"A-aku ... aku pengen kita bicara empat mata setelah aku diizinkan dokter pulang nanti."
Arga menghela nafas panjang, kepalanya mendadak pening. Dari nada bicara dan rentetan kalimat yang sejak kali keluar dari mulut itu, Arga tahu betul Clara masih begitu kecewa dan marah kepadanya.
"Kabari kalau kamu sudah boleh pulang, Sayang. Aku jemput." rasanya Arga ingin lari ke tempat Clara saat ini juga, kalau saja rumah sakit tempat Clara dirawat bukan rumah sakit tempat banyak sejawat papanya dinas.
"Tidak perlu repot-repot, Ga. Aku masih harus urus mobil di bengkel. Akan aku kabari kalau aku sudah di apartemen."
Tut
Tanpa menunggu Arga menjawab, Clara sudah memutuskan sambungan telepon. Arga meletakan ponselnya, memijit pelipis dengan perlahan sambil menghela nafas panjang. Kira-kira apa yang hendak Clara bicarakan? Jangan bilang kalau dia hendak meninggalkan Arga, tidak! Tidak akan Arga biarkan.
"Kamu tidak akan pernah bisa kem
Clara menatap kemeja yang dia kenakan. Kemeja lengan panjang yang agak kebesaran itu berpadu dengan celana jeans warna biru tua. Untuk celananya pas, agak sempit malah di bagian paha, tapi untuk kemeja itu sedikit lebih besar. Entah mengapa, justru baju-baju ini memberi kesan mendalam di dalam hati Clara.Ia menatap wajahnya di cermin, perban itu masih menutupi pelipisnya. Membuat Clara sedikit risih dan terganggu dengan penampilannya sekarang. Apa komentar Morgan mengenai benda yang membuat penampilannya menjadi sedikit aneh.Ah! Kenapa jadi dia terlalu memperhatikan penampilan dan terlalu mengkhawatirkan apa pendapat dan pandangan Morgan terhadap penampilannya?Clara menghela nafas panjang, ada sesuatu dalam dirinya yang menekan perasaan itu kuat-kuat.'Kamu kotor, Ra! Kamu bukan wanita baik-baik. Laki-laki itu nampak laki-laki yang sangat baik dan kamu tidak pantas untuk dia!'Menyesal? Tentu Clara menyesal sudah terjerumus dalam hidup abu
Arga mendecih, "Lapor apa dia padamu?"Kembali Tissa tertawa, menepuk lengan Arga dengan sedikit keras. Ia nampak mendekatkan wajah ke arah Arga, membuat Arga sontak mundur menjauhi Tissa."Lapor? Tidak ada istilah lapor di antara para wanita, Ga. Kita hanya saling berbagi cerita dan support satu sama lain." desis Tissa lirih.Kini Arga membeku di tempatnya berdiri, sementara seringai tajam itu masih tergambar di wajah Tissa, nampak begitu menikmati raut wajah pias Arga."Kau tahu, Ga? Sesuatu yang nampak tidak berarti di matamu, bisa jadi dia begitu berarti di mata orang lain."Arga sontak tertawa, mengusap wajah dengan satu tangan. "Aku peduliku? Sudahlah, jangan terlalu suka mencampuri urusan rumah tangga orang, Tiss." Arga mencoba melawan, apa hak Tissa ikut campur?"Tidak, aku tidak bermaksud ikut campur, hanya saja aku memperingatkan mu, Ga. Jangan sampai penyesalan itu datang terlambat dan menghancurkan kamu perlahan
Arga mengeram, tangannya mengepal kuat. Nafas dokter jantung itu naik-turun. Bukan ... bukan karena menahan gairah, tetapi karena menahan amarah. Kalau saja yang duduk di depannya ini bukan perempuan, Arga sudah meraih kerah kemeja lalu memukulinya sampai babak belur. Namun sekali lagi, sayangnya dia perempuan, lebih parahnya lagi, dia menyandang status sebagai isteri Arga! Pasalnya akan cukup berat kalau sampai Arga nekat memukuli Indira saat ini juga. Oh ya, jangan lupakan satu hal, rumah sakit ini milik bapaknya, tentu Arga makin tidak bisa berbuat apa-apa."Aku tengah mencari tahu siapa sebenarnya wanita itu, Ga. Dan kau tahu apa yang akan kulakukan padanya?" suara Indira terdengar begitu mengancam, membuat Arga makin terbakar emosi."Aku sudah peringatkan kepadamu, bahwa jangan pernah menyentuhnya, In!""Sayangnya aku begitu ingin melakukan itu, Sayang!" Indira melipat tangannya di dada, kini dia sadar bahwa dia sebenarnya punya kekuatan yang ti
