Banyak adegan mengandung 21+ secara eksplisit. Dikhianati kekasihnya depan umum, Naraya merasa kehilangan segalanya, harga diri, kepercayaan, dan hatinya. Pria yang dicintainya selama dua tahun, Kenzie, justru berselingkuh dengan sahabatnya sendiri Alicia. Lebih kejamnya lagi, mereka berciuman tepat di depan mata Naraya, sambil menertawakan dan merendahkannya, dengan alasan Naraya tak bisa memenuhi kebutuhan gairah Kenzie. Tapi hidupnya dipermainkan takdir yang kejam. Sebuah fakta mengejutkan terungkap, Kenzie ternyata anak dari Ares Mahardika, CEO tempat Naraya bekerja sekarang. Seorang duda tampan, dingin, karismatik dan terkenal sebagai playboy berbahaya. Namun Naraya melihat itu sebagai kesempatan membuat Kenzie menyesal dengan cara paling tajam dan berisiko, yaitu Naraya akan menggoda ayah Kenzie. Dengan penampilan baru yang lebih berani dan menggoda, Naraya mulai memainkan perannya. Satu foto "salah kirim" tanpa busana berhasil menjerat Ares dalam jaringannya. Dari sanalah segalanya dimulai, hubungan bergairah, tanpa ikatan, tanpa janji. Ares memberinya segalanya, apartemen mewah, mobil, kemewahan yang tak pernah ia bayangkan. Namun di balik hubungan yang seharusnya hanya tentang tubuh, Ares juga memberi sesuatu yang lain, perhatian dan kehangatan. Membuat Naraya menjatuhkan hari pada pria yang tak bisa menjanjikan hubungan. Kenzie sendiri kembali dan bertekad merebut Naraya dari pelukan ayahnya. Apakah Ares benar mencintainya atau Naraya hanya alat pelampiasan di ranjang? Apakah Kenzie akan membongkar rahasia ayahnya demi merebut kembali Naraya?
View MoreRaya menatap layar komputernya dengan mata yang mulai perih. Jam di sudut layar menunjukkan jam makan siang. Namun dirinya masih enggan beranjak dari kursinya.
Datang paling pagi, pulang paling malam. Makan siang di meja kerja sambil menyelesaikan laporan. Lembur hampir setiap hari tanpa keluhan. Ini sudah menjadi rutinitas selama tiga minggu terakhir. Sejak wisuda bulan lalu, ia akhirnya bekerja sebagai sekretaris CEO di Mahardika Group. Dan sejak saat itu juga, pria yang ia cintai menyelingkuhinya. Raya menyukai pekerjaan ini. Tidak. Bukan hanya suka. Tapi ia butuh kesibukan ini. Karena setiap kali ia punya waktu luang, bayangan mantan kekasihnya, Kenzie dan sahabatnya Alicia akan muncul bagai mengejeknya. Ciuman mereka di depan kafe. Tawa mengejek mereka. Kata-kata menyakitkan yang masih terngiang jelas. "Kamu terlalu kuno." "Membosankan." "Kasihan pada anak yatim" "Aku butuh wanita yang bisa memenuhi kebutuhanku." Saat jam makan siang Raya mengernyit saat mendengar percakapan dua karyawan di dekatnya. "Kamu dengar? Anak Mr. Ares akan jadi General Manager di sini!" "Serius? Yang mana? Dia kan punya dua anak." "Yang cowok. Kenzie Mahardika. Katanya baru selesai S2 bisnis." Raya membeku di mejanya. Kenzie Mahardika? Tidak mungkin. Pasti Kenzie yang berbeda. Tapi hatinya tahu segala kemungkinan itu ada. Mantan kekasihnya bernama Kenzie Leonel. Dan nama keluarganya? Raya tidak pernah tahu nama belakang Kenzie. Pria itu selalu menyebut namanya Kenzie Leonel. Tidak pernah menyebut nama keluarga ataupun menceritakan detail tentang keluarganya. Tangan Naraya gemetar saat ia membuka browser dan mencari "Kenzie Mahardika". Hasil pencarian muncul. Foto-foto Kenzie. Artikel tentang anak CEO Mahardika Group. Pewaris tunggal perusahaan. Calon penerus Ares Mahardika. Dan benar. Itu Kenzie-nya. Raya merasakan dunia berputar. Dadanya sesak. Napasnya tersengal. Ini tidak mungkin terjadi. Bagaimana bisa ia harus bekerja di perusahaan yang akan dipimpin oleh mantan kekasihnya? Karyawan berkumpul di lobby, berbisik-bisik dengan antusias. Semua orang ingin melihat