Share

Memperbaiki Masa Lalu

Penulis: aleyshiawein
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-08 16:28:37

Januar melempar tasnya kasar ke sofa ruang kerja Satria, teman sekaligus dosennya di YMU. Keduanya sudah sangat akrab hingga batasan antara dosen dan mahasiswa hampir tak terlihat di antara mereka. Maklum, perbedaan usia mereka hanya terpaut tiga tahun, dan Januar sudah menjadi tangan kanan Satria sejak ia mengajar mahasiswa jenjang sarjana.

Januar lantas mengambil segelas air minum dalam kemasan yang tersedia di meja, hendak membasahi kerongkongannya yang kering usai terlalu banyak bicara. “Sat, lo masih ngajar anak-anak politik 2015?”

“Angkatan 2015? Berarti yang sekarang semester tujuh?”

“Iya, angkatannya Yoga-Yocelyn.”

“Mengajar di kelas enggak, tapi gue membimbing skripsi beberapa dari mereka, salah satunya musuh lo, tuh, si Irene.” Satria tersenyum meledek. Ia tidak pernah ketinggalan gosip panas kampus meski telah menjadi dosen muda sibuk.

“Gue bahkan baru mau tanya soal dia, ternyata malah lo pembimbingnya. Skripsi dia ngapain sampai nyebrang ke komunikasi segala?” Januar sedikit penasaran.

Satria mengambil satu bundel kertas A4 di meja kerjanya. Itu naskah skripsi pertama Irene. “Gak nyebrang, tapi dia mengkombinasikan kurang lebih empat cabang keilmuan di FISIPOL dalam satu skripsi yang kompleks, ribet, dan menantang. Tema besarnya tetap politik, tapi ikut mengangkat isu sosial dan kebijakan publik yang butuh jembatan komunikasi.”

Januar melirik sekilas naskah skripsi penuh coretan tinta merah di tangan Satria itu. Dalam hati ia tertawa, karena rupanya si mahasiswi berprestasi juga kesulitan menghadapi Satria si dosen perfeksionis. “Oh.”

"Mau lihat nggak? Siapa tau mau ngasih masukan juga sebagai senior. Wawasan dia luas loh, Jan. Tipe lo banget, kan?” goda Satria. Ia melempar naskah skripsi Irene itu asal pada Januar.

Januar berdecak sebal. “Tipe gue dari mananya? Skripsi hancur begini tapi bisa-bisanya bilang gue berpikiran sempit,” ujarnya kesal, meski akhirnya ia membaca juga halaman ke tujuh skripsi penuh revisi itu. Tidak sekedar membaca, tapi Jauar juga mengambil pena birunya dan menuliskan beberapa masukan di sana.

“Irene ngomong gitu ke lo? Ada benernya, sih.”

“Lo ada di pihak dia sekarang? Jangan lupa lo kalau lo itu provokator awal permusuhan gue sama dia ya, Sat.”

“Ya, tapi setidaknya gue cukup cerdas untuk nggak terlibat adu mulut, atau debat kusir kekanak-kanakan di lapangan sampai ditegur rektor macam kalian berdua. Satu lagi, gue hanya memantik isu, dan kalian yang terbakar. Jadi, salah siapa?” Satria membebaskan dirinya dari tuntutan Januar sekali lagi.

“Terserah, tapi …” Januar berhenti menulis sejenak. Ia teringat sesuatu. “Apa lo tau dia mengambil kelas arkeologi yang sama kayak gue? Atau ini memang akal-akalan lo juga?”

“Menurut lo?”

Ekspresi menyebalkan Satria sudah menjelaskan segalanya. Sial, Januar baru ingat bahwa dosen itu sempat meminta bantuannya untuk mengatur penempatan mahasiswa di summer class, dan kebetulan Januar tidak bisa membantu karena ada pekerjaan lain. Benar-benar, Satria menjadikan momentum kolaborasi mahasiswa ini untuk mendekatkan Januar dan Irene. Itu memang misinya sejak lama, tepatnya sejak insiden ospek empat tahun lalu.

