Share

Masa, Gas Air Mata

Hari sudah gelap, tapi semangat iring-iringan mahasiswa dari berbagai universitas yang melakukan unjuk rasa di depan gedung DPRD Yogyakarta masih terus menyala. Ratusan mahasiswa terus bertahan dan menyuarakan tuntutan mereka di depan pusat pemerintahan. Spanduk-spanduk dengan tulisan bernada sarkasme masih bertengger melengkapi orasi para pentolan aksi yang terus digaungkan lewat pengeras suara besar di atas mobil bak terbuka.

“Pemerintah kita katanya telah berjanji untuk menumpas kasus pelanggaran HAM! Tekad itu tertuang secara konkret dalam rencana kerja setiap periode kepengurusan, tapi apakah kita sudah melihat perwujudannya?!”

“Belum!!”

Irene, gadis itu masih melakukan orasi, bergantian dengan para elit BEM universitas lain. Ia adalah satu-satunya perempuan di podium, tapi kalimat-kalimat provokatifnya tak kalah membakar dari aktivis laki-laki lainnya. Ia kembali menjadi simbol keberanian perempuan dalam aktivisme mahasiswa.

“Terlalu panjang sejarah pelanggaran HAM di negeri ini, dan tampaknya tak kunjung ada kepedulian! Sebaliknya, reputasi penegakkan HAM pemerintah semakin memburuk!”

“Setuju!”

“Dua belas tahun lalu, kita tidak pernah lupa dengan ratusan mahasiswa yang hilang dalam gelombang demonstrasi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah dan militer! Kasusnya ditutup begitu saja setelah tiga puluh hari, seolah nyawa rekan-rekan kita bukanlah apa-apa!!”

“Ya!!”

Irene melanjutkan, dan kali ini matanya sungguh memanas karena teringat akan Tian, kakaknya. Andai saja Tian ada di sini, ia pasti akan tetap berorasi sepertinya, bahkan jauh lebih hebat.

“Hilangnya mereka masih menyayat hati keluarga, meninggalkan bekas luka mendalam yang entah kapan bisa sembuh! Sementara itu, pihak-pihak yang disinyalir menghilangkan nyawa mereka mungkin sedang duduk bersantai di atas kemewahan! Mereka lolos begitu saja dari pengadilan dunia! Apakah itu adil?”

“Tidak!!”

“Apakah ada upaya pemerintah untuk mengusut kembali kasus itu, dan mengorbankan aturan yang merugikan para korban?!”

“Tidak ada!!”

“Kita tidak mau ada aktivis yang kembali dirampas haknya oleh negara! Dibungkam suaranya oleh negara! Apalagi dibuang nyawanya seperti sampah begitu saja oleh negara!”

"Setuju!!"

“Kita adalah manusia! Kita, mahasiswa, akan terus melawan rezim yang dipimpin manusia tanpa kemanusiaan!!”

“Ya!!”

“Lawan!!”

“Keinginan kami sederhana! Kami ingin pemerintah membuka kembali seluruh kasus pelanggaran HAM terhadap para aktivis mahasiswa tahun 2003!!”

“Tanpa alasan! Tanpa berkilah! Bela rakyat!!”

“Ya!!”

“Kami ingin negara berperan, menggunakan kuasanya untuk melindungi para aktivis yang aktif mengkritik demi kebaikan bangsa! Harga diri mereka tidak pantas diinjak-injak oleh negara!"

“Setuju!!”

Terus seperti itu Irene mengobarkan semangat rekan-rekannya, hingga akhirnya seseorang memberi kode padanya untuk berhenti. Bukan apa-apa, kericuhan mulai terlihat di sayap kiri bersamaan dengan bertambahnya personel polisi yang membentuk barikade. Situasinya mendadak mencekam, padahal belum waktunya mereka membubarkan diri, dan masa pun belum merasa puas sebelum seseorang dari DPRD atau kepolisian keluar untuk menemui mereka.

Tidak heran, karena selalu seperti itu yang terjadi dalam demonstrasi. Antara pemerintah yang mengabaikan, atau mereka yang sekedar enggan keluar dengan alasan keamanan, khawatir masa tak terkendali dan menggeruduk singgasana mereka.

“Setengah jam lagi kita bubar!” seru Reza, Komandan Aksi. Irene tak setuju. “Belum ada yang keluar, Za! Tujuan enggak akan tercapai sebelum direspon!”

“Salah. Udah ada yang keluar dari tadi.” Reza menunjuk ke arah kanan, kiri, dan belakang mereka berdiri saat ini, tepatnya sekitar lima ratus meter dari pusat masa. “Mulai kacau. Lebih baik mundur.”