pewaris Mahardika Group yang akan menjadi General Manager mereka. Jantung Raya berhenti berdetak sesaat, melihat mantan kekasihnya memasuki ruangan. Pria itu masih sama. Tinggi, tampan, dengan senyum menawan yang dulu membuat hatinya berbunga-bunga. Rambut hitamnya ditata rapi ke belakang. Mengenakan jas abu-abu yang pas di tubuhnya. Dia terlihat percaya diri dan sempurna. “Selamat pagi semua,” suara Ares menggelegar di lobby. “Seperti yang kalian tahu, ini hari pertama Kenzie Leonel Mahardika, bekerja di perusahaan ini sebagai General Manager.” Tepuk tangan riuh menggema. Kenzie tersenyum lebar, mengangguk pada semua orang dengan ramah. “Terima kasih atas sambutannya. Saya sangat senang bisa bekerja dengan kalian semua. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik.” Raya ingat suara itu. Dulu sering berbisik kata-kata cinta. Suara yang kemudian mengatakan dirinya membosankan. tangannya mengepalkan erat, kuku-kukunya menancap ke telapak tangan. “Kenzie, kamu akan dibantu selama seminggu ini oleh Naraya,” lanjut Ares—atasannya. Semua mata beralih pada Raya. Untuk pertama kalinya sejak keluar dari lift, mata Kenzie menemukan Raya di antara kerumunan. Ekspresi wajahnya berubah. Terkejut. Lebih tepatnya tidak percaya. Dan kemudian wajahnya berubah mengejek. Raya menarik napas dalam dan melangkah maju, menembus kerumunan dengan kepala tegak, berhenti di samping Ares dengan postur tubuh yang tegap. “Ini Naraya, sekretaris pribadi,” kata Ares sambil menatap Raya sekilas. Kenzie menatap Raya dengan senyum menyebalkan yang membuat perut Raya mual. “Senang bertemu denganmu, Raya,” kata Kenzie sambil mengulurkan tangan. Raya menatap tangan itu sejenak sebelum menjabatnya dengan singkat. Sentuhan itu membuat kulitnya terasa seperti terbakar. “Senang bertemu dengan Anda, Pak Kenzie,” jawab Raya dengan nada datar dan profesional. Mata Kenzie berkilat, menangkap nada formal yang Raya gunakan. Seolah mereka adalah orang asing. “Baiklah, kalian semua kembali bekerja,” perintah Ares. “Naraya, bantu Kenzie berkeliling.” “Baik, Pak,” jawab Raya sambil membungkuk. Ares berbalik dan berjalan menuju lift dengan langkah yang terkontrol. Setiap sel di tubuhnya begitu berwibawa. “Jadi—” kata Kenzie sambil menyilangkan tangannya di dada dengan casual. “Kamu bekerja untuk ayahku?” "Benar," jawab Raya datar. “Sejak kapan?” “Sudah sebulan.” “Tidak perlu sedingin ini, Raya.” Raya akhirnya mendongak, menatap Kenzie dengan tatapan dingin yang ia pelajari dari Ares. “Setiap orang berubah,” jawab Raya singkat. “Sekarang, bisa kita mulai berkeliling?” Kenzie menatapnya lebih lama sebelum akhirnya meluruskan tubuhnya. “Ya... Ayo mulai.” Raya berjalan terlebih dahulu “Silakan ikut saya.” Mereka berjalan beriringan menuju lift. Suasana di antara mereka tegang dan canggung. Di dalam lift yang kosong, Kenzie akhirnya berbicara. “Raya...” “Tolong panggil saya Naraya saja,” potong Raya tanpa menatap Kenzie terdiam. “Apa yang terjadi di antara kita adalah masa lalu. Sekarang kita hanya kolega kerja. Itu saja.” “Kamu masih marah,” kata Kenzie, bukan bertanya, tapi menegaskan. “Aku tidak menyangka kamu akan jadi sekretaris ayahku,” kata Kenzie sambil melipat tangan di dada. “Maksudku... kamu memang pintar di akademik. Tapi sekretaris? Itu cukup... biasa saja, bukan?” Raya merasakan dadanya sesak, tapi ia mempertahankan ekspresi dinginnya. Kenzie tertawa, dan terdengar menyebalkan. “Tapi ayolah, Raya. Kamu bisa melakukan lebih dari ini. Atau hanya ini batas kemampuanmu.” Setiap kata adalah tikaman pada harga diri Raya. “Apa maksud Anda, Pak Kenzie?” tanya Raya, memaksa suaranya tetap tenang. “Maksudku,” Kenzie melangkah lebih dekat, suaranya