Meeting berjalan dengan lancar, Gilang Sebastian memang mewarisi darah sang ayah, sebagai pebisnis yang hebat. Tidak ada proyek yang gagal semenjak FaRiz Group berada di tangannya.
"Bos, besok sore kita berangkat ke Bandung. Lusa, pagi-pagi sekali kita ada meeting. Setelah itu kita lanjut meninjau proyek baru di sana," kata Haris sembari berjalan menuju ruangan sang CEO setelah selesai meeting.
"Kita akan berangkat pagi-pagi, kamu atur semuanya!" titah Gilang kepada asistennya, "Saya akan mengunjungi rumah nenek Marisa. Kebetulan beliau dan Bunda Anin ada di sana."
"Baik, Bos," sahut Haris dengan tegas.
Gilang menghentikan langkahnya, begitu pun dengan Haris. "Silakan kamu ke ruanganmu! Selesaikan semuanya sebelum kita berangkat!" titah sang bos ketika mereka berada di depan ruangan asisten CEO, ruang kerja Haris.
"Baik, Bos!" Haris menganggukkan kepalanya , lalu masuk ke dalam ruangannya setelah sang bos kembali melangkah pergi ke ruangan CEO.
"Nona masuk ke rumah itu, Bos," kata Haris sembari menunjuk bangunan tua yang terlihat sudah usang.Rumah tua yang jendelanya ditambal oleh kardus dan banyak barang-barang bekas di sekitar bangunan itu."Apa kamu nggak salah lihat?" Gilang tidak percaya dengan ucapan asistennya karena bangunan tua yang ditunjuknya seperti rumah hantu."Saya melihatnya sendiri, Bos," jawab Haris dengan yakin.Gilang tidak mau masuk ke dalam bangunan tua yang terlihat seperti rumah hantu. Ia sudah membayangkan sendiri kalau di rumah itu banyak makhluk yang tak kasat mata."Coba kamu periksa sana! Saya tunggu di sini," titah Gilang pada laki-laki muda yang menggunakan setelan jas berwarna hitam dan kemeja berwarna putih."Baik, Bos!" Haris mengangguk pelan, lalu mengayunkan langkahnya menuju rumah tua itu.Laki-laki tampan itu berjalan dengan santai, lalu mengetuk pintu rumah yang tidak tertutup rapat itu sembari mengucapkan salam.Seorang anak la
Mendengar suara yang sangat mereka kenali, Naya dan Haris bangun dari duduknya. Membalikkan badan menghadap laki-laki yang berdiri sambil bersandar pada tiang pintu. 'Aku kira cuma Mas Haris yang datang, tapi ternyata manusia bunglon itu juga ada di sini,' batin Naya. Ia pikir Haris sengaja mencarinya untuk kembali mengajak berkencan, tapi ternyata ia salah. Manusia bunglon yang menjadi calon suaminya juga ada. "Siapa yang pacaran?" elak Naya dengan tegas, "Aku sama Mas Haris baru juga duduk," jawabnya sembari mendelikkan matanya pada sang kekasih. "Terus kalian ngapain duduk berdua di dalam rumah kosong?" tanyanya sembari menarik satu sudut bibirnya ke atas, mencibir dua orang yang berdiri di hadapannya itu. "Tadinya mau ngobrol, tapi Mas Gilang muncul tiba-tiba. Pertanyaanku aja belum dijawab sama Mas Haris," jawab Naya dengan jujur. Sementara Haris hanya diam sembari menundukkan pandangannya. Ia tidak berani menyahut ucapan pa
"Hai, Adik-adik semuanya. Perkenalkan nama saya Gilang. Saya ini calon suami kakak cantik ini." Gilang tersenyum sembari merangkul Naya yang berdiri di sampingnya.Sebelum anak-anak itu mengira kalau Haris pacar gadis Naya, ia sudah lebih dulu memperkenalkan dirinya sebagai kekasih gadis cantik itu."Kak Naya mau menikah?" tanya seorang anak perempuan yang kira-kira berusia dua belas tahun. Ia merupakan yang paling tua di antara sepuluh anak jalanan yang putus sekolah itu."Nggak, Sayang," jawab Naya, "Maksud Kakak nggak sekarang," ralat gadis cantik itu sembari berusaha melepas pelukan tangan sang kekasih.Namun, laki-laki itu tidak mau melepaskannya. "Kamu kenapa sih? Kamu ini 'kan calon istri saya," tanya Gilang dengan pelan seperti sedang berbisik."Contohkan yang baik kepada anak-anak!" balas Naya tidak kalah pelan.Gadis tomboy itu merasa tidak nyaman dengan perlakuan kekasih bohongannya. Ia tidak mau menjadi contoh yang tidak baik unt
