"Mbak serius nggak apa-apa?"
Tentu Rudi tidak percaya kalau Clara lantas bilang bahwa dia baik-baik saja. Sorot mata dan ekspresi wajah itu sama sekali tidak bisa membohongi Rudi! Dia yakin kalau Clara tengah memikirkan sesuatu atau tengah menghadapi sesuatu.Apakah itu berhubungan dengan pendidikan dokter spesialisnya? Kalau mengenai itu, tentu Rudi tidak bisa membantu banyak. Tetapi kalau masalah yang membuat Clara nampak murung seperti ini berhubungan dengan sosok Arga Yoga Saputra, Rudi bisa mengusahakan membantu Clara menghadapi dokter jantung setengah gila itu!"Makin lama aku makin takut, Rud." Akhirnya Clara buka suara, suaranya terdengar bergetar, menandakan bahwa memang dia sedang tidak baik-baik saja."Takut apa, Mbak? Boleh saya tau?" Rudi tentu akan dimaki Morgan habis-habisan kalau dia abai dan tidak peduli dengan kondisi Clara macam ini. Semua yang berhubungan dengan Morgan adalah menjadi tugas Rudi. Termasuk jika Clara sampai ke"Mbak please, jangan punya pikiran buruk ke Pak Bos, ya? Dia lakukan semua ini karena dia benar-benar serius cinta sama Mbak!"Tentu itu yang Rudi tekankan setelah dia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Tentang bagaimana sebenarnya Indira sudah tahu bahwa Clara adalah wanita simpanan sang suami selama ini. Bahkan Indira datang ketika Morgan membawanya ke rumah sakit sewaktu Arga menyiksa dan membuatnya keguguran dulu. Sebuah fakta yang benar-benar membuat Clara terkejut setengah mati. Clara mengangguk dan tersenyum, "Terima kasih udah mau jujur, Rud. Aku nggak nyangka dia sampai melakukan semua itu hanya demi aku." Mata Clara memerah, dadanya mendadak sesak. Hanya demi wanita bekas simpanan lelaki lain, Morgan bahkan merelakan satu Ferrari miliknya untuk ditukar? Walau kesannya dia seperti barang, tetapi entah mengapa Clara benar-benar merasa tersentuh dengan perjuangan Morgan. "Saya nemenin Bos udah bertahun-tahun, Mbak. Jujur saja, banyak dulu B
"Aku nggak bisa pulang sekarang, Sayang! Tunggu mama tidur dulu, ya?"Mata Clara membulat, tawanya sontak pecah mendengarkan kalimat apa yang keluar dari mulut Morgan dari seberang telepon. Tunggu mama tidur? Kenapa mereka macam anak SMA yang tengah backstreet macam ini? "Kenapa harus nunggu mama tidur?" Clara menatap langit-langit kamar, ia sudah selesai mandi, tinggal menunggu jam makan malam tiba dan Morgan malah tidak bisa pulang? Okelah dia akan makan malam sendiri! "Aku ditahan di sini, Sayang. Kalau tidak, mama mau nekat ikut pulang ke sana. Bisa habis aku nanti." Desis suara itu lirih. Tawa Clara kembali pecah, jadi karena itu? Clara terkekeh sementara dari seberang ia mendengar helaan napas kasar itu. Bisa dia bayangkan bahwa saat ini wajah Morgan begitu jelek. "Tertawalah, tak apa aku kau tertawakan, Sayang!" Desis suara itu pasrah. Clara menghentikan tawanya, ia teringat sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan fa
"Jadi gimana, Gan?" Tjandra melirik Morgan yang dengan begitu ajaib malam ini di rumah. Biasanya? Jangan tanya! Entah punya berapa aset properti dan aset apa saja, Tjandra sampai tidak tahu. Yang penting Morgan a ingat bahwa dia adalah ayah kandungnya, itu sudah sangat cukup untuk Tjandra. "Besok baru mau berangkat sama Clara, Pa. Do'anya saja." Jawab Morgan sambil mengunyah nasi dalam mulut. "Rudi juga kau ajak?" Tjandra tahu, Rudi adalah tangan kanan kepercayaan Morgan bertahun-tahun lamanya, kemana Morgan pergi, Rudi selalu ada. Bahkan mungkin lebih banyak Rudi yang paham dan tahu rahasia Morgan dibanding dia dan Feni. "Nggak lah, biar dia di sini, handle kerjaan, Pa." Tentu untuk kali ini Morgan tidak mengajak Rudi, dia hanya akan pergi berdua dengan Clara.Tjandra tidak lagi banyak bertanya, ia kembali menyuapkan nasi ke dalam mulut. Sementara Feni meneguk air dalam gelas, menatap Morgan dengan saksama. "Sepulang dari
"KAU JADI KAWIN BENERAN, RA?" Bagas berteriak heboh ketika pagi itu Clara memberinya undangan pernikahan. Amplop dengan sampul warna keemasan itu terlihat begitu elegan dan mewah. Beberapa orang yang ada di ruang residen ikut terkejut. Dilihat dari desain dan cetakan undangan, ini undangan mahal! Tidak mungkin, kan, Clara halu dan rela merogoh kocek dalam cuma demi nge-prank mereka? Clara menepuk jidat dengan kesal, menggelengkan kepala sambil menghirup udara banyak-banyak. Dia harus banyak bersabar menghadapi teman-temannya yang rese namun cukup dia butuhkan kehadiran mereka ini. "Bang, please! Aku udah susah-susah desain undangan dan cetak, kamu masih meragukan kalau aku beneran mau nikah?" Mata Clara membelalak, menatap gemas ke Bagas yang masih syok tidak percaya dengan undangan yang dia terima.Nampak sosok itu masih memasang wajah terkejut, membuat Clara rasanya ingin mencakar wajah melongo itu. Kenapa begini amat sih punya senior? Memang
