngapain aja? Memperdalam keilmuan sesuai jurusan kamu dengan aktivitas praktik lapang? Kalau begitu, cari mata kuliah lain saja, jangan politik. Sudah cukup empat tahun kamu nekat membantah ayah mempelajari bidang itu.”

Luntur sudah senyum tipis di wajah Irene. Ia lupa, bahwa hanya hal-hal seperti inilah yang Riyanto pedulikan darinya. Riyanto kembali mengekangnya, melarangnya ini dan itu atas dasar ketakutan dan trauma masa lalu.

“Memang kenapa sih, Yah? Hanya karena aku mengambil jurusan yang sama kayak Mas Tian—“

“Hanya karena? Kamu menganggap enteng pasal hilangnya kakak kamu itu? Iya?!” sergah Riyanto tanpa mendengarkan Irene selesai bicara.

Irene diam, tak berani menjawab sentakan Riyanto. Ayahnya masih selalu sentimental, sensitif setiap kali ada yang menyinggung tentang hilangnya Tian, anak sulungnya dua belas tahun lalu. Semua yang dianggap menjadi penyebab hilangnya Tian disangkut pautkan, dijadikannya larangan untuk Irene, sang adik sekaligus satu-satunya anggota keluarga Riyanto yang tersisa.

“Apa ini?”

Riyanto mengambil selembar kertas yang tergeletak di atas tempat tidur Irene, membacanya dengan alis menukik usai melihat sebuah logo yang sangat familiar.

“Aish, sial!” sesal Irene dalam hati. Kertas undangan BEM SI yang dibacanya sebelum mandi tadi malah lupa ia sembunyikan.

“Kamu masih ikut BEM?” tanya Riyanto. “Kamu masih ikut kegiatan-kegiatan seperti ini? Harus berapa kali ayah bilang untuk jauh-jauh dari politik, aksi, dan demonstrasi, Irene?!”

Riyanto mengeraskan rahang dan urat-urat tangannya, menunjukkan amarah. Ia tak ragu membentak Irene, menunjuk-nunjuk wajahnya meski anak gadisnya itu tampak tak menunjukkan rasa takut. Irene hanya menunduk karena rasa segan dan hormatnya pada orang tua. Itulah persamaannya dengan Tian, sama-sama keras kepala dan terlalu pemberani.

“Jawab Ayah!”

“Iya.” Irene akhirnya berani menegakkan kepala. “Jangan larang aku kali ini, Yah. Minggu depan adalah hari peringatan HAM internasional, dan itu adalah tema aksi yang harus aku ikuti untuk Mas Tian.”

“Sudah Ayah bilang, jangan mengulik apa pun soal hilangnya Tian! Kasusnya sudah ditutup, dan itu yang terbaik untuk kamu!”

“Yang terbaik untuk aku itu, apakah yang terbaik juga untuk Mas Tian? Aku masih bisa merasakan energi Mas Tian, Yah! Dia mungkin belum tenang atas kematiannya! Kita nggak bisa diam aja!”

“Hentikan omong kosong kamu! Tian sudah tidak ada!”

Irene menggeleng, kembali keras kepala. “Aku nggak akan berhenti mencari di mana Mas Tian meskipun aku harus menemukan jasadnya, Yah!”

Riyanto memejamkan matanya frustasi. “Irene, apa kamu sama sekali nggak pernah belajar dari masa lalu? Pertama, Tian hilang karena dia seorang aktivis mahasiwa yang vokal soal HAM. Kedua, tahun lalu kamu juga dipenjara dan hampir mati karena mengacau di aksi mahasiswa!”

“Bukan aku yang mengacau di aksi, Yah!”

“Ya, apapun alasannya, sebaiknya kamu berhenti. Sudah cukup, Ayah nggak bisa kehilangan lagi, Rene!”

