Clara masuk ke dalam kamar mandi. Matanya memerah, kini tangisnya pecah. Tangannya menutup bibir yang tadi Arga curi cium darinya. Bibir yang dulu memang sering Arga nikmati, sering Arga kecup dan pagut dengan begitu liar sesaat sebelum mereka bercinta, ketika Arga sampai di apartemen dan sebelum pergi meninggalkan apartemen.
Tapi kini, Arga tidak lagi berhak atas dirinya, bibirnya dan tentu saja tubuhnya! Arga tidak lagi berhak apa-apa, mereka tidak ada hubungan lagi sekarang.Bayangan bagaimana Arga menangis sambil bersimpuh tadi terngiang di dalam pikiran Clara. Banyak kenangan indah yang memang Arga tanamkan dalam hidup Clara. Dulu ... dulu sekali sebelum kemudian kabar perjodohan dan pernikahan Arga dengan Indira berdengung dan memporak-porandakan semua harapan dan cita-cita indah yang selama ini Clara dan Arga lukis berdua selama menjalani keras dunia pendidikan dokter."Cukup, Ra! Kisah kalian sudah cukup sampai di sini!" Clara kembali mengingatkArga bisa lihat wajah dan mata Dicky memerah. Lelaki paruh baya itu nampak mengepalkan tangan. Sebagai lelaki, Arga tahu mertuanya itu tengah menahan amarah. Sekarang rasanya hati Arga benar-benar lega. Dia ikhlas kehilangan semua sahamnya setelah ini. Dia ikhlas dimusuhi orang tuanya karena masalah ini, apapun itu Arga sudah tidak peduli. Dia sudah terlanjur hancur, jadi sekalian saja! "Siapa lelaki itu?" Entah pada siapa Dicky bertanya, namun Arga inisiatif menjawab lebih dulu. "Masalah itu, tanyakan saja pada yang bersangkutan, Pa. Dia yang lebih tahu. Daripada nanti Arga yang ngomong malah jadi salah tuduh orang." Arga bersandar dengan begitu bantai di kursi. Padahal Arga sudah tahu betul siapa orang itu, siapa lelaki yang jadi pria idaman lain Indira, tetapi biarlah itu jadi urusan Indira dengan bapaknya. Indira menatap Arga dengan tatapan mata tajam, ia lantas menatap Dicky dengan tatapan tidak terima."Kenapa hanya aku yang di tanya? Dia
"Sekarang talak aku, Mas!" Titah Indira setelah mereka habiskan jam makan siang untuk membahas permasalahan rumah tangga Indira. Dicky mengusap wajahnya dengan tangan. Nampak ia masih begitu syok dan kecewa dengan apa yang terjadi. Semua yang dia sangka baik-baik saja, ternyata begitu rumit dan pelik."Indira Yustina Pramudita, saya talak kamu. Mulai sekarang kamu bukan istri saya lagi!" Jika ketika mengucap ijab qobul dulu Arga bisa dengan satu tarikan napas. Maka ketika mengucap kalimat barusan, Arga tidak bisa dengan satu tarikan. Tetapi setelah kalimat itu terucap dari bibirnya, entah mengapa hati Arga lega luar biasa. Rasanya seperti beban berat yang selama ini menghimpit luruh dan lepas seketika. Dicky menundukkan kepala, membiarkan air matanya jatuh berderai setelah kalimat itu ia dengar. Anak gadis kesayangannya. Anak gadis yang dia usahakan bisa mendapatkan partner hidup terbaik, ternyata harus berakhir seperti ini rumah tangganya? Tidak pernah
"Baik!" Arga kembali buka suara setelah mereka cukup lama terdiam dan hanyut dalam pikiran masing-masing. "Kalau memang itu yang kamu mau, Ra, akan aku lakukan dan turuti."Arga bangkit, sebuah tindakan yang membuat hati Clara lantas tenang dan jauh lebih baik. Dia hendak pergi keluar dari ruangan ini, bukan? "Tapi satu yang perlu kamu tahu dan ingat betul-betul, Ra, bahwa aku tidak akan pernah bisa bunuh cinta yang aku punya buat kamu! Sampai kapanpun!" Clara menahan diri untuk tidak menoleh menatap wajah itu. Dia tidak mau terjebak dalam sorot mata yang memohon belas kasihan. Clara tidak mau kembali masuk perangkap. "Kelak, suatu saat jika dia mengecewakanmu, menyakiti atau berhenti mencintaimu. Tolong, kembali padaku, Ra! Aku akan dengan senang hati menerimamu kembali bagaimanapun kondisimu, berapapun anakmu. Tolong ingat betul-betul ucapanku!"Arga melangkah keluar dari ruangan itu. Membuat Clara langsung menghela napas lega dan me
“Kau gila, In! Serius kau benar-benar gila!”Tangan Morgan mengepal, napasnya naik-turun. Ia benar-benar tidak menyangka wanita yang selama ini dia pikir juga merupakan korban dari lelaki berengsek macam Arga, ternyata bahkan lebih berengsek dari Arga itu sendiri.Di saat hari bahagia Morgan dan Clara sudah di depan mata, Indira malah membuat gara-gara dengan meminta cerai pada Arga! Lelaki yang Morgan tahu betul masih begitu berambisi pada calon istrinya.“Lantas maumu aku harus bagaimana? Berdiam diri terus?” ujar wanita itu balik bertanya.Morgan membelalak, rasanya ia ingin memukul wanita itu dengan tangannya sendiri secara langsung. Siapa memangnya yang menyuruh dia bertahan? Bukankah dulu dia sendiri yang bilang kalau dia memutuskan untuk masih tetap bersama Arga karena ingin membalas dendam atas apa yang sudah Arga lakukan kepadanya? Kenapa sekarang dia bertingkah seperti Morgan yang menyuruh dia bertahan menjadi istri Arga?