“Sialan lo, Satria. Selalu aja ikut campur urusan orang.”

Satria malah tertawa alih-alih takut dengan ekspresi kesal Januar. “Gue nggak ngatur apa-apa. Nama Irene Yocelyn udah ada di daftar urutan nomor satu bareng sama temennya yang dari Korea. Dia mengajukan diri sebelum daftar nama kelas arkeologi dibuat.”

“Ngambis amat?”

“Emang. Nggak kayak lo.”

Januar mendengus kesal. Apa yang dikatakan Satria adalah fakta, bahwasanya Irene memang jauh lebih ambisius dibanding dirinya. Siapa sangka jika Januar diam-diam mengamati Irene sejak lama, dan ia pun sudah berkali-kali dibuat kagum oleh prestasi gadis itu. Namun, perhatiannya bukan semata-mata karena ia tertarik, tapi karena ada alasan lain yang lebih mengharuskannya untuk peduli.

“Udahlah, Jan. Ini kesempatan lo buat memperbaiki masa lalu sama Irene. Sampai kapan mau memelihara permusuhan?”

“Gue nggak mau menyalahkan lo sepenuhnya, tapi lo lebih dewasa dari dia. Kalau lo nggak mulai untuk mengambil langkah damai, sama aja artinya lo menciptakan seorang pendendam di dunia ini, dan satu lagi manusia dengan kualitas nurani yang nggak baik.”

“Ck! Terlalu dalam filosofi lo. Lebay!”

“Tapi itu filosofi hidup lo juga, ‘kan?”

Januar tak menggubris, entah karena pura-pura fokus saja atau memang sangat serius merevisi skripsi Irene. Satria yang didiamkan hanya menghela, sulit sekali mempengaruhi Januar. “Kalau lo nggak mau bahas Irene pas ospek, ya sudah, tapi gue punya undangan buat lo.”

Satria mengeluarkan amplop dari laci mejanya. “Ini. Undangan langsung dari BEM SI. Kajian ilmiah aksi peringatan HAM internasional. Aksinya minggu depan. Ditujukannya buat kita berdua, tapi gue udah pasti nggak bisa memenuhi undangan ini karena dosen YMU nggak boleh terlibat dalam kegiatan politik apa pun.”

Januar lantas membuka amplop itu, membaca surat di dalamnya sekilas, lalu melipatnya kembali setelah mengetahui gambaran umum undangan itu. “Gue bukan lagi seorang aktivis. Gue peneliti, dan ini bukan ranah gue.”

“Ini kajian ilmiah kebijakan publik, Jan. Masih ranah lo.”

“Bukan. Ranah gue adalah penelitian ilmu komunikasi, dan gue membatasi persinggungannya dengan ilmu politik, apalagi politik praktis.”

“Lo sama sekali nggak tergerak karena profesi, pilihan hidup, atau trauma rekaan lo yang belum hilang?”

Januar menghela, semakin kesal dengan Satria yang terus mengulik masa lalu ketika mereka masih sama-sama aktivis BEM. “Silakan hakimi gue sesuka lo, tapi setelahnya tolong jangan mengundang gue ke acara begini. Percuma, Sat.”

“Oke, tapi Irene pasti bakal ikut.”

Januar menghentikan langkahnya yang hendak keluar ruangan tanpa pamit. Irene dan aksi, padanan kata yang sangat enggan ia dengar. Dari sekian banyaknya kegiatan Irene yang ia ketahui, Januar paling tidak suka dengan aktivisme gadis itu yang menurutnya terlalu menggebu-gebu.

“Apa lo bakal diam aja kalau dia kenapa-kenapa kayak dulu?” Satria lanjut memprovokasi, sementara yang terprovokasi masih bergeming. Jawaban atas pertanyaan Satria barusan sama sekali tidak mudah, membuat perasaan dan pikirannya selalu berkecamuk.

