Home / Rumah Tangga / Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku / Bab 6: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

Share

Bab 6: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

Author: Bemine
last update Last Updated: 2023-10-18 13:45:21

“Kota seindah dan sesyahdu ini malah menjadi saksi dari perlakuan buruk yang diberikan Bang Fuad padaku,” lirihku sembari memandangi sebuah masjid yang terletak jauh lebih tinggi dari jalanan.

Masjid megah itu berukir indah, warna dindingnya kecoklatan dengan garis-garis lebih gelap. Ada beberapa orang yang lalu-lalang keluar masuk. Mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang baru saja pulang dari satu tempat dan mampir untuk salat magrib.

Aku menghela napas sedalam mungkin, sebab kini kedua mataku memerah akibat amarah. Terdudukku sendirian di seberang masjid itu, memegang sebuah botol dari salah satu franchise di belakang sana.

Bang Fuad belum ada kabarnya. Dia meninggalkanku entah sudah berapa jam sendirian di kota ini.

Astagfirullah, Ya Allah!” lirihku.

Helaan napas selanjutnya jauh lebih kuat dan dalam. Kupeluk tas yang menemani perjalanan ini seerat mungkin, sebab langit terus menggelap di pucuk sana, dan tidak ada yang berubah selain jalan yang jadi lebih sepi.

“Harus ke mana lagi ini?” Kupalingkan muka ke kiri dan kanan. Toko ayam goreng yang sebelumnya menyala benderang kini tutup, begitu pula dengan toko-toko lain.

Tidak ingin semakin larut sendirian di sana, kucoba untuk melirik gawai dan membaca pesan-pesan yang ditinggalkan oleh Ida ke sebuah nomor yang kini hampir kutemukan titik baliknya. Mereka berjanji akan bertemu di terminal dan berangkat ke Medan bersama.

Jika memang pria itu adalah Bang Fuad, maka setengah dari rencana mereka telah rusak akibat ulahku. Sekarang, aku harus berpikir bagaimana caranya mengungkapkan kejadian sebenarnya dan mengambil keputusan sebelum semuanya semakin sulit.

Nomor yang dihubungi Ida ternyata sedang online. Aku bergegas mengecek nomor tersebut. Ada beberapa hal yang sedang kupikirkan; menghubunginya secara langsung dan berpura-pura sebagai Ida, atau menelepon Ida.

Baru saja hendak menjalankan rencana, tiba-tiba sebuah pesan masuk dari Bang Fuad yang membuat jantungku hampir jatuh. Pria itu ... setelah pergi dengan kejam dan tidak berpamitan, sekarang bersikap semanis ini.

“Dek, Abang lagi ada pertemuan dengan atasan, kamu tunggu di rumah sebentar. Nanti Abang ajak kamu jalan-jalan, dan makan makanan enak di sini sepuasnya.”

Aku mengulas senyum, bukannya bahagia namun muak. Kuputuskan untuk tidak membalas pesan tersebut dan beralih mencari nomor Ida.

Perempuan itu menyalakan last seen hingga aku bisa melihat kapan terakhir dia aktif. Pukul 18.57 lalu, dan sekarang dia offline kembali.

“Kalian sungguh pemain sandiwara yang hebat!”

Aku melayangkan panggilan untuk Ida, mencoba menemukan perempuan itu dan bertanya ke mana dia menghabiskan weekend kali ini.

Tut ... tut ... tut ....

“Hallo, Yu? Kamu kenapa telepon aku, sih?” protesnya. Ida terdengar keberatan di seberang sana. “Apa kamu enggak ngerti kalau aku lagi hepi-hepi?”

“Oh, dengan siapa? Kamu ke mana?” sahutnya mencoba bersikap tenang, padahal hati ini berkejaran.

“Ya, ke mana lagi kalau bukan jalan-jalan sama Baby-ku. Sudah, ya ... jangan ganggu. Aku susah payah dapatin waktu bebas begini, Yu.”

“Sebentar, Da. Kamu di mana? Aku sedang di Medan dengan Bang Fuad̶  suamiku.” Aku mengulas senyum mendengar Ida terdiam di seberang sana. Sepertinya, perempuan itu terkejut. Sebabnya, aku menambahkan kalimat-kalimat lain untuk mengundang emosi Ida, jika dia tersulut, maka kebenaran sudah semakin dekat.

“A-apa maksudmu, sih?”