Jimmy melangkah dengan gusar keluar dari ruang praktik Indira. Ia benar-benar takut dan kecewa dengan apa yang sudah Indira lakukan. Memang sejak awal perjanjian, Indira akan membawa Jimmy untuk mengakui hubungan mereka semata-mata untuk memberi pelajaran pada Arga perihal perselingkuhan yang sudah Arga lakukan selama ini. Sebuah cara yang menurut Indira dulu akan sangat efektif untuk ‘menampar’ dan membuat Arga merasakan apa yang dulu Indira rasakan ketika dia berselingkuh. Hanya saja, Jimmy tidak menyangka bahwa hal tersebut akan secepat ini Indira lakukan! Bagaimana kalau papanya tidak terima Indira sudah berselingkuh dengan Jimmy? Jimmy tahu betul bahwa Arga adalah menantu kesayang pemilik rumah sakit. Fakta bahwa Arga sebenarnya sudah tahu semua hal perihal hubungan Jimmy dengan Indira membuat Jimmy risau dan takut arga akan melaporkan pada Dicky yang berimbas pada pendidikan Jimmy. “Dokter Jimmy?” Jimmy langsung mengangkat wajah begitu menden
Feni mengeram, "Ah kau itu!" Ia lantas memijit pelipisnya perlahan-lahan. "Ayolah, Ma! Dua jam aja, Ma! Modal masa depan ini." Kembali suara itu memohon. Membuat Feni lantas menghela napas panjang. "Baiklah!" Ujar Feni kemudian. "Untung pesen jasnya di tempat temen Mama. Yasudah nanti kabari lagi!"Tut! Feni menutus sambungan telepon, ia benar-benar dengan anak sulungnya. Selalu begitu, sejak dulu dia selalu membuat Feni pusing sakit kepala. Tapi di balik sikap yang selalu membuat Feni sakit kepala, Morgan terbukti mampu membuat dia bangga dengan segala kemandirian dan kesuksesan yang dicapai oleh anak itu. Feni hendak bangkit, ketika salah satu asistennya datang menemuinya dengan sedikit tergesa. "Maaf, Bu. Ada tamu."Mata Feni membulat. Tamu? Siapa memangnya yang sore-sore begini datang ke rumah? Hendak menemui siapa? "Cari siapa?" Tanya Feni yang masih begitu penasaran. Pasalnya dia tidak membuat janji
"Callista?"Benar dugaan Feni! Gadis ini datang lagi menemuinya! Untuk apa sih? Bisa Feni lihat Callista langsung berdiri, menyodorkan paper bag dengan brand kesayangan Feni. Brand yang varian scanted candles-nya selalu mampu membuat Feni rileks dan begitu tenang. "Maaf ganggu Tante, ini buat Tante."Feni memaksakan diri tersenyum, menerima paper bag yang isinya cukup berat. Apa ini? Scanted candles kesukaan Feni? Atau apa? "Kenapa pakai repot-repot sih, Ta? Duduk dulu." Nampak Feni mempersilahkan tamunya duduk, meletakkan paper bag itu tanpa membukanya lebih dulu walaupun dia begitu penasaran dengan isi dari paper bag yang Callista bawakan. "Nggak repot kok, Tan. Sekalian saja beli buat Callista sendiri tadi." Kembali gadis itu tersenyum. Feni menghela napas panjang, kira-kira angin apa yang membuat gadis itu lantas kemari? Hendak menyogok Feni agar membatalkan rencana pernikahan Morgan dangan Clara? Tidak! Feni tidak b
"Ngantuk? Capek banget, ya?"Clara yang hampir terlelap sontak terbangun ketika belaian lembut itu ia rasakan menyapa pipinya. Wajah itu begitu dekat, tersenyum manis menatap matanya. Clara menggeliat, menguap sebentar lalu mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan yang tadi dilemparkan kepadanya."Ikut aku fitting jas masih kuat, kan, Sayang? Udah ditunggu sama mama." Mohon Morgan sambil menyingkirkan anak rambut yang mengotori wajah cantik Clara. "Boleh. Kalau mama udah nunggu, lebih baik kita berangkat sekarang, Sayang." Clara bergegas memberesi tasnya. Jangan lupa paperbag pemberian Morgan yang sudah berganti isi. Morgan tersenyum, membantu Clara bangkit dan merebut paperbag itu dari tangan Clara. Di genggamnya tangan itu dengan satu tangan miliknya, lalu dibawanya melangkah keluar. "Bagaimana tadi di rumah sakit? Semua baik-baik saja, bukan?" Tanya Morgan sambil menatap wajah lelah itu dari tempatnya.