“Masalah lo dengan Irene enggak berhenti sampai di lapangan ospek, justru lebih parah setelah itu. Lo nggak lupa, kan?"

Januar masih diam, bahkan tak berbalik menghadap Satria yang mengajaknya bicara. Ia sadar Satria tengah menasihatinya, dan seharusnya ia mendengarkan. Namun, egonya terlalu tinggi untuk sekedar menerima saran dari teman dekatnya itu.

“Sadar, Jan. Sampai kapan lo mau pura-pura nggak bersalah?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Kesadaran Lee Yo-han

    Januar kembali dari mengurus administrasi rumah sakit dengan membawa beberapa makanan di tangannya. Langkahnya sendiri lesu, bahkan tangannya masih sedikit gemetar setelah membawa Christian, Wendy, Deri, dan Yo-han keluar dari Landheyan. Januar yakin, ada hubungan antara gempa yang terjadi, energi Landheyan, serta Wendy dan Yo-han yang belum sadarkan diri sampai saat ini. Namun, baik Januar, Yoel, dan Rayen belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi sebelum dua orang itu setidaknya membuka mata. Januar juga tidak bisa mengatakan hal-hal yang membuat Irene bingung. Gadis itu sudah cukup histeris ketika dua teman dan profesornya hampir kehilangan nyawa di bunker situs itu. Oh, dan mungkin ada sentimen lain untuk sang profesor. Setidaknya itu yang ditangkap Januar ketika melihat Irene yang acak-acakan masih terus berdiri di sisi Christian sembari memandanginya iba. Tatapan itu bukan tatapan seorang mahasiswa pada dosennya, tapi lebih dari itu, lebih terlihat seperti wanita pada s

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Gempa, Reruntuhan Situs

    Irene, Januar, dan tim medis berlarian menuju Landheyan sepuluh menit usai gempa berhenti. Mereka mengambil jeda untuk mengantisipasi gempa susulan, tapi mereka pun tak bisa menunggu lebih lama ketika Christian, Wendy, Yo-han, dan Deri tak kunjung kembali dari situs. Itu sudah cukup menandakan bahwa mereka tidak baik-baik saja, dan kini, pemandangan Landheyan usai gempa pun semakin mengkhawatirkan.Masih di bawah guyuran hujan, situs itu berantakan. Puluhan tiang dan dinding dari bebatuan kuno itu patah, dengan retakannya yang berserakan tak beraturan. Sebagian besar tanah di sisi kiri amblas, dan kemungkinan itulah penyebab timbulnya suara suara gemuruh besar tadi.“Di mana tadi kita berhenti?”“Di sana!”Januar mendekat ke arah tunjuk Irene, ke tumpukan batu yang beberapa waktu lalu disebut Christian sebagai gerbang. Nahas, gerbang tumpukan batu itu kini sudah runtuh tak berbentuk.“Kemungkinan mereka ada di sana, di dalam bunker! Pintu aksesnya sudah dibuka,” seru Irene, mengingat

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Inert, Energi Campuran

    Januar membawa semangkuk nasi instan beserta lauk pauk instan seadanya untuk Irene. Gadis itu berbaring di tenda medis sembari terus memegang pelipisnya. Januar menyimpulkan bahwa sakitnya Irene memang disebabkan oleh kejutan energi dari Landheyan, ditambah ia belum sepenuhnya pulih dari insiden gas air mata semalam.Januar lantas duduk di kursi sebelah tempat tidur, mengipas-ngipas nasi instan agar tidak terlalu panas. Udara di sekitar Landheyan memang menjadi lebih dingin karena hujan yang baru saja mengguyur, tapi itu tak cukup. “Kalau nggak ada saya, lagi-lagi kamu udah celaka. Tadi bisa aja kamu malah terperosok ke jurang dan itu akan lebih merepotkan.”Irene memutar matanya malas, tapi Januar sebenarnya berlebihan. Memang ada jurang di kiri dan belakang mereka tadi, dan Irene pun baru sadar bahwa mereka telah gegabah dengan berdiri di atas tebing curam.“Udah agak dingin. Kamu bisa makan sendiri, atau …”“Nggak usah aneh-aneh.” Irene merebut mangkuk nasi instan yang masih sediki

