Home / Rumah Tangga / Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku / Bab 7: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

Share

Bab 7: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

Author: Bemine
last update Last Updated: 2023-10-19 10:00:51

“Check in, Kak!” Aku bertutur pada seorang gadis muda dengan jilbab yang melilit leher. Sepertinya dia baru saja meluruskan kedua kakinya di atas sebuah kurs dan terpaksa harus berdiri.

Wajahnya terlihat lelah, tapi ekspresi ramahnya tidak berubah. Dia mengurai senyum ke arahku, lalu mencondongkan tubuhnya untuk menyambut diriku yang datang dengan sebuah koper berukuran sedang saat jam sudah menyentuh angka delapan malam.

Keputusan aneh yang tiba-tiba aku ambil karena sakit hati dengan Bang Fuad ini akan menggerogoti isi dompet. Bisakah aku berpura-pura kaya hanya untuk satu hari ini saja?

“Baik, Bu. Cari kamar yang seperti apa, Bu?” balasnya dengan suara yang renyah.

Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Meski aku yakin ada lelah yang berusaha ditutupinya di balik senyumnya itu.

“Saya sendiri, double bed saja, biar nyaman.” Aku berujar dingin. Bukan karena membencinya, bukan! Melaikan hati ini panas melihat beberapa pasangan yang begitu mesra juga check in di sebelahku.

Mereka memperlihatkan bukti nikah, lalu diberikan ruangan yang mereka inginkan. Setelahnya, mereka diantarkan melalui lift yang sudah menunggu oleh hotellier.

Cemburu? Sepertinya begitu. Seharusnya aku juga bisa merasakan hal indah itu andai Bang Fuad tidak pergi meninggalkan diriku di rumah kerabatnya.

Jadilah, aku terdampar di sebuah hotel bintang tiga yang berseberangan dengan sebuah SPBU super ramai. Saat aku tiba di sini menumpang sebuah becak motor, SPBU itu dipenuhi puluhan truk dan mobil yang mengantre, sedangkan hotel jauh lebih lengang dan tenang.

“Baik, Bu. Tunggu sebentar.”

Aku mengiyakan hanya dengan pergerakan. Tidak ada kata-kata, bukannya sombong tapi hatiku panas luar biasa.

Apa yang sedang dilakukan oleh Bang Fuad di luar sana setelah meninggalkan diriku begini? Siapa laki-laki yang bersama Ida dan apa hubungan antara mereka berdua? Aku menggigit bibir memikirkannya.

“Ini, Bu. Kamarnya ada di lantai 3, nomor kamar Ibu 323.”

Lalu, seorang pria dengan seragam yang rapi serta sarung tangan putih muncul di dekatku. Dia bertanya apakah koper yang ada di sampingku itu milikku? Dan saat aku membenarkan pertanyaannya, dia bergegas mengambil, menaikkannya ke sebuah troli berwarna keemasan yang dialasi karpet merah.

“Mari, Bu ... saya antarkan.”

“Baik, terima kasih.”

Hanya beberapa menit berjalan aku sudah merebahkan diri di sebuah kamar dengan nuansa temaram lampu kekuningan. Kaca jendelanya lebar, dilapisi gorden tebal berwarna coklat dengan motif salur emas. Ada dua kursi kayu yang berhadapan dan meja bulat kecil di tengahnya.

Berlawanan dengan ranjang luas dan lembut itu, ada sebuah tivi berukuran sedang, kemudian buffet berisi vas-vas kecil dan alat seduh kopi. Tidak lupa pendingin udara dan kulkas mungil.

“Baiklah, tidak ada salahnya menghabiskan gaji yang aku cari susah payah selama ini,” gumamku sembari memaksakan diri untuk memejamkan kedua mata.

Semakin gelap, semakin jelas paras Bang Fuad yang tercipta. Lalu, bayang-bayang akan kehadiran Ida yang sedang bersamanya.

Astagfirullah!” keluhku tanpa henti. Seindah apa pun kamar ini, terasa bagaikan di neraka sebab hatiku tidaklah tenteram. Pikiranku berkelana, membayangkan segala hal buruk yang sedang dilakukan Bang Fuad dan Ida, hingga akhirnya hanya semakin menggores hati.

Aku memaksakan diri, bermanifestasi, berdoa dan menangis hanya agar kedua mata dan badan lelah, lalu terlelap di ruangan yang bernilai mahal ini.

