Diva merasa bahwa Elvan benar-benar sudah melakukan banyak hal untuknya, mulai dari hal kecil sampai hal yang tidak terduga. Bahkan saat ini tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk keluarganya. Genggaman tangan Elvan juga membuat Diva merasa kalau saat ini dia sangat dilindungi. “Van, terima kasih.” Suara Diva terdengar rendah. “Tidak perlu sungkan, aku sangat bisa diandalkan, kamu tenang saja, Hehm?” “Aku … tidak tahu apa yang harus aku katakan lagi, aku tidak menyangka kalau Ratri setidaknya bisa mendapatkan keadilan.” Diva memandang lurus ke depan, menghela napas berat. “Ratri itu, anak yang baik, dia dulu pernah mengikuti ajang kecantikan setelah tamat sekolah menengah. Saat itu aku menganggapnya sangat beruntung, karena selain dia dianugerahi tubuh yang bagus, wajah yang cantik dan juga kecerdasan yang ada di atas rata-rata dia juga mewakili negara dalam ajang kecantikan tersebut. Walaupun dia tidak membawa predikat juara, setidaknya dia merupakan runner up ketiga di acara
Elvan mendapatkan tatapan tajam dari Diva. Wanita ini sangat kesal karena Elvan dengan sangat mudah mengatakan hal seperti ini. Nada yang tidak serius dan terdengar main-main ini membuat Diva merasa kalau dia seperti sedang mempermainkan ucapan sakral itu. “Van, bisa tidak bicara yang seperti ini di kondisi yang tepat dan jangan dengan bercanda.” Diva berkata dengan nada datar dan serius. Elvan diam, dia sadar sepertinya ucapannya barusan membuat wanita ini marah. “Maaf, tapi aku juga sebenarnya tidak sedang bercanda.” Elvan memang benar, ucapannya memang tidak bercanda, dia saat ini sedang mengeluarkan apa yang menjadi keinginannya. Akan tetapi, seperti yang dikatakan Diva, mungkin waktunya kurang tepat dan suasananya juga tidak mendukung. Ingat dengan tujuan awalnya dia mengajak Diva, Elvan segera mengesampingkan urusan pribadinya terhadap Diva. “Diva sebenarnya aku ingin membahas hal yang serius denganmu.” Elvan berkata dengan suaranya yang memang terdengar sungguh-sungguh ka
Jelas sekali rasa bahagia itu menyelimuti hati Diva, siapapun tidak mungkin, tidak makin luluh dengan perlakuan Elvan. Dia memang masih sedikit meragukan tentang ketulusan Elvan, tetapi saat seperti ini apa mungkin pria ini hanya mendekatinya karena rasa penasaran saja? Bahkan sepertinya banyak waktu yang dikerahkan oleh Elvan hanya untuk membuatnya bahagia.Namun, tiba-tiba saja Diva sadar akan satu hal dan langsung bertanya, “Kamu … bisa dapat rekam medis ini dari mana? Ini rahasia dan kamu juga bukan keluarga, harusnya kamu tidak bisa ….” Ingat kalau Elvan bukan orang biasa Diva kemudian menghela napas dan menepuk keningnya. “Aku lupa kalau kalian bisa melakukannya.” Ucapan Diva barusan membuat Elvan merasa bersalah. “Sudah kukatakan tadi padamu beberapa kali kalau aku bersalah dan aku minta maaf.” Elvan berkata dengan nada rendah. Hal ini membuat hati Dova merasa tidak tenang saat mendengat ucapan Elvan barusan. Segera Diva menetralisirnya dengan berkata, "Tidak masalah kalau i
“Aku kenapa? Aku mengatakan hal yang serius, Apa kamu tahu kalau kamu luar biasa?” Diva berkata dengan menyipitkan matanya melihat ke arah pria itu. “Roro Jonggrang kamu bilang?” Elvan mengulang ucapan Diva. Diva mengangguk cepat, “Ya tentu saja! Apa kamu baru tahu istilah hits satu ini?” Elvan tidak menjawab dia hanya menaikkan sebelah alisnya sebagai syarat kalau dia ingin tahu ceritanya. “Ini istilah kalo bos nyuruh hal yang mustahil untuk dikerjakan dalam waktu singkat, jadi kami sering mengatakan hal seperti ini. Sudah jangan terlalu memikirkannya, kamu juga tidak akan mengerti bagaimana rasanya menjadi karyawan biasa dan mengerjakan sesuatu yang besar dalam waktu mepet tetapi masib dituntut untuk tetap sempurna." Diva menjelaskan istilah itu pada Elvan. Elvan mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi Diva tahu dia tampak memikirkan sesuatu. “Kamu melamun? Mikirin apa lagi?” tanya Diva padanya. “Aku sedang memikirkan hubungannya, tapi menurutku istilahmu ini kurang tepat, kar