Sejenak keduanya berhenti berdebat. Riyanto berharap kali Irene sungguh mendengarkannya dan berhenti, tapi sayang pemikiran putrinya lagi-lagi tak sejalan. Seberapa keras pun Riyanto berusaha melarang, Irene tetaplah Irene yang pemikirannya sama sekali tidak ada beda dengan Tian.

“Aku nggak akan berhenti, Yah! Kesalahan harus dihukum, dan kebenaran harus ditegakkan. Aku bersumpah, Mas Tian harus ditemukan, Yah!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Kesadaran Lee Yo-han

    Januar kembali dari mengurus administrasi rumah sakit dengan membawa beberapa makanan di tangannya. Langkahnya sendiri lesu, bahkan tangannya masih sedikit gemetar setelah membawa Christian, Wendy, Deri, dan Yo-han keluar dari Landheyan. Januar yakin, ada hubungan antara gempa yang terjadi, energi Landheyan, serta Wendy dan Yo-han yang belum sadarkan diri sampai saat ini. Namun, baik Januar, Yoel, dan Rayen belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi sebelum dua orang itu setidaknya membuka mata. Januar juga tidak bisa mengatakan hal-hal yang membuat Irene bingung. Gadis itu sudah cukup histeris ketika dua teman dan profesornya hampir kehilangan nyawa di bunker situs itu. Oh, dan mungkin ada sentimen lain untuk sang profesor. Setidaknya itu yang ditangkap Januar ketika melihat Irene yang acak-acakan masih terus berdiri di sisi Christian sembari memandanginya iba. Tatapan itu bukan tatapan seorang mahasiswa pada dosennya, tapi lebih dari itu, lebih terlihat seperti wanita pada s

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Gempa, Reruntuhan Situs

    Irene, Januar, dan tim medis berlarian menuju Landheyan sepuluh menit usai gempa berhenti. Mereka mengambil jeda untuk mengantisipasi gempa susulan, tapi mereka pun tak bisa menunggu lebih lama ketika Christian, Wendy, Yo-han, dan Deri tak kunjung kembali dari situs. Itu sudah cukup menandakan bahwa mereka tidak baik-baik saja, dan kini, pemandangan Landheyan usai gempa pun semakin mengkhawatirkan.Masih di bawah guyuran hujan, situs itu berantakan. Puluhan tiang dan dinding dari bebatuan kuno itu patah, dengan retakannya yang berserakan tak beraturan. Sebagian besar tanah di sisi kiri amblas, dan kemungkinan itulah penyebab timbulnya suara suara gemuruh besar tadi.“Di mana tadi kita berhenti?”“Di sana!”Januar mendekat ke arah tunjuk Irene, ke tumpukan batu yang beberapa waktu lalu disebut Christian sebagai gerbang. Nahas, gerbang tumpukan batu itu kini sudah runtuh tak berbentuk.“Kemungkinan mereka ada di sana, di dalam bunker! Pintu aksesnya sudah dibuka,” seru Irene, mengingat

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Inert, Energi Campuran

    Januar membawa semangkuk nasi instan beserta lauk pauk instan seadanya untuk Irene. Gadis itu berbaring di tenda medis sembari terus memegang pelipisnya. Januar menyimpulkan bahwa sakitnya Irene memang disebabkan oleh kejutan energi dari Landheyan, ditambah ia belum sepenuhnya pulih dari insiden gas air mata semalam.Januar lantas duduk di kursi sebelah tempat tidur, mengipas-ngipas nasi instan agar tidak terlalu panas. Udara di sekitar Landheyan memang menjadi lebih dingin karena hujan yang baru saja mengguyur, tapi itu tak cukup. “Kalau nggak ada saya, lagi-lagi kamu udah celaka. Tadi bisa aja kamu malah terperosok ke jurang dan itu akan lebih merepotkan.”Irene memutar matanya malas, tapi Januar sebenarnya berlebihan. Memang ada jurang di kiri dan belakang mereka tadi, dan Irene pun baru sadar bahwa mereka telah gegabah dengan berdiri di atas tebing curam.“Udah agak dingin. Kamu bisa makan sendiri, atau …”“Nggak usah aneh-aneh.” Irene merebut mangkuk nasi instan yang masih sediki

