Share

Memperbaiki Masa Lalu

Januar melempar tasnya kasar ke sofa ruang kerja Satria, teman sekaligus dosennya di YMU. Keduanya sudah sangat akrab hingga batasan antara dosen dan mahasiswa hampir tak terlihat di antara mereka. Maklum, perbedaan usia mereka hanya terpaut tiga tahun, dan Januar sudah menjadi tangan kanan Satria sejak ia mengajar mahasiswa jenjang sarjana.

Januar lantas mengambil segelas air minum dalam kemasan yang tersedia di meja, hendak membasahi kerongkongannya yang kering usai terlalu banyak bicara. “Sat, lo masih ngajar anak-anak politik 2015?”

“Angkatan 2015? Berarti yang sekarang semester tujuh?”

“Iya, angkatannya Yoga-Yocelyn.”

“Mengajar di kelas enggak, tapi gue membimbing skripsi beberapa dari mereka, salah satunya musuh lo, tuh, si Irene.” Satria tersenyum meledek. Ia tidak pernah ketinggalan gosip panas kampus meski telah menjadi dosen muda sibuk.

“Gue bahkan baru mau tanya soal dia, ternyata malah lo pembimbingnya. Skripsi dia ngapain sampai nyebrang ke komunikasi segala?” Januar sedikit penasaran.

Satria mengambil satu bundel kertas A4 di meja kerjanya. Itu naskah skripsi pertama Irene. “Gak nyebrang, tapi dia mengkombinasikan kurang lebih empat cabang keilmuan di FISIPOL dalam satu skripsi yang kompleks, ribet, dan menantang. Tema besarnya tetap politik, tapi ikut mengangkat isu sosial dan kebijakan publik yang butuh jembatan komunikasi.”

Januar melirik sekilas naskah skripsi penuh coretan tinta merah di tangan Satria itu. Dalam hati ia tertawa, karena rupanya si mahasiswi berprestasi juga kesulitan menghadapi Satria si dosen perfeksionis. “Oh.”

"Mau lihat nggak? Siapa tau mau ngasih masukan juga sebagai senior. Wawasan dia luas loh, Jan. Tipe lo banget, kan?” goda Satria. Ia melempar naskah skripsi Irene itu asal pada Januar.

Januar berdecak sebal. “Tipe gue dari mananya? Skripsi hancur begini tapi bisa-bisanya bilang gue berpikiran sempit,” ujarnya kesal, meski akhirnya ia membaca juga halaman ke tujuh skripsi penuh revisi itu. Tidak sekedar membaca, tapi Jauar juga mengambil pena birunya dan menuliskan beberapa masukan di sana.

“Irene ngomong gitu ke lo? Ada benernya, sih.”

“Lo ada di pihak dia sekarang? Jangan lupa lo kalau lo itu provokator awal permusuhan gue sama dia ya, Sat.”

“Ya, tapi setidaknya gue cukup cerdas untuk nggak terlibat adu mulut, atau debat kusir kekanak-kanakan di lapangan sampai ditegur rektor macam kalian berdua. Satu lagi, gue hanya memantik isu, dan kalian yang terbakar. Jadi, salah siapa?” Satria membebaskan dirinya dari tuntutan Januar sekali lagi.

“Terserah, tapi …” Januar berhenti menulis sejenak. Ia teringat sesuatu. “Apa lo tau dia mengambil kelas arkeologi yang sama kayak gue? Atau ini memang akal-akalan lo juga?”

“Menurut lo?”

Ekspresi menyebalkan Satria sudah menjelaskan segalanya. Sial, Januar baru ingat bahwa dosen itu sempat meminta bantuannya untuk mengatur penempatan mahasiswa di summer class, dan kebetulan Januar tidak bisa membantu karena ada pekerjaan lain. Benar-benar, Satria menjadikan momentum kolaborasi mahasiswa ini untuk mendekatkan Januar dan Irene. Itu memang misinya sejak lama, tepatnya sejak insiden ospek empat tahun lalu.

“Sialan lo, Satria. Selalu aja ikut campur urusan orang.”