"APA?" Clara berteriak, sedetik kemudian ia tersadar dan refleks menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Matanya menatap Rudi yang nampak nyengir lebar, sudut matanya menatap Morgan yang sejak tadi serius mengobrol bersama admin bengkel itu sontak menatapnya dengan alis berkerut."Kenapa, Ra? Ada masalah?" tanya Morgan begitu penasaran."Ah ... ti-tidak, tidak apa-apa." Clara nyengir lebar, sungguh bukan salahnya kalau dia sampai berteriak histeris macam tadi.Morgan mengangguk, kembali serius membicarakan sesuatu bersama laki-laki itu. Clara menoleh menatap Rudi yang juga menatapnya sambil menahan tawa."Jadi Ferrari itu mobil Morgan? Yang dipakai buat tabrakan sama aku?" tanya Clara yang berharap bahwa mobil itu bukan mobil Morgan."Iya, itu mobilnya pak Bos, Mbak." jawab Rudi padat, singkat dan jelas.Clara kembali melongo, mobil Morgan sekelas Ferrari dan dengan begitu sombong kemarin Clara menawarkan h
Sedan mewah itu berhenti di area parkir basement apartemen yang Clara tempati, sebuah unit apartemen yang berada di barat kota, sedikit terpinggir memang, tetapi dekat dengan beberapa obyek wisata tersohor.Morgan melepaskan seat belt, menoleh ke arah Clara yang masih bengong di tempatnya duduk. Dia tahu apa yang ada di dalam pikiran wanita itu, pasti dia khawatir dan takut kekasihnya tahu jika Morgan mengantarkan dia pulang, bukan?"Ra, kita sampai. Unitmu di lantai berapa?"Clara tersentak, ia menoleh dan membalas tatapan Morgan. Tersenyum kikuk lantas melepaskan seat belt yang dia kenakan."Lantai tiga," jawab Clara ragu-ragu. "Kamu beneran mau mampir?"Tawa Morgan pecah, ia terbahak sejenak lantas menggeleng perlahan. "Kamu beneran takut banget ya kalau pacar kamu tiba-tiba datang dan aku ada di apartemen mu?""Bu-bukan begitu!" Clara sontak menggeleng, tampak Clara menghela nafas panjang, menatap lurus ke depan. "Seben
"Karena kamu terlalu mengedepankan egomu, Ga. Kamu terlalu memikirkan kepentinganmu sampai tega mengorbankan diriku, merenggut kebebasanku."Sunyi.Arga mengepalkan tangan, menghirup udara sebanyak-banyaknya guna memastikan suplai oksigen ke otaknya tercukupi. Terlalu egois? Begitu yang hendak Clara katakan? Tapi Arga melakukan itu karena dia tidak ingin sampai kehilangan Clara. Karena Arga begitu mencintai Clara!"Tunggu aku di apartemen, kita bicarakan dan perjelas semua!"Tut!Kini Arga yang lebih dulu mematikan sambungan telepon itu. Meletakkan ponsel mahalnya dengan gusar. Ia mencengkeram pelipisnya dengan sedikit kuat, kenapa semuanya jadi seperti ini?Arga meraih kembali ponsel itu, bangkit dan bergegas melangkah keluar dari ruang prakteknya. Baru sampai di depan ruangan itu, insting Arga merasakan bahwa ada yang tengah mengawasi dirinya. Arga menoleh dan menatap ke sekitar. Sepi, hanya ada beberapa perawat tampak te
Clara dirundung ragu, ia berpikir sejenak sebelum mengangkat panggilan itu. Kenapa dia makin lama makin tidak pantas untuk laki-laki ini? Tapi apakah benar perasaan yang dia miliki ini cinta? Dia jatuh cinta pada Morgan? Secepat itu?Ah! Clara menepis semua perasaan tidak menentu yang dia rasakan ini, dengan mantab dia mengangkat panggilan dari laki-laki itu."Hallo?" Clara berusaha mengenyahkan isaknya yang keluar efek perdebatan yang terjadi antara dia dan Arga tadi."Bisa keluar, Ra? Aku di depan pintu apartemen mu."Mata Clara sontak membelalak, ia sampai melonjak dari posisi santainya karena kaget. Mulutnya ternganga, Morgan ada di depan pintu apartemennya? Dengan secepat kilat Clara bangkit, menerjang pintu kamarnya sampat terantuk sudut mini bar yang ada di depan pintu kamar."Aduh!" Clara menggaduh, hanya sebentar karena ia kemudian fokus berlari menuju pintu.Begitu sampai di depan pintu, Clara menghela nafas
Indira melangkah turun dari mobil, ia sudah berencana hendak berendam dengan air hangat barang setengah jam sebelum kemudian makan malam dan bergegas tidur. Indira baru saja melangkah barang dua langkah, ketika suara itu memaksa Indira berbalik dan melihat ke arah suara.Kening Indira berkerut, dia tidak salah lihat, bukan? Itu mobil Arga! Sejak kapan Arga pulang dinas langsung pulang ke rumah? Bukankah biasanya ....Indira tersenyum sinis, dia tahu apa sebabnya! Rupanya rasa cinta Arga pada gundiknya itu tidak lebih besar dari rasa cinta Arga pada saham dan kekayaan. Mudah ternyata mengalahkan laki-laki angkuh itu, Indira bahkan sampai tidak bisa mengenalinya."Tumben langsung pulang?" sindir Indira ketika sosok itu melewatinya.Langkah Arga terhenti, dia menoleh dan menatap Indria dengan tajam. "Ini yang kamu mau, kan? Menyiksaku seperti ini? Jadi diamlah dan nikmati kemenanganmu!"Arga melepaskan snelli-nya, melangkah mel