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Serangan Energi Landheyan

    Ini adalah hari kedua kelompok tiga berada di Landheyan, dan sudah saatnya mereka melakukan sesuatu. Ah, seharusnya mereka bisa bermain-main sehari lagi, tapi Januar yang semena-mena itu memaksa mereka untuk berpanas-panasan di atas tanah cadas berpasir.“Kenapa jauh sekali lokasinya? Aku kira dekat dari gerbang itu.” Lee Yo-han kembali mengeluh, karena Christian yang belum juga berhenti setelah lima belas menit mereka berjalan dari tenda.“Udah dekat, kok. Landheyan ini komplek, susunannya seperti perumahan. Jadi, hati-hati aja kalau kalian nyasar,” peringat Christian seraya menunjuk area Landheyan yang katanya memiliki luas lebih dari lima hektar.“Kalau nyasar gimana, Prof?” tanya Wendy.“Kalau nyasar Irene yang mau nyari.”Semua perhatian lekas tertuju pada Irene. Selain Januar yang dimusuhi karena memajukan jadwal, gadis itu juga ikut dicibir karena meminta Christian agar mereka bekerja lebih keras dibanding kelompok lain dengan dalih ‘kelompok spesial’. Ayolah, tidak semua anggo

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Ikut Menjelajah Bunker

    Pensil, penghapus, dan marker berwarna-warni. Christian masih terus berkutat dengan perkamen besar berisikan peta situs yang perlu ia pastikan kesesuaiannya dengan pengamatan di lapangan. Ia sudah mengunjungi lebih dari setengah bagian situs itu sebanyak dua kali, tapi itu belum membuatnya mudah mengingat fitur dan jalur rumit di dalamnya. “How the fuck is …” “Profesor?” Christian lekas menoleh ke arah pintu tenda ketika seseorang menginterupsi kepusingannya. Ah, ia bahkan mengumpat, dan sialnya lagi yang memergoki itu adalah mahasiswanya sendiri, Irene. “Oh, kapan kamu datang?” tanya Christian cuek, lekas kembali lagi pada perkamennya. Ah, sejujurnya reaksi itu membuat Irene sedikit kecewa. “Baru tadi, Prof. Saya mau ngasih barang-barang yang Anda minta,” ujarnya seraya menaruh satu kotak kayu berisi perkakas penggalian dasar. “Boleh diperiksa kelengkapannya dulu, Prof.” “Oke. Gak perlu diperiksa, saya yakin kamu bukan orang pelupa. Silakan kembali dan bebas beraktivitas. Terima

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Utang Budi

    Januar membasahi sapu tangannya dengan air mineral dalam botol yang ia beli dari minimarket terdekat. Irene masih tak sadarkan diri di mobil, dan wajahnya yang terkena gas air mata harus segera dibasuh sebelum efek samping gas air mata itu merusak wajahnya lebih parah. Rasanya Januar terbebani sekali karena harus mengurus Irene yang pingsan, tapi mana mungkin juga ia membiarkannya? Mau tak mau Irene menjadi tanggung jawabnya saat ini.“P—permisi, maaf …” Januar gemetar ketika tangannya harus menyentuh wajah pucat Irene. Sedikit demi sedikit ia menyeka bagian wajah gadis itu yang memerah. Mulai dari dahi, pipi, hidung, dan dagu.“Ck! Memar gini. Ketabrak-tabrak apa gimana? Dasar nggak hati-hati,” lanjut Janua kesal. Ia masuk kembali ke dalam mobil setelah menyeka bagian wajah sampai leher Irene. Itu yang paling penting, tapi luka-luka akibat berdesakan dan jatuh di kerumunan itu juga tidak bisa diabaikannya begitu saja.Januar menghela, memajukan tubuhnya guna melihat luka di bagian pe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status