“Aku diajak Bang Fuad ke Medan, Da. Kamu tahu, kan ... selama ini aku enggak pernah ke mana-mana seperti kamu. Selama ini, aku duduk di rumah, belajar, bekerja dan mengurus suamiku. Aku hanya ingin menceritakan hal sebahagia ini pada sahabatku sendiri.”

“La-lalu apa urusannya denganku? Kamu aneh, Yu. Cuma ke Medan, apa sih susahnya? Medan itu enggak jauh karena kita di Aceh, bisa pakai bus, kan? Beda kalau kamu ke Jawa, ke Bali, ke Sulawesi, apa lagi luar negeri,” balasnya di seberang sana.

Awalnya, aku mengira jika Ida akan terkejut dan berbicara terbata setelah mendengarku menyebutkan nama Bang Fuad. Tapi ... responsnya hanya begini.

“Aku dengan Bang Fuad, Da.”

“A-ah ... kamu dibawa suamimu, ya? Bagus, deh. Biar enggak iri sama kehidupanku juga.”

“Beb, ma-sih lama?”

Aku mendengar suara laki-laki menegur Ida. Hal itu menyebabkan Ida bergegas mematikan panggilan.

Mendengarnya, aku terhenyak cukup lama dalam kesendirian. Ini masih jam tujuh malam, dan seingatku bang Fuad menghilang beberapa jam sebelumnya.

Perjalanan menuju Medan dari sini saja bisa enam jam. Sangat mustahil andai suara yang aku dengar itu adalah milik suamiku.

Lalu, kenapa Bang Fuad pergi begitu saja tanpa sepatah kata untukku?

[Jangan ganggu, Yu. Aku ini lagi hepi-hepi, bagaimana, sih?]

Terdiam diriku membaca pesan dari Ida. Perempuan itu tidak menunjukkan tanda penyesalan setelah mendengar nama Bang Fuad kusebutkan. Lantas, siapa orang yang berhubungan dengan Ida selama ini dan kenapa pesan tersebut bisa masuk ke gawai suamiku?

Sekarang, apa yang harus aku lakukan? Semua rencana, bukti-bukti serasa tidak berarti lagi.

Akhirnya, aku merenung kembali di tepian trotoar. Berjongkok, memeluk tas dan memandangi layar gawai seperti orang yang diusir dari kontrakan karena kehabisan rencana.

Puk! Aku terkejut sebab pundakku ditepuk dari belakang. Lalu, samar-samar kehadiran seseorang menghindariku dari kesepian.

Seorang pria dengan tinggi menjulang dan wajah yang tersenyum. Aroma parfum maskulin menguar hebat dari tubuhnya, ditambah lagi gayanya yang seperti pria metroseksual dari kota besar.

“Kak, sedang apa di sini?” tanyanya.

Suaranya berat dan dalam. Tangannya terulur, mungkin mencoba memperkenalkan diri.

Meski demikian, aku hanya bangkit dan membangun jarak lebar dengannya. Di tengah gelap gulita ini, di sudut kota yang sepi, dan di atas trotoar yang berdebu, pria mana yang bersedia menawarkan diri untuk berkenalan dengan perempuan asing?

“Maaf, aku perhatikan dari tadi Kakaknya di sini. Mencari sesuatu?” ungkapnya lagi. “Maaf, aku bukan orang jahat!”

Kuarahkan pandangan, sebisa mungkin mampu mengenali sosok di depanku saat ini. Tidak mudah memang, tapi sekelebat cahaya dari sorot lampu membuatku bisa membaca parasnya.

Wajahnya tidak serupawan penampilannya. Tapi, kulitnya bersih, posturnya bagus dan tegap, serta kurasa dompetnya cukup tebal.

“Ti-tidak ada apa-apa, Bang. Maaf, aku permisi dulu!” elakku.

Ada sekelebat rasa khawatir melihat seorang pria asing mencoba membangun kedekatan denganku. Memang, kota ini dikenal cukup aman, namun tetap saja ada kekhawatiran saat harus berurusan dengan orang yang tidak kukenal.

Lebih baik menjaga jarak aman, dibanding menyesal kemudian.

“Kak, sebentar!” panggilnya. Aku menoleh karena kaget. Pria itu melompat turun dari trotoar yang hampir sepinggangku. Kemudian, mendatangi sebuah mobil tinggi yang terparkir di tempatku merenung tadi.

Pantas saja dia menyapa, apa dia mengira aku sedang memerhatikan mobilnya?

“Ini, buat Kakak saja.” Begitulah dia berujar.

