Diva mendapati hal tersebut langsung terdiam, tatapan Hartono seolah ingin menguliti Diva hidup-hidup. Jelas Hartono mempertanyakan hubungan macam apa yang terjadi diantara mereka. ‘Diva! Bodoh sekali, kenapa kamu tidak memberi nama yang semestinya, sih?!’ “Apa maksudnya?” Hartono sangat penasaran. Diva terlihat memucat, tetapi detik berikutnya dia tersenyum melihat ke arah Hartono dengan senyuman yang sangat mengembang. “Itu … Kakek, kupikir keromantisan kami tidak perlu dijelaskan ke orang lain.” Diva berkata dengan sedikit hati-hati. Hartono hanya diam melihat Diva tanpa ekspresi berarti. “Kebetulan sekali rumahku sudah dekat, Kek, di setelah belok kiri rumahku ada di sebelah kanan.” Diva mengatakan hal itu, juga memberi navigasi pada pengemudi yang duduk di depannya. “Kamu ternyata cukup cerdik juga ya.” Hartono cukup tenang mengatakannya. Diva tidak terlalu ambil pusing dengan ucapan pria itu barusan yang penting setelah ini dia terbebas dari jerat pria tua yang mematikan i
Setelah telpon dimatikan oleh kakeknya, Elvan baru membaca beberapa pesan yang dikirim oleh Diva padanya, tadi dia buru-buru menelponnya karena dia dengar kabar kalau Hartono sedang ada di keranjangku, dia hanya ingin Diva tidak bertemu dengan kakeknya, itu saja. Tetapi sayangnya, wanita itu malah berakhir satu mobil dengan sang kakek. Elvan terlihat sedang mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja, membuat irama atas sentuhan itu. Dia tahu apa yang dimaksud oleh Kakeknya, pria itu pasti akan mengintrogasinya kembali terkait hubungannya dengan Diva. “Kakek … selalu saja mencampuri urusanku.” Elvan memegang pelipisnya yang sedikit berkedut. Dia lalu menutup separuh wajahnya dengan telapak tangannya berusaha untuk memikirkan cara apa yang akan dia lakukan saat di rumah kakeknya itu. Dia berusaha menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan. Mengatakan dengan lantang kalau mereka berpura-pura tentu tidak mungkin. Elvan tahu kakeknya sudah mencurigai kepalsuan hubungannya. Atau mungkin,
Ketika jam makan siang akhirnya tiba, Elvan yang baru saja merapikan semua berkas untuk pergi mendadak didatangi oleh Dania. “Pak Elvan,” panggil wanita itu. “Ada apa?” tanya Elvan yang sebenarnya berniat untuk pergi makan siang. “Barusan Nyonya Anita menghubungi saya dan meminta Bapak menghubungi beliau segera.” Ucapan Dania membuat Elvan menautkan alis. “Kenapa tidak langsung telepon saya saja?” Dania memasang wajah tak berdaya dan berkata, “Katanya … Bapak tidak menjawab panggilan Nyonya.” Mendengar hal itu, Elvan langsung mengeluarkan ponselnya. Dia terkejut mendapati ada begitu banyak missed call dari sang ibu. “Oke … saya mengerti. Terima kasih, Dania.” ucapnya seraya memberikan anggukan kecil sebelum kembali melangkahkan kaki pergi. Belum ada dua langkah, Dania kembali memanggilnya, “P-Pak!” Elvan menghentikan langkahnya dan menoleh. “Ya?” Pria itu melihat Dania memasang wajah bersalah. “Saya … saya mau minta maaf tentang yang tadi, saya tidak tahu kalau Anda ingin mak
Melihat sosok Diva yang menjadi teman makan sang ibu membuat Elvan diselimuti berbagai pertanyaan. “Kenapa kamu bisa ….” Elvan lalu melihat ke arah Anita, menatap wanita itu seolah meminta penjelasan, tetapi Anita hanya tersenyum dengan sangat lebar. “Diva, kenapa kalian bisa bersama?” Elvan bertanya pada Diva. Diva hanya mengulas senyum dengan memandang Elvan sedikit canggung, seolah dia akan mengatakan sesuatu, tetapi sekarang bukan waktu yang tepat. “Duduk dulu ih, El! Masa belum duduk udah interogasi orang aja?” Anita berkata pada Elvan. Melihat reaksi putranya itu saat melihat Diva, Anita yakin kalau anaknya ini tidak akan menolak untuk makan bersama. “Ini nih yang mama bilang, makanannya enak, suasananya juga enak.” Anita kembali menambahkan dengan senyum sangat lebar, sedangkan Diva tersenyum penuh makna pada Elvan. Pria itu tahu kalau Diva menampakkan senyum terpaksa padanya. Elvan lalu menarik kursi di sebelah Diva, sebelum dia benar-benar duduk, pria itu berbisik pad