Bubar!!

Mundur!!

Bubar!! Bubar!!

Para aparat mulai meneriaki peserta aksi yang melawan. Siapa pun masa yang menghadang mereka didesak mundur, tak peduli itu apakah mahasiswa atau bukan.

“Ada yang menunggangi aksi, Za! Kemungkinan dari ormas dan LSM. Provokator juga terlihat, tapi bukan dari kalangan pendemo, mereka pengacau bayaran, seperti biasa,” lapor Adam, wakil koordinator yang sedari tadi tak berbicara tapi mengamati situasi dan keamanan sekitar.

Irene dan seluruh pimpinan aksi kian waspada. Mobil-mobil polisi mulai datang berbondong-bondong dari arah utara, jumlahnya pun tidak sedikit. Kalau sudah begini, mereka tidak punya pilihan lain selain mundur jika tidak mau ada korban jatuh.

Irene lantas mengambil pengeras suara dari tangan Reza. “Semua mundur! Mundur dengan tenang! Aksi ini akan segera kita akhiri! Hati-hati, jangan melawan! Aparat kita selalu represif! Cari jalur aman!” teriaknya, memberi instruksi pada kerumunan masa di depannya tanpa memikirkan keselamatan dirinya sendiri.

“Rene, lo turun sekarang!” seru Adam di tengah jalan, tapi Irene masih enggan, ia terus melihat ke arah gedung DPRD, gedung yang ingin sekali dimasukinya dengan segudang tuntutan atas hilangnya Tian. Orang-orang di dalam gedung itu mungkin bukan pelakunya, tapi kepada siapa lagi Irene melampiaskan kemarahannya selama bertahun-tahun itu selain pada mereka yang berkuasa?

“Rene! Turun! Gas air mata!”

DOR! DOR!

Ricuh sudah, Irene dan seluruh masa berlarian sembari melindungi mata dan pernafasan mereka sebisanya. Rasa perih dan sesak lekas mereka rasakan tak sampai satu menit gas itu bercampur di udara.

“Rene, ke kiri! Gue harus ngamanin ke sana! Jangan ikut!”

“Jangan sendirian, Dam!”

Adam hanya mengangguk, ia berlari menolong teman-temannya yang lain setelah memastikan Irene menemukan jalur pelarian yang aman. Namun, sayangnya sedari dulu Irene memang tidak pernah kuat menahan serangan gas air mata. Ditambah lagi, polisi mengejar masa ke arah yang sama dengannya.

“Haish!”

Irene terjatuh, ia tersandung dan terdorong-dorong masa yang lain. Kerumunan yang berlari bersamanya tak berhenti, melewatinya begitu saja, bahkan beberapa menabrak dan menginjak kakinya.

“Berhenti kamu! Yang di sana! Almamater biru!”

Seorang polisi berteriak, sepertinya ia mengenali Irene sebagai provokator aksi. Irene pun lekas berdiri kembali, ia tidak mau tertangkap, masa bodoh dengan kakinya yang terasa sakit. Namun, sebuah tangan tiba-tiba menariknya, membantunya yang berjalan tertatih-tatih. Entah siapa pria bermasker dan topi hitam itu. Irene mengikuti saja, karena ia memang butuh bantuannya saat ini.

“Ke sini!”

DOR!

“Ah!”

“Menunduk!”

DOR!

Tembakan gas air mata terdengar untuk keempat kalinya. Udara semakin menyesakkan paru dan membuat matanya kabur dan perih. Irene berhenti, tak sanggup berlari lagi ketika ia sudah tak bisa bernafas normal. Kepalanya pusing, dan satu-satunya pertahanan yang tersisa hanyalah pria itu. Irene tetap berpegang pada tangannya, pun sebaliknya pria itu menggenggam erat Irene.

“Masih kuat lari?”

Irene tak menjawab, ia sibuk menormalkan nafas dan detak jantungnya. Namun, sayang ia tak kuat. Pandangannya seketika gelap, ia jatuh pingsan.

“Yocelyn!” seru pria itu seraya menahan Irene agar tak jatuh menyentuh aspal.

“Hey! Kalian!”

Sialnya, polisi yang tadi mengejar masa melihat mereka, membuat pria itu tak punya pilihan lain selain memangku Irene dan membawanya pergi.

Irene dengan kesadarannya yang tersisa rupanya masih dapat melihat siapa pria yang memangkunya itu, tapi ia menganggap pengenalannya mungkin sebatas halusinasi belaka.

“J—Januar …Raka?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status