“Check in, Kak!” Aku bertutur pada seorang gadis muda dengan jilbab yang melilit leher. Sepertinya dia baru saja meluruskan kedua kakinya di atas sebuah kurs dan terpaksa harus berdiri.
Wajahnya terlihat lelah, tapi ekspresi ramahnya tidak berubah. Dia mengurai senyum ke arahku, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menyambut diriku yang datang dengan sebuah koper berukuran sedang saat jam sudah menyentuh angka delapan malam.
Keputusan aneh yang tiba-tiba aku ambil karena sakit hati dengan Bang Fuad ini akan menggerogoti isi dompet. Bisakah aku berpura-pura kaya hanya untuk satu hari ini saja?
“Baik, Bu. Cari kamar yang seperti apa, Bu?” balasnya dengan suara yang renyah.
Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Meski aku yakin ada lelah yang berusaha ditutupinya di balik senyumnya itu.
“Saya sendiri, double bed saja, biar nyaman.” Aku berujar dingin. Bukan karena membencinya, bukan! Melaikan hati ini panas melihat beberapa pasangan yang begitu mesra juga check in di sebelahku.
Mereka memperlihatkan bukti nikah, lalu diberikan ruangan yang mereka inginkan. Setelahnya, mereka diantarkan melalui lift yang sudah menunggu oleh hotellier.
Cemburu? Sepertinya begitu. Seharusnya aku juga bisa merasakan hal indah itu andai Bang Fuad tidak pergi meninggalkan diriku di rumah kerabatnya.
Jadilah, aku terdampar di sebuah hotel bintang tiga yang berseberangan dengan sebuah SPBU super ramai. Saat aku tiba di sini menumpang sebuah becak motor, SPBU itu dipenuhi puluhan truk dan mobil yang mengantre, sedangkan hotel jauh lebih lengang dan tenang.
“Baik, Bu. Tunggu sebentar.”
Aku mengiyakan hanya dengan pergerakan. Tidak ada kata-kata, bukannya sombong tapi hatiku panas luar biasa.
Apa yang sedang dilakukan oleh Bang Fuad di luar sana setelah meninggalkan diriku begini? Siapa laki-laki yang bersama Ida dan apa hubungan antara mereka berdua? Aku menggigit bibir memikirkannya.
“Ini, Bu. Kamarnya ada di lantai 3, nomor kamar Ibu 323.”
Lalu, seorang pria dengan seragam yang rapi serta sarung tangan putih muncul di dekatku. Dia bertanya apakah koper yang ada di sampingku itu milikku? Dan saat aku membenarkan pertanyaannya, dia bergegas mengambil, menaikkannya ke sebuah troli berwarna keemasan yang dialasi karpet merah.
“Mari, Bu ... saya antarkan.”
“Baik, terima kasih.”
Hanya beberapa menit berjalan aku sudah merebahkan diri di sebuah kamar dengan nuansa temaram lampu kekuningan. Kaca jendelanya lebar, dilapisi gorden tebal berwarna coklat dengan motif salur emas. Ada dua kursi kayu yang berhadapan dan meja bulat kecil di tengahnya.
Berlawanan dengan ranjang luas dan lembut itu, ada sebuah tivi berukuran sedang, kemudian buffet berisi vas-vas kecil dan alat seduh kopi. Tidak lupa pendingin udara dan kulkas mungil.
“Baiklah, tidak ada salahnya menghabiskan gaji yang aku cari susah payah selama ini,” gumamku sembari memaksakan diri untuk memejamkan kedua mata.
Semakin gelap, semakin jelas paras Bang Fuad yang tercipta. Lalu, bayang-bayang akan kehadiran Ida yang sedang bersamanya.
“Astagfirullah!” keluhku tanpa henti. Seindah apa pun kamar ini, terasa bagaikan di neraka sebab hatiku tidaklah tenteram. Pikiranku berkelana, membayangkan segala hal buruk yang sedang dilakukan Bang Fuad dan Ida, hingga akhirnya hanya semakin menggores hati.
Aku memaksakan diri, bermanifestasi, berdoa dan menangis hanya agar kedua mata dan badan lelah, lalu terlelap di ruangan yang bernilai mahal ini.
--
Pagi kedua menjelang di Lhokseumawe. Aku membuka kedua mata dengan paksa setelah mendengar dering dari gawai.
Jam tujuh pagi. Untungnya aku tidak melewatkan salat subuh meski habis menangis semalaman karena memikirkan pria itu.
Hari ini, aku tidak punya rencana apa pun selain kembali ke Banda Aceh sendirian. Tidak perlu mengabari Bang Fuad, tidak perlu mengadu pada Ida, mereka yang memilih memperlakukanku seperti orang asing.
Usai mandi dan merias diri, aku membereskan kembali pakaian-pakaian dari koper, setelahnya melangkah keluar dari kamar menuju lantai pertama tempat di mana sarapan hotel disediakan. Bukannya tidak ingin langsung pulang, aku hanya ingin mencoba kehidupan mewah yang selama ini sulit kuraih sebelum dan sesudah menikah.
“MasyaAllah!” Aku berseru begitu tiba di depan pintu kaca yang terletak di sudut hotel.
Dua pelayan yang berdiri di prasmanan tinggi dan mewah itu menyapa. Mereka meminta kupon yang diberikan bersamaan dengan room card untuk diperiksa.
“Selamat menikmati hidangan kami, Bu?” ujarnya mempersilakan.
Aku berjalan, mengambil piring bundar dan mengisinya dengan nasi putih panas. Tidak lupa lauk-lauk yang berbagai jenis kuambil sesendok untuk setiap pilihannya.
Setelahnya, aku mengambil air mineral botol, lalu duduk di sebuah meja yang berbatasan langsung dengan kolam renang hotel. Sunyi dan sepi di sana, tidak ada yang berenang di pagi hari ini.
Meski terasa menyakitkan, aku tetap memaksakan diri untuk tersenyum sendirian. Di sisi kiri dan kanan, puluhan pasangan dan keluarga sedang menikmati sarapan mereka, beberapa melihat ke arahku, lalu melempar senyum sapa.
Berulang kali aku menyuap nasi dan sepotong daging, kemudian mendorongnya dengan air. Pahit ... lidahku terasa sangat pahit.
Apa masakannya yang bermasalah atau memang diriku yang sudah terlalu pasrah?
“Baiklah, mari kita coba salad buahnya.” Aku berpikir seraya meninggalkan meja.
Prasmanan buah menggoda mata. Aku mengisi mangkuk berukuran kecil dengan berbagai jenis buah, lalu mengguyurnya dengan saus putih kekuningan. Entah apa ini, tapi sepertinya cukup laris karena jumlahnya berkurang banyak dibanding saus yang lain.
Saat hendak kembali ke meja, aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang. Dia duduk berlawanan, sedang menikmati sarapan paginya dengan sangat tenang.
“A-apa aku salah meja?” monologku sembari melihat piring sarapan yang masih tergeletak di atasnya. “Tidak! Ini memang piringku. Lantas, siapa pria ini?”
“Maaf, Bang ....” Aku menyapa. Cemas, mungkin saja memang salah meja.
Kuperhatikan pria berkaos yang memakai celana di bawah lutut, sepatunya berwarna kontras dan penampilannya sangat sederhana. Namun, aroma parfumnya menyebar dengan begitu kuat.
“Ah, aku salah meja!” yakinku sembari beranjak.
“Tidak, Kak ... aku yang numpang gabung!” jawabnya yang membuatku berhenti melangkah.
Kupandangi pria itu. Apa lagi ini? Sebentar, suaranya tidak asing.
“Lupa?” ujarnya. Dia mengangkat wajah, meletakkan sendok dan mengulas senyum ke arahku. “Aku yang semalam, Mbak.”
Deg! Pria itu?
Gagal mengontrol keterkejutan, aku bergegas duduk di kursi semula. Tidak mungkin semudah ini bertemu dengan orang yang sama. Di kota ini? Di dunia yang unik ini? Mustahil sekali.
“Iya, Kak. Apa makanannya dihabiskan?” balasnya melihat keterkejutanku.
Ya ... tidak mungkin dia asal menyapa. Inikah paras aslinya saat tersinar cahaya? Lumayan ... tampan.
“Te-terima kasih.” Kutundukkan wajah, ada rasa sesal karena menyia-nyiakan makanan sebanyak itu semalam.
Dibanding makan, aku memilih tidur dalam genangan air mata. Alhasil, wajah dan pipiku bengkak luar biasa.
“Sepertinya tidak dimakan, ya? It’s okey, jangan merasa bersalah. Kakak memang seharusnya menjaga jarak dengan orang asing.”
Aku tersenyum getir. Demi menutupi rasa malu karena segalanya berhasil terbaca olehnya, jemariku refleks mengaduk-aduk salad buah tersebut. Akhirnya, warna merah dari buah naga luntur, membuat seisi mangkuk berubah warna.
“Tapi, aku bukan orang asing,” sambungnya. “Aku sudah kenal Kak Ayu sejak lama, sayangnya Kak Ayu tidak mengenaliku dengan baik.”
Deg! Deg! Dia juga menyebutkan namaku.
Kugelengkan kepala. Kekonyolan apa lagi ini? Sejak kapan aku punya kenalan pria kaya begini? Andai iya, seharusnya aku bisa mengingatnya dengan baik, sebab di dalam hidupku yang serba pas-pasan ini, tidak mungkin pria begini terlewatkan begitu saja.
“Tidak ingat juga?” Dia mulai bermain kata-kata.
“Maaf, aku minta maaf. Apa benar kita ....”
“Aku tahu nama Kakak, apa lagi yang harus dibuktikan?”
“Ba-bagaimana bisa?”
“Hah!” Pria itu mendengkus. Dia meninggalkan sarapannya dan memilih bersandar di kursi.
Aku hanya bisa memandangi pergerakannya, tanpa sempat peduli dengan lingkungan sekitar saat ini. Sungguh, ini di luar nalar. Apa yang harus aku lakukan?
“Aku suaminya Ida, Kak. Masa lupa?” jawabnya masih dengan senyuman yang terpahat.
“Meng-meng ....”“Kita memang tidak pernah bertemu lagi setelah pernikahan kalian, tapi seharusnya kamu tidak melupakan wajahku semudah itu!” protesnya lagi.Pria itu mengambil posisi nyaman, dia meraih cangkir berukuran sangat kecil di depannya, lalu menyentuh bibir cangkir dan menyesap kopi pahit di dalamnya. Setelahnya, jemari pria itu begitu santun saat meletakkan kembali cangkir.“A-aku belum ....”“Tidak masalah kalau tidak ingat. Aku paham, lagi pula bukan keharusan untuk mengingat semua orang yang kamu temui.”“Baiklah. Terima kasih.” Lega meski sebenarnya ada rasa bersalah yang tertinggal.“Sama-sama, Ayu!” sahutnya kembali.Tiba-tiba pria yang mengaku sebagai suami Ida berhenti memanggilku dengan sebutan ‘kak’. Dia mengubah cara bicaranya padaku
Jam 15.15 siang aku tiba di perumahan Baet setelah berangkat dari terminal Lhokseumawe. Rasa lelah di perjalanan serta kecewa pada Bang Fuad tidak lagi menjadi penghalang untukku pulang.Menumpang sebuah taksi online, aku turun di depan halaman rumah sendirian. Tidak ada kabar dari Bang Fuad, apa lagi kehadiran dirinya seperti saat kami berangkat kemarin.“Ini Pak, dua puluh ribu, ya?” ujarku setelah melongok dari luar jendela mobil.Pria yang baru saja mengantarkanku itu menganggukkan kepala. Dia menerima uang yang aku sodorkan lalu menyimpannya di sebuah kotak kecil di sisinya.“Terima kasih, Kak. Duluan?”“Iya, Pak. Silakan.”Kami berpisah setelah aku menggerek koper agak menjauh dari body mobil, membuka jalan untuk pria berkepala plontos pergi dari perumahan ini setelah tugasnya beres.Aku menarik n
Aku menyibak tirai jendela di ruangan kecil yang selalu kusebut sebagai ruang tamu saat pagi menjelang. Kemudian, membereskan sedikit demi sedikit bungkusan makanan dan beberapa barang yang berhamburan di atas karpet.Ini masih pagi, baru jam tujuh pagi tepatnya. Matahari menyingsing lembut dan langit berwarna cerah. Tidak banyak awan atau kabut, tidak ada angin yang berembus, segalanya tenang dan terang.Kulanjutkan sisa pekerjaan dengan beranjak ke dapur. Di sana ada beberapa piring dan gelas kotor, serta beberapa pakaian bekas pakai yang aku bawa ke Lhokseumawe.Dengan memakai piyama rumah yang sudah pudar warnanya, aku mengerjakan semuanya satu per satu seperti biasa. Tidak pernah mengeluh, tidak juga bersedih.Namun, semua ketenangan itu buyar saat kudengar langkah kaki dari arah depan. Derap keras dan cepat yang selama ini telah menjadi irama di dalam lubuk hati terdalam.M
“Jelaskan pada Abang sekarang, Dek! Kamu sudah keterlaluan sekali akhir-akhir ini.” Bang Fuad kembali meneriaki diriku.Alhasil, aku hanya bisa melempar benda pipih itu ke ranjang dan menangis dengan begitu keras. Segala hal yang membuatku tersiksa beberapa hari terakhir kini semakin membingungkan.Bagaimana bisa seseorang yang kusangka adalah Bang Fuad itu ternyata orang lain? Lantas, kenapa gawai yang terhubung dengan nomor selingkuhan Ida bisa bersama Bang Fuad kala itu?“Dek, jangan menangis, bicaralah! Apa kamu kira semua masalah akan selesai dengan menangis?” pekik Bang Fuad lagi.Aku tidak bisa menjawab dan hanya membiarkan tubuhku berguncang karena tangisan serta desakan yang terus dilayangkan oleh Bang Fuad. Segalanya telah kacau, hancur tidak bersisa sekarang.“Jelaskan pada Abang, siapa yang kamu hubungi barusan?”
Beberapa jam berkeliaran tanpa tujuan di jalanan, aku pulang ke rumah saat malam menjelang. Suasana perumahan sangat sunyi mencekam, tidak terlihat satu manusia pun berkeliaran di depan rumah mereka.Kususuri gang dengan motor menuju bangunan yang entah apa masih pantas disebut rumah. Perasaanku berkecamuk luar biasa kala mendapati rumah itu sunyi sepenuhnya.Saat memutuskan untuk pulang tadi, aku sedikit menaruh harap untuk berbaikan dengan Bang Fuad. Bukan kenapa, hanya saja ada banyak hal yang harus kami bicarakan dengan kepala dingin agar mencapai solusi.Tapi ... harapan itu pupus begitu aku berhenti di teras rumah kecil tersebut. Tidak ada siapa pun di depannya, segalanya sunyi dan hampa sama seperti rumah lainnya.“Bang Fuad tidak menunggu?” ratapku usai mematikan mesin motor. Lengang, bahkan suara kehadiran manusia juga tidak terdengar dari dalam.Pria yang se
Bukankah terlalu sulit untuk percaya jika kini Bang Fuad sedang berlutut di depanku? Pria itu memeluk kedua kakiku dan mendekapnya begitu erat. Seolah, tindakannya meninggalkanku di Lhokseumawe sendirian tidak pernah terjadi di dalam hidup kami. “Dek, tolong jangan begini lagi,” rintihnya tanpa mengendurkan rengkuhannya. Aku hanya bisa menghela napas. Pria itu bahkan bergeming meski aku terus menggoyangkan kedua kaki dengan harapan agar dia membebaskan diriku. “Dek?” “Hai, Fuad! Kenapa kamu jadi bodoh seperti ini?” Mamak mertua berteriak khas dengan logat Acehnya. Beliau mendorong pundak Bang Fuad, mungkin mencoba menyadarkan putranya tentang betapa menyedihkannya dia hari ini. “Dikasih makan apa kamu sama Si Ayu sampai kamu jadi berlutut, hah? Laki-laki mana boleh begini, kamu itu tidak boleh tunduk sama istrimu, nanti dia jadi besar kepala, Fuad!” pekiknya lagi.
Bab 14: Jembatan Perselingkuhan Suami dan SahabatkuSesuai dengan permintaan Bang Fuad, aku langsung pergi ke sebuah toko ponsel di daerah Penayong. Membawa uang sebanyak tiga juta lebih yang baru aku ambil dari ATM, kuputuskan untuk mampir ke sebuah toko ponsel satu pintu.Saat aku masuk ke dalamnya, dua pekerja di sana mengulas sebuah senyum. Mereka langsung menghampiri, lalu bertanya tentang apa yang aku cari di sini.Usai kuutarakan tentang jenis gawai yang aku cari, dua pekerja itu menggelengkan kepala. Mereka mencoba bertanya pada seorang perempuan yang sedang sibuk meng-scroll layar gawainya. Namun, jawaban yang dikembalikan padaku tidak banyak berbeda.“Coba Kakak cari di toko lain, jenis yang ini belum masuk lagi di kami, Kak. Cuma kalau Kakak berminat, kami bisa tawarkan jenis lain yang tidak kalah bagusnya!” jelas pria bersuara mendayu itu.Aku langsung menggelengkan kepala. Ada niat tersembunyi yang terpatri saat memilih jenis gawai yang satu ini. Sebab itulah, aku bersedi
Setelah pertemuan itu, aku pulang ke rumah dengan hati yang lebih gusar. Keinginan untuk tetap berdamai dengan Bang Fuad terpaksa kuurung, sebab perkataan Bang Bayu telah memberiku banyak tanda tanya. Aku tidak boleh memercayainya seratus persen seperti dulu jika tidak ingin terluka sendirian.Apa benar Bang Fuad sudah berubah? Bagaimana kalau ini semua hanya siasatnya untuk membuat diriku tetap percaya padanya?Dan lagi, sikap Ida jauh berbeda dengan sebelumnya. Dia jadi lebih tenang, tidak banyak tingkah apa lagi sampai membicarakan soal bagaimana bahagianya dia dengan sang selingkuhan.Kuputuskan untuk tetap tegar sembari menunggu Bang Fuad pulang. Pria itu baru terlihat batang hidungnya saat malam menjelang dan azan Magrib berkumandang di masjid.“Assalamualaikum, Dek?” sapanya saat aku membuka pintu untuknya.Wajah Bang Fuad sangat cerah, senyumnya merekah seperti musim semi. Dia bersikap sangat manis sampai mencium kening