Mobil mewah berwarna hitam milik keluarga Sebastian telah terparkir di depan rumah gadis tomboy itu."Terima kasih, Mas Haris," ucap Naya sebelum keluar dari mobil."Kenapa cuma berterima kasih kepada Haris?" tanya Gilang sembari melipat kedua tangannya di depan dada.Ucapan sang CEO muda itu menghentikan tangan Naya untuk membuka pintu mobil. Ia menoleh kepada laki-laki tampan itu."Maaf, Mas," ucap Naya yang merasa tidak enak hati dengan Gilang, "Terima kasih ya, Mas Gilang."Setelah mengucapkan kata itu ia segera keluar dari mobil, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah tanpa menoleh lagi ke belakang, walaupun mobil sang kekasih belum pergi."Ris, kamu selidiki kenapa Naya seperti itu? Tidak biasanya dia jadi pendiem gitu," perintah Gilang kepada sang asisten sembari terus memandang punggung sang kekasih yang sudah menghilang di balik pintu."Baik, Bos," sahut Haris dengan tegas, "Kita jalan sekarang, Bos?" tany
"Saya percaya Bos," sahut Haris.Laki-laki tampan itu tidak mau berkomentar apa-apa lagi. Ia sudah merasa senang melihat perubahan pada sikap sang bos terhadap gadis cantik yang ia sukai."Saya nggak mau calon istri saya menderita," ucapnya, "Hmm ... maksud saya, pasti Mami nggak mau calon menantunya menderita," ralat Gilang dengan gugup.Entah kenapa ia tidak sadar mengucapkan hal itu. Ia tidak mencintai Naya, tapi ia juga tidak rela kalau gadis yang dijodohkan dengannya dekat dengan laki-laki lain."Iya, Bos," jawab Haris sembari tersenyum.Haris merasa sang bos sudah mulai perhatian kepada calon istrinya. Namun, laki-laki itu terlalu gengsi untuk mengakuinya."Kenapa kamu senyum-senyum? Fokus pada kemudimu!" titah Gilang pada sang asisten.Ia yakin kalau laki-laki yang sedang mengemudi itu mengira kalau dirinya sudah menyukai gadis tomboy itu."Baik, Bos," ucap Haris dengan tegas. Ia tidak memperlihatkan ekspresi wajahnya pa
"Haris!" panggil Mami Tyas kepada laki-laki yang baru saja memasuki rumah mewah itu.Mami Tyas memanggil Haris untuk mengintrogasi asisten sang anak. Terlalu sering dibohongi oleh anak semata wayangnya membuat wanita paruh baya itu tidak mudah untuk memercayai setiap ucapan sang putra."Iya, Nyonya," sahut Haris. Kemudian, ia berjalan menghampiri sang majikan.Kini dua laki-laki tampan pemikat hati para wanita itu berdiri di hadapan Mami Tyas."Kalian dari mana jam segini baru pulang?" tanya sang mami kepada asisten baru putranya sembari menyilangkan tangan di bawah dada."Maaf, Nyonya," jawab Haris dengan sopan, "Tadi kami mengikuti Nona Naya sampai di rumah singgah tempat Nona mengajar anak-anak jalanan, setelah itu mengantar Nona pulang," jelas Haris dengan sopan."Apa kamu nggak lagi sekongkol dengan Bos kamu?" Mami Tyas memicingkan matanya. Ia mengira kalau anaknya sudah mengancam asisten barunya itu."Tidak, Nyonya," jawab
Papi Rizky datang menghampiri sang istri yang sedang berbicara dengan Haris. “Ris, kamu makan malam dulu sana!” titah Papi Rizky pada anak dari orang kepercayaannya.“Baik, Tuan,” sahut Haris dengan sopan, “Saya permisi, Tuan, Nyonya.” Haris membungkukkan badannya sebelum pergi dari hadapan sang tuan.Laki-laki muda itu pergi ke kamarnya yang ada di lantai bawah untuk membersihkan tubuhnya terlebih dulu sebelum makan malam.“Ayo kita bicara di kamar!” ajak Papi Rizky kepada istrinya.“Mau bicara apa di kamar? Pasti mau minta jatah,” cibir Mami Tyas sembari mencebikkan bibirnya.Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik dan seksi itu berjalan lebih dulu meninggalkan suaminya.“Tahu aja yang Papi mau.” balas Papi Rizky sambil tertawa pelan. Lalu, menyusul sang istri yang sudah menapaki tangga menuju lantai dua.Setelah sampai di kamarnya, Papi Rizky mengaj
TOK TOK TOK“Gilang! Mami masuk ya?” Teriak wanita paruh baya yang membawa makanan untuk anak semata wayangnya.“Iya, Mi,” sahut laki-laki tampan yang sedang duduk di sofa berwarna abu-abu yang ada di dalam kamarnya.Gilang sedang melihat-lihat model rumah besar dengan banyak kamar. Ia segera menaruh ponselnya saat sang Mami masuk ke dalam karena tidak mau rencananya diketahui sang mami.“Ada apa, Mi?” tanya Gilang pura-pura tidak tahu maksud sang mami menemuinya.“Kamu belum makan ‘kan?” tanya sang mami sembari melengkungkan sudut bibirnya, membentuk senyuman indah yang menyejukkan hati seorang Gilang. “Mami bawa makanan untukmu.” Wanita yang masih terlihat awet muda di usianya yang sudah tidak muda lagi itu menghampiri anaknya. Lalu, duduk di samping sang anak.‘Senang rasanya melihat Mami tersenyum seperti itu,’ batin laki-laki yang usianya sudah menginjak dua p