Home / Horor / Jejak Mistis di Situs Landheyan / Irene Yocelyn Riyanto

Share

Irene Yocelyn Riyanto

Author: aleyshiawein
last update Last Updated: 2022-09-08 16:27:57

Yogyakarta Multicultural University alias YMU, kampus internasional elit di Jawa itu memang terkenal dengan mahasiswanya yang penuh prestasi dan ambisi. Lihat saja, seminggu setelah libur ujian semester, kampus itu sudah kembali ramai layaknya hari perkuliahan biasa. Mungkin mereka sudah bosan dengan kegiatan libur kuliah yang begitu-begitu saja.

Program baru universitas yang mewajibkan mahasiswa dari berbagai jurusan, jenjang pendidikan, dan asal negara untuk mengikuti semester pendek selama dua bulan itu menuai berbagai respon. Sepertiga menyambut positif, sepertiga biasa-biasa saja, dan sepertiganya lagi menyambut negatif, kesal liburannya terganggu. Namun, tidak peduli setuju atau tidak, ratusan mahasiswa itu akan ditempatkan pada subjek perkuliahan yang dipastikan tidak ada hubungannya dengan bidang keilmuan mereka.

Januar contohnya. Mahasiswa S3 komunikasi itu sudah mendapatkan bocoran dari dosennya bahwa ia akan ditempatkan di kelas arkeologi bersama mahasiswa S1 dan S2 dari rumpun ilmu sosial humaniora. Januar cukup antusias, tapi antusiasmenya itu seketika luntur usai melihat satu nama yang akan menjadi teman sekelasnya dua bulan kedepan.

Irene Yocelyn Riyanto.

Mahasiswa S1 ilmu politik yang pernah mempermalukannya empat tahun lalu saat ospek universitas itu tampak datang melintasi kerumunan mahasiswa di depan mading. Paras cantik dan otak cemerlang bahkan membuatnya digadang-gadang sebagai Tuan Putri FISIPOL.

“Gila! Itu Irene, ‘kan, Jan? Makin cakep aja tuh cewek kayak bidadari!”

Hawa panas Rayen terasa ketika sosok itu berbicara, membuat Januar kesal. Tahan, ia tak bisa berbicara dengan makhluk astral itu di sini atau rumor bahwa dirinya adalah seorang indigo satanis akan kembali mencuat.

“Irene! Kita satu kelas!” seru seorang mahasiswa, terdengar cukup keras sampai Januar menoleh. Tampak mahasiswa berponi dengan pakaian warna dominan beige itu mengajak tos Irene dengan gayanya yang petakilan. Januar tebak dia bukan mahasiswa Indonesia jika dinilai dari pelafalan bahasanya, dan jika dinilai dari gaya busananya kemungkinan dia berasal dari Jepang atau Korea Selatan.

“Eh, Kak Januar? Masuk ke kelas ini juga, ya?” tanya seorang mahasiswi filsafat yang Januar kenal bernama Wendy. Kalau Januar tidak salah, ia adalah teman dekat Irene.

“Oh, hai. Iya, Wen. Kamu di kelas ini juga?”

“Iya, Kak. Wah, kebetulan banget aku sekelas sama orang-orang yang aku kenal. Ada Irene, Ko Deri, sama Yo-han,” tunjuknya pada satu per satu nama yang disebutkan.

“Oh gitu, bagus deh.” Januar menanggapi seadanya, lalu sedetik kemudian ia lekas berbalik badan. Irene mendapati keberadaannya.

“Raka Januar?”

Januar menghela, aksi kaburnya ketahuan. Demi harga diri, mau tak mau ia harus berbalik. “Iya, saya. Ada apa?” tanyanya tegas, berniat tak mau menghilangkan kharisma.

Irene tersenyum tipis mengolok. “Kamu ikut kelas arkeologi sama anak-anak S1? Katanya nggak level sama junior?” sindirnya.