--

Pagi kedua menjelang di Lhokseumawe. Aku membuka kedua mata dengan paksa setelah mendengar dering dari gawai.

Jam tujuh pagi. Untungnya aku tidak melewatkan salat subuh meski habis menangis semalaman karena memikirkan pria itu.

Hari ini, aku tidak punya rencana apa pun selain kembali ke Banda Aceh sendirian. Tidak perlu mengabari Bang Fuad, tidak perlu mengadu pada Ida, mereka yang memilih memperlakukanku seperti orang asing.

Usai mandi dan merias diri, aku membereskan kembali pakaian-pakaian dari koper, setelahnya melangkah keluar dari kamar menuju lantai pertama tempat di mana sarapan hotel disediakan. Bukannya tidak ingin langsung pulang, aku hanya ingin mencoba kehidupan mewah yang selama ini sulit kuraih sebelum dan sesudah menikah.

“MasyaAllah!” Aku berseru begitu tiba di depan pintu kaca yang terletak di sudut hotel.

Dua pelayan yang berdiri di prasmanan tinggi dan mewah itu menyapa. Mereka meminta kupon yang diberikan bersamaan dengan room card untuk diperiksa.

“Selamat menikmati hidangan kami, Bu?” ujarnya mempersilakan.

Aku berjalan, mengambil piring bundar dan mengisinya dengan nasi putih panas. Tidak lupa lauk-lauk yang berbagai jenis kuambil sesendok untuk setiap pilihannya.

Setelahnya, aku mengambil air mineral botol, lalu duduk di sebuah meja yang berbatasan langsung dengan kolam renang hotel. Sunyi dan sepi di sana, tidak ada yang berenang di pagi hari ini.

Meski terasa menyakitkan, aku tetap memaksakan diri untuk tersenyum sendirian. Di sisi kiri dan kanan, puluhan pasangan dan keluarga sedang menikmati sarapan mereka, beberapa melihat ke arahku, lalu melempar senyum sapa.

Berulang kali aku menyuap nasi dan sepotong daging, kemudian mendorongnya dengan air. Pahit ... lidahku terasa sangat pahit.

Apa masakannya yang bermasalah atau memang diriku yang sudah terlalu pasrah?

“Baiklah, mari kita coba salad buahnya.” Aku berpikir seraya meninggalkan meja.

Prasmanan buah menggoda mata. Aku mengisi mangkuk berukuran kecil dengan berbagai jenis buah, lalu mengguyurnya dengan saus putih kekuningan. Entah apa ini, tapi sepertinya cukup laris karena jumlahnya berkurang banyak dibanding saus yang lain.

Saat hendak kembali ke meja, aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang. Dia duduk berlawanan, sedang menikmati sarapan paginya dengan sangat tenang.

“A-apa aku salah meja?” monologku sembari melihat piring sarapan yang masih tergeletak di atasnya. “Tidak! Ini memang piringku. Lantas, siapa pria ini?”

“Maaf, Bang ....” Aku menyapa. Cemas, mungkin saja memang salah meja.

Kuperhatikan pria berkaos yang memakai celana di bawah lutut, sepatunya berwarna kontras dan penampilannya sangat sederhana. Namun, aroma parfumnya menyebar dengan begitu kuat.

“Ah, aku salah meja!” yakinku sembari beranjak.

“Tidak, Kak ... aku yang numpang gabung!” jawabnya yang membuatku berhenti melangkah.

Kupandangi pria itu. Apa lagi ini? Sebentar, suaranya tidak asing.

“Lupa?” ujarnya. Dia mengangkat wajah, meletakkan sendok dan mengulas senyum ke arahku. “Aku yang semalam, Mbak.”

Deg! Pria itu?

Gagal mengontrol keterkejutan, aku bergegas duduk di kursi semula. Tidak mungkin semudah ini bertemu dengan orang yang sama. Di kota ini? Di dunia yang unik ini? Mustahil sekali.

“Iya, Kak. Apa makanannya dihabiskan?” balasnya melihat keterkejutanku.

Ya ... tidak mungkin dia asal menyapa. Inikah paras aslinya saat tersinar cahaya? Lumayan ... tampan.

“Te-terima kasih.” Kutundukkan wajah, ada rasa sesal karena menyia-nyiakan makanan sebanyak itu semalam.

