Lupain sejenak tentang ketegangan sebelumnya, mari kita tutup dengan yang manis2 dulu biar boboknya nyenyak.. 🥰🥰🥰
Elvan mendatangi Hartono di ruang kerjanya, wajah pria paruh baya itu tidak terlihat cerah, namun tidak juga tidak terlihat mendung. Saat melihat sosok Elvan masuk, pria itu menatap dengan dingin ke arah cucunya itu. “Penjelasan apa yang ingin kamu sampaikan dengan Kakek karena insiden kemarin?” Elvan sudah menebak kenapa pria itu mencarinya. Walaupun hal itu sudah dia atasi, tetap saja, masalah kemarin sudah menyinggung ke arah keluarga mereka, pasti ini akan menjadi perhatian Hartono. “Seperti yang kakek sudah ketahui sendiri, begitulah keadaannya, aku harus menjelaskan apa lagi?” Elvan lalu duduk di kursi yang berseberangan dengan Hartono. Pria itu masih melihat ke arah Elvan dengan tatapan tajam. “Sebenarnya, kenapa kamu tidak bisa menahan diri? Sudah Kakek katakan berkali-kali jangan pernah terlibat masalah apapun, tapi kemarin, kamu malah memukul habis-habisan anak Darmawan itu?” Elvan tidak langsung menjawab, dirinya hanya menyeringai singkat. “Menurut kakek saat seseoran
“Katakan kalau kita sedang tidak bermimpi!” Rey berkata pada kedua rekannya sesaat setelah Elvan keluar dari ruangan itu. “Tidak Rey, ini nyata.” Winda berkata dengan antusias sambil merogoh ponselnya dan mengambil gambar. “Sini, Div, kita foto bareng! Kapan lagi kesempatan makan di ruangan bos kita! Temen-temen pasti pada ngiri entar.” Winda tak hentinya mengambil foto dirinya sendiri sambil menikmati makanan mereka. Diva hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja dan berkata, “Ya kapan lagi juga kalian menumbalkanku untuk selalu duluan menghadapi Pak Bos, kan?” Mendengar Diva mengatakan hal itu membuat Winda dan Rey menjadi tersenyum tidak enak hati. “Itu … tapi adik bungsu, kamu 'kan tunangan halunya Pak Bos, jadi gak apa-apalah. Ini juga demi keselamatan dan kemaslahatan kita bersama. Lagian sepertinya Pak Bos juga tidak terlalu gimana-gimana juga kan sama kamu.” Winda berkata dengan wajah cengengesan. “Ish! Kalian ini, ngomongin aku tunangan halu, enak aja!” Diva ingin protes
Suasana tiba-tiba menjadi hening dan terasa suram untuk mereka. Diva menjawab ucapan Elvan, “Ba … ik Pak.” Setelah itu, mereka langsung keluar dengan cepat. “Tuh, kan Div, kamu bikin masalah sih,” ucap Winda saat mereka berada di luar ruangan sambil berbisik. “Diva ... Diva, udah dibilangin juga jangan berlaku tidak sopan. Kali ini kamu pasti kena ceramah panjang lebar di dalam nanti.” Rey ikut menambahkan, wajahnya juga mengisyaratkan kekhawatiran untuk Diva. “Iya, iya, mau bagaimana lagi. Eh, kalian tunggu aku dong, aku mau bungkus makanannya dulu sama Mbak Dania.” Alih-alih merasa takut, Diva malah memberikan respon yang cukup membuat keduanya terkejut. “Kamu gak ngerasa kalau Pak Elvan itu mau ceramahin kamu masalah makanan itu?” Winda berkata sambil mengerutkan keningnya dalam. Hal ini membuat Diva sedikit cemberut. “Masa sih? Tadi kupikir Pak Elvan biasa aja ngomongnya. Apa dia terlihat semenyeramkan itu?” "Diva ...." Rey ingin berteriak geram karena Diva sangat santai se
Setelah kembali dari Tekno In Tower, mood Marissa menjadi sedikit kacau. Hatinya menjadi tidak tenang kala melihat secara langsung ternyata Diva bekerja di L Tekno. Tidak hanya sampai disitu saja, Diva sudah sangat berani mengancamnya! Itu yang membuatnya makin kesal dan tidak bisa menahan rasa marahnya. Marissa mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, sedangkan sebelah tangannya memijat keningnya yang penuh dengan pikiran tentang Elvan. Dia sekarang sedang memikirkan rencana yang akan dia buat untuk mendapatkan Elvan kembali. Tok Tok Tok …. Suara pintu terdengar diketuk dari luar ruangannya. “Masuk!” Marisa berkata dengan sedikit ketus karena bawaan kesalnya itu. “Bu, ini data yang Ibu minta untuk diberikan ke Pak Elvan. Kami sudah merangkumnya sesuai dengan permintaan ibu, waktu itu.” Wanita dengan kacamata tebal masuk ke ruangan Marissa dengan membawa sebuah dokumen di tangannya dan juga sebuah flash disk. “Baiklah, letakkan saja di sana. Terus, apa kamu sudah memastikan mere
