Morgan mematikan mesin Pista kesayangannya, menatap Clara yang bergegas melepas seat belt. Clara hendak turun ketika kemudian Morgan mencekal tangan Clara, membuat Clara sontak menoleh dan menatap Morgan dengan seksama.
"Kenapa?" tanya Clara sambil mengerutkan kening.
"Yakin mau turun?" sungguh Morgan tidak tenang jika membawa Clara ke dalam sana, bukan apa-apa, di matanya Clara perempuan baik-baik, tidak pantas berada di sana.
"Tentu!" Clara tertawa, "Ayolah, jangan khawatir seperti itu, bukankah kita pergi berdua?" Clara kembali hendak turun, namun tangan Morgan kembali menarik Clara duduk di jok mobil.
"Bisa minum memang?" tujuan Morgan tentu hendak minum, dia sudah request beberapa wine dan whiskey pada Armando, jadi sia-sia, kan, kalau dia tidak bisa minum hanya karena sibuk menjaga Clara?
"Kalau itu, kamu yang tahu jawabannya, Gan." Clara tersenyum, melepaskan tangan Morgan dari tangannya.
Morgan mel
"Mau turun?" tawar Morgan yang tahu betul Clara sedikit perlu adaptasi dengan tempat barunya ini."APA?" wanita itu menoleh, setengah berteriak kepadanya, membuat Morgan lantas mendekatkan wajah.Wajah mereka begitu dekat, sangat dekat bahkan Clara bisa merasakan hembusan nafas laki-laki itu. Morgan tersenyum, mendekatkan bibirnya ke telinga Clara dan bergumam sedikit keras."MAU TURUN?"Clara sontak menggeleng cepat, balas mendekatkan wajahnya dan balik berteriak."NGGAK MAU!"Tawa Morgan pecah, mereka tampak terkekeh bersama hingga kemudian sosok dengan rambut agak kecokelatan itu mendekat ke meja mereka."Gue pikir lu nggak dateng, Man!" laki-laki itu langsung memberi salam hangat kepada Morgan, tangannya menjabat tangan Morgan dan saling menimpuk satu sama lain."Gila! Keren banget sumpah!" Morgan geleng-geleng kepala sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Gue bakal rekomendasiin ni
"RA, STOP!" Morgan mencekal tangan itu, Clara sudah cukup banyak minum di percobaannya yang pertama, dan itu tidak bagus.Tampak mata sayu dengan wajah memerah itu menatap Morgan sambil tersenyum, membuat Morgan sontak sakit kepala seketika. Morgan baru tidak banyak minum malam ini, ada Clara yang harus dia jaga, sedangkan wanita itu malah ... ah! Morgan meletakkan kembali gelas itu, bangkit lalu menarik tangan Clara dengan kasar."SAKIT!" Clara mengibaskan tangan Morgan, menatap tak suka pada Morgan yang melotot berdiri di hadapannya.Tanpa banyak bicara, Morgan kembali memaksa CLara bangun, dia harus segera dibawa pulang. Ini sudah diluar kendali. Tubuh itu akhirnya pasrah dengan tarikan Morgan, dua tangan Morgan mencengkeram bahu Clara, mendorongnya melesat keluar."ET, LU MAU KEMANA?"Morgan mendengus, ia tidak menjawab pertanyaan yang meluncur dari mulut Radit. Satu tangan Morgan menjabat tangan Radit, lantas kembali mendorong tubuh Clara kelu
“RA ... CLARA!” Arga berteriak sekencang-kencangnya, tubuh itu sudah ambruk dengan darah mengucur.Arga benar-benar panik, dia sampai kehilangan semua kemampuannya sebagai seorang dokter. Otaknya blank, semua pengetahuannya mendadak lenyap. Arga merengkuh tubuh itu, pisau kecil masih tertancap di dada Clara.Arga tidak bisa sembarangan mencabut pisau itu dari dada Clara meskipun dia sendiri adalah seorang dokter. Mencabut pisau itu dari dada Clara itu malah akan membahayakan nyawa Clara kalau tidak dilakukan dengan prosedur yang tepat. Sejawat bedah yang berkompeten untuk mencabut pisau itu dari sana.“Sayang ... please! Tetap sadar, ya? Jangan kemana-mana, Ra. Kumohon!” desis Arga sambil menciumi puncak kepala Clara.Persetan dengan orang-orang yang mengerumuni mereka, persetan dengan mertuanya, Arga tidak peduli. Yang dia pedulikan sekarang adalah Clara. Bukan siapa pun lagi.“A-aku le-lelah, Ga.” Clara mengery
"TTIIIDAAAKK!"Arga tersentak, nafasnya tersenggal dengan keringat dingin mengucur membasahi tubuh. Dia melihat ke sekeliling, sebuah pemandangan yang sontak membuat Arga menghela nafas lega.Ini kamar tidur Indira di rumah sang ayah, bukan depan OK IGD seperti yang tadi dia lihat. Itu artinya semua hal buruk yang Arga alami dan lihat tadi hanyalah mimpi belaka.Arga mengelus dadanya berkali-kali, lantas menyadari bahwa Indira tidak ada di sisinya. Kemana isterinya itu pergi? Arga dengan kesadaran penuh lantas bangkit dari ranjang, memunguti pakaian miliknya yang berserakan dan membawanya masuk ke dalam kamar mandi.Diletakkan baju-baju itu di wastafel, lantas ditatapnya bayangan wajah yang dipantulkan oleh cermin."Mimpi yang benar-benar menyeramkan!" Arga masih menatap bayangan dirinya, sambil mencoba mengenyahkan visual darah dan pisau yang tadi dia temui dalam tidur.Clara tidak akan sebodoh itu, bukan? Lagipula apa kurang Arga kep