Irene sepertinya belum bosan untuk mengungkit topik debat fenomenalnya dengan Januar di lapangan ospek empat tahun lalu. Saat itu, mereka bertengkar hebat, dan Januar disinyalir menggunakan kekuasaannya sebagai ketua BEM untuk menghukum Irene yang menentang aturan yang dibuatnya. Dari sudut pandang Irene, Januar kalah, dan dia bersikap kasar setelah kehilangan harga dirinya di depan ratusan mahasiswa baru.

Semua orang tahu insiden itu, karena Irene adalah mahasiswi pertama yang menentang seorang Raka Januar, ketua BEM dan Resimen Mahasiswa yang terkenal kejam pada mahasiswa baru. Kini, mereka juga menjadi dua sosok yang sepadan popularitasnya, sama-sama menempati jajaran mahasiswa most wanted di YMU dengan reputasi akademik gemilang.

“Apa yang ingin kamu katakan? Saya nggak ada waktu untuk berdebat sama kamu.” Januar mengetuk-ngetuk arlojinya.

“Sayang sekali, padahal kita bisa berdebat kapan saja. Bahkan dulu kita belum selesai.”

“Apa yang perlu diselesaikan, Yocelyn? Bukankah jelas kalau kamu pada akhirnya tunduk pada aturan main saya?”

“Itu dulu, dan sekarang kita setara.”

Januar terkekeh pelan. “Kata siapa? Sampai kapan pun saya adalah senior kamu,” ujarnya arogan. Susah payah Januar menahan diri, tapi gadis di hadapannya ini terlalu provokatif. Setara katanya?

“Kebijaksanaan pemikiran tidak memandang usia dan jenjang pendidikan. Siapa yang tahu kalau aktivis sarjana vokal, mahasiswa magister terbaik, sekaligus calon doktor itu masih berpikiran sempit sampai sekarang?”

Januar mengepalkan tangan kanannya, membuat Rayen di sebelahnya panik. “Jan, lo cabut sekarang. Jangan mengulang kesalahan yang sama!”

Hanya hening kemudian, dua orang itu bertatapan sengit. Wendy pun mulai ketar-ketir karena keramaian mahasiswa mulai tertarik pada mereka. Oh, ayolah. Mereka adalah tontonan seru musim panas yang sesungguhnya.

“Ada apa, Irene?”

Mahasiswa berponi yang sepertinya bernama Lee Yo-han tadi menginterupsi dengan polos. “Oh? Hai?” Ia menyapa Januar ramah. Ia tersenyum lebar seraya mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, saya Lee Yo-han, dari Busan, Korea Selatan. Nama kamu siapa? Mari berteman.”

Januar mengerutkan dahinya heran, tapi ia masih sopan untuk menjabat tangan pria bernama Lee Yo-han itu. “Raka Januar. Kita tidak perlu berteman. Terima kasih.”

“Ah …tidak perlu, ya? Baik.” Yo-han kikuk, merasa ditolak.

Irene yang melihat interaksi canggung itu semakin muak. “Kamu masih saja arogan, Januar. Saya nggak bisa membayangkan bagaimana kalau kita sekelas nantinya.”

Januar menghela, mencoba tenang sekali lagi. Ia tidak boleh meladeni Irene sama buruknya. “Kamu pikir saya tertarik untuk membayangkan?”

“Kelas ini akan berlangsung selama dua bulan, dan ada kemungkinan kita akan satu kelompok tugas. Saya memberi tawaran buat kamu untuk pindah kelas kalau tidak mau ribut.”

“Kenapa saya harus pindah? Saya biasa aja, tuh. Jangan berlebihan, jalani saja perkuliahan seperti biasa, dan berhenti bersikap kekanak-kanakan.”

“Oh, jadi sekarang sudah dewasa?” tantang Irene. “Mari kita lihat, apakah sifat asli kamu itu akan terus tertutupi ketika kamu ada di dekat saya atau tidak.”

“Ya, ya. Silakan saja, terserah kamu. Permisi.”

Januar akhirnya meninggalkan kerumunan usai Rayen menarik-nariknya paksa. Sementara itu, Irene di tempatnya menggertakan rahangnya, memperhatikan punggung Januar yang semakin menjauh. Sial, Januar selalu saja seperti ini setiap kali bertemu dengannya. Namun, di sisi lain Irene juga bingung. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari Januar?