"Kenapa? Ada apa lagi? Kalau kamu hanya hendak membahas kecurigaan tidak beralasan kamu tentang tuduhan bahwa suami kamu berselingkuh, maaf Papa nggak punya waktu banyak, In!" Tegas Dicky yang sudah tidak mau dengar apa-apa lagi tentang apa tuduhan anaknya pada sang suami. Indira nampak menghela napas dalam-dalam, masih menatap sang ayah yang kini menatapnya dengan sorot mata tajam. "Indira sudah tidak mau membahas itu lagi, Pa. Agaknya sia-sia karena Papa tidak akan percaya juga, kan?" Indira tersenyum kecut, ada hal penting lain yang hendak dia bahas dan itu bukan soal perselingkuhan Arga lagi. Toh sekarang Arga berselingkuh dengan siapa memangnya? "Bagaimana mau percaya? Kami tidak punya bukti apapun bahkan pernah bikin malu karena salah grebek, In. Lantas Papa mau percaya dari mana? Coba katakan!" Dicky tidak mengerti, mungkin efek Indira terlalu mencintai suaminya atau gimana? Jadi selalu curiga terus bawaannya. Kembali Indira mendesah, b
"Mungkin sepertinya semesta nggak kasih izin kita buat sama-sama, Ga." Desis Clara ketika kemudian ia berhasil merangkai kata dan mengucapkan. Arga kini berdiri, tangannya kembali meraih dan menggenggam erat tangan Clara. Tidak peduli Clara kembali mencoba melepaskan genggaman Arga. "Kau tau, Ra? Dia licik! Dia menjebakku entah bagaimana caranya aku sendiri tidak tahu! Memaksaku menandatangani semua berkas itu, menekanku untuk mau tidak mau menyetujui perjanjian yang bahkan aku baru membacanya setelah tanda tangah di atas materai!" Jelas Arga nampak emosi. "Aku nggak pernah mau nukar kamu pakai apapun, Ra! Bahkan tidak dengan Supercar itu, aku lebih ingin kamu! Kamu lebih berarti dari segala-galanya buat aku!"Air mata Clara menitik. Arga memang masih sama. Cinta yang dua punya untuk Clara maksudnya. Selain itu, semuanya sudah berubah. Begitu pula dengan nasib cinta mereka berdua dan jangan lupa, cinta Clara untuk Arga yang bahkan sama sekali tidak bersi
Arga mengeram, ia melangkah dengan gusar menuju ruangan milik papa mertuanya. Ada apa lagi sih Dicky memanggilnya menghadap? Apakah rewel hendak minta cucu lagi? Hah! Menjemukan sekali kalau Dicky meneleponnya hanya untuk itu! Kini Arga sudah berdiri di depan pintu itu, mengetuk pintu perlahan lalu menekan knop pintu dan melangkah masuk ke dalam. Nampak Arga terkejut ketika mendapati sang istri sudah berada di dalam ruangan, duduk bersama Dicky yang wajahnya nampak begitu kaku. Kening Arga berkerut, apa yang terjadi memangnya? Indira mengadu? Apa lagi yang dia adukan? Saat ini Arga sudah tidak lagi menjalani hubungan terlarang dengan siapapun. Malah Indira kini yang bermain api dengan lelaki lain. Seorang R1 di pendidikan spesialis anak. "Duduk, Ga!" Titah Dicky dengan suara datar dan kaku. Arga menghela napas panjang, ia lantas melangkah menuju kursi yang masih tersisa di dekat sang istri. Bisa Arga lihat bahwa Indira sama sekali tidak mau me
Clara masuk ke dalam kamar mandi. Matanya memerah, kini tangisnya pecah. Tangannya menutup bibir yang tadi Arga curi cium darinya. Bibir yang dulu memang sering Arga nikmati, sering Arga kecup dan pagut dengan begitu liar sesaat sebelum mereka bercinta, ketika Arga sampai di apartemen dan sebelum pergi meninggalkan apartemen. Tapi kini, Arga tidak lagi berhak atas dirinya, bibirnya dan tentu saja tubuhnya! Arga tidak lagi berhak apa-apa, mereka tidak ada hubungan lagi sekarang. Bayangan bagaimana Arga menangis sambil bersimpuh tadi terngiang di dalam pikiran Clara. Banyak kenangan indah yang memang Arga tanamkan dalam hidup Clara. Dulu ... dulu sekali sebelum kemudian kabar perjodohan dan pernikahan Arga dengan Indira berdengung dan memporak-porandakan semua harapan dan cita-cita indah yang selama ini Clara dan Arga lukis berdua selama menjalani keras dunia pendidikan dokter. "Cukup, Ra! Kisah kalian sudah cukup sampai di sini!" Clara kembali mengingatk