Sebuah kantong plastik bening dengan logo franchise ayam itu terulur ke arahku. Entah apa yang merasukinya hingga memberi orang asing makanan sebanyak ini.

“Tidak perlu, Bang.”

“Tidak masalah, aku tidak tahu ada masalah apa, tapi sepertinya cukup berat sampai Kakak duduk termenung begitu di malam begini. Makanlah, semoga bisa menenangkan hati!” bujuknya masih dengan paksaan.

Sorot lampu kendaraan yang melintas kembali jatuh di wajahnya. Aku terhenyak, melihat pria ini masih memasang wajah polos dan tatapan yang tulus.

“Aku bisa beli lain, Kak.” Dia memaksa kembali.

Pada akhirnya, pria itu meletakkan bungkusan tersebut di sebuah bangku panjang di dekatku. Bangku reyot yang entah untuk apa diletakkan di sana. Mungkin, tempat beristirahatnya pada tukang parkir di siang hari.

Setelahnya, pria itu pergi. Dia benar-benar pergi dengan mengendarai sebuah unit mobil mewah yang butuh waktu lama untuk kukenali di kegelapan malam; Toyota GR86. Mobil seharga 1 Milyar itu melenggang di depanku begitu saja, anggun, menawan dan sangat berkelas.

Aku meneguk ludah melihatnya. Kemudian, menengadahkan kepala ke langit.

Malam ini, bintang-bintang berhamburan di kanvasnya Ilahi.  

Dunia ini, kadang terasa sangat tidak adil. Saat ada orang yang menghabiskan milyaran untuk seunit mobil, aku dan Bang Fuad harus menguras keringat hanya untuk membeli rumah subsidi yang kecil. Ditambah lagi, Bang Fuad yang berubah drastis.

Ah ... ya, soal Bang Fuad belum selesai.

Kubuang rasa gengsi ke trotoar, lalu menggapai bungkusan berat yang diserahkan pria itu. Malam ini, aku akan menghilang, agar Bang Fuad tahu bagaimana rasanya ditinggalkan.

--

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku   (TAMAT) Bab 51: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

    Bab 51: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku “Ini Sayang, dimakan dulu es krimnya,” pintaku pada Aisya yang duduk dengan tenang. Dia mengayun-ayunkan kaki kecilnya yang menggantung dari kursi. Wajahnya masih bengkak akibat menangis, namun binar bahagia melihat semangkuk es krim di depannya tidak dapat disembunyikan. Aku juga mendorong semangkuk es krim lain untuk Ida. Perempuan itu menyukai rasa Chocomint sejak dulu, saat kusodorkan rasa yang sama wajah Ida sedikit terkejut. “Wah, apa ini?” ucapnya. Usai mendudukkan tubuh di kursi yang berlawanan dengan Ida, aku mencebik. “Apa lagi, kamu kan suka es krim rasa itu.” “Wah, sudah lama enggak, tuh! Lagian, duit suami siapa yang kamu pakai buat beliin aku es krim?” “Yang jelas bukan duit suamimu,” sahutku lagi. Ida tersenyum mengejek, dia memerhatikan diriku dari ujung kepala hingga kaki. “Branded semua, ya? Keren sekali sugar daddymu.” “Terima kasih.” “Lalu, anak siapa ini? Tidak mungkin anakmu,” ucap Ida sembari memerhati

  • Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku   Bab 50: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

    Empat Tahun Kemudian “Mama, kenapa Aisya harus sekolah? Kan bisa di rumah sama Mama dan Bunda Wardah,” keluh Aisya padaku. Aku menggenggam erat tangannya, mengecup wajah bening Aisya beberapa kali. Gadis kecil itu masih duduk di jok mobil dengan seatbelt melingkari badannya. “Mama, di sekolah ada anak yang badannya lebih besar dari aku. Apa dia sudah dewasa, Ma?” Aisya melanjutkan keluhannya seperti biasa. Padahal, baru berumur lima tahun tapi bicaranya sudah selancar ini. Dia juga pandai mengekspresikan diri,mengajak orang lain mengobrol sampai beradaptasi di lingkungan baru. “Mama, nanti siapa yang jemput Aisya?” keluhnya. “Nanti Mama yang jemput, Sayang. Pulangnya kita mampir ke toko roti kesukaan Ayah dan Bunda Wardah, lalu ke toko es krim kesukaan Aisya.” Aku menjelaskannya selembut mungkin. Netra Aisya b

  • Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku   Bab 49: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