Irene tak butuh maaf, tidak juga sikap baik mahasiswa yang menjadi musuh lamanya itu. Satu hal yang Irene tahu adalah bahwa dirinya menikmati setiap pertengkarannya dengan Januar.

Kemenangan debat Irene atas Januar saat ospek empat tahun lalu begitu membakar ambisi dan adrenalin, hingga tanpa disadari hal itu mendorongnya untuk terus mencari kesempatan debat yang lebih panas dan menantang dengan Januar sampai sekarang.

“Kenapa masih diungkit sih, Rene? Memangnya sefatal apa—”

“Sefatal apa? Sangat fatal. Kamu nggak akan ngerti, Wen. Jangan ikut campur.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Kesadaran Lee Yo-han

    Januar kembali dari mengurus administrasi rumah sakit dengan membawa beberapa makanan di tangannya. Langkahnya sendiri lesu, bahkan tangannya masih sedikit gemetar setelah membawa Christian, Wendy, Deri, dan Yo-han keluar dari Landheyan. Januar yakin, ada hubungan antara gempa yang terjadi, energi Landheyan, serta Wendy dan Yo-han yang belum sadarkan diri sampai saat ini. Namun, baik Januar, Yoel, dan Rayen belum bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi sebelum dua orang itu setidaknya membuka mata. Januar juga tidak bisa mengatakan hal-hal yang membuat Irene bingung. Gadis itu sudah cukup histeris ketika dua teman dan profesornya hampir kehilangan nyawa di bunker situs itu. Oh, dan mungkin ada sentimen lain untuk sang profesor. Setidaknya itu yang ditangkap Januar ketika melihat Irene yang acak-acakan masih terus berdiri di sisi Christian sembari memandanginya iba. Tatapan itu bukan tatapan seorang mahasiswa pada dosennya, tapi lebih dari itu, lebih terlihat seperti wanita pada s

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Gempa, Reruntuhan Situs

    Irene, Januar, dan tim medis berlarian menuju Landheyan sepuluh menit usai gempa berhenti. Mereka mengambil jeda untuk mengantisipasi gempa susulan, tapi mereka pun tak bisa menunggu lebih lama ketika Christian, Wendy, Yo-han, dan Deri tak kunjung kembali dari situs. Itu sudah cukup menandakan bahwa mereka tidak baik-baik saja, dan kini, pemandangan Landheyan usai gempa pun semakin mengkhawatirkan.Masih di bawah guyuran hujan, situs itu berantakan. Puluhan tiang dan dinding dari bebatuan kuno itu patah, dengan retakannya yang berserakan tak beraturan. Sebagian besar tanah di sisi kiri amblas, dan kemungkinan itulah penyebab timbulnya suara suara gemuruh besar tadi.“Di mana tadi kita berhenti?”“Di sana!”Januar mendekat ke arah tunjuk Irene, ke tumpukan batu yang beberapa waktu lalu disebut Christian sebagai gerbang. Nahas, gerbang tumpukan batu itu kini sudah runtuh tak berbentuk.“Kemungkinan mereka ada di sana, di dalam bunker! Pintu aksesnya sudah dibuka,” seru Irene, mengingat

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Inert, Energi Campuran

    Januar membawa semangkuk nasi instan beserta lauk pauk instan seadanya untuk Irene. Gadis itu berbaring di tenda medis sembari terus memegang pelipisnya. Januar menyimpulkan bahwa sakitnya Irene memang disebabkan oleh kejutan energi dari Landheyan, ditambah ia belum sepenuhnya pulih dari insiden gas air mata semalam.Januar lantas duduk di kursi sebelah tempat tidur, mengipas-ngipas nasi instan agar tidak terlalu panas. Udara di sekitar Landheyan memang menjadi lebih dingin karena hujan yang baru saja mengguyur, tapi itu tak cukup. “Kalau nggak ada saya, lagi-lagi kamu udah celaka. Tadi bisa aja kamu malah terperosok ke jurang dan itu akan lebih merepotkan.”Irene memutar matanya malas, tapi Januar sebenarnya berlebihan. Memang ada jurang di kiri dan belakang mereka tadi, dan Irene pun baru sadar bahwa mereka telah gegabah dengan berdiri di atas tebing curam.“Udah agak dingin. Kamu bisa makan sendiri, atau …”“Nggak usah aneh-aneh.” Irene merebut mangkuk nasi instan yang masih sediki