turun menjadi bisikan yang hanya bisa Raya dengar. “Dulu kamu selalu bilang ingin jadi lebih dari sekadar sekretaris. Kamu punya ambisi besar. Tapi lihat sekarang, kamu cuma jadi asisten ayahku. Melayani kebutuhannya. Mencatat jadwalnya. Membuatkan kopinya.” Kenzie tersenyum sinis. “Aku rasa Alicia benar. Kamu memang tidak punya apa-apa untuk ditawarkan selain… yah, kamu tahu lah. Semuanya terlalu standar.” Raya merasakan sesuatu pecah di dadanya—amarah, sakit hati, malu. Tapi ia tak akan membiarkan Kenzie melihat itu. “Pak Kenzie…” ucapnya pelan namun tajam. “Kalau menurut Anda kemampuan saya hanya sebatas ini—” Ia berhenti sejenak, berdeham untuk menetralkan emosinya. “Berarti saya seharusnya mencoba berhubungan dengan pria yang menganggap saya lebih dari sekadar standar.” Kenzie mengangkat alis, terkejut. “Maksudmu?” Raya tersenyum tipis, berjingkit sedikit, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Kenzie dan berbisik, “mungkin ayah Anda menilai saya lebih tinggi atau lebih spesial daripada Anda. Benar, tidak?” Ia menegakkan tubuhnya kembali tepat saat denting lift terdengar, menandakan mereka telah tiba di lantai tujuan. Raya melangkah keluar tanpa menunggu Kenzie. Sekilas, ia melihat rahang pria itu mengeras, dengan tangan terkepal di sisi tubuhnya.Keesokan harinya, Raya datang ke kantor dengan perasaan campur aduk, malu, gugup, tapi juga sedikit penasaran. Ares sudah membaca pesannya tadi malam, tapi pria itu tidak membalas apa-apa.Apakah strateginya berhasil? Atau malah membuat Ares semakin jijik padanya, menganggapnya seperti wanita murahan?Ares tiba pukul delapan pagi, Raya menyapanya dengan formal seperti biasa. "Selamat pagi, Pak. Ini jadwal Bapak hari ini."Ares mengambil tablet dari tangannya tanpa menatapnya. "Terima kasih."Tapi Raya menangkap sesuatu. Sesaat setelah Ares mengambil tablet itu, tatapannya turun sekilas ke tubuhnya sebelum cepat berpaling.Jantung Raya berdetak lebih cepat. Apa tadi? Apa Ares baru saja meliriknya? Apa semalam berhasil?Entahlah itu berhasil atau tidak. Yang pasti Raya mulai menyadari perubahan kecil pada perilaku Ares.Saat meeting pagi dengan tim finance, Raya duduk di samping Ares untuk mencatat risalah. Beberapa kali ia menangkap Ares melirik ke arahnya, tatapan singkat yang turun k
Sudah tiga hari sejak makan malam itu. Tiga hari Raya berusaha bersikap profesional seperti yang diminta Ares. Tiga hari ia mengenakan pakaian tertutup, berbicara formal, dan menjaga jarak.Tapi malam ini, sendirian di kost-nya, Raya menatap ponselnya dengan tatapan frustasi. Di layar terbuka grup chat dengan Liodra tadi siang. Liodra : 'Ray, jalankan jurus terakhir malam ini. Tiga hari udah cukup bikin bos-mu kehilangan sosok Raya yang menggoda.'Raya menatap saran itu lama. Sesuatu di dalam dadanya bergejolak, campuran antara ragu, malu, dan sedikit harapan yang tidak mau mati."Gila... Apa aku sudah gila?" gumamnya, tapi jemarinya sudah membuka kamera ponselnya.Ia berdiri di depan cermin besar di kamarnya, melepas semua pakaiannya kecuali celana dalam hitam satin yang seksi. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar."Ini gila. Ini benar-benar gila," bisiknya sambil mengatur angle kamera.Tapi tangannya tidak berhenti. Ia mengambil beberapa foto dari belakang, memperlihatkan
Raya berbaring di kasurnya, menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya. Matanya bengkak karena menangis. Tubuhnya terasa remuk.Ponselnya berdering di meja. Nama Liodra muncul di layar.Dengan tangan gemetar, Raya mengangkatnya."Ray! Gimana? Berhasil nggak? Udah jadian sama si bos ganteng?" suara cempreng Liodra memecah hening malam.Raya menutup mata, mencoba menahan sesak di dadanya. Suaranya serak saat menjawab, "Gagal. Dia tahu semuanya. Dia tahu aku cuma deketin dia buat balas dendam ke Kenzie. Dia anggap aku anak kecil.""WHAT?!" Liodra langsung teriak. "Serius?! Aduh, Ray... terus sekarang gimana? Kamu masih mau lanjutin, atau mau udahan aja?"Raya terdiam.Air matanya jatuh lagi tanpa izin. "Gak tahu. Rasanya pengen hilang aja, Li. Aku malu banget. Semua yang aku lakuin, sia-sia. Dan yang lebih parah gajiku bulan ini abis." Suara tangisnya pecah di ujung kalimat.Beberapa detik hening, hanya terdengar suara isak dan tarikan napas tertahan. “Ray...” suara Liodra kali ini t
Pukul sebelas malam, Ares masih duduk di kursi kerjanya di ruang pribadi mansionnya. Di hadapannya, sebuah gelas whiskey setengah kosong. Ini gelas ketiganya malam ini.Ditatapnya layar komputernya yang menampilkan foto profil Raya dari database karyawan. Foto itu diambil di hari pertama Raya bekerja, tersenyum polos, mata berbinar penuh harapan, rambut diikat sederhana. Tidak perlu berdandan berlebihan pun Raya sudah terlihat menarik.Sangat berbeda dengan Raya yang ia tinggalkan tadi. Raya yang terluka. Raya yang hancur.Ares menutup mata, mencoba mengatur detak jantungnya yang memburu. Baru saja ia melakukan kebohongan terbesar dalam hidupnya. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menyaksikan bagaimana wajah Raya berubah dari harapan menjadi kehancuran total.Mata gadis itu berkaca-kaca. Bibirnya yang bergetar menahan isak. Tangannya yang gemetar saat menggenggam tas."Sialan," desis Ares, membuka mata dan menatap pantulannya sendiri di jendela dengan penuh kebencian.Ares meneguk w
Malam itu, Raya duduk di kamar kost-ya, menatap kosong ke arah layar laptopnya yang membuka folder berisi foto-foto dirinya dengan Kenzie dulu, saat mereka masih bahagia."Kenzie... aku melakukan semua ini karena kamu," gumamnya getir. "Tapi kenapa diacuhkan Ares, aku malah lebih patah hati?"Ponselnya berdering. telepon dari Liodra, satu-satunya sahabat yang mengetahui niatnya menggoda Ares, ayah Kenzie."Raya, gimana udah berhasil belum misinya?" seru Liodra di seberang telepon.Raya terdiam lama, sampai akhirnya menjawab dengan nalas, "Belum. Dia sepertinya emang kebal." "Tidak mungkin! Kamu udah pake semua jurus kan?""Aku udah lakuin semuanya, Li."Sesuatu di dalam dada Raya bergejolak campuran antara putus asa, frustasi, dan sedikit harapan yang tidak mau mati."Dengerin, Ray. Sebagai 'ani-ani' profesional, aku kasih tahu ya cara yang paling ampuh. Pancing dia dengan sentuhan yang lebih berani terlebih dulu," ujar Liodra.Sebagai simpanan seorang direktur tentu Liodra lebih pah
Raya tiba di kantor pagi itu dengan senyum penuh percaya diri. Kemarin ia berhasil membuat Ares kehilangan kontrol. Ciuman itu yang panas dan intens adalah bukti nyata bahwa rencananya berhasil. Kini, ia hanya perlu mendorong sedikit lagi.Hari ini, sengaja ia memakai gaun hitam selutut dengan potongan V di bagian dada, cukup menggoda tapi tetap terlihat profesional. Rambutnya ia gerai dengan sedikit gelombang, memancarkan aura feminin yang lebih kuat. Parfum vanilla-nya sengaja ia semprotkan sedikit lebih banyak. Di cermin toilet kantor, ia tersenyum puas melihat penampilannya."Hari ini pasti lebih berhasil," bisiknya pada bayangannya sendiri.Seperti kemarin, ia datang lebih awal dan membuatkan kopi untuk Ares. Saat pria itu tiba, Raya menyambutnya dengan senyum manis, sedikit memiringkan kepalanya, pose yang ia pelajari dari video semalam, "bagaimana terlihat menggoda secara natural"."Selamat pagi, Pak. Kopi Anda sudah siap," ucapnya dengan nada suara yang sengaja dibuat lebih le
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments