Share

Bab 7: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

“Check in, Kak!” Aku bertutur pada seorang gadis muda dengan jilbab yang melilit leher. Sepertinya dia baru saja meluruskan kedua kakinya di atas sebuah kurs dan terpaksa harus berdiri.

Wajahnya terlihat lelah, tapi ekspresi ramahnya tidak berubah. Dia mengurai senyum ke arahku, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menyambut diriku yang datang dengan sebuah koper berukuran sedang saat jam sudah menyentuh angka delapan malam.

Keputusan aneh yang tiba-tiba aku ambil karena sakit hati dengan Bang Fuad ini akan menggerogoti isi dompet. Bisakah aku berpura-pura kaya hanya untuk satu hari ini saja?

“Baik, Bu. Cari kamar yang seperti apa, Bu?” balasnya dengan suara yang renyah.

Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Meski aku yakin ada lelah yang berusaha ditutupinya di balik senyumnya itu.

“Saya sendiri, double bed saja, biar nyaman.” Aku berujar dingin. Bukan karena membencinya, bukan! Melaikan hati ini panas melihat beberapa pasangan yang begitu mesra juga check in di sebelahku.

Mereka memperlihatkan bukti nikah, lalu diberikan ruangan yang mereka inginkan. Setelahnya, mereka diantarkan melalui lift yang sudah menunggu oleh hotellier.

Cemburu? Sepertinya begitu. Seharusnya aku juga bisa merasakan hal indah itu andai Bang Fuad tidak pergi meninggalkan diriku di rumah kerabatnya.

Jadilah, aku terdampar di sebuah hotel bintang tiga yang berseberangan dengan sebuah SPBU super ramai. Saat aku tiba di sini menumpang sebuah becak motor, SPBU itu dipenuhi puluhan truk dan mobil yang mengantre, sedangkan hotel jauh lebih lengang dan tenang.

“Baik, Bu. Tunggu sebentar.”

Aku mengiyakan hanya dengan pergerakan. Tidak ada kata-kata, bukannya sombong tapi hatiku panas luar biasa.

Apa yang sedang dilakukan oleh Bang Fuad di luar sana setelah meninggalkan diriku begini? Siapa laki-laki yang bersama Ida dan apa hubungan antara mereka berdua? Aku menggigit bibir memikirkannya.

“Ini, Bu. Kamarnya ada di lantai 3, nomor kamar Ibu 323.”

Lalu, seorang pria dengan seragam yang rapi serta sarung tangan putih muncul di dekatku. Dia bertanya apakah koper yang ada di sampingku itu milikku? Dan saat aku membenarkan pertanyaannya, dia bergegas mengambil, menaikkannya ke sebuah troli berwarna keemasan yang dialasi karpet merah.

“Mari, Bu ... saya antarkan.”

“Baik, terima kasih.”

Hanya beberapa menit berjalan aku sudah merebahkan diri di sebuah kamar dengan nuansa temaram lampu kekuningan. Kaca jendelanya lebar, dilapisi gorden tebal berwarna coklat dengan motif salur emas. Ada dua kursi kayu yang berhadapan dan meja bulat kecil di tengahnya.

Berlawanan dengan ranjang luas dan lembut itu, ada sebuah tivi berukuran sedang, kemudian buffet berisi vas-vas kecil dan alat seduh kopi. Tidak lupa pendingin udara dan kulkas mungil.

“Baiklah, tidak ada salahnya menghabiskan gaji yang aku cari susah payah selama ini,” gumamku sembari memaksakan diri untuk memejamkan kedua mata.

Semakin gelap, semakin jelas paras Bang Fuad yang tercipta. Lalu, bayang-bayang akan kehadiran Ida yang sedang bersamanya.

Astagfirullah!” keluhku tanpa henti. Seindah apa pun kamar ini, terasa bagaikan di neraka sebab hatiku tidaklah tenteram. Pikiranku berkelana, membayangkan segala hal buruk yang sedang dilakukan Bang Fuad dan Ida, hingga akhirnya hanya semakin menggores hati.

Aku memaksakan diri, bermanifestasi, berdoa dan menangis hanya agar kedua mata dan badan lelah, lalu terlelap di ruangan yang bernilai mahal ini.

--

Pagi kedua menjelang di Lhokseumawe. Aku membuka kedua mata dengan paksa setelah mendengar dering dari gawai.

Jam tujuh pagi. Untungnya aku tidak melewatkan salat subuh meski habis menangis semalaman karena memikirkan pria itu.

Hari ini, aku tidak punya rencana apa pun selain kembali ke Banda Aceh sendirian. Tidak perlu mengabari Bang Fuad, tidak perlu mengadu pada Ida, mereka yang memilih memperlakukanku seperti orang asing.

Usai mandi dan merias diri, aku membereskan kembali pakaian-pakaian dari koper, setelahnya melangkah keluar dari kamar menuju lantai pertama tempat di mana sarapan hotel disediakan. Bukannya tidak ingin langsung pulang, aku hanya ingin mencoba kehidupan mewah yang selama ini sulit kuraih sebelum dan sesudah menikah.

“MasyaAllah!” Aku berseru begitu tiba di depan pintu kaca yang terletak di sudut hotel.

Dua pelayan yang berdiri di prasmanan tinggi dan mewah itu menyapa. Mereka meminta kupon yang diberikan bersamaan dengan room card untuk diperiksa.

“Selamat menikmati hidangan kami, Bu?” ujarnya mempersilakan.

Aku berjalan, mengambil piring bundar dan mengisinya dengan nasi putih panas. Tidak lupa lauk-lauk yang berbagai jenis kuambil sesendok untuk setiap pilihannya.

Setelahnya, aku mengambil air mineral botol, lalu duduk di sebuah meja yang berbatasan langsung dengan kolam renang hotel. Sunyi dan sepi di sana, tidak ada yang berenang di pagi hari ini.

Meski terasa menyakitkan, aku tetap memaksakan diri untuk tersenyum sendirian. Di sisi kiri dan kanan, puluhan pasangan dan keluarga sedang menikmati sarapan mereka, beberapa melihat ke arahku, lalu melempar senyum sapa.

Berulang kali aku menyuap nasi dan sepotong daging, kemudian mendorongnya dengan air. Pahit ... lidahku terasa sangat pahit.

Apa masakannya yang bermasalah atau memang diriku yang sudah terlalu pasrah?

“Baiklah, mari kita coba salad buahnya.” Aku berpikir seraya meninggalkan meja.

Prasmanan buah menggoda mata. Aku mengisi mangkuk berukuran kecil dengan berbagai jenis buah, lalu mengguyurnya dengan saus putih kekuningan. Entah apa ini, tapi sepertinya cukup laris karena jumlahnya berkurang banyak dibanding saus yang lain.

Saat hendak kembali ke meja, aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang. Dia duduk berlawanan, sedang menikmati sarapan paginya dengan sangat tenang.

“A-apa aku salah meja?” monologku sembari melihat piring sarapan yang masih tergeletak di atasnya. “Tidak! Ini memang piringku. Lantas, siapa pria ini?”

“Maaf, Bang ....” Aku menyapa. Cemas, mungkin saja memang salah meja.

Kuperhatikan pria berkaos yang memakai celana di bawah lutut, sepatunya berwarna kontras dan penampilannya sangat sederhana. Namun, aroma parfumnya menyebar dengan begitu kuat.

“Ah, aku salah meja!” yakinku sembari beranjak.

“Tidak, Kak ... aku yang numpang gabung!” jawabnya yang membuatku berhenti melangkah.

Kupandangi pria itu. Apa lagi ini? Sebentar, suaranya tidak asing.

“Lupa?” ujarnya. Dia mengangkat wajah, meletakkan sendok dan mengulas senyum ke arahku. “Aku yang semalam, Mbak.”

Deg! Pria itu?

Gagal mengontrol keterkejutan, aku bergegas duduk di kursi semula. Tidak mungkin semudah ini bertemu dengan orang yang sama. Di kota ini? Di dunia yang unik ini? Mustahil sekali.

“Iya, Kak. Apa makanannya dihabiskan?” balasnya melihat keterkejutanku.

Ya ... tidak mungkin dia asal menyapa. Inikah paras aslinya saat tersinar cahaya? Lumayan ... tampan.

“Te-terima kasih.” Kutundukkan wajah, ada rasa sesal karena menyia-nyiakan makanan sebanyak itu semalam.

Dibanding makan, aku memilih tidur dalam genangan air mata. Alhasil, wajah dan pipiku bengkak luar biasa.

“Sepertinya tidak dimakan, ya? It’s okey, jangan merasa bersalah. Kakak memang seharusnya menjaga jarak dengan orang asing.”

Aku tersenyum getir. Demi menutupi rasa malu karena segalanya berhasil terbaca olehnya, jemariku refleks mengaduk-aduk salad buah tersebut. Akhirnya, warna merah dari buah naga luntur, membuat seisi mangkuk berubah warna.

“Tapi, aku bukan orang asing,” sambungnya. “Aku sudah kenal Kak Ayu sejak lama, sayangnya Kak Ayu tidak mengenaliku dengan baik.”

Deg! Deg! Dia juga menyebutkan namaku.

Kugelengkan kepala. Kekonyolan apa lagi ini? Sejak kapan aku punya kenalan pria kaya begini? Andai iya, seharusnya aku bisa mengingatnya dengan baik, sebab di dalam hidupku yang serba pas-pasan ini, tidak mungkin pria begini terlewatkan begitu saja.

“Tidak ingat juga?” Dia mulai bermain kata-kata.

“Maaf, aku minta maaf. Apa benar kita ....”

“Aku tahu nama Kakak, apa lagi yang harus dibuktikan?”

“Ba-bagaimana bisa?”

“Hah!” Pria itu mendengkus. Dia meninggalkan sarapannya dan memilih bersandar di kursi.

Aku hanya bisa memandangi pergerakannya, tanpa sempat peduli dengan lingkungan sekitar saat ini. Sungguh, ini di luar nalar. Apa yang harus aku lakukan?

“Aku suaminya Ida, Kak. Masa lupa?” jawabnya masih dengan senyuman yang terpahat.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
BANGTAN Lovers
ceritanya seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status