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Serangan Energi Landheyan

    Ini adalah hari kedua kelompok tiga berada di Landheyan, dan sudah saatnya mereka melakukan sesuatu. Ah, seharusnya mereka bisa bermain-main sehari lagi, tapi Januar yang semena-mena itu memaksa mereka untuk berpanas-panasan di atas tanah cadas berpasir.“Kenapa jauh sekali lokasinya? Aku kira dekat dari gerbang itu.” Lee Yo-han kembali mengeluh, karena Christian yang belum juga berhenti setelah lima belas menit mereka berjalan dari tenda.“Udah dekat, kok. Landheyan ini komplek, susunannya seperti perumahan. Jadi, hati-hati aja kalau kalian nyasar,” peringat Christian seraya menunjuk area Landheyan yang katanya memiliki luas lebih dari lima hektar.“Kalau nyasar gimana, Prof?” tanya Wendy.“Kalau nyasar Irene yang mau nyari.”Semua perhatian lekas tertuju pada Irene. Selain Januar yang dimusuhi karena memajukan jadwal, gadis itu juga ikut dicibir karena meminta Christian agar mereka bekerja lebih keras dibanding kelompok lain dengan dalih ‘kelompok spesial’. Ayolah, tidak semua anggo

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Ikut Menjelajah Bunker

    Pensil, penghapus, dan marker berwarna-warni. Christian masih terus berkutat dengan perkamen besar berisikan peta situs yang perlu ia pastikan kesesuaiannya dengan pengamatan di lapangan. Ia sudah mengunjungi lebih dari setengah bagian situs itu sebanyak dua kali, tapi itu belum membuatnya mudah mengingat fitur dan jalur rumit di dalamnya. “How the fuck is …” “Profesor?” Christian lekas menoleh ke arah pintu tenda ketika seseorang menginterupsi kepusingannya. Ah, ia bahkan mengumpat, dan sialnya lagi yang memergoki itu adalah mahasiswanya sendiri, Irene. “Oh, kapan kamu datang?” tanya Christian cuek, lekas kembali lagi pada perkamennya. Ah, sejujurnya reaksi itu membuat Irene sedikit kecewa. “Baru tadi, Prof. Saya mau ngasih barang-barang yang Anda minta,” ujarnya seraya menaruh satu kotak kayu berisi perkakas penggalian dasar. “Boleh diperiksa kelengkapannya dulu, Prof.” “Oke. Gak perlu diperiksa, saya yakin kamu bukan orang pelupa. Silakan kembali dan bebas beraktivitas. Terima

  • Jejak Mistis di Situs Landheyan   Utang Budi

    Januar membasahi sapu tangannya dengan air mineral dalam botol yang ia beli dari minimarket terdekat. Irene masih tak sadarkan diri di mobil, dan wajahnya yang terkena gas air mata harus segera dibasuh sebelum efek samping gas air mata itu merusak wajahnya lebih parah. Rasanya Januar terbebani sekali karena harus mengurus Irene yang pingsan, tapi mana mungkin juga ia membiarkannya? Mau tak mau Irene menjadi tanggung jawabnya saat ini.“P—permisi, maaf …” Januar gemetar ketika tangannya harus menyentuh wajah pucat Irene. Sedikit demi sedikit ia menyeka bagian wajah gadis itu yang memerah. Mulai dari dahi, pipi, hidung, dan dagu.“Ck! Memar gini. Ketabrak-tabrak apa gimana? Dasar nggak hati-hati,” lanjut Janua kesal. Ia masuk kembali ke dalam mobil setelah menyeka bagian wajah sampai leher Irene. Itu yang paling penting, tapi luka-luka akibat berdesakan dan jatuh di kerumunan itu juga tidak bisa diabaikannya begitu saja.Januar menghela, memajukan tubuhnya guna melihat luka di bagian pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status