Rasa bahagia jelas menyelimuti Diva saat ini. Akhirnya, dia merasakan istilah yang sering dikatakan oleh teman-teman kantornya dulu. 'Ternyata menyenangkan sekali dimanjakan seperti ini,' gumam Diva dalam hati.Diva tidak bisa untuk tidak membandingkan Elvan. Walaupun sebelumnya tadi, dia sudah berjanji untuk tidak melakukannya, tetap saja pikiran itu muncul tanpa permisi. Dulu, dia hanya sebagai pasangan yang disembunyikan, jadi harus banyak bersabar dan menahan hati. Sekarang walaupun hubungan mereka sama-sama tersembunyi, yang membedakannya adalah perlakuan pasangannya.Elvan pria ini benar-benar tidak bisa untuk tidak jatuh hati dengannya.Sadar dari pikiranya, Diva membantu Elvan meletakkan barang-barang itu di bagasi mobil."Kantong ini punyaku, aku letak di depan saja apa gak masalah?" tanya Diva."Kenapa mesti izin? Lakukan saja," jawab Elvan."Tetap saja, gak enak kalo gak ngomong dulu." Ucapan Diva barusan mengundang Elvan untuk menggoda wanitanya."Ya, kamu benar juga, apa
Elvan diam sejenak saat menerima panggilan telepon tersebut, apalagi dari ucapan yang barusan dilontarkan oleh si penelpon. Dia sudah menangkap dengan jelas, arah dari pembicaraan ini nantinya berujung kemana.“Katakan saja melalui telepon, Mario, aku masih banyak urusan yang mesti kuselesaikan. Kamu mau mengatakan apa?” Elvan malas untuk bertemu dengannya, karena maksudnya sudah sangat jelas terbaca.“Ini tentang Anggala, teman kita,” ucapnya dengan suara rendah. Benar saja, sudah tertebak sebelumnya, Elvan menyeringai singkat menanggapinya. “Kenapa dengannya? Kenapa kamu jadi mengurusi hidup Anggala? Dia bukan anak kecil lagi yang masalahnya harus diurus oleh orang lain.” Elvan menjawab dengan tenang, tetapi kalimat itu terdengar cukup pedas. “Tapi El, menurutku tindakanmu padanya sangat kejam. Kamu tahu sendiri Anggala itu perjuangannya dalam meniti kariernya tidak main-main dan dia bekerja mati-matian untuk sampai ke titik itu. Lalu, semuanya hancur dalam waktu satu malam saja.
Diva mengetuk pintu dari luar lalu, Prisya muncul dari dalam membukakan pintunya. “Eh, kalian semua belum pada makan malam, kan?” Diva langsung berkata santai saat melihat Prisya muncul di balik pintu itu. Prisya melihat ke luar, mobil mewah masih berhenti di depan rumah, lalu setelahnya langsung kembali jalan.Prisya tersenyum sekilas. ‘Diantar Pak Elvan ternyata,’ gumam Prisya dalam hati. Namun, Prisya tidak ingin bertanya pada Diva, sudah pasti dia akan berbohong menutupinya.“Belum, Ibu baru mau rencana masak di dapur.” Prisya menjawab santai. “Eh, ini kakak bawa apa?” tanya Prisya antusias, karena dari dalam kantong bawaan Diva menyeruak bau yang sangat lezat.“Seafood di depan komplek nih!” Diva mengangkat kantong bawaannya ke atas, memamerkannya di depan Prisya.“Wah aku mau makan secepatnya!” Prisya lalu mengambil kantong itu dan segera membawanya ke dapur, Diva hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja melihat tingkah Prisya itu.“Hallo Danish! kamu main sama kakek, ya?” sap
Lukman kembali mengernyitkan keningnya heran. "Maksud kamu gimana, Nak?" tanya Lukman. “Tunggu sebentar, Ibu letak Danish ke kamar dulu.” Indah berkata pada Diva. “Baik, Bu.” Diva menjawab. Selagi menunggu Ibunya, Lukman melihat ke arah Diva dengan tatapan cukup dalam. “Kamu mau pindahin Ratri apa sudah menemukan tempat yang bagus? Kamu kan sudah tahu, keadaan adikmu itu seperti apa dan juga ....” tanya pria itu dengan nada khawatir. Diva hanya tersenyum mendengar nada kekhawatiran pada ayahnya itu. Belum sempat menjawab Indah sudah kembali datang. “Betul seperti yang ayah kamu bilang Div, sebenarnya kita ini masih terkendala di biaya, kalau menyerahkan masalah ini padamu, rasa-rasanya kurang pantas.” Indah berkata dengan suara bijak, sembari melihat ke arah suaminya. “Benar Diva, selain itu, Nak, kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri juga. Nanti kamu ke depannya bagaimana? Uang yang kamu peroleh, lebih baik kamu kumpulkan saja. Berhemat, Nak, keperluanmu masih banyak.” Luk