Clara mengerjapkan matanya, ia merasakan dada bidang itu memeluk tubuhnya dengan begitu hangat. Ia menggeliat, dapat ia rasakan bahwa tubuhnya sama sekali tidak terbungkus apapun kecuali selimut dan tubuh hangat itu.Clara mencoba membuka mata ketika kemudian ia terkejut setengah mati. Ini bukan aroma tubuh dan parfum Arga! Clara membuka matanya, terkejut setengah mati mendapati dirinya berada dalam dekapan Morgan dalam kondisi tanpa busana.Clara sontak bangkit, menyingkirkan lengan kokoh yang memeluk tubuhnya itu. Wajah itu tampak begitu pulas dalam tidurnya, membuat Clara tercengang dan masih belum percaya dengan apa yang dia hadapi sekarang."Nggak ... nggak mungkin!" dua tangan Clara menutup mulut, ia tampak sangat syok. "Nggak mungkin kan semalam ...," Clara tidak melanjutkan kalimatnya, dengan sisa keberanian yang dia miliki, Clara membuka selimut yang menutupi mereka.Semuanya jelas sekarang! Sangat jelas dan sangat memukul Clara dengan begitu lua
Morgan terengah hebat, peluhnya bercucuran. Dengan perlahan dan sangat lembut, ia menarik diri dari sana. Membiarkan cairan putih itu meleleh keluar dari inti tubuh Clara. Clara sendiri pun sama tidak berdayanya, tubuhnya lemas seketika dengan peluh membasahi tubuh."Jangan pulang, Ra. Tetaplah di sini!" desis Morgan dengan nafas terengah.Clara membuka mata, mata itu nampak begitu sayu, namun lebih hidup dari mata Clara beberapa hari kemarin. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis."Aku harus berangkat ke rumah sakit, Gan. Bisa ngamuk konsulenku kalau aku mangkir lagi." sebenarnya kalau boleh jujur, Clara ingin libur lagi barang sehari. Tenaganya terkuras hebat, persendiannya seperti lepas semua. Tapi sekali lagi, tekadnya menjadi seorang spesialis membuat Clara bertekad hari ini dia harus tetap masuk."Setelah dari rumah sakit kamu pulang ke sini, kan? Tenang ini rumah aku pribadi. Nggak ada siapapun di sini kecuali asisten aku sam
"Makan siang aku jemput!"Clara yang hendak bersiap turun itu sontak melotot. Apa tadi Morgan bilang? Dia hendak menjemput dirinya untuk makan siang? Di rumah sakit? Yang benar saja!"Gan ... ta-tapi ... aku-.""Aku jemput nanti, jangan banyak membantah!" Morgan menarik kepala Clara dengan lembut, menjatuhkan kecupan di dahi Clara, lantas turun meraup bibir merona Clara yang begitu menggoda.Clara membeku, hanya sepersekian detik, karena di detik selanjutnya, ia membalas dengan lembut pagutan bibir itu. Kenapa setiap sentuhan dan buaian laki-laki ini begitu memabukkan? Sangat berbeda dengan Arga!Morgan melepaskan pagutan bibir mereka, menatap dalam-dalam mata itu dari jarak yang begitu dekat."Tolong jangan terlalu lama menyiksaku, Ra! Aku tidak sanggup jika harus membagimu dengan laki-laki itu." bisik Morgan begitu lirih.Clara terpaku. Mata itu ... kenapa mata itu begitu menghipnotisnya? Clara mengangg
Morgan bergegas turun dari mobilnya ketika melihat sosok itu melangkah masuk ke dalam gedung rumah sakit. Kaca mata hitam sudah bertengger di telinganya, ia tentu tidak ingin Clara melihat keberadaannya. Dengan langkah tergesa, Morgan mengejar langkah Indira. Berhenti di belakang wanita itu ketika ia hendak meraih knop pintu."Dokter Indira." sapa Morgan dengan halus dan lirih.Indira menoleh, tersenyum dan mengangguk lantas membuka pintu lebar-lebar. "Silahkan masuk, Bro!"Bro. Itu adalah panggilan akrab Indira setelah mereka sepakat bersekongkol untuk misi penting yang beberapa waktu lalu mereka bahas bersama. Panggilan yang sepertinya hanya berlaku kalau mereka tatap muka karena ketika di Wh*tsApp, Morgan begitu formal sekali. Morgan segera melesat ke dalam, banyak sekali hal yang perlu mereka bicarakan berdua. Tentu saja perihal Clara dan Arga."Jadi apa yang membuatmu ingin segera menyerang, Bro?" Indira duduk, menyimak dengan serius maks