“Kamu dari mana, In?”
Indira yang baru saja masuk ke dalam kamar sontak mengangkat wajah, menatap wajah yang tengah berdiri di depan cermin sambil merapikan rambut. Nampak jelas Arga sudah mandi dan bersiap-siap, wangi parfum khas kesayangan Arga sudah menguar memenuhi kamar. Indira hanya tersenyum simpul, melepas sepatunya lalu meletakkan tas di atas meja.
Arga yang merasa diabaikan lantas menoleh, menatap Indira yang tengah menyisir rambut. Nampak rambut itu berkilau, dari tempatnya berdiri, Arga bisa melihat kalau rambut itu masih dalam kondisi setengah basah. Hal yang lantas membuat Arga segera melangkah mendekati Indira dan meraup dagunya dengan satu tangan.
“Tidur di mana semalam? Kenapa telepon dari ku sama sekali tidak kau gubris?”
Indira menatap mata itu tanpa takut sedikitpun, dia malah membalas tatapan tajam itu dengan sama tajamnya. Menyungingkan senyum setengah mengejek lalu dengan kasar menepis tangan Arga yang tengah
Arga mengepalkan tangannya kuat-kuat begitu Indira pergi begitu saja meninggalkan dia di kamar. Langkah wanita itu begitu tegap dan Arga seperti sama sekali tidak mengenali Indira. Tapi sejak kapan Arga mengenali istrinya sendiri? Sejauh apa Arga kenal dengan Indira sampai-sampai dia bisa mengatakan bahwa dia sudah tidak lagi mengenali Indira karena perubahan wanita itu yang nampak sangat drastis.Ah ... agaknya Arga lupa! Hanya satu yang sejak dulu Arga kenali dari Indira, yaitu wanita bodoh yang diam saja ketika Arga perlakukan sesukanya. Wanita yang hanya bisa menangis dan menunduk ketika dia membentak Indira karena rentetan pertanyaan yang kurang lebih sama dengan pertanyaan yang dia ajukan untuk Indira tadi.Kenapa rasanya begitu sakit ketika tatapan tajamnya di balas oleh Indira seperti tadi? Ketika teriakan demi teriakan Arga dia balas dengan sama kerasnya, kenapa hati Arga terasa begitu sakit sekali? Apakah ini yang dulu juga Indira rasakan ketika bentakan demi
"Selamat pagi!"Jimmy yang tengah menulis ulang dan meneliti hasil follow up pasien sontak mengangkat wajah, hatinya lega luar biasa ketika mendapati Indira sudah berdiri di depan pintu ruang residen. "Sepi ternyata, yang lain kemana?"Dengan anggun Indira melangkah masuk, duduk di sisi Jimmy yang tampak tersenyum dengan kedatangan Indira kemari. "Dia tidak melakukan sesuatu terhadapmu, kan, Dok?" Bukan menjawab pertanyaan Indira, Jimmy malah balik bertanya. Tentu itu yang dia khawatirkan. Dia khawatir Arga akan sampai berbuat nekat karena kemarin dia membawa Indira menginap di hotel dan menghabiskan malam bersama. Indira tersenyum, menggeleng perlahan sambil menatap mata itu dalam-dalam. Sebuah tatapan penuh cinta yang dulu biasanya Indira berikan untuk Arga, kini tatapan itu beralih, berpindah pada lelaki yang ada di hadapan Indira ini. "Jangan khawatirkan apapun. Dia tidak sampai melukaiku." Jawab Indira yang kontan membua
"PULANG!"Arga mencekal tangan Indira, menarik tangan istrinya dan menyeret Indira mengikuti langkahnya ke parkiran. Indira tampak melotot kesal, berusaha melepaskan tangan Arga yang mencengkeram kuat pergelangan tangannya."Apaan sih? Ini juga aku mau pulang, Mas!" terlihat sangat bahwa Indira nampak sangat tidak nyama dengan perlakuan Arga, namun Arga nampak tidak memperdulikan protes yang Indira layangkan dari nada bicara dan sorot mata.Arga membisu, tetap membawa Indira dalam genggaman tangan. Begitu sampai di mobil, Arga segera membuka pintu dan mendorong Indira masuk ke dalam. Mengikatkan seat belt lalu menutup pintu itu dengan sedikit kasar. Dengan gusar Arga melangkah ke sisi lain mobil, membuka pintu lalu menjatuhkan diri di jok."Aku bawa mobil sendiri, bagaimana dengan mobilku!" protes Indira sambil melotot tajam."Akan kusuruh orang untuk ambil nanti, tidak perlu banyak protes!" Arga bergeming, segera menyalakan mobil dan mem
"Jangan harap kamu bisa kemana-mana malam ini, In!" Hardik Arga ketika ia berhasil menyeret Indira masuk ke dalam kamar. Indira melepaskan cengkeraman tangan Arga dengan kasar, matanya melotot menatap Arga dengan tatapan penuh benci. Ia mendekatkan wajahnya, menampakkan kemarahan dan kebencian itu secara langsung di hadapan Arga. "Punya hak apa kau mengaturku, Mas?" Tanya Indira tak gentar. Harga tergelak, ia tertawa kecil sambil membalas mendekatkan wajah. Kini wajah mereka begitu dekat dengan sorot yang sama tajamnya. "Kau tidak lupa bahwa aku ini masih suami kamu, bukan?" Tentu ini yang menjadi senjata bagi Arga. Baik secara agama maupun hukum, Arga masih sah suami dari Indira. Indira menarik wajahnya menjauh, tertawa terbahak seraya melangkah menuju meja riasnya. Meletakkan tasnya di sana dan membalikkan tubuh, menatap Arga dengan tangan yang dia lipat di dada. "Kenapa sekarang kau begitu bernafsu memproklamirkan diri s
"Itu Om ... Clara mau minta izin nikah."Clara mengigit bibirnya dengan cemas. Apa kira-kira tanggapan Om Jefri atas izin yang dia minta? Tapi dia tidak berhak menolak atau melarang Clara menikah! Semenjak kedua orang tuanya meninggal beberapa tahun yang lalu, Clara sama sekali tidak merepotkan mereka. Bahkan peninggalan tanah yang kedua orang tua Clara wariskan, Clara pasrahkan untuk dia kelola tanpa Clara minta sepeserpun hasilnya. Hidup Clara di sini ditopang penuh oleh Arga!Ahh ... Sebenarnya Clara tidak menampik bahwa Arga sudah berjasa banyak dalam hidupnya. Hanya saja cara Arga memenjarakan dirinya, dan memperlakukan Clara macam wanita pemuas nafsu, membuat Clara memutuskan berhenti mencintai lelaki itu. Berhenti berharap padanya. Bukankah Arga sendiri yang menyerah mempertahankan hubungan mereka dan setuju dengan segala macam perjodohan itu? Terdengar sosok itu terisak, membuat mata Clara ikut memanas. Hati Clara bergejolak, membayangkan bagaiman
"Kamu seriusan mau nikah?" Kembali Bagas berteriak, melotot tak percaya ke arah Clara, seolah-olah Clara mengatakan bahwa dia hendak pindah ke Mars. Clara mencebik, mendengus kesal sambil mengusap wajahnya dengan tangan. Ada Bagas, Hilda dan beberapa orang lain yang juga sama terkejutnya dengan Bagas. Clara izin ambil libur dua hari ketika hari ini mereka membahas jadwal. Sebuah izin yang dia katakan hendak pulang untuk membahas rencana lamaran yang akan dilakukan oleh Morgan. "Kamu beneran ada pacar, Ra?" Hilda menatap nanar Clara yang tampak sakit kepala itu. Clara kembali mendengus, ia sontak lemas bersandar di kursi. Sejelek apa dia sampai-sampai teman-temannya ini tidak percaya kalau Clara mengatakan dia hendak menikah? Bahwa dia sudah punya calon? "Ya bener lah! Astaga, kenapa sih pada ragu kalo aku ini ada pacar?" Clara benar-benar gemas pada teman-temannya ini. Padahal selama ini mereka tidak tahu saja kalau Clara ini tidak pernah ngan
“Tan ... beneran nih, Tante nggak bisa usahain?”Feni tertegun. Matanya menatap Callista yang tersenyum getir ke arahnya. Usahain? Tentu Feni paham betul apa maksud di balik kata ‘usahain’ yang Callista todongkan kepadanya. Untuk apa gadis itu mengajaknya bertemu hari inipun, Feni juga tahu apa alasannya.Sebuah senyum terpaksa Feni sunggingkan, memang harus bagaimana lagi? Dia tidak punya kuasa apa-apa selain pada Tjandra, sang suami. Bagaimana Tjandra mengancam dan mendukung penuh Morgan menikahi wanita pilihannya tentu membuat Feni tidak akan mengambil resiko apapun untuk saat ini.Mengizinkan Tjandra menikah lagi? Tentu tidak akan Feni biarkan, dia masih waras!“Tante minta maaf, Sayang. Untuk sekarang Tante nggak bisa bantu kamu apa-apa.”Callista nampak tercekat, matanya yang sejak tadi menyorotkan permohonan dan belas kasihan, kini makin menyedihkan dengan semburat merah yang nampak di sana. Feni tahu, sej
Feni buru-buru melangkah turun dari mobil begitu supirnya beres parkir di depan kantor suaminya. Agak susah hendak pergi dari cafe mengingat Callista seperti menahan dia agar tetap di sana dan merayu Feni agar mau membantunya."Selamat siang, Bu!" Beberapa orang di resepsionis langsung bangkit dan memberi hormat begitu Feni muncul. Karena sudah tidak punya banyak waktu, Feni hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Terus melangkahkan kaki menuju lift. Jujur ia begitu penasaran dengan apa yang hendak suaminya bicarakan mengenai keluarga Wijoyo. Ada apa memangnya? Apa yang membuat sang suami tampak begitu anti pati dengan keluarga konglomerat yang cukup berpengaruh itu? Ting! Pintu lift terbuka, Feni segera masuk ke dalam, menekan angka di mana ruangan pribadi Tjandra berada. Apakah akan ada tarik urat dari obrolan mereka kali ini? Atau sebenarnya ini cuma akal-akalan Tjandra agar dia menyetujui Clara menjadi menantu mereka? Entah hanya pe