Satria malah tertawa alih-alih takut dengan ekspresi kesal Januar. “Gue nggak ngatur apa-apa. Nama Irene Yocelyn udah ada di daftar urutan nomor satu bareng sama temennya yang dari Korea. Dia mengajukan diri sebelum daftar nama kelas arkeologi dibuat.”

“Ngambis amat?”

“Emang. Nggak kayak lo.”

Januar mendengus kesal. Apa yang dikatakan Satria adalah fakta, bahwasanya Irene memang jauh lebih ambisius dibanding dirinya. Siapa sangka jika Januar diam-diam mengamati Irene sejak lama, dan ia pun sudah berkali-kali dibuat kagum oleh prestasi gadis itu. Namun, perhatiannya bukan semata-mata karena ia tertarik, tapi karena ada alasan lain yang lebih mengharuskannya untuk peduli.

“Udahlah, Jan. Ini kesempatan lo buat memperbaiki masa lalu sama Irene. Sampai kapan mau memelihara permusuhan?”

“Gue nggak mau menyalahkan lo sepenuhnya, tapi lo lebih dewasa dari dia. Kalau lo nggak mulai untuk mengambil langkah damai, sama aja artinya lo menciptakan seorang pendendam di dunia ini, dan satu lagi manusia dengan kualitas nurani yang nggak baik.”

“Ck! Terlalu dalam filosofi lo. Lebay!”

“Tapi itu filosofi hidup lo juga, ‘kan?”

Januar tak menggubris, entah karena pura-pura fokus saja atau memang sangat serius merevisi skripsi Irene. Satria yang didiamkan hanya menghela, sulit sekali mempengaruhi Januar. “Kalau lo nggak mau bahas Irene pas ospek, ya sudah, tapi gue punya undangan buat lo.”

Satria mengeluarkan amplop dari laci mejanya. “Ini. Undangan langsung dari BEM SI. Kajian ilmiah aksi peringatan HAM internasional. Aksinya minggu depan. Ditujukannya buat kita berdua, tapi gue udah pasti nggak bisa memenuhi undangan ini karena dosen YMU nggak boleh terlibat dalam kegiatan politik apa pun.”

Januar lantas membuka amplop itu, membaca surat di dalamnya sekilas, lalu melipatnya kembali setelah mengetahui gambaran umum undangan itu. “Gue bukan lagi seorang aktivis. Gue peneliti, dan ini bukan ranah gue.”

“Ini kajian ilmiah kebijakan publik, Jan. Masih ranah lo.”

“Bukan. Ranah gue adalah penelitian ilmu komunikasi, dan gue membatasi persinggungannya dengan ilmu politik, apalagi politik praktis.”

“Lo sama sekali nggak tergerak karena profesi, pilihan hidup, atau trauma rekaan lo yang belum hilang?”

Januar menghela, semakin kesal dengan Satria yang terus mengulik masa lalu ketika mereka masih sama-sama aktivis BEM. “Silakan hakimi gue sesuka lo, tapi setelahnya tolong jangan mengundang gue ke acara begini. Percuma, Sat.”

“Oke, tapi Irene pasti bakal ikut.”

Januar menghentikan langkahnya yang hendak keluar ruangan tanpa pamit. Irene dan aksi, padanan kata yang sangat enggan ia dengar. Dari sekian banyaknya kegiatan Irene yang ia ketahui, Januar paling tidak suka dengan aktivisme gadis itu yang menurutnya terlalu menggebu-gebu.

“Apa lo bakal diam aja kalau dia kenapa-kenapa kayak dulu?” Satria lanjut memprovokasi, sementara yang terprovokasi masih bergeming. Jawaban atas pertanyaan Satria barusan sama sekali tidak mudah, membuat perasaan dan pikirannya selalu berkecamuk.

“Masalah lo dengan Irene enggak berhenti sampai di lapangan ospek, justru lebih parah setelah itu. Lo nggak lupa, kan?"

Januar masih diam, bahkan tak berbalik menghadap Satria yang mengajaknya bicara. Ia sadar Satria tengah menasihatinya, dan seharusnya ia mendengarkan. Namun, egonya terlalu tinggi untuk sekedar menerima saran dari teman dekatnya itu.

“Sadar, Jan. Sampai kapan lo mau pura-pura nggak bersalah?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status