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Serangan Energi Landheyan

    Ini adalah hari kedua kelompok tiga berada di Landheyan, dan sudah saatnya mereka melakukan sesuatu. Ah, seharusnya mereka bisa bermain-main sehari lagi, tapi Januar yang semena-mena itu memaksa mereka untuk berpanas-panasan di atas tanah cadas berpasir.“Kenapa jauh sekali lokasinya? Aku kira dekat dari gerbang itu.” Lee Yo-han kembali mengeluh, karena Christian yang belum juga berhenti setelah lima belas menit mereka berjalan dari tenda.“Udah dekat, kok. Landheyan ini komplek, susunannya seperti perumahan. Jadi, hati-hati aja kalau kalian nyasar,” peringat Christian seraya menunjuk area Landheyan yang katanya memiliki luas lebih dari lima hektar.“Kalau nyasar gimana, Prof?” tanya Wendy.“Kalau nyasar Irene yang mau nyari.”Semua perhatian lekas tertuju pada Irene. Selain Januar yang dimusuhi karena memajukan jadwal, gadis itu juga ikut dicibir karena meminta Christian agar mereka bekerja lebih keras dibanding kelompok lain dengan dalih ‘kelompok spesial’. Ayolah, tidak semua anggo

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Ikut Menjelajah Bunker

    Pensil, penghapus, dan marker berwarna-warni. Christian masih terus berkutat dengan perkamen besar berisikan peta situs yang perlu ia pastikan kesesuaiannya dengan pengamatan di lapangan. Ia sudah mengunjungi lebih dari setengah bagian situs itu sebanyak dua kali, tapi itu belum membuatnya mudah mengingat fitur dan jalur rumit di dalamnya. “How the fuck is …” “Profesor?” Christian lekas menoleh ke arah pintu tenda ketika seseorang menginterupsi kepusingannya. Ah, ia bahkan mengumpat, dan sialnya lagi yang memergoki itu adalah mahasiswanya sendiri, Irene. “Oh, kapan kamu datang?” tanya Christian cuek, lekas kembali lagi pada perkamennya. Ah, sejujurnya reaksi itu membuat Irene sedikit kecewa. “Baru tadi, Prof. Saya mau ngasih barang-barang yang Anda minta,” ujarnya seraya menaruh satu kotak kayu berisi perkakas penggalian dasar. “Boleh diperiksa kelengkapannya dulu, Prof.” “Oke. Gak perlu diperiksa, saya yakin kamu bukan orang pelupa. Silakan kembali dan bebas beraktivitas. Terima

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Utang Budi

    Januar membasahi sapu tangannya dengan air mineral dalam botol yang ia beli dari minimarket terdekat. Irene masih tak sadarkan diri di mobil, dan wajahnya yang terkena gas air mata harus segera dibasuh sebelum efek samping gas air mata itu merusak wajahnya lebih parah. Rasanya Januar terbebani sekali karena harus mengurus Irene yang pingsan, tapi mana mungkin juga ia membiarkannya? Mau tak mau Irene menjadi tanggung jawabnya saat ini.“P—permisi, maaf …” Januar gemetar ketika tangannya harus menyentuh wajah pucat Irene. Sedikit demi sedikit ia menyeka bagian wajah gadis itu yang memerah. Mulai dari dahi, pipi, hidung, dan dagu.“Ck! Memar gini. Ketabrak-tabrak apa gimana? Dasar nggak hati-hati,” lanjut Janua kesal. Ia masuk kembali ke dalam mobil setelah menyeka bagian wajah sampai leher Irene. Itu yang paling penting, tapi luka-luka akibat berdesakan dan jatuh di kerumunan itu juga tidak bisa diabaikannya begitu saja.Januar menghela, memajukan tubuhnya guna melihat luka di bagian pe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status