“Div!” Elvan menyenggol lengan Diva dan membuat wanita itu sadar dari pikirannya sendiri. “Ah, sorry,” gumamnya pelan. “Kamu bisa bertemu dengan Mama gimana ceritanya?” ulang Elvan, masih penasaran kenapa kedua wanita ini bisa tiba-tiba ada di satu meja yang sama. “Ih, kamu banyak tanyanya deh!” Anita berkata pada anaknya. “Mama apaan, sih? Aku kan tanya sama Diva bukan sama mama.” Elvan berkata sembari melihat ke arah Diva, tetapi yang dirasakan Diva saat Elvan melihatnya adalah tatapan ancaman. “Ih, awas kamu berani macem-macem sama Diva!” Anita berkata dengan nada sedikit mengancam pada anaknya, tetapi tetap terdengar santai. Mendengar ancaman sang ibu, Elvan menaikkan alis kanannya. Dari penampilan Diva sekarang, seharusnya sang ibu sudah mencium bau kebohongan hubungannya dengan Diva, lalu kenapa masih membela wanita ini? Apa ibunya sesuka itu dengan Diva dan ingin menunjukkan bahwa dia merestui hubungan mereka? Elvan melirik Diva dan berkata, “Kamu sudah ada sekutu baru ru
Diva menampakkan wajah gelagapan saat pertanyaan itu ditujukan padanya, tetapi berbeda dengan Elvan, pria itu nampak sangat tenang, Diva yang melihatnya rasanya ingin sekali memukul kepala pria itu dan berteriak, ‘Hei, ini bukan masalahku sendiri, ini juga masalahmu dan ini jelas bukan hal kecil!’ “Mama apaan sih ngomong gitu. Kita lagi proses menjalani aja dulu.” Elvan berkata dengan nada yang tenang, Diva lalu mengangguk menyetujui ucapan Elvan barusan, kegugupannya nampak sirna, ternyata benar juga, harusnya dia bisa lebih tenang seperti Elvan agar kepura-puraan ini tidak terbongkar. “Eh tapi jangan kelamaan loh! Entar Diva keburu pergi!” Anita berkata dengan sedikit mendesak keduanya. “Kita bener-bener mau menjalani aja dulu, Ma.” Diva berusaha menambahkan. “Tapi ….” terlihat gurat sedih di wajah Anita. Baru mau berbicara yang menghibur, ponsel Diva berteriak nyaring, Prisya menghubunginya. Diva meminta izin untuk mengangkatnya, baru saja dia menerima telepon itu, suara Prisy
Diva masih terlihat syok! Dia benar-benar tidak percaya kalau dia akan bekerja di L Tekno dengan bantuan orang dalam yang super kuat! “Sekarang giliranku. Kenapa kalian bisa bersama?” Elvan bertanya dengan nada penekanan. “Itu … eh, apa tidak bisa kita bicara sambil jalan saja? Di sini panas, lagian kamu juga harus menjaga amanah untuk mengantarku pulang ke rumah.” Diva senyum-senyum, dia terlihat pandai memanfaatkan situasi. Elvan lalu mengambil kantong berisi makanan yang ada di tangan kanan Diva, lalu menggenggam tangan wanita itu dan berkata, “Ayo kuantar pulang sekarang.” Diva terkejut mendapatkan perlakuan itu. ‘K-kenapa pria ini jadi sangat manis?!’ Diva membatin. “Masuklah!” Elvan membukakan pintu untuk Diva, entah kenapa tiba-tiba Diva merasa berbunga-bunga dengan perlakuan barusan, tetapi detik berikutnya dia menyadari kalau ternyata itu hanya bagian dari akting saja! Karena saat Elvan menutupkan pintu mobil Diva melihat sosok Anita sedang memperhatikan mereka. ‘Ih! Aku
Merasa canggung di bawah tatapan Elvan yang begitu serius, Diva berakhir menyisir beberapa helai rambut ke belakang telinga sembari tertawa canggung. “Ha ha … jangan sembarangan bicara, El. Kamu kira aku wanita macam apa? Mau asal tunangan selama dibayar.” Elvan menaikkan alis kanannya. “Kamu menolak?” Dia mendekatkan wajahnya ke arah Diva. “Serius?” Ada sedikit keterkejutan di wajah Elvan. Pria itu penasaran. Apa ada yang kurang darinya di mata Diva?! Selagi Elvan sibuk dengan pikirannya sendiri, mata Diva agak berkunang-kunang ketika wajah tampan Elvan berada begitu dekat dengan wajahnya. Panik karena jantungnya seperti akan meledak, dia mendorong wajah Elvan menjauh. “Stooopp! Bercandanya kelewatan!” teriak Diva membuat Elvan berakhir mendengus. Tampak tidak puas dengan reaksi Diva. Karena melihat Diva tidak nyaman, tanpa tahu wanita itu sibuk menenangkan jantungnya yang seperti mau keluar dari dada, Elvan akhirnya berkata, “Masalah Kakek, kamu tidak perlu khawatir. Yang penti