Dania keluar dari ruangan Elvan, setelah itu Elvan langsung melihat ke arah Diva dan mengatakan, "Kamu ... mencari alasan untuk bersamaku ternyata." Diva menatapnya tajam. " Apa kamu tahu istilah pasangan adalah cerminan dirimu? Sepertinya aku sedang merefleksikan apa yang kamu contohkan padaku." Diva berkata santai sambil bersedekap. Elvan menganggukkan kepalanya dan tersenyum sekilas. "Ternyata kamu belajar dengan cepat, Sayang!" Ucapan itu sontak membuat jantung Diva berdebar. Elvan kembali memanggilnya Sayang dengan suara yang terdengar sangat lembut mengetuk gendang telinganya. Untuk menghilangkan kegugupan itu Diva dengan cepat mengalihkan hal lain, beberapa kali dia berdehem, Elvan menarik sebelah bibirnya melihat tingkah konyol Diva ini. Tidak ingin terus dilihat oleh Elvan seperti itu Diva dengan cepat berkata. “Kamu mau suruh aku makan tapi kamu sendiri melewatkan makan siangmu? Apa kamu lupa tadi kamu sudah berbaik hati mentraktir kami?” Elvan diam sejenak dan mengeru
Mendapatkan perlakuan barusan dari Diva membuat Elvan mengerjapkan matanya beberapa kali, dia tidak percaya kalau Diva bisa-bisanya bertindak seperti barusan. “Hei, Van, kamu kenapa?” Diva melambaikan sebelah tangannya di depan wajah Elvan, dia heran karena tiba-tiba saja pria itu melihatnya dengan tatapan kosong. “Kamu memikirkan apa sekarang?” tanya Diva lagi. Seolah tersadar akan sesuatu, Elvan tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu mulai berani padaku, ya?” Diva tidak menjawab, Dia mengambil tangan Elvan dan menyerahkan kotak makanan itu padanya. “Ini makan yang banyak! Biar tetap kuat! haha!” Diva berkata disambung dengan kekehan ringan setelahnya. Elvan mengambil kotak makanan itu dan juga sumpit yang diberikan oleh Diva, sementara wanita itu sedang sibuk dengan kuah ramen yang ingin dibukanya. “Kuahnya ini langsung digabung atau di ….” Diva tidak meneruskan kalimatnya, karena disana sudah terdapat mangkok kosong baru yang juga diletakkan oleh Dania di atas m
Elvan benar-benar dibuat takjub oleh Diva. Rasa sakitnya hilang seketika saat melihat mata karamel yang menyipit karena lengkungan senyum lebarnya.“Jadi ini aku boleh buka, kan?” Diva menunjuk ke arah ponsel Elvan yang ada di atas meja. “Aku bukan orang yang akan menarik kata-kataku. Lakukan saja.” Elvan kemudian melanjutkan makannya sambil sesekali melirik ke arah kekasihnya itu.Diva mengambil ponsel itu dan membukanya. Diva terkejut karena gambar yang muncul saat dia membuka ponsel milik Elvan adalah tampak belakang dari foto dirinya yang sedang memanah. “Kamu … kenapa ini ….” Diva merasakan sebuah kebahagian baru lagi melihat gambarnya di ponsel Elvan. “Fokus sama tujuan kamu dulu, Diva.” Elvan memperingatkannya. Diva lalu mengerucutkan bibirnya dan membuka pesan dari Marissa. “El, aku ingin bicara padamu tentang urusan pekerjaan. Tolong angkat teleponmu. Urusan pribadi antara kamu dan aku lebih baik dikesampingkan terlebih dahulu, ini menyangkut Lux Tech Group.” Diva selesa
Penjelasan Diva membuat Elvan tetap mengerutkan keningnya, dia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh wanita ini kecuali bagian membandingkan dirinya dengan orang lain. “Ucapanmu ini apa sedang … memujiku?” Diva tertawa melihat kebingungan yang muncul di raut wajah kekasihnya itu. Dia lalu berdiri dari tempatnya dan mengajak Elvan bangkit dari posisinya. “Sudah selesai makannya, aku naik ke atas dulu.” Diva mengalihkan fokus pembicaraan mereka. “Tunggu dulu, kamu belum menjelaskannya, aku tidak mengerti–” “Intinya aku makin menyukaimu.” Diva menangkupkan tangannya ke kedua pipi Elvan. “Aku ke atas dulu. Jangan lupa pulang nanti tunggu aku di halte seberang setelah kerjaanku selesai.” Setelah mengatakan hal itu Diva membalikkan badannya dan ingin berjalan ke luar tetapi sayangnya Elvan tidak mungkin melepaskannya begitu saja. Pria itu menahan tangan Diva dan memaksa wanita itu menghentikan langkahnya. “Kenapa Van?” tanya Diva, dia khawatir kalau terlalu lama bersama dengan Elvan