    “Ah, ti-tidak usah, Bang. Nanti aku coba cari kost saja, terus belajar buka usaha apa gitu di sana,” elakku pada Bang Bayu.Wajah ini sudah seperti kepiting rebus. Malu sekaligus menggelitik.Buru-buru aku beristigfar karena memiliki pemikiran berlebihan saat Bang Bayu dan Wardah baru saja terluka. Mereka sudah pasti tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.“Baiklah, nanti butuh bantuan, kabari aku dan Wardah.” Bang Bayu menyelesaikan pembicaraan tentang aku.Malam itu, kali terakhir kami duduk bertiga dan mengobrol. Setelahnya, bahkan aku tidak pernah melihat wajah Bang Bayu atau Wardah meski berdiri di pinggir jalan sembari menunggu bus Transkutaraja.Perjalanan kami kembali ke titik yang berbeda dalam permulaan yang berbeda pula. Aku hidup di sebuah kontrakan mungil yang dibayarkan oleh Bang Bayu selama satu tahun ke depan, sedang Wardah dan pria it

  • Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku   Bab 48: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

    “Apa kabar mereka di sana?” lirihku pada Bang Bayu.Pagi berganti malam dan Bang Bayu belum pulang. Dia masih tinggal di rumah mamaknya tanpa alasan yang jelas.Tidak berani kuutarakan tanya tentang hal itu, sebab aku juga tamu di sini. Bukankah kurang pantas andai tamu bertanya kenapa pemilik rumah masih tinggal?Bang Bayu yang sedang mengunyah makan malamnya menoleh ke arahku. Di meja makan kecil ini tersisa kami berdua, sebab Wardah menolak makan malam demi menyukseskan dietnya. Sedang Mamak Bang Bayu makan di kamar dengan ditemani Wardah serta Aisya.Pria itu mengernyit, alisnya naik sedikit. Wajahnya terlihat segar dan sedikit lucu sebab rambutnya acak-acakkan bekas basuhan handuk. Pria itu mandi sore tadi setelah berlama-lama di pantai sendirian.“Kamu ingin tahu?”Kuanggukkan kepala pelan, lalu mengambil kembali sendok dan menyu

  • Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku   Bab 47: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

    Seminggu sejak mengendarai motor bersama Wardah ke pasar, aku mulai menjalani kehidupan yang nyaman di desa ini. Tidak banyak kebisingan, tidak ada tetangga yang kepo kiri dan kanan karena memang rumahnya berjauhan.Segalanya tenteram, aman dan menyenangkan. Aku jadi bagian baru dalam hidup Wardah dan Mamak Bang Bayu.Kami sering ke pantai bertiga, duduk di sana sampai matahari tenggelam atau menunggu matahari terbit. Tapi, dibanding aku yang hanya duduk, Mamak Bang Bayu dan Wardah sering terlihat bersedih.Mereka kerap kali memanjatkan doa, melantunkan harap untuk keluarga yang sudah pergi dibawa Tsunami. Tidak ada jejaknya, tidak ada beritanya meski belasan tahun sudah berlalu.Seperti hari ini misalnya, Mamak Bang Bayu meneteskan air mata meski bibirnya membisu. Sedang Wardah mengusap dada, menahan tangisnya.Aku yakin benar, ada rindu yang teramat dalam untuk keluarga mereka.

  • Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku   Bab 46: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku

    Sejak lambaian tangan dan senyum Bang Bayu sore itu, aku resmi tinggal di rumah orang tuanya. Bang Bayu menitipkanku pada Wardah, meminta agar gadis muda itu menjadi teman sekaligus keluarga baru untukku.Bang Bayu pergi, kukira tinggal di sana akan jadi canggung. Nyatanya, Wardah mendobrak habis dinding yang kubangun.Kami jadi teman hanya dalam satu malam. Menonton tv berdua, makan camilan, dan merencanakan kegiatan untuk besok.“Kak, Kakak tinggal aja di sini buat selamanya. Jangan keluar dari sini, nanti aku enggak ada temennya lagi. Bang Bayu enggak pernah bawa siapa pun ke sini selain Kak Ida, si dokter itu sama Kakak.” Wardah nyerocos tanpa mengerling ke arahku.Dia sibuk ngemil dengan chips yang dibawakan oleh Bang Bayu tadi. Sedangkan mamak Bang Bayu disuguhi buah-buahan yang sudah dipotong olehnya. Perempuan itu tidak banyak bicara. Dia duduk di sofa dan memandang hampa ke arah tv.Dari sorot mata

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status