Dibanding makan, aku memilih tidur dalam genangan air mata. Alhasil, wajah dan pipiku bengkak luar biasa.

“Sepertinya tidak dimakan, ya? It’s okey, jangan merasa bersalah. Kakak memang seharusnya menjaga jarak dengan orang asing.”

Aku tersenyum getir. Demi menutupi rasa malu karena segalanya berhasil terbaca olehnya, jemariku refleks mengaduk-aduk salad buah tersebut. Akhirnya, warna merah dari buah naga luntur, membuat seisi mangkuk berubah warna.

“Tapi, aku bukan orang asing,” sambungnya. “Aku sudah kenal Kak Ayu sejak lama, sayangnya Kak Ayu tidak mengenaliku dengan baik.”

Deg! Deg! Dia juga menyebutkan namaku.

Kugelengkan kepala. Kekonyolan apa lagi ini? Sejak kapan aku punya kenalan pria kaya begini? Andai iya, seharusnya aku bisa mengingatnya dengan baik, sebab di dalam hidupku yang serba pas-pasan ini, tidak mungkin pria begini terlewatkan begitu saja.

“Tidak ingat juga?” Dia mulai bermain kata-kata.

“Maaf, aku minta maaf. Apa benar kita ....”

“Aku tahu nama Kakak, apa lagi yang harus dibuktikan?”

“Ba-bagaimana bisa?”

“Hah!” Pria itu mendengkus. Dia meninggalkan sarapannya dan memilih bersandar di kursi.

Aku hanya bisa memandangi pergerakannya, tanpa sempat peduli dengan lingkungan sekitar saat ini. Sungguh, ini di luar nalar. Apa yang harus aku lakukan?

“Aku suaminya Ida, Kak. Masa lupa?” jawabnya masih dengan senyuman yang terpahat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
BANGTAN Lovers
ceritanya seru
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku   (TAMAT) Bab 51: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

    Bab 51: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku “Ini Sayang, dimakan dulu es krimnya,” pintaku pada Aisya yang duduk dengan tenang. Dia mengayun-ayunkan kaki kecilnya yang menggantung dari kursi. Wajahnya masih bengkak akibat menangis, namun binar bahagia melihat semangkuk es krim di depannya tidak dapat disembunyikan. Aku juga mendorong semangkuk es krim lain untuk Ida. Perempuan itu menyukai rasa Chocomint sejak dulu, saat kusodorkan rasa yang sama wajah Ida sedikit terkejut. “Wah, apa ini?” ucapnya. Usai mendudukkan tubuh di kursi yang berlawanan dengan Ida, aku mencebik. “Apa lagi, kamu kan suka es krim rasa itu.” “Wah, sudah lama enggak, tuh! Lagian, duit suami siapa yang kamu pakai buat beliin aku es krim?” “Yang jelas bukan duit suamimu,” sahutku lagi. Ida tersenyum mengejek, dia memerhatikan diriku dari ujung kepala hingga kaki. “Branded semua, ya? Keren sekali sugar daddymu.” “Terima kasih.” “Lalu, anak siapa ini? Tidak mungkin anakmu,” ucap Ida sembari memerhati

  • Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku   Bab 50: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

    Empat Tahun Kemudian “Mama, kenapa Aisya harus sekolah? Kan bisa di rumah sama Mama dan Bunda Wardah,” keluh Aisya padaku. Aku menggenggam erat tangannya, mengecup wajah bening Aisya beberapa kali. Gadis kecil itu masih duduk di jok mobil dengan seatbelt melingkari badannya. “Mama, di sekolah ada anak yang badannya lebih besar dari aku. Apa dia sudah dewasa, Ma?” Aisya melanjutkan keluhannya seperti biasa. Padahal, baru berumur lima tahun tapi bicaranya sudah selancar ini. Dia juga pandai mengekspresikan diri,mengajak orang lain mengobrol sampai beradaptasi di lingkungan baru. “Mama, nanti siapa yang jemput Aisya?” keluhnya. “Nanti Mama yang jemput, Sayang. Pulangnya kita mampir ke toko roti kesukaan Ayah dan Bunda Wardah, lalu ke toko es krim kesukaan Aisya.” Aku menjelaskannya selembut mungkin. Netra Aisya b

  • Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku   Bab 49: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

    “Ah, ti-tidak usah, Bang. Nanti aku coba cari kost saja, terus belajar buka usaha apa gitu di sana,” elakku pada Bang Bayu.Wajah ini sudah seperti kepiting rebus. Malu sekaligus menggelitik.Buru-buru aku beristigfar karena memiliki pemikiran berlebihan saat Bang Bayu dan Wardah baru saja terluka. Mereka sudah pasti tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.“Baiklah, nanti butuh bantuan, kabari aku dan Wardah.” Bang Bayu menyelesaikan pembicaraan tentang aku.Malam itu, kali terakhir kami duduk bertiga dan mengobrol. Setelahnya, bahkan aku tidak pernah melihat wajah Bang Bayu atau Wardah meski berdiri di pinggir jalan sembari menunggu bus Transkutaraja.Perjalanan kami kembali ke titik yang berbeda dalam permulaan yang berbeda pula. Aku hidup di sebuah kontrakan mungil yang dibayarkan oleh Bang Bayu selama satu tahun ke depan, sedang Wardah dan pria it

  • Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku   Bab 48: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

    “Apa kabar mereka di sana?” lirihku pada Bang Bayu.Pagi berganti malam dan Bang Bayu belum pulang. Dia masih tinggal di rumah mamaknya tanpa alasan yang jelas.Tidak berani kuutarakan tanya tentang hal itu, sebab aku juga tamu di sini. Bukankah kurang pantas andai tamu bertanya kenapa pemilik rumah masih tinggal?Bang Bayu yang sedang mengunyah makan malamnya menoleh ke arahku. Di meja makan kecil ini tersisa kami berdua, sebab Wardah menolak makan malam demi menyukseskan dietnya. Sedang Mamak Bang Bayu makan di kamar dengan ditemani Wardah serta Aisya.Pria itu mengernyit, alisnya naik sedikit. Wajahnya terlihat segar dan sedikit lucu sebab rambutnya acak-acakkan bekas basuhan handuk. Pria itu mandi sore tadi setelah berlama-lama di pantai sendirian.“Kamu ingin tahu?”Kuanggukkan kepala pelan, lalu mengambil kembali sendok dan menyu

  • Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku   Bab 47: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

    Seminggu sejak mengendarai motor bersama Wardah ke pasar, aku mulai menjalani kehidupan yang nyaman di desa ini. Tidak banyak kebisingan, tidak ada tetangga yang kepo kiri dan kanan karena memang rumahnya berjauhan.Segalanya tenteram, aman dan menyenangkan. Aku jadi bagian baru dalam hidup Wardah dan Mamak Bang Bayu.Kami sering ke pantai bertiga, duduk di sana sampai matahari tenggelam atau menunggu matahari terbit. Tapi, dibanding aku yang hanya duduk, Mamak Bang Bayu dan Wardah sering terlihat bersedih.Mereka kerap kali memanjatkan doa, melantunkan harap untuk keluarga yang sudah pergi dibawa Tsunami. Tidak ada jejaknya, tidak ada beritanya meski belasan tahun sudah berlalu.Seperti hari ini misalnya, Mamak Bang Bayu meneteskan air mata meski bibirnya membisu. Sedang Wardah mengusap dada, menahan tangisnya.Aku yakin benar, ada rindu yang teramat dalam untuk keluarga mereka.

  • Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku   Bab 46: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

    Sejak lambaian tangan dan senyum Bang Bayu sore itu, aku resmi tinggal di rumah orang tuanya. Bang Bayu menitipkanku pada Wardah, meminta agar gadis muda itu menjadi teman sekaligus keluarga baru untukku.Bang Bayu pergi, kukira tinggal di sana akan jadi canggung. Nyatanya, Wardah mendobrak habis dinding yang kubangun.Kami jadi teman hanya dalam satu malam. Menonton tv berdua, makan camilan, dan merencanakan kegiatan untuk besok.“Kak, Kakak tinggal aja di sini buat selamanya. Jangan keluar dari sini, nanti aku enggak ada temennya lagi. Bang Bayu enggak pernah bawa siapa pun ke sini selain Kak Ida, si dokter itu sama Kakak.” Wardah nyerocos tanpa mengerling ke arahku.Dia sibuk ngemil dengan chips yang dibawakan oleh Bang Bayu tadi. Sedangkan mamak Bang Bayu disuguhi buah-buahan yang sudah dipotong olehnya. Perempuan itu tidak banyak bicara. Dia duduk di sofa dan memandang hampa ke arah tv.Dari sorot mata

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status