Share

Christian, Kelompok Empat

“Arkeologi adalah seni sekaligus sains, di mana kalian akan menemukan sebuah skenario, sebuah cerita ilmiah dari jejak manusia dan makhluk-makhluk yang menyertai kehidupan mereka di masa lalu.”

Seorang profesor muda menjelaskan topik pertama di kelas arkeologi hari ini. Katanya ini baru tahap perkenalan, tapi dua puluh mahasiswa di kelas itu sudah dibuat bingung dengan kalimat-kalimat rumit dan pembawaan tidak nyaman dari sang profesor. Alasannya satu, karena penampilan serba nyentrik profesor pria itu yang sangat jelas telah melanggar kode etik di lingkungan akademik kampus.

Rambut gondrong diikat setengah ke atas, kacamata lensa abu-abu, jaket kulit hitam dengan kaos dalam putih yang sengaja diperlihatkan bersama otot-otot kekarnya, dan tato-tato besar yang berderet rapat di sepanjang tangan kanan dan kirinya.

Seperti itu, dan anehnya tidak ada satu pun dosen senior atau pengawas kedisiplinan yang mempermasalahkan penampilan itu. Apakah dia sangat spesial?

Dia adalah Profesor Christian Chow, arkeolog yang tahun ini memutuskan kembali ke Indonesia setelah berkelana ke lima benua untuk meneliti artefak kuno. Begitulah ia memperkenalkan diri pada mahasiswanya. Ia juga mengklaim bahwa pihak rektorat telah susah payah mengundangnya yang sibuk sepanjang tahun hanya untuk mengisi summer class di YMU, padahal ia bukan alumni jika tujuannya untuk mengabdi pada almamater.

“Jadi, apa kalian mulai tertarik pada ilmu bau tanah ini? Silakan jika ada yang ingin ditanyakan.”

Christian mengakhiri paragraf perkenalan paling awal dengan smirk yang cukup untuk menerbangkan kewarasan para mahasiswi pemuja pria tampan. Wendy salah satunya, mahasiswi ceria itu tidak bisa diam sampai membuat Januar dan Deri yang duduk di kanan kirinya risih sendiri.

“Profesor!”

“Ya, silahkan …Irene Yocelyn Riyanto? Ah, ya, sepertinya benar itu nama kamu.” Christian mempersilakan penanya pertamanya untuk berbicara, tapi seisi kelas lebih dulu dibuat bingung usai Christian menyebut benar nama lengkap Irene tanpa perkenalan sebelumnya.

“Jadi bertanya?”

“Ah, maaf. Ehm!” Irene mengembalikan fokusnya. “Saya hanya ingin bertanya tentang apa yang membuat Anda tertarik mendalami arkeologi, dan bagaimana prospek karir seorang ahli di bidang tersebut sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Terima kasih, Prof.”

Christian tersenyum misterius, menatap Irene penuh apresiasi meski pertanyaan itu belum terlalu menyentuh hal-hal teknis yang ia harapkan. “Oke. Itu saja?”

“Ya, itu dulu.”

“Baik. Saya mengawalinya dengan imajinasi. Semua berawal dari sana.”

Seisi kelas kembali berpikir. Dosen itu sangat berjiwa seni sampai sulit dimengerti.

“Saya membayangkan tentang harta karun, warkat yang terkubur di dalam tanah, dan rupa-rupa mereka para manusia yang hidup sebelum kita. Saya juga bertanya bagaimana jadinya jika mereka berumur panjang hidup berdampingan dengan kita di masa sekarang.”

Christian dengan dramatis memperagakan bagaimana proses menghayalnya dilakukan. Matanya sungguh mendelik ke atas, ke langit-langit yang hanya dihiasi sebuah lampu neon panjang tanpa ornamen.

“Saya membuat keputusan spontan untuk masuk ke bidang ini hanya untuk mendapatkan visualisasi skenario yang ada di kepala saya secara lebih terperinci, sehingga itu akan menjadi sinematik dan dapat dinikmati layaknya sebuah film."

"Kemudian terkait dengan prospek?” Christian sedikit berpikir. “Sayangnya tidak ada yang bisa meramalkan masa depan.”

“Apa itu cukup menjawab ketertarikan kamu?”

Irene refleks mengangguk, tak bisa lanjut bertanya karena ia masih mencerna jawaban apatis nan puitis dari Christian barusan. Jawaban macam apa itu? Di mana letak sisi ilmiahnya? Pikir Irene. “Terima kasih, Profesor.”

“Sama-sama. Kalau begitu, langsung saja kita mempelajari arkeologi ini tanpa banyak bicara. Saya akan mengirim kalian ke proyek penggalian terbaru saya di Indonesia. Namanya Situs Landheyan.”

“Whoaaaa!”

Seisi kelas itu mulai antusias, membuat Christian berdecak. “Saya tahu kalian ini lebih mengincar jalan-jalannya daripada teori di kelas, ‘kan? Sama, sih, saya juga,” canda Christian yang turut mengundang tawa. Ia juga bosan dengan aktivitas kelas yang kurang menantang.

“Oke, kalau begitu saya akan membagi kalian menjadi empat kelompok,” ujarnya. Tak perlu melihat daftar nama, Christian hanya menatap satu per satu mahasiswanya, lalu menunjuk beberapa orang secara acak sesuai kehendak.

“Kamu, dan kamu!” Christian menunjuk Irene dan Yo-han. “Kalian berdua di kelompok empat, kemudian tiga orang lagi kamu, kamu, dan kamu, bergabung dengan mereka,” lanjutnya, menunjuk Wendy, Deri, dan Januar berurutan.

Irene lekas menoleh, pada Januar yang mengangguk setelah ditunjuk. Tidak, ia tidak mau sekelompok dengan Januar. Bagaimana bisa ucapannya di depan mading menjadi kenyataan secepat ini? Ah, orang-orang di kelas bahkan sudah mulai membicarakan mereka.

Irene lantas mengangkat tangannya. “Profesor!”

“Ya? Oh, maaf, tidak ada protes! Sekian kelas hari ini. Silakan bersiap-siap, dan sampai jumpa di Landheyan tiga hari lagi.”

“Yeey! Terima kasih, Prof!”

Kelas pun dibubarkan, dan Christian mengabaikannya. Irene akhirnya hanya bisa pasrah karena tatapan tegas Christian yang membungkam mulut cerewetnya. Namun, Irene tidak tahu jika profesor itu terus memperhatikan gerak-geriknya sesaat setelah ia memalingkan pandangan.

“Menarik